Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 19

Si Tangan Sakti Jilid 19

19

Siangkoan Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua Thian-li-pang itu lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya. Dia akan melihat keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.
“Nona Cu, maafkan sikapku tadi.” Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.
“Tidak mengapa, Pangcu, hanya kesalahpahaman saja.” katanya.
Kini Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai.
Ketika dia melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah pucat dan mata ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka ketakutan dan maklum bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka.
Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.
Sementara itu, Seng Bu merasa senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata, sikapnya sudah pulih ramah dan sopan.
“Nona Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona menerima undanganku untuk berkunjung ke Thianli-pang bersama Siangkoan Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih luas.”
Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu menundukkan Siangkoan Kok, pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng Bu, mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Paobeng-pai dan anak buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya.
Akan tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama mereka.
“Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuanku, akan tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu. Memang engkau benar, tanpa kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada, perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan menyusul segera berkunjung ke
sana.”
Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi lebih dahulu. Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung memandang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang malang melintang.
Dia mengerutkan alisnya. Terpaksa dia membunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng Bu. Kini hatinya panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah bangsawan tinggi. Bagaimana mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapapun lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat? Tidak, dia harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu.
Dia akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di tempat itu.
***
Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya, memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ.
Selama bertahun-tahun dia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa, kini dia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja!
Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah, seharusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak. Dia harus mulai dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap daripada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai.
Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai. Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggap seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang memiliki kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutam Eng Eng. Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng telah lari, dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah.
Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.
“Aku tidak boleh putus asa,” bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. “Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi.”
Kalau saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Kalau Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.
Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walaupun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tidak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang manapun.
Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang, maka Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Biarpun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun.
Akan tetapi, biarpun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah ladang di daerah itu amat subur, dan bahwa kepala dusunnya kaya.
So-chung-cu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki halaman rumah mereka.
Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?
Kini mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang kepada tamu itu. Karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andaikata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.
“Apakah engkau kepala dusun di sini?” tiba-tiba tamu itu mendahului tuan rumah.
Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, juga sikapnya tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya. Akan tetapi, So-chung-cu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk.
“Benar, saya kepala dusun di sini. Siapakah Saudara dan dari mana hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?”
Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci.
Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.
“Saya orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini.” kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan. Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut.
Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak memperkenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak minta diterima!
“Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Akan tetapi setiap orang tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, agar kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, tiga rumah dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!” kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.
Akan tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
“Lurah So, tidak perlu banyak cakap lagi. Sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak, sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayani wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!” berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu. Dia bukan seorang mata keranjang, akan tetapi dia ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau dia pernah memaksa mendiang Tio Sui Lan, muridnya karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan yang pada saat itu paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa. Sebelum itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain karena bukan kepada wanita cantiklah curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok, melainkan kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!
Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu.
Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.
“Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!” perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok. Lima orang itu menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biarpun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.
“Hayo engkau cepat pergi dari sini!” kata seorang penjaga.
“Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!” bentak orang kedua.
Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek.
“Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya! Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, terlepas dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.
Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Tangan kirinya, dengan jari terbuka menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.
“Krekkk!” Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang penjaga itu terkejut dan mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak dan lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.
“Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?” bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
“Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So sekeluarganya, dan membakar rumah ini. Kalau ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!” Dia melepaskan lagi cengkeramannya dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur, kemudian dia membungkuk dan memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
“Maafkan kami.... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Taihiap (Pendekar Besar).”
“Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!”
“Silakan, Taihiap.... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!”
Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram tamu aneh itu.
Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri kepada Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.
***
Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, melainkan Yo Han! Dan ia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan! Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu amat nyaman, apalagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.
“Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han.” Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.
Ciang Hun mengerutkan alisnya.
“Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?”
Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak dia terpukul. Sebaiknya berterus terang, pikir gadis itu, daripada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.
“Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja.”
Ciang Hun yang sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali telah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han, membuat dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu, untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya,
“Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona.... eh, Siauw-moi?”
“Hemmm, orang tuaku mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan sejak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!”
Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tidak mengurangi kecantikannya.
“Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan besar, engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu....”
“Tidak peduli bagaimanapun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku ingin menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko....”
“Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?” Ciang Hun bertanya, tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya. Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.
“Dia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormatinya. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu....?”
“Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya.”
“Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!” kata Ciang Hun penuh semangat. Dia memang berjiwa pendekar. Biarpun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li takkan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, namun dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apalagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri! Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimanapun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu, menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Saorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.
“Benarkah, Twako? Aih, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!”
Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kanakan!
“Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba.”
“Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako.”
Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat, akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja dan cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri. akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan, Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan, suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.
“Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini....”
Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan,
“Tapi.... Ibu.... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu....?”
Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika di dalam cuaca yang sudah remang-remang itu mendadak muncul dua bayangan orang. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadia cantik bersama seorang pemuda tampan.
“Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan mendengar percakapan kalian. Kenapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?”
Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata,
“Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini.”
“Hemmm, apakah orang itu perampok dan banyak temannya?” tanya Sian Li, penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala.
“Dia hanya seorang diri, dan agaknya tidak seperti perampok, pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ah, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya....”
“Siauw-moi, mari kita ke sana!” kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.“Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!” kata Sian Li. Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah menjadi gelap ketika mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu kini mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tak seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun, Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut, Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberitahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebeah belakang. Dan mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian, Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biarpun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja! Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang biarpun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, Juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Ia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng. Ketika Yo Han tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cicinya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim. Ketika Yo Han berkunjung ke sana nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang ini nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walaupun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena sejak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah! Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa penasaran karena belum mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.
Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa penasaran. Ia merasa bahwa ia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada suatu hari, ia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa ia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusiai
Akan tetapi, ia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan durun. Dan lebih dari itu, ia pun mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan yang tidak dipasangi lampu walaupun senja telah mendatang.
Karena merasa heran dan penasaran ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu.
“Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat, aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, akan kuberi pengganti kerugian!”
Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar jawaban seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu.
“Nona, maafkan kami.... tempat kami penuh sesak.... eh, kalau Nona ingin bermalam.... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini.”
Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar dibandingkan rumah-rumah lain, dan hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak.
Ketika ia memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.
“Nona mencari siapakah?” seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang temannya nampak ketakutan.
“Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini.”
---lanjut ke jilid 20---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar