Kisah Si Bangau Merah Jilid 3
Akan tetapi Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walaupun tidak menangis lagi.
“Suheng katanya mau.... memenuhi semua permintaanku, ternyata semua permintaanku kautolak....”
Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini segera menarik perhatian Yo Han karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di situ sekarang berada seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, dan seorang wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh perhatian.
Ia seorang wanita yang berwajah cantik dan bertubuh tinggi semampai, dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun kalau melihat wajah dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya ia sudah berusia empat puluh tahun! Wajahnya bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Rambutnya digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang serba merah itu terbuat dari sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek, wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya dari kulit merah itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung berukir indah dan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.
“Heii, anak baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu.”
“Engkau minta burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”
Wanita itu melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan ada yang lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah burung yang terbang lewat, seperti menggapai dan.... burung itu mengeluarkan teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh tangan kiri wanita itu.
“Nah, ini burung yang kauinginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil itu kepada Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.
Yo Han mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada di tangan adiknya. Burung itu tak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba untuk menggerak-gerakkan kedua sayap kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu terluka entah oleh apa. Kini dia menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor kupu-kupu yang beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu dan dua ekor kupu-kupu itu seperti disedot dan ditangkap oleh kedua tangan itu , diberikan pula kepada Sian Li.
“Nah, ini dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”
Sian Li girang sekali.
“Kupu-kupu indah! Burung cantik....!” Ia sudah sibuk dengan seekor burung dan dua ekor kupu-kupu yang dipegangnya.
“Adik Sian Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang dan dia hendak menggandeng lengan adiknya, Akan tetapi tiba-tiba tubuh Sian Li seperti terbang ke atas dan tahu-tahu sudah berada dalam pondongan wanita itu. Sian Li terpekik gembira ketika tubuhnya melayang ke atas.
“Suheng, aku dapat terbang....!” tariaknya gembira.
Wanita berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia tersenyum. “Ya, engkau ikut dengan aku, anak manis, dan aku akan mengajarmu terbang, juga menangkap banyak burung dan kupu-kupu. Engkau suka, bukan?”
“Aku suka! Aku senang....!”
“Sian Li, turun dan mari kita pulang.” Yo Han berkata lagi.
“Tidak, aku ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”
“Sian Li....”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek.
“Anak baik, jadi namamu Sian Li (Dewi)? Nah, mari kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah, hi-hi-hik!”
Yang nampak oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara ketawa merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita berpakaian merah itu bersama Sian Li telah lenyap dari depannya, seolah-olah mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang dengan amat cepatnya.
“Sian Li....! Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!” Yo Han lari ke sana-sini, berteriak teriak, akan tetapi adiknya tetap tidak kembali, juga wanita yang melarikannya itu tidak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah gurunya.
Sin Hong dan Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan dari wajahnya, nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan tegang dan napasnya terengah-engah karena dia telah berlari-lari secepatnya.
“Yo Han, ada apakah?” Sin Hong menagur muridnya.
“Yo Han, di mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang gelisah mengkhawatirkan anaknya.
“Suhu, Subo.... adik Sian Li.... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah....” kata Yo Han dengan napas masih terengah-engah.
Suami isteri itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.
“Apa? Apa yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.
“Teecu sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li, kemudian ia memondong adik Sian Li menghilang begitu saja.”
“Seperti apa wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya menyinarkan kemarahan.
“Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Subo, dan semua pakaiannya berwarna merah, sampai sepatunya, dan wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce biru....”
“Ke mana larinya?” tanya Sin Hong.
“Teecu tidak tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, ia lalu menghilang begitu saja, teecu tidak tahu ke arah mana ia lari....”
“Inilah jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah.
“Lima tahun menjadi murid, sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat melindungi Sian Li dan anakku tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong....!”
”Suhu dan Subo, teecu bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan membawanya pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum dapat menemukan dan membawa pulang adik Sian Li!” Yo Han berseru, menahan air matanya dan mengepal kedua tangannya.
Akan tetapi Sin Hong sudah berseru kepada isterinya,
“Tidak perlu ribut, mari kita cepat pergi mengejar penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata saja mereka lenyap dari depan Yo Han.
Yo Han tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan dia membiarkan kedua kakinya yang berlari cepat itu membawa dirinya pergi keluar kota Ta-tung, entah ke mana!
Sin Hong dan Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari, menyusuri sungai. Namun, usaha mereka tidak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak! Tentu saja mereka merasa gelisah sekali.
“Bocah sial itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan di mana peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun sudah meninggalkan suaminya, pulang ke rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai. Akan tetapi setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya murid itu, namun Yo Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan akan mencari Sian Li sampai dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.
“Dia.... dia tidak ada di rumah....!” katanya.
Sin Hong mengangguk-angguk.
“Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya tadi. Dan dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan mengajak Sian Li pulang.”
“Uhh, dia mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu mengejar penculik yang berilmu tinggi, apalagi merampas kembali anak kita?”
Wanita itu mengeluh dan hampir menangis. “Sian Li.... ah, di mana kau....?”
“Mari kita cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan dan kedukaan. Mereka lalu mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan mereka tanyai, tidak ada seorang pun yang melihat anak mereka atau wanita berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.
Setelah hari larut malam dan mereka terpaksa pulang, sampai di rumah Hong Li menangis. Suaminya menghiburnya.
“Tenangkan hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita penculik itu musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak kita di waktu itu juga. Akan tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li.”
Dihibur demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya.
“Kaukira siapakah wanita berpakaian merah itu?”
Sin Hong menggeleng kepalanya.
“Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, akan tetapi rasanya belum pernah aku mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apalagi usianya baru sekitar tiga puluh tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan yang tewas di tanganku, hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw, bahkan kita tidak tahu apakah ia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar yang merasa suka kepada anak kita.”
“Tidak mungkin seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata.
“Hem, terkutuk orang itu. Kalau sampai kutemukan ia, akan kuhancurkan kepalanya! Eh, jangan-jangan bekas isterimu yang melakukan itu....“
Sin Hong memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh cemburu, melainkan oleh kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai seorang duda, akan tetapi juga Hong Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing, dan sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam pernikahan pertama itu.
“Tidak mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil manggeleng kepala. “Usianya sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun. Juga ia tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan berani melakukan hal itu. Ia bukan penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak, dugaan itu menyimpang jauh. Coba kauingat-ingat, mungkin pernah engkau dahulu bermusuhan dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”
Hong Li mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu, Thio Hui Kong, adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tidak ada alasan bagi Thio Hui Kong untuk mengganggunya. Mereka telah bercerai. Tokoh jahat berpakaian merah? Wanita berpakaian merah rasanya belum pernah ia temui dalam semua pengalamannya sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian merah?
Tiba-tiba ia meloncat berdiri.
“Ahh....!” Ia teringat.
“Engkau ingat sesuatu?” Suaminya bertanya,
“Memang ada tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang I Mopang (Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang I Siauw-mo (Iblis Kecil Baju Merah) tewas di tanganku!”
Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Hemmm.... Ang I Mopang? Bukankah duhulu sarangnya berada di luar kota Kun-ming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang I Mopang sudah hancur dan rasanya tidak ada tokohnya yang wanita dan yang lihai....”
“Betapapun juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Daripada kita meraba-raba di dalam gelap. Aku akan pergi ke Kun-ming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu datang dari sana. Ang I Mopang memang beralasan untuk memusuhiku dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok pagi-pagi!”
“Nanti dulu, Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walaupun aku juga setuju kalau kita menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa tahu dia berhasil....“
“Bocah sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak tolol itu akan berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik orang!”
“Li-moi, tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimanapun juga, kita tidak dapat menyalahkan Yo Han. Andaikata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya itu pun belum matang. Apa artinya seorang anak berusia dua belas tahun menghadapi seorang penculik yang lihai? Andaikata Yo Han pernah latihan ilmu silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”
“Akan tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan penculik itu akan semakin jauh....”
“Kita lihat saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita tunggu sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat ke Kun-ming, menyelidiki ke sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita terus akan melakukan pelacakan, akan kutanyakan kepada semua tokoh kang-ouw tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han tadi.”
Akhirnya, dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan suaminya. Akan tetapi, jelas bahwa semalam itu mereka tidak mampu tidur pulas.
***
“Tidak mau, aku ingin pulang.... aku ingin ayah ibu, aku ingin pulang....!” Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.
Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li.
“Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis....”
“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah....“
Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering, memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, dan ia pun tersenyum.
“Anak manis.... ah, pantas menjadi anakku atau muridku.... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang....”
Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun! Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, Juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.
Dugaan Kao Hong Li tentang Ang I Mopang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang I Moli Tee Kui Cu dengan Ang I Mopang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu.
Wanita berpakaian merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang pernah menjadi ketua Ang I Mopang. Ketika Ang I Mopang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw. Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggauta Ang I Mopang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!
Demikianlah riwayat singkat Ang I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggauta Ang I Mopang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya. Dan dia pun suka sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampal jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena ia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada pagi hari itu, tanpa sengaja ia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya dan juga muridnya.
Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu.
Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu dan ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!
“Ahh, kiranya engkau....!” Ang I Moli berkata dengan hati lega, akah tetapi juga ia memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini dapat menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?
Yo Han sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya. Ketika dia lari meninggalkan rumah suhunya, dia tidak mempunyai tujuan.
Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari. Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang. Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti.
Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia teringat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan. Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa kalau Tuhan menghendaki, dia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul sejak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya kepasrahan. Tidak ada aku yang waspada, tidak ada aku yang pasrah. Selama ada “aku”, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah nafsu dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih. Kalau nafsu yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Gelisah menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, bukan kepasrahan berpamrih, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan Tuhan, berarti kembali kepada kodratnya.
Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Dia memasuki ruangan itu dan.... dia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli.
“Kiranya engkau? Bagaimana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
"Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kaulakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.
Ang I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja. Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.
“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah pikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejang oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa yang kaumaksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kaularikan ini. Ayah dari ibunya kini mencari-carimu dan ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukanmu dan kalau sudah begitu, siapa berani menanggung keselematanmu?”
Ang I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Ia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata.
“Hi-hi-heh-heh-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapapun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biar kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan, sebagai pengganti Sian Li. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subomu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, kalau suhu dan subomu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja, ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo, adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Eh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!”
Wanita itu tertawa geli. Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh.
“Aku tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Akan tetapi aku tidak berbohong. Mereka amat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka”
Ang I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan terakhir itu menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu. Yo Han merasa pundaknya nyeri, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”
selanjutnya ---->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar