Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 16

Kisah Si Bangau Merah Jilid 16

16

Ketika utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang membersihkan toko dan bersiap-siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan kini sedang sibuk menyirami tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).
Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun tergesa-gesa, amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan tahun itu nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia melakukan perjalanan jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya memandang dengan hati tertarik.
Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan ember airnya dan lari menghampiri arang yang meloncat turun dari punggung kudanya.
“Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapa nama Paman? Aku akan melaporkan kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan tetapi sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.
Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah.
“Anak yang baik, tolonglah beritahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya datang sebagai utusan dari keluarga Kao di Pao-teng.”
Dari suhu dan subonya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan mereka yang terdiri dari para pendekar, maka mendengar bahwa orang ini utusan dari keluarga Kao di Pao-teng, dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan subonya sedang duduk minum teh pagi.
“Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting untuk Suhu dan Subo.
Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang ke arah penunggang kuda itu.
“Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada kami!” Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kaurawat kuda itu, beri makan dan minum di kandang kuda!”
Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak kelelahan itu, membawanya ke kandang di bagian belakang, sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.
Setelah dipersilakan duduk, dan memperkenalkan diri, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya, suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberitahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu Sum Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung ke Pao-teng untuk memberi pertolongan.
Suma Ceng Liong memandang utusan encinya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta kepadanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu tidak dapat bercerita banyak. Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari yang lalu, malam-malam rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu Bu-tong-pai yang berkelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu. Akhirnya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang kebetulan berada di sana, berhasil mengusir para tosu Bu-tong-pai dan kini keadaan kedua orang majikan mereka terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.
“Kami akan berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong dan kepada utusan itu dia sarankan untuk beristirahat dulu sebelum pulang, dan dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar baik-baik menjaga rumah karena dia, dan isterinya akan pergi ke Pao-teng.
Sian Lun mematuhi perintah suhunya tanpa berani banyak bertanya. Akan tetapi setelah suhu dan subonya pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk bicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng itu.
Karena anak itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar dan dia pun menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam ingatannya dan merasa heran sekali. Menurut keterangan suhu dan subonya, di dalam dunia persilatan terdapat dua golongan, yaitu golongan putih atau para pendekar, dan golongan hitam atau para penjahat. Dan Bu-tong-pai termasuk golongan putih.
Kenapa sekarang. Bu-tong-pai membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan melukai suami isteri yang terkenal menjadi pendekar itu? Dia mendengar dari suhunya, siapa adanya pendekar besar Kao Cin Liong dan siapa pula isterinya yang bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan Suma Hui adalah kakak sepupu suhunya, keturunan keluarga Istana Pulau Es!
Kedatangan Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disambut dengan gembira oleh Kao Cin Liong dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada di situ. Sebaiknya, Suma Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa kakaknya telah sembuh, demikian pula kakak iparnya.
"Kami masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat disembuhkan dengan cepat," kata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng Liong, setelah dua orang tamu itu dipersilakan duduk di ruangan dalam.
"Yok-sian Lo-kai? Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati Enci dan juga Cihu. Akan tetapi, bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh penjahat, padahal di sini terdapat pula puteri kalian dan mantu kalian yang amat lihai ini?"
Suma Ceng Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak menegur kenapa mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.
Kao Cin Liong menghela napas panjang.
"Semua terjadi di luar persangkaan. Begitu tiba-tiba. Lima orang tosu itu memang amat lihai, dan biarpun demikian, mereka pasti tidak akan mungkin dapat melukai kami kalau saja di samping kelihaian mereka, mereka itu tidak amat licik dan curang. Mereka menggunakan kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."
"Hemm, kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu satu demi satu!" kata Suma Hui yang wataknya keras.
"Tidak, Bo-bo, Bo-bo sudah tua, biarlah aku yang akan mencari mereka dan membasmi mereka yang jahat itu!" Tiba-tiba terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan itu. Semua orang menengok dan Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak berpakaian merah itu biar baru berusia empat tahun nampak begitu lincah dan gagah.
"Siapakah anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.
Kao Hong Li segera berkata,
"Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan nenekmu ini. Kakek Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam Bi Eng ini isterinya." Hong Li memperkenalkan paman dan bibinya.
Sepasang mata yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng dengan heran.
"Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus menyebut Kakek dan Nenek? Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek, pantasnya Paman dan Bibi."
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng meraihnya dan merangkul Sian Li, menciumi pipinya. Sian Li memandang wajah Bi Eng dan berkata,
"Bibi ini cantik dan gagah sekali, seperti Ibu!"
Kam Bi Eng tertawa.
"Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah dua kali ibumu. Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan berseru kagum, "Aihhh, anakmu ini memiliki tulang dan bakat yang amat baik, Sin Hong" Lalu kepada suaminya ia berkata, "Coba kauperiksa sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu kepada Suma Ceng Liong yang juga merangkulnya.
Suma Ceng Liong mengangguk-angguk.
"Kalian memang beruntung. Anak ini memiliki bakat yang amat baik. Hemm, kami akan merasa berbahagia sekali kalau kelak dapat memberi sedikit bimbingan kepadanya."
"Aih, kenapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang memberikan bimbingan, aku yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis pendekar yang hebat, dan pantas dijuluki Si Bangau Merah Sakti! Sian Li, cepat kau memberi hormat dan terima kasih kepada kakek dan nenekmu itu!"
Sian Li memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia pun cepat menjauhkan diri berlutut di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang duduk bersanding.
"Kakek dan Nenek, aku menghaturkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek!"
Kao Hong Li dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.
"Ha-ha-ha, anak kami itu masih kecil, baru berusia empat tahun akan tetapi sudah banyak yang menjanjikan akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati Ayah dan Ibu, dia pun minta agar kelak Sian Li boleh mewarisi ilmu-ilmunya, dan sekarang ini Paman dan Bibi juga menjanjikan demikian."
Kao Hong Li cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong, dan Kam Bi Eng.
"Paman dan Bibi sungguh berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima kasih." Sin Hong juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu saja tidak akan mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih terancam bahaya seperti tempo hari.
Mereka lalu membicarakan tentang permusuhan yang timbul antara para partai persilatan besar. "Sungguh menyebalkan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana sih jalan pikiran para pimpinan partai persilatan besar itu? Bangsa kita dijajah orang Mancu, dan betapapun besar usaha pemerintah Mancu untuk memakmurkan rakyat jelata tetap saja bangsa kita dijajah, menjadi budak dan para pembesar semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau ada orang Han juga mereka adalah anjing-anjing penjilat yang tidak segan menindas bangsa sendiri demi kesetiaan mereka kepada pemerintah Mancu. Akan tetapi, kini partai-partai besar bahkan ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat jelata menjadi semakin menderita, golongan sesat merajalela tanpa ada yang menentangnya. Aihh, sungguh menyedihkan sekali!"
"Adik Liong, kenapa engkau bisa bilang begitu? Lupakah engkau bahwa darah kita ini pun merupakan darah campuran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen, akan tetapi bagaimana dengan Nenek kita? Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri Lulu, Nenekku, bukan orang Han." Suma Hui memperingatkan.
Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya,.
"Tidak kusangkal kebenaran hal itu, Enci.
Memang kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, sejak dahulu adalah orang-orang gagah yang menjadi pembela rakyat jelata walaupun tidak pernah mencampuri urusan kenegaraan. Bahkan suamimu, Cihu (Kakak Ipar Kao Cin Liong) juga mengundurkan diri dari jabatan panglima karena sungkan untuk mengabdi kepada orang-orang Mancu. Kita tidak perlu menentang pemerintah Mancu, akan tetapi kita harus tetap menjadi pendekar yang membela kepentingan rakyat jelata yang tertindas, menentang semua penindas tidak peduli dari bangsa apapun! Kalau kini perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat menyedihkan?"
"Sudahlah, hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai itu melakukan kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu rahasia tersembunyi di balik ini semua. Aku bahkan mempunyai dugaan bahwa mereka itu bukan orang-orang Bu-tong-pai yang aseli!"
"Tapi, bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat permusuhan antara Siauw-lim-pai, dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Juga sebelum tewas, Thian Kwan Hwesio sendiri mengaku bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Bagaimana dia bisa keliru sangka?"
"Keadaan itu memang aneh dan mencurigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah mertua suka menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk melakukan penyelidikan. Siapa tahu ada oknum luar yang menyelundup ke dalam Bu-tong-pai. Saya mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan sudah saya surati ke sana untuk minta pertanggungan jawab mereka."
Dua utusan yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengundang Suma Ciang Bun tidak berhasil karena pendekar itu tidak berada di rumah dan tak seorang pun tahu ke mana perginya. Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan Gangga Dewi dan keduanya melakukan pengejaran dan pencarian untuk menolong Yo Han yang dilarikan Ang I Moli dan kawan-kawannya. Akan tetapi utusan dari Bu-tong-pai datang membawa surat dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti telah diduga oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua Butong-pai menyangkal telah menyerang keluarga Kao di Pao-teng!
Memamg terdapat sedikit pertentangan dan kesalah pahaman antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai, demikian antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya terbatas di kalangan murid-murid yang tinggal di luar pusat saja. Para pimpinan kedua pihak sedang melakukan penyelidikan dan belum terdapat pertentangan resmi atau berterang.
Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan bahwa yang membunuh Thian Kwan Hwesio kepala kuil Pao-teng, bahkan melukai pendekar besar Kao Cin Liong dan isterinya adalah para murid Bu-tong-pai.
Keluarga pendekar itu kini mengadakan perundingan.
"Keadaannya sungguh gawat, dan perlu penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu akan timbul pertentangan hebat dan akan rusak binasalah para pendekar dari partai-partai besar karena permusuhan yang tidak menentu ujung pangkalnya ini."
"Pendapat Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar bahwa bukan hanya Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga Go-bi-pai dan Kun-lun-pai. Agaknya di antara empat partai besar ini timbul suatu kesalah pahaman besar yang membuat mereka saling curiga, dan di antara murid-murid mereka terdapat permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya kalau kita semua berusaha mendamaikan."
"Tepat sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha menjernihkan segala kekeruhan ini agar tidak berlarut-larut!"
Isterinya, Suma Hui cemberut.
"Terlalu enak kalau para pengecut itu didiamkan saja. Bu-tong-pai harus bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat, baru aku mau menghabiskan urusan ini dengan Bu-tong-pai!"
Suaminya menghiburnya.
"Kita harus bersabar dan tidak semakin mengeruhkan suasana. Sudah jelas bahwa Bu-tong-pai dipalsukan orang, dan tentu saja kita tidak bisa menyalahkan Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tong-pai sendiri juga akan bertanggung jawab dan akan mencari pengacau itu sampai dapat. Sebaiknya kalau kita, keluarga kita, mengundang mereka semua ke sini."
"Bukankah beberapa bulan lagi hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat? Bagaimana kalau kita mengundang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu? Dengan demikian tidak akan menyolok dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan hubungan baik antara Ayah dan para pendekar," kata Kao Hong Li.
Semua orang setuju dan segera diatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutema empat partai besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin Liong yang akan jatuh pada tiga bulan lagi. Setelah bermalam di situ selama satu minggu, Suma Ceng Liong dan isterinya pulang ke dusun Hong-cun di kota Cin-an, sedangkan Tan Sin Hong, isteri dan anaknya kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada Suma Ceng Liong bahkan kelak puteri mereka Sian Li, akan diantar ke Hong-cun untuk belajar silat dari pendekar sakti itu.
***
Yo Han menari-nari dengan gerakan yang indah namun aneh. Yang mengiringi gerakan tarinya adalah suaranya suling yang melengking-lengking secara aneh pula. Yo Han tidak tahu bahwa suara suling ini, kalau terdengar orang lain, akan dapat membuat orang yang mendengarnya menjadi tuli atau setidaknya akan roboh pingsan karena suara itu melengking tinggi parau dan begitu lembut sehingga dapat menusuk dan menembus kendangan telinga, menggetarkan jantung dan dapat menguasai semangat orang!
Memang, Thian-te Tok-ong bukanlah seorang manusia biasa. Tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, bahkan bukan hanya ilmu silat, melainkan juga tenaga sin-kangnya yang amat kuat itu sukar dicari bandingannya. Suara sulingnya itu saja cukup untuk membuat pendengarannya menjadi tuli atau mati karena jantungnya terguncang. Namun, Yo Han memiliki suatu kelainan yang timbul secara mujijat. Kepasrahannya yang mutlak kepada Tuhan membuat dia seolah menjadi kekasih Tuhan yang selalu melindunginya dengan kekuasaan Tuhan yang gaib. Atau lebih tepat lagi, tenaga sakti yang memang sudah terkandung dalam diri setiap orang manusia sejak lahir, dan yang biasanya terpendam dan tak berdaya karena pengaruh nafsu-nafsu daya rendah yang menguasainya, pada diri Yo Han timbul dan berkembang sehingga seluruh bagian tubuhnya hidup dan bekerja sesuai dengan tugasnya ketika diciptakan.
Thian-te Tok-ong berusia kurang lebih delapan puluh tahun. Wataknya sudah berubah kekanak-kanakan, kadang bahkan pikun, akan tetapi dia senang sekali bergurau, dan wataknya juga nakal suka menggoda orang, seperti kanak-kanak. Tubuhnya pendek kecil seperti tubuh yang sudah mulai mengerut dan mengecil saking tuanya, namun gerakannya masih lincah. Matanya kocak, jelas membayangkan kenakalan, dan mulut yang tak ada giginya sebuah pun itu selalu menyeringai seperti seringai anak kecil. Namun, dia ditakuti seluruh orang Thian-li-pang dan agaknya dia tahu benar akan hal ini.
Di pusat Thian-li-pang itu, Thian-te Tok-ong tinggal di bagian paling belakang, bukan merupakan bangunan lagi, melainkan merupakan sebuah guha besar di bukit. Guha itu luas sekali dan dilapisi dinding buatan menjadi tempat yang amat kokoh, berikut lubang-lubang angin dan lubang-lubang untuk memasukkan sinar matahari dari atas. Setiap hari yang keluar masuk hanyalah burung-burung walet kalau siang, dan kelelawar-kelelawar kalau malam. Keadaannya menyeramkan dan tak seorang pun berani memasuki guha itu tanpa panggilan Thian-te Tok-ong yang jarang pula keluar dari dalam guha. Makanan dan minuman untuknya dikirim setiap hari oleh seorang murid Thian-li-pang, akan tetapi itu pun hanya diletakkan di atas batu dan di ujung depan guha.
Yo Han adalah seorang anak yang jujur dan tidak pernah berprasangka buruk terhadap siapapun juga, walaupun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak.
Dia peka rasa dan cerdik sekali, namun karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu "tarian" dan "senam" kepadanya, dia pun mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak mempunyai prasangka bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!
Di lain pihak, Thian-te Tok-ong adalah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya merupakan seorang datuk sesat yang amat ditakuti orang. Dia bukan saja ahli silat, akan tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun). Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pendekar sakti, dia lalu mengundurkan diri dan untuk melindungi dirinya, dia bersembunyi di balik sebuah perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang. Perkumpulan itu maju pesat berkat kepandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, dia menyerahkan kepengurusan Thian-li-pang kepada sutenya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat juga amat lihai, tentu saja masih jauh di bawah tingkat suhengnya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri dan bertapa di dalam guha itu.
Setelah Yo Han berada setahun di dalam guha itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan tentang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai membuka rahasia diri pribadinya. Dan Yo Han juga merasa sayang kepada gurunya ini karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang hidupnya tidak berbahagia, yang, kesepian dan, agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.
Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han mendengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan, saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-pang. Dan satu ciri khas Thian-li-pang adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu, anti penjajahan! Hal ini sebetulnya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama sekali bukan, melainkan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu. Pernah dahulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan! Sejak itu, dia pun bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah Mancu. Tentu saja kepada Yo Han, kakek ini hanya mengemukakan bahwa perkumpulan Thian-li-pang adalah perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, yang bercita-cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dia mengharapkan anak yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya dan kelak menjadi pemimpin Thian-li-pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.
Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya sudah empat belas tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih "menari", dia dipanggil menghadap gurunya.
Sambil berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar. Kakek itu memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan berlekuk.
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergantung di belakang punggung. Alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan lembut.
"Yo Han, tahukah engkau sudah berapa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"
"Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."
"Benar, dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh kemajuan pesat, dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang kaulatih selama ini. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kuperintahkan!"
Yo Han memang amat menyayang dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ bersikap amat baik kepadanya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk melakukan senam seperti yang diajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan dan Im-yang-kun. Mulailah dia bergerak setelah mendengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia mengangkat lengan kanan ke atas, melingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar perlahan saling bertemu seperti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik dan menahan napas, kemudian dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke bawah seperti menolak dengan pengerahan tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah gerakan dari Thai-kek-koan. Kemudian gerakan itu disambung dengan menjulurkan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan agak ke atas, jari-jari menunjuk langit, lalu siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang, dilanjutkan dengan gerakan memutar tangan, telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas seperti orang menyodorkan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan "Menghaturkan Anggur Kepada Dewata".
"Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenagamu berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.
Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak dan dia pun mengerahkan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya itu menggembung besar sekali, seperti punuk onta saja!
"Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Buddha!" kata gurunya.
Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh tanah, kedua tangan merangkap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!
Thian-te Tok-ong memberi aba-aba terus dan latihan "senam" ini sungguh amat mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia empat belas tahun itu dapat memindahkan gumpalan "punuk" yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher! Yo Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa sin-kang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!
"Sekarang kaulihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan? Nah, batu, itu mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada telapak tangan kirimu dan mendorongnya ke arah batu itu dengan pengerahan tekad untuk memecahkan gumpalan batu yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"
Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi karena yang harus diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua bagian tubuh itu ke arah telapak tangan kirinya, dan dengan kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu menonjol di dinding itu. Jarak antara tangannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak menyadari bahwa dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat dan terdengar suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding menonjol itu!
"Brakkkk!" Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya bahwa gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia menoleh kepada gurunya ketika mendengar gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.
"Suhu! Apa yang terjadi? Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.
"Heh-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan batu pun akan hancur terkena sambatan angin pukulan tanganmu."
"Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.
"Hushh, siapa suruh kau memukul orang? Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat, bukan untuk memukul orang. Tadi pun hanya untuk mengetahui sampai di mana kemajuan latihanmu. Apa kaukira aku ingin muridku menjadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan mengira yang bukan-bukan. Sekarang sudah kulihat kemajuan ilmu senammu, mari kulihat kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai kembali baju atasmu."
Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa dalam usia empat belas tahun itu, tubuhnya telah menjadi atletis dan indah sekali, seperti tubuh seorang dewasa yang kuat.
"Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, disambit bagaimanapun sudah pasti akan mampu mengelak dan tidak akan dapat disambit. Nah, engkau mulailah."
Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lalu membuat gerakan-gerakan loncatan ke sana-sini, kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk, pergelangan tangan ditekuk dan kedua kakinya agak merendah, meloncat ke sana-sini, bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan,
Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya, kadang meloncat ke atas, kadang bergulingan, gerakannya gesit, lincah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam. Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun sungguh mengagumkan. Yo Han dapat mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi sangat tajam dan dia sudah dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai tubuhnya!
"Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"
Yo Han mentaati dan tanpa dia sadari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar harimau dan gerakannya amat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti harimau dan, andaikata dia mengenakan pakaian bulu harimau, tentu orang akan mengira dia seekor harimau sungguh!
Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han. Yang agaknya juga baru dikenal atau diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang sudah penuh pengalaman hidup ini pun tidak tahu mengapa ada hal mujijat terdapat dalam diri anak itu. Kalau dia mengajarkan suatu ilmu silat dengan dalih ilmu tari atau senam, dia mengajarkan gerakan silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh. Akan tetapi, dia melihat keanehan. Kalau Yo Han sudah memainkan tari monyet misalnya, dia melihat anak itu seolah-olah bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian wajar, tidak dibuat, tidak tiruan, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan manusia, kecuali dilakukan monyet aseli. Demikian pula gerakan harimau. Kalau anak itu sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya presis harimau, bahkan gerakan mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan sepasang matanya juga mencorong seperti mata harimau! Ini sungguh ajaib dan kadang-kadang seorang datuk besar seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya ini?
"Sekarang pelajaran yang paling akhir. Gerakan binatang cecak merayap itu. Yang paling sukar dan paling baru. Jangan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah, akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."
"Teecu, biarpun tidak tahu apa maksudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak, telah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"
"He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tidak tahu gunanya. Selain dapat menyehatkan tubuhmu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja. Suatu hari engkau tidak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat keluar tidak mungkin, lalu apa yang akan kaulakukan? Apakah engkau akan mati kelaparan di dalam lubang itu kalau tidak ada orang mendengar teriakanmu minta tolong? Nah kalau engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"
Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti.
"Baik, Suhu. Teecu akan mencobanya sekarang." Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia duduk bersila, mengatur pernapasan, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi berkerotokan, kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding guha dan merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu.
Dan dia pun dapat merayap seperti seekor cecak ke atas dan turun ke seberang dinding yang sana! Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya membasahi seluruh tubuh karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau memang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang yang terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggunakan kaki tangannya untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"
Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai kekerasan hati yang mengagumkan dan pantang mundur. Apalagi dia memang patuh kepada gurunya yang dianggapnya amat menyayangnya.
"Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri memasang kuda-kuda di tengah ruangan guha itu. Dia tahu bahwa kalau tadi suhunya menghujankan sambitan batu-batu kecil, kini gurunya hendak menggunakan segala macam ranting untuk menyambitnya seperti hujan anak panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga sedapat mungkin harus bisa menangkap sebanyaknya.
"Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan kedua tangannya dan puluhan batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han.
Pemuda remaja ini bergerak seperti seekor lutung, kaki tangannya bergerak dan bukan hanya kedua tangannya saja yang mampu menangkis atau menangkap ranting, bahkan kedua kaki telanjang itu pun berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.
Akan tetapi, ketika gurunya menghentikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri bersila di atas lantai guha, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah dan bengkak-bengkak membiru!
"Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan keluhan.
Kakek itu menghampiri, langkahnye sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali.
Akan tetapi matanya mencorong aneh dan berulang kali dia menggeleng kepala.
"Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tak peduli bagaimana tinggi ilmunya saat ini dia sudah akan menjadi kaku dan mampus?"
Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar