Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 53

Petualang Asmara Jilid 053

<--kembali

Sementara itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru. Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong menggunakan ilmu gin-kangnya, selalu dapat mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jauh menggunakan sin-kang. Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, menghadapi Legaspi sekalipun dia tidak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andaikata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sin-kangnya yang hebat dan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan.

Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biarpun hanya bertangan kosong. Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tihang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu, karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar.

Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dahsyat?

Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sin-kangnya. “Tarrr!” cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun LiOng mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk.

“Augghh!” Legaspi berteriak dan terpaksa melepaskan gagang cambuk dan menarik tangannya. Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dadanya menggunakan Thi-khi-i-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dadanya, terus saja sin-kang dari tubuh Legaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat ril dek, di pinggir kapal.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa babwa tangannya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawan dari Thi-khi-i-beng dan mendorongnya ke belakang.

Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, melalui ril dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak sengaja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapapun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!

“Gara-gara benda tertutuk ini!” Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban.

“Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!” kata Li Hwa.

“Aku tidak membunuhnya dan...”

“Hem, mengapa mengobrol saja?” teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat. “Lebib balk lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!”

Kun Liong dan Li Hwa segera membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang hebat itu. Namun usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam, di lain bagian sudah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak.

KITA tinggalkan dulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar. Toat-beng Hoat-su sudah terengah-engah, keringat memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya sekarang setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.

“Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!” kata The Hoo sambil mendesak lawan. “Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati.”

Namun Toat-beng Hoat-su tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Namun lawannya, Panglima The Hoo adalah scorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sin-kang yang mujijat. Dari kedua tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoat-su terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung. Hal ini membuat Toat-beng Hoat-su marah sekali. Sambil berteriak keras dia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Namun, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya, dan tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan.

“Brett-brett-brett...!” Betapa kagetnya hati Toat-beng Hoat-su melihat bahwa jubahnya, senjata yang amat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.

Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya.

“Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha kalau begitu biarlah aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!” Bantok Coa-ong tertawa mengejek ketika mendengar tadi Kun Liong menyebut lawannya ini “supek”.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong itu berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat. Datuk kaum sesat ini memang lihai sekali, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur. Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur?mundur.

“Mampuslah! Ha?ha!” Ban?tok Coa?ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.

Menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut, maka dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sin?kang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk dan tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan schingga jari?jari tangan mereka saling mencengkeram!

“Lepaskan pedang!” Keng Hong membentak dan sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar kesamping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Kini kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya mengerahkan tenaga.

Ban-tok Coa-ong mengandalkan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sin-kangnya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar itu. Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah ia kini akan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sin-kangnya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.

“Le... lepaskan aku...!” katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sin-kangnya terus membanjir keluar.

“Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?” terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan kemarahannya mendengar berita itu.

“Para datuk kaum sesat... kecuali aku... eh, Toat-beng Hoat-su, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kaulepaskan aku...!”

“Di mana dibunuhnya mereka?”

“Di... di Tai-goan... auggghhhh!” Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.

“Desss... aduhhh...!” Tubuh Toat-beng Hoat-su juga terpelanting dan tewas seketika. Dedanya remuk terkena pukulan mujijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat-sin-ciang-hwat.

“Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, mengapa wajahmu murung, Cia-sicu?” Panglima itu bertanya heran.

“Hamba... baru saja mendengar dari dia...” Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong “...bahwa sahabat hamba Yap Cong San dan isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan.” Tak terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.

“Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja.” Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang mempersiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. “Ada kebakaran di sana...!” teriaknya.

Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu, akan tetapi begitu melihat mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, sedangkan lawannya adalah seorang pemuda gundul.

“Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi.” kata Keng Hong.

“Akan tetapi kapal itu terbakar. “Dan ehhh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?”

Keng Hong juga melibat ini. “Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!”

“Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!” Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, mereka tidak mungkin dapat terlalu dekat, karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan kalau mengenai kapal atau layarnya, bisa berbahaya. Di samping lain, juga Perahu Ikan Duyung mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu.

Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Namun api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam!

Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh kekhawatiran. “Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!”

Keng Hong mengerahkan khi-kangnya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main. “Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!”

Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. “Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!”

Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung.

“Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!”

“Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan meninggalkan kapalnya. Lebih mati bersama tenggelamnya kapal daripada meninggalkan kapal yang akan tenggelam!” Jawaban ini penuh semangat, dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.

“Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil.”

Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, kemudian menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, “Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan.”

“Tidak...!” Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. “Kalau kau tidak pergi, aku tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!”

“Li Hwa...”

“Yuan...”

Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak diduganya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!

“Apakah kau telah gila, Yuan?”

“Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga daripada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka.”

“Yuan... kau hebat...!” Li Hwa mendekap makin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya.

“Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?”

Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Senyum mulutnya tapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya. “Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, kalau kau hendak memaksa seorang dara meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal bersama dia, kaupergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau...”

“Yuan... Li Hwa...”

Kapal makin hebat kebakarannya dan kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi tenggelam.

“Kun Liong...!” terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.

“Li Hwa...!” tersusul suara Panglima The Hoo.

Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik. “Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!” Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas. Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.

Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya, Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar, kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan, di antara api dan air, di pinggir ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian. Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil!

“Apa yang terjadi...?” Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.

“Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya...”

“Li Hwa...?” Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan, Li Hwa seperti puterinya sendiri. Kalau dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan, akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang.

“Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang. Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!” Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring dan semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.

Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam!

Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.

“Li Hwa...!”

“Yuan...!”

Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seolah-olah merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di pelaminan. Tubuh mereka mulai ditelan air perlahan-lahan, kemudian lenyap. Sunyi senyap di kapal perang, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.

Di tempat lain, di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut dan bersembahyang kepada Tuhan untuk menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini, terdapat keharuan, kedukaan hebat, namun ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.

Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biarpun dia tidak dapat melihatnya, dia dapat membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja. Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Biarpun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus mAti dengan kekasihnya itu. Sedangkan Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal.

Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan agaknya supeknya ini akan bicara hal yang serius melihat wajahnya.

“Ada apakah, Supek?”

“Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku telah mendengar tentang ayah bundamu...” Sampai sini leher Keng Hong seperti dicekik.

Wajah Kun Liong seketika berubah dan kedukaan mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya. “Di mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?” Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata!

Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong berkata, “Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... sumoiku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu...” Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.

“Supek!” Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supeknya dan mengguncangkan keras-keras!

“Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat...”

Kun Liong terhuyung ke belakang, seolah-olah supeknya memukulnya dengan pukulan maut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya!

“Kun Liong... kasihan kau...” Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu.

Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar, menghiburnya dengan nasihat-nasihat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san.

Kun Liong juga meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya.

Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,

“Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.”

Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.

Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak, “Haiii, ada orangnyakah di sini?”

Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, “Tuan Muda hendak memesan apakah?”

Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, “Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.”

Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, “Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.”

“Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.”

lanjut ke Jilid 054-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar