Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 54

Petualang Asmara Jilid 054

<--kembali

Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,

“Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.”

Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.

Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak, “Haiii, ada orangnyakah di sini?”

Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, “Tuan Muda hendak memesan apakah?”

Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, “Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.”

Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, “Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.”

“Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.”

Biarpun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya, “Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main.”

“Seperti dewa! Guruku itu, biarpun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan guha pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi-i-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari guha dan turun ke dunia ramai.”

Marcus mengangguk-angguk. “Dan, tiga orang susiokmu itu siapakah, mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?”

“Mereka dahulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Kepandaian mereka hebat sebagai adik-adik seperguruan guruku, dan tentu dengan secara licik, dengan Thi-khi-i-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka selama belasan tahun guruku bersamadhi mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi-i-beng.”

Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang tak pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supeknya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang perajurit segera memasuki warung itu dan menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.

“Heh-heh-heh, tak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat,” kata kakek yang disebut Lo-mo tadi, kemudian bersama Marcus ia menemui komandan pasukan. Komandan pasukan memang tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.

“Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang aseli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini.”

“Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, para pedagang di Teluk Pohai, selalu dengan senang hati akan membantu pemerintah.” Jawab Marcus dan hati komandan itu makin senang, apalagi setelah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggauta pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.

Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun memperoleh seekor kuda masing-masing. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula.

Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia tertarik sekali dan ingin dihadapkan Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan orang-orang ambisius yang gila uang ini.

Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Pura-pura meronta akan tetapi punggungnya ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para perajurit juga menodongnya.

“Kenapa aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?” Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara.

“Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Katakan di mana kau menyimpan yang aseli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!”

Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, memandang kakek itu dan bertanya, “Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?”

“Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakat Beracun)!”

“Hemm, aku tidak mengenalmu.”

“Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu.”

“Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun.”

“Bohong!”

“Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak.”

Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak perajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik, dan tentu saja tidak ada selembar rambut pun di hatinya seperti kepala botaknya, untuk menyerahkan bokor emas yang aseli kepada Panglima The Hoo! Kalau sampai dia berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.

Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya dan terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu.

Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat di sebuah hutan. Mereka semua telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk dan semua merasa lelah. Setelah menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena biarpun dia dibelenggu kaki tangan dan tubuhnya pada sebatang pohon namun di waktu makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para perajurit itu pergi tidur di bawah pohon-pohon. Adapun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus, yang merasa bahwa Kun Liong takkan mampu berkutik lagi karena selain kedua tangannya tergantung dengan belenggu di batang pohon, kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan kedua kaki tangannya, mereka lalu tidur juga bersama komandan pasukan, di dalam sebuah tenda yang didirian secara darurat. Seperti biasa, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para perajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di manapun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan bekerja paling berat!

Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!

Hawa amat dingin di malam itu dan api unggun dibuat di beberapa tempat untuk memperoleh penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah malam, Kun Liong melihat berkelebatnya bayangan yang cepat sekali menyelinap di antara pepohonan, makin lama makin dekat, kemudian dengan gerakan yang amat mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat dekat seseorang tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap berjongkok, yang bersandar pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong.

Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang wanita yang pakaiannya seperti nikouw, memakai kerudung kepala, semua pakaian berwarna putih. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah waiah orang itu. Wajah seorang dara masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya! Alisnya melengkung seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung, akan tetapi bibirnya penuh kemerahan, tubuhnya ramping dan biarpun pakaiannya kebesaran akan tetapi belum dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh yang penuh lekuk-lengkung indah sekali. Seorang dara yang benar-benar cantik jelita, akan tetapi anehnya menjadi nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti kepalanya sendiri, sungguhpun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih!

“Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?” tanya Kun Liong.

“Sssttt...!” Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri. Dengan langkah ringan sekali dia meloncat ke depan pemuda itu dan dengan gerakan cekatan, jari-jari tangan yang halus lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis, menyulam atau mengobati orang terluka itu sekali renggut saja telah mematahkan semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong! Kembali hal ini merupakan demonstrasi sin-kang yang amat kuat di samping gin-kangnya tadi yang membuat dia bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok lumpuh.

“Aihhh... kau kenapa...?”

Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian. “Aku... agaknya aku pernah mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya? Wajahmu yang cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam mimpi naik ke sorga...”

“Hushhh!” Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. “Kau kenapa?”

“Tertotok pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki tanganku.”

Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tangan yang halus itu menotok beberapa kali di kedua pundak di kedua pinggang kanan kiri dan seketika Kun Liong dapat bergerak lagi. Dia meloncat berdiri, menghadapi nikouw itu dan berkata, “Kau hebat! Kau luar biasa sekali, Nona... eh, Suthai!”

“Dan kau tolol sekali membiarkan dirimu ditawan oleh mereka, Tuan... eh, Hwesio!”

“Wah, aku bukan hwesio!”

“Kau pun mengatakan aku nikouw!”

“Kan pakaianmu pakaian nikouw dan aku berani bertaruh bahwa kepalamu itu tentu gundul halus dan bersih sekali.”

“Kau juga gundul.”

“Tapi aku bukan hwesio, aku Yap Kun Liong orang biasa, orang sialan dangkalan yang selalu bernasib malang, akan tetapi juga orang berbintang terang karena selalu tertolong wanita-wanita cantik!”

“Engkaii gundul tetapi bukan hwesio, apa kaukira kalau aku berpakaian nikouw dan gundul aku lalu seorang nikouw aseli?”

“Eh, eh! Apa ada nikouw palsu?”

“Tentu saja ada!”

“Mana?”

“Ini, yang berdiri di depanmu!”

Keduanya saling pandang dan perbantahan itu serasa lucu bagi mereka sehingga mereka tertawa kecil. Kun Liong masih celangap tertawa tapi segera suara ketawanya terhenti dan dia masih celangap memandang wajah dara itu. Dara itu tersenyum simpul, cukup untuk memperlihatkan sedikit kilatan gigi dan cukup untuk menciptakan dua lesung pipit di kanan kiri pipinya. Manis sekali! Manis dan jelita membuat Kun Liong terpesona dan bengong terlongong karena dia harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang dara secantik ini, belum pernah melihat wajah seperti itu, tiada cacatnya baginya, sempurna dan... dan... sukar dia mengatakan, pendeknya, tidak ada keduanya di dunia ini!

“Kenapa kita berbantahan tidak karuan? Hayo cepat ikut denganku. Kita harus cepat pergi dari sini.”

“Kenapa? Aku tidak takut! Dan terus terang saja, aku memang sengaja membiarkan diriku ditangkap agar dibawa ke depan Panglima The Hoo yang sudah kukenal baik. Aku tentu akan dibebaskan dan...”

“Bodoh! Kaukira aku tidak tahu itu semua? Sudah semenjak kau ditangkap aku mengintai dan membayangimu. Akan tetapi jangan mengira kau akan dibawa ke sana, kau akan disiksa dan dipaksa mengaku di mana adanya bokor, kemudian setelah bokor terdapat, kau akan dibunuh.”

“Tak mungkin, pasukan itu adalah pasukan pemerintah...”

“Tapi kau tidak kenal siapa itu, Tok-jiauw Lo-mo. Gurunya... hemmm, lihai bukan main. Dan pemuda asing itu agaknya sekutunya. Mari kita pergi...”

Kun Liong terkejut. “Tidak, aku akan menemui mereka. Akan kutanya secara terang-terangan mengapa mereka hendak mengkhianati Panglima The Hoo. Mereka harus dihajar dan kalau begitu, harus ditangkap dan dihukum!” Setelah berkata demikian, Kun Liong malah lari ke tenda dan berteriak-teriak, “Lo-mo setan tua, hayo ke sini kau bersama Marcus itu! Kalian mau berkhianat, ya?” Tanpa mempedulikan lagi kepada nikouw muda itu yang membanting kaki gemas dan meloncat pergi ke dalam gelap, Kun Liong terus berteriak-teriak dengan penuh kemarahan.

Segera terjadi geger di tempat itu. Para perajurit terbangun, kecuali dua belas orang yang tertotok, dan komandan pasukan bersama Marcus dan Tok-jiauw Lo-mo juga berlari mendatangi. Melihat pemuda gundul itu telah bebas, belenggunya terputus semua dan dua belas orang penjaganya tertotok semua tak mampu bergerak, mereka menjadi terkejut dan semua orang sudah mengeluarkan senjata, siap untuk mengeroyok.

“Hai, komandan pasukan. Jangan kau percaya kepada dua orang ini!” Kun Liong menudingkan telunjunya ke arah Lo-mo dan Marcus. “Mereka ini hendak berkhianat. Mereka tidak akan membawaku kepada Panglima The Hoo, melainkan hendak menculikku dan mungkin membunuh kalian semua. Hayo tangkap mereka dan kita bersama pergi menghadap Panglima The Hoo, untuk minta keadilan!”

“Heh-heh-heh, bocah gundul kalau kau tidak tolol tentu kepalamu terisi otak yang miring!” Tok-jiauw Lo-mo berkata nyaring, “Aku yang telah menangkapmu, kalau aku hendak berkhianat apa aku memberi kabar kepada komandan? Hayo Ciangkun, kerahkan orang-orangmu menangkap kembali tawanan gila yang berbahaya ini!”

Sang Komandan tentu saja lebih percaya kepada Lo-mo, apalagi kepada Marcus yang sudah membagi-bagi uang emas, maka dia memberi aba-aba dan serentak Kun Liong diterjang dari seluruh penjuru!

“Heiii, orang-orang bodoh...! Kalian ditipu setaan tua itu... wah, celaka ini!” Kun Liong terpaksa mengelak ke sana sini dan mendorong-dorong dengan kedua tangannya. Robohlah belasan orang oleh angin dorongan kedua tangan, akan tetapi mereka bangkit lagi dan lebih banyak yang mengeroyoknya karena ketika mereka terbanting, mereka tidak mengalami luka apa-apa.

Marcus sudah mengeluarkan pistolnya, akan tetapi tidak sempat menembak karena Kun Liong “terlindung” oleh demikian banyak pengeroyoknya. Tok-jiauw Lo-mo sudah menggerakkan tongkat pendeknya yang berujung cakar setan, lalu maju menerjang pula.

Kun Liong memang tidak suka berkelahi, akan tetapi dikeroyok seperti itu tentu saja dia harus mempertahankan diri dan menghalau lawan tanpa melukainya. Akan tetapi ketika Lo-mo maju, dia terkejut dan hampir saja lehernya kena dicengkeram oleh cakar setan kalau dia tidak cepat-cepat menggulingkan diri dan bergulingan sambil menarik banyak kaki sehingga lima orang perajurit pengeroyoknya jatuh tumpang tindih!

“Tolol! Tolol!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Marcus roboh tak bangkit lagi karena kena hantam kepalanya oleh tamparan tangan halus nikouw muda. Beberapa orang terpelanting dan ada yang terlempar ke atas pohon dilontarkan oleh tangan kecil itu, nikouw itu mengamuk menghampiri Kun Liong dan di tangannya terdapat sebuah saputangan putih yang digerakkan secara istimewa lihainya.

“Siuttt...!” Ujung saputangan putih itu menangkap cakar setan sehingga serangannya terhadap Kun Liong terhalang. Kakek tinggi kurus itu terkejut sekali, membentak. “Siapa kau!” Akan tetapi nikouw muda itu tidak peduli, cepat melepaskan libatan saputangannya dan menyerang kakek itu dengan tamparan tangan kirinya. Pukulannya seperti pukulan biasa saja, seperti seorang wanita menampar muka seorang pria yang hendak berkurang ajar kepadanya, namun tamparan itu cepat dan mendatangkan angin tenaga sin-kang yang kuat, juga datangnya tidak langsung melainkan membentuk lingkaran.

“Aihhh...!” Lo-mo terkejut dan meloncat ke belakang lalu membalas dengan gerakan tongkat cakar setannya, mengarah muka nikouw itu.

“Hemm, manusia ganas!” Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung saputangannya meledak mengenai pundak kakek itu.

“Nikouw keparat!” Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas. Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung saputangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong.

“Hayo pergi!”

Kalau Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia pun sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya perajurit, dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia lari cepat sekali diseret
oleh nikouw muda yang ternyata memiliki gin-kang istimewa, Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan dan biarpun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri!

Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata, “Aduhhh... berhenti... aduhh... napasku... senin kamis... huh-huh-huhhh...”

Nikouw itu melepaskan pegangannya dan mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang kepada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya.

“Aih, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi.”

“Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!”

Nikouw itu cemberut dan heranlah Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah makin manis?

“Kausamakan aku dengan kuda?”

“Ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat-po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li.”

“Tidak sudi! Biarpun disamakan dengan kuda dewa sekalipun aku tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!” Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis daripada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, yang satu lebih menarik dan manis daripada yang lain!

“Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya.”

“Itu pun menghina namanya!”

“Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji.”

“Siapa bilang. Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari kuda!”

“Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia.”

“Ngawur, aku hanya seorang nikouw.”

“Nikouw palsu.”

“Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw...” Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan!

“Aihhh... Nona yang baik, kaumaafkan aku...” Kun Liong berlutut di depan nikouw itu.

“Heii, apa kau gila? Apa yang kaulakukan ini?” Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali.

“Kaukira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung.”

“Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara tentang diriku.”

“Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah di mana karena kita tidak pernah saling bertemu. Mungkin dalam mimpi aku mendengar suaramu...”

“Bodoh, biarpun dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku.”

lanjut ke Jilid 055-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar