Pembunuhan ABC (The ABC Murders, 1936)
Kota London pernah diguncang pembunuhan berantai Jack the Ripper.
Kasusnya tak terpecahkan. Kini pembunuhan serupa terjadi lagi di kota
London dengan cara lebih menantang dan sistematis. Sebelum melakukan
aksinya, si penjagal lebih dulu menyurati Hercule Poirot. Dan yang lebih
meledek, korban akan dimulai dari orang dengan nama berawal abjad A,
kemudian berawal abjad B, C, D dan seterusnya....
Boleh dong sebagai penggemar Agatha saya menganalisis dan menebak profil
si pembunuh. Dengan tipe seperti ini biasanya pembunuh beraksi lantaran
hoby semata. dalam kehidupan nyata ia membaur seperti halnya saya dan
anda. Secara finansial ia mapan atau bisa jadi sangat mapan. Ia bosan
dengan rutinitas yang ada, dan perlu sesuatu yang lebih menantang.
Secara phisik ia kuat, dan sesungguhnya secara mental sangat terkendali.
Benarkah demikian? (berarti kamu sekarang lebih pintar dari Poirot, maksudnya begitu?)
Benar. Analisis anda benar bahwa saya
salah menebak. Bahkan kesalahan serupa terjadi ketika Kepolisian London
berhasil menangkap si 'pelaku', Alexander Bonaparte Cust, tentu dengan
banyak bukti yang meyakinkan. Alexander Bonaparte Cust mengidap epilepsi. Dia adalah
tipe orang yang hidupnya tidak keruan dan cenderung gagal. Para saksi
mata mengiyakan melihat tersangka di tempat kejadian perkara. Lengkaplah
sudah hal hal yang memberatkan tersangka. Namun lagi lagi Detektif
Poirot berpendapat lain.
Ruman si 'Cust' di Doncaster |
Sejak dari awal, profil Cust tidak cocok dengan karakter pembunuh.
Pembunuhan ketiga di Chusrton dengan korban Sir Carmichael Clarke
menjadi awal dari terkuaknya misteri pembunuhan berantai ini. Dan
percayakah anda, pembunuhan berantai yang terkesan acak ini dimotivasi
oleh rebutan warisan....
Royal Victoria Hotel |
Behind The Story
Saya menduga Agatha terinspirasi
oleh tokoh Jack The Ripper. Jack The Ripper adalah nama yang diberikan
kepada seorang pembunuh berantai yang beraksi pada tahun 1888 di kota
London Inggris. Tepatnya adalah di distrik East End atau lebih dikenal
dengan kawasan Whitechappel. Nama sebenarnya tak pernah diketahui karena
dia tak pernah tertangkap.
Jumlah korban sebanyak 5 orang (Mary Ann , Annie Chapman , Elizabeth , Catherine , Jane kelly), semuanya dibunuh dengan cara mutilasi. Persamaan di antara para korban adalah mereka semuanya pelacur. Rata rata korban dimultilasi dengan cara yang apik dan ahli. Tidak ada satu pun bukti yang mengarah pada orang tertentu. Satu satunya petunjuk adalah sebuah tulisan kapur di dinding: "The Juwes are the men that will not be blamed for nothing."
Jumlah korban sebanyak 5 orang (Mary Ann , Annie Chapman , Elizabeth , Catherine , Jane kelly), semuanya dibunuh dengan cara mutilasi. Persamaan di antara para korban adalah mereka semuanya pelacur. Rata rata korban dimultilasi dengan cara yang apik dan ahli. Tidak ada satu pun bukti yang mengarah pada orang tertentu. Satu satunya petunjuk adalah sebuah tulisan kapur di dinding: "The Juwes are the men that will not be blamed for nothing."
Timbul kemudian spekulasi yang mengatakan kemungkinan besar pelakunya
adalah dokter bedah. Karena di tengah penerangan yang buruk, mutilasi
yang dihasilkannya terpola secara anatomis. Siapa lagi kalau bukan
dokter (bedah) yang sanggup melakukannya. Namun tak seorang dokter pun
yang dijadikan tersangka saat itu.
Namun terus terang, searching yang saya lakukan tidak mengkonfirmasi Agatha terinspirasi oleh kisah di atas. Kebanyakan malah menyoroti gaya dua narator - sang pencerita novel - yang dipergunakan Agatha dalam buku ini. Bagian pertama oleh Kapten Hastings, selebihnya oleh Alexander Bonaparte Cust, orang yang justru paling dicurigai itu. Konon, gaya ini pertama kali digunakan oleh Charles Dickens. Penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, juga menggunakan gaya ini dalam tetralogi pulau burunya. Mungkin banyak juga pembaca yang kecele menebak narator adalah pembunuhnya, seperti dalam pembunuhan Roger Ackroyd. Agatha tak sebodoh itu.
Yang tak kalah seru adalah posting di beberapa media sosial yang menobatkan novel ini sebagai salah satu yang terbaik dari karya Agatha. Saya hanya menemukan klaim ini di cyber Indonesia saja. Nampaknya seseorang memblow-up nya, dan yang lain mengamini. Hmm, bagi saya novel kali ini kebilang bagus, tapi tidak istimewa.
Namun terus terang, searching yang saya lakukan tidak mengkonfirmasi Agatha terinspirasi oleh kisah di atas. Kebanyakan malah menyoroti gaya dua narator - sang pencerita novel - yang dipergunakan Agatha dalam buku ini. Bagian pertama oleh Kapten Hastings, selebihnya oleh Alexander Bonaparte Cust, orang yang justru paling dicurigai itu. Konon, gaya ini pertama kali digunakan oleh Charles Dickens. Penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, juga menggunakan gaya ini dalam tetralogi pulau burunya. Mungkin banyak juga pembaca yang kecele menebak narator adalah pembunuhnya, seperti dalam pembunuhan Roger Ackroyd. Agatha tak sebodoh itu.
Bexhill-on-sea, East Sussex |
Yang tak kalah seru adalah posting di beberapa media sosial yang menobatkan novel ini sebagai salah satu yang terbaik dari karya Agatha. Saya hanya menemukan klaim ini di cyber Indonesia saja. Nampaknya seseorang memblow-up nya, dan yang lain mengamini. Hmm, bagi saya novel kali ini kebilang bagus, tapi tidak istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar