Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 9

Pedang Kayu Harum Jilid 009

<--kembali

Kini Cui Im tidak menggeliat-geliat lagi seperti cacing kepanasan. Gadis itu masih terengah-engah dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang Keng Hong. Rambutnya yang terurai itu sebagian menutupi mukanya. Mukanya merah sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak terbuka lebih merah lagi, matanya memandang penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan terlalu sempit liangnya untuk jalan keluar pernapasan.

"Keng Hong..... Ah-hah..... Keng Hong........" Cui Im yang tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian menubruk pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang tidak ada artinya, kemudian tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng Hong.

Keng Hong Menjadi geli hatinya dan di luar kesadaranya sendiri, dia membiarkan semua perbuatan Cui Im. Ia teringat akan gurunya, teringat akan nasihat gurunya, dan timbul watak petualang yang memang terdapat dalam sudut hati setiapa orang manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal. Keng Hong tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi murid yang melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk nafsu berahi yang dirangsang oleh hawa racunnya sendiri. Cui Im sama sekali tidak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya. Bukan hanya dia sendiri menjadi korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong sendiri, di dalam hubungan mereka itu pun timbul pula daya sedot mujijat dalam tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im terkulai seperti orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput. Adapun Keng Hong yang sudah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja nongkrong di bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan dan segar, pandang matanya berbeda dari kemarin karena ini pandang matanya menjadi "masak". Keng Hong mulai lewat tengah malam tadi telah berubah dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar seperti diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat dari Sin-jiu Kiam-ong!

"Keng Hong....!" Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih, keluar dari mulut Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan. Kemudian dia bergidik, merasa betapa dinginnya hawa pagi dan agaknya baru disadarinya bahwa ia bertelanjang. Dengan malas Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian tiba-tiba ia meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke dekat Keng Hong yang masih enak-enak membesarkan api unggun.

"Keng Hong! Kau..... kau..... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu.....! Ah, sudah pagi... celaka, terlambat sudah.... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku.....!" Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher Keng Hong.

"Kau ini kenapa sih?" Keng Hong bertanya tak acuh.

"Kenapa? Kau masih enak-enakan saja? Racun itu..... engkau berada di ambang maut dan obat pemunah tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!"

Pemuda itu menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia tidak tertarik oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal wajah itu masih sama, dan mengertilah dia akan keterangan suhunya tentang perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu. Cinta sejati tidak mengenal cantik atau tidak, tidak mengenal bosan karena cintanya mendalam dan ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua fihak. Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang timbul karena dorongan nafsu, karena kecantikan yang amat dangkal, hanya sedalam kulit sehingga cinta nafsu ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan.

"Aku tidak akan mati."

"Apa? Dan racun itu.....? Racun ganas sekali!"

"Sudah kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im."

Gadis itu terbelalak dan tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin, seolah-olah lenyap cinta kasihnya kepadanya, padahal baru saja, setengah malam penuh, mereka bercinta kasih tak mengenal batas. Ia menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat segala-galanya, pikirnya. Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam harus ia akui bahwa belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Keng Hong ini. Ia segera menghampiri dan merangkul pundak Keng Hong.

"Syukurlah kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita telah.... telah menjadi suami isteri yang tidak syah! Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Aaahhhhh, kekasihku, kita saling mencintai, hidup berdua mati bersama, bukan? Mari kita pergi mencari peninggalan suhumu yang sakti....."

"Tidak! Kau pergilah, Cui Im.Sudah cukup agaknya aku mengalah terus dan menuruti semua perintahmu. Aku itdak menyesal karena terus terang saja, aku senang padamu. Akan tetapi jangan harap untuk dapat membujuk atau memaksa aku mencari pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga aku tidak mau. Pergilah!"

"Ihhhh....! keparat!" Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh berdebuk di atas tanah. "Heeeee.....? Ke.... kenapa....?" Gadis itu terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia seolah-olah kehilangan tenaga sinkangnya? Meloncat begitu saja ia terbanting roboh! Akan tetap kemarahannya membuat ia melupakan keadaan yang aneh ini dan ia sudah bangkit berdiri, lalu memaki.

"Kau laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Setelah menikmati tubuhku, kau mengusir aku pergi begitu saja!"

"Ingat, bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!"

"Jahanam.....!" Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong.

"Bukkk! Aiiihhh....!" Keng Hong masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im terlempar ke belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai memukul tadi, matanya terbelalak. Ia tadi merasa dalam pukulannya betapa tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung pemuda itu seperit dilindungi hawa yang amat kuat.

"Aku.... aku.... kenapa....?" Kembali Cui Im berseru heran dan penuh kengerian. "Keng Hong.... kauapakan aku.....?"

Keng Hong bangkit berdiri dan membalikan tubuh menghadapi gadis itu. "Cui Im, kau tahu aku tidak melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, adalah engkau yang selalu menggangguku."

"Aku.... tenaga sinkangku..... kosong dan kering.... tenagaku amat lemah....."

Keng Hong juga tidak mengerti mengapa, dan dia tidak peduli karena bukan dia yang menyebabkan gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dahulu di Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia telah menyedot tenaga Kiang Tojin dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar sinkang ditubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya. Keanehan yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi serangan sinkang yang kuat, secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa disengaja dan tanpa dapat dia dicegah. Karena sinkang dari Cui Im tidaklah sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong tidak terlalu merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu. Kini dia hanya merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa lelah.

Sementara itu, Cui Im juga sudah menekan keguncangan hatinya. Ia menghilangkan kebingungannya dengan anggapan bahwa sinkangnya sebagian besar lenyap karena pengaruh hawa beracun, yaitu racun perangsang yang entah bagaimana telah berpindah ke dalam dadanya ketika ia mencium mulut Keng Hong semalam. Ia kni menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan hawa dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam.

"Keng Hong, sungguhpun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat mengirim nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!"

Keng Hong memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu menghela napas panjang. "Sayang sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi, namun semua itu tidak ada artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat sinkangmu sudah lemah, kalau aku mempergunakan tenaga mana mungkin pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan menggunakan tenaga, dan biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum pernah menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu."

Cui Im membuat gerakan menusukan pedangnya, akan tetapi dengan tangan miring, jari-jari tangan Keng Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu hampir terlepas dari pegangan tangan Cui Im. Keng Hong lalu membungkuk dan memunggut sebuah ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan api unggun tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya, memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik daripada dia menggunakan pedang logam karena sifat kayi ini dan ringannya agak cocok dengan Pedang Kayu Harum.

"Nah, mari kita berlatih ilmu pedang," katanya, ranting dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah melingkari lehernya sendiri terus turun ditudingkan ke atas tanah. Inilah kuda-kuda atau gerakan pembukaan Siang-bhok Kiam-sut, dengan kedua kakinya tegak di kanan kiri, tangan kirinya mengikuti gerakan pedang membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan hulu hati dalam keadaan miring seperti orang menyembah dengan satu tangan.

Cui Im maklum akan kelihaiannya dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan. Dia sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang Tojin yang lihai bersama beberapa orang tosu Kun-lun-pai yang lain, merasa ngeri dan jerih untuk beradu kekuatan sinkang. Akan tetapi ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat, maka ia pikir bahwa kalau bermain pedang, apalagi pemuda itu hanya bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Ia sudah menggunakan racun, sudah pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun semua itu tidak berhasil menundukan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya!

Berpikir demikian, Cui Im lalu berteriak keras dan menerjang maju dengan dahsyat sekalli, mengirim jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu kepandaian Cui Im sudah amat tinggi, apalagi ilmu pedangnya, karena merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomer satu dalam si empat besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang amat cepat, sungguhpun sekarang tidak dapat dipergunakan karena sinkangnya sebagian besar telah "pindah" ke tubuh Keng Hong, ia juga memilliki ilmu pedang yang amat ganas.

Keng Hong bersikap berhati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini bermain pedang ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka kini ia cepat menggerakan rantingnya, digetarkan ujungnya dan menangkis dengan jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut.

"Ayaaaa.....!" Cui Im terkejut sekali karena begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang menggetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja ia melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah mundur.

Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin dalam hal ilmu silat dia kalah pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok-kiam adalah ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan sinkang dia menang jauh. Asal dia dapat menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah.

"Kau.... kau laki-laki keji!" Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya menerjang maju lagi mengirim tusukan dan bacokan bertubi-tubi. Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya. Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar ranting itu melindungi tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat. Namun, biarpun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih kaku dan pedang Siang-bhok Kiam tidak berada ditangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya!

Cui Im makin lama makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan dengan nekat ia memutar pedang lebih cepat lagi.Namun, makin cepat ia mengerakan pedang, makin banyak ia menambah tenaga, makin lelah dia dan pedangnya juga setiap kali terbentur ranting membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri. Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, mencabut keluar sehelai saputangan merah dan menggunakan saputangan itu menyeling serangan pedangnya, mengebutkannya ke arah Keng Hong.

Keng Hong maklum akan bahayanya saputangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat berbahaya. Melihat berkelebatnya saputangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada saputangan itu. Ia berhasil merobek saputangan dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan saputangan itu hanya pancingan belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadi disembunyikan dibalik saputangan. Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali dan melompat, namun terlambat. Ia telah menghisap asap hitam yang berbau hamis, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im menyambar, menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Tranggg.....!" Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im, akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin banyak asap hitam tersedot olehnya!

Cui Im menjadi girang sekali dan ia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya, disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.

"Singgggg..... tranggg....!" Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara, hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat.

"Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak kau lakukan itu?" Terdengar teguran halus dan ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian sutra putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutra putih panjang yang tadi dipergunakan secara luar biasa untuk merampas pedang di tangan Cui Im.

"Sumoi (adik perempuan seperguruan).....! Engkau.....??" teriak Cui Im dengan suara kaget dan jerih. Memang aneh kelihatanya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.

"Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!" Kata pula gadis baju putih itu dan sekali menggerakan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakan sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong bagaikan seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang masih pening dan mabuk itu dan sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu! Cui Im memandang dengan muka berubah merah penasaran ketika sumoinya mengeluarkan segulung sutera hitam dan mengikat kedua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat kedua tangan pemuda itu secara hali, gadis baju putih ini lalu memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.

"Sumoi kenapa kautawan dia? Dia itu....., punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun ia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoinya ini.

"Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.

"Karena dia punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."

"Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan sekarang ini, sungguh mengecewakan. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu berahi dan nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu."

"Aaahhhh....!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik aka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri....."

"Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."

"Tapi subo (ibu guru)....."

"Sudahlah!" Gadis baju putih itu membentak dan sucinya terdiam. Kemudian gadis baju putih itu mengerakan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu. Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri seorang wanita muda yang cantik dan di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Keempat wanita yang datang ini kesemuanya memakaian pakaian kuning dan di punggung mereka tampak gagang pedang.

"Masuklah dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi perintahnya kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda. Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, didudukan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya.

"Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. Berangkatlah!"

Empat orang itu mengangguk, wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi ia tidak banyak membantah lalu pindah duduk di depan, menjadi kusir. Adapun gadis baju putih itu kini duduk berhadapa dengan Keng Hong. Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang membedal sambil mengeluarkan suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu di atas jalan yang berbatu, dan guncanga-guncanga ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali.

Keng Hong semenjak tadi tidaklah pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi, dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im. Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada Cui Im sendiri dan amat ditaati sucinya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi matanya berkunang dan kabur pandangannya. Sekarang, setelah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu membuat pandangan matanya terang kembali, dia membuka mata memandang nona yang duduk anteng di depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah sepasang mata itu. Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening seperti air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu bersembunyilah sifat dingin yang menyeramkan! Mata itu agaknya dapat menangkap kesadaranya, akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seolah-olah dapat menembus segala yang berada di depannya.

Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tidak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita. Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu, rambutnya hitam sekali dan amat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya tampak sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah. Alis itu amat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tidak ada bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini dan bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit-apit sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum. Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya seperti gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar. Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini amat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya.... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguhpun pakaian sutera putih itu membungkusnya. Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia!

"Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"

Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya kalau dia menerima tamparan keras.

"Eh.... ohhh.... aku...." Ia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun tajam menembus dada.

"Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah seorang wanita murah seperti dia itu." Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta.

Keng Hong menghela napas panjang dan tak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.

"Jangan mencoba untuk mematahkan belenggu ," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain kau takan berhasil, juga kalau kau banyak tingkah, aku akan menyeretmu di belakang kereta."

Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak daripada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang seperti air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada. Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini telah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diama saja seperti seorang yang tidak mengenal budi.

"Nona...." Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya. Keng Hong bergidik. Gadis ini seperti arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah , melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilaatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!

"Nona.....!" Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan bergerak melirik pun tidak.

"Bledak..... dak..... dorrr.....!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.

"Heiiiii..... eh.....!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali, akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja! Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia ini sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.

"Nona....!"

Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir dan mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu, hendak menyatakan apakah napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi lengan nona itu.

"Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang keretakah?"

Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya. "Walah.....! Kau bikin kaget aku saja, Nona. hampir mati aku merasa kaget! Kusangka kau..... kau tidak bernapas lagi....."

"Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi-hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"

"Ohhh.....!" Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena makin lama makin kagum dan heran. Ia pernah mendengar dari suhunya akan ilmu Pi-khi-hoan-hiat ini, sebuah ilmu untuk selalu mengadakan pengontrolan tentang jalan darah dan yang berhubungan dengan sinkang, namun ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatihnya di dalam kereta yang berguncang-guncang! Biarpun hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh sejak tadi, namun suara ini jelas membayangkan kekaguman, dan hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang tentu saja sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, amat senang hatinya mendapat pujian.

"Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"

"Nona, aku she Cia Keng Hong bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu....."

"Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"

"Eh, aku..... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im...."

"Hemmmm, sudah jauh begitu ya hubunganmu dengan suci sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!

"Kumaksudkan.... nona Bhe Cui Im.... aku telah kautolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Akan tetapi, setelah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona menawan aku?"

"Heiii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hi-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek.

Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan aku dapat dirobohkan rayuan orang? Tidak semudah engkau aku dapat dipikat rayuan bocah ini, Suci!"

"Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam pelukan dan belaiannya, nanti...."

"Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah.

Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar ia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkangnya dan kini dia duduk diam tak bergerak seperti nona di depannya. Mulailah nona itu memandangnya, dan biarpun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, namun pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.

"Nona, jangan perhatikan omongan Cui.... eh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu Nona, melainkan hendak bertanya mengapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini menawanku."

"Ibuku yang menyuruh, aku hanya pelaksana," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku menolongmu. Kalau tidak ingin memenuhi perintah ibu biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli."
lanjut ke jilid 010

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar