Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 49

Pedang Kayu Harum Jilid 049

<--kembali

Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek denga kening berkerut, tidak senang hatinya harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah. Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertenu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apalagi tampak menonjol kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan membayangkan kehangatan dan kekuatan!

"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Eh, mengapa matamu....?"

Sim Lai Sek tersenyum setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, "saya tidak lagi dapat melihat Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit.... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."

Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tidak akan mendatangkan untung baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, melainkan Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya! Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,

"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?" Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut "siauw moi",. Menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.

Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya mebisikkan bahwa laki-laki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka akan tetapi demi Lai Sek, ia diam saja.

"Maaf, Paman Ang, saya lupa meperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."

"Tun... Tunanganmu...?" Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena dia benar-benar merasa kaget dan heran.

"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."

"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"

Lai Sek tersenyum, hatinya girang sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata, "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."

Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih, "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."

"Ah, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa girang sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kauperlukan?" Biarpun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.

"Kami berdua mohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membagun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha untuk menyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakilli kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."

“Eh, jadi kalian belum menikah, jadi..... eh, belum.... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali sungguhpun mata jalangnya sebagai seorang laki-laki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.

Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, menekan perasaan marahnya. Adapun Lai Sek lalu menjawab malu, "Belum, Paman. Kami belum menikah..."

"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal lebih dulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja kalau sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."

"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!" Lai Sek menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng.

Biauw Eng mengangkat mukanya dan bertemulah pandang mata mereka. Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja ia tidak menjadi gentar dan mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya?

Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Ia menganggap bahwa senyum itu merupakan "janji" dan "kode" dari si gadis bahwa dia telah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi. Dua orang pelayan wanita datang berlari dan Ang-taijin segera berkata,

"Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"

"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah! Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Sebagai seorang pembosan, penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya sebuah kamar yang besar yang tidak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apalagi di waktu malam.

Namun nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tidak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suainya itu adalah "biasa" bagi seorang pembesar.

Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, dan baru meninggalkan pemuda ini setelah pelayan meyakinkan hatinya bahwa seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Ia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam ia kagum sekalli menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.

Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek maupun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tidak enak dan dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri. "Ah, mana boleh, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."

Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi ia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya, dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.

Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu siap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi ia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukakan daun pintu. Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.

"Taijin mau ..... apakah....? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu ia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.

Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata, "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!!"

Biarpun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.

"Nah, baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauw-moi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajaku makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, dan kusuguhkan arak untukmu!"

"Taijin, ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"

"Heh heh heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm......hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh......kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah....!" Pembesar itu mendekat akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.

"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimanan aku sudi berbuat serong? Aku bukan perempuan macam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."

Ang Taijin tertawa. "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu aku lebih suka kepadaku daripada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya......!"

"Cukup!!" Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusuk kan jari-jari tangannya ke permukaan meja.

"Plongggg!!" Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.

"Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang,. Pergilah!"

"Aihhh.....kiranya engkau pandai silat. Hemm..tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tidak akan mengganggumu kalau engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andaikata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku , bukan? Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.

Biauw Eng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia berkata, "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"

Pembesar itu menghela napas dan pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin, ia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudia meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tangah.

Di ruangan ini, Ang Taijin bicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.

"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan ia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa denga kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.

"Mengapa mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya,"

"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka mendapatkan wanita denga kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm......!"

"Begini, Taijin....." Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu , berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, sedangkan pembesar itu mengerutkan kening, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.

Biauw Eng tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, ia tidak khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri. Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biarpun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena kedua matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya. Melihat hidangan yang masih panas dan ternyata merupakan masakan-masakan yang lezat , ia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak sambil kadang-kadang tersenyum mengenangkan sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.

Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang amat keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu berahinya.

Tiga malam berturut-turut setelah kejadian itu, Biauw Eng tidak perbah diganggu dan ia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jerih oleh ancamannya, maka ia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibukadari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.

"Celaka, Siocia.....celaka...... ah, mengerikan sekali....!"
"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.

"Sim-kongcu.....dia.....dia membunuh diri di kamarnya....!"

Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ ia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.

Mereka semua memandangnya ketika ia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung ia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang kini menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.

Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar telah tewas. Ia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan ia mengenal tulisan Lai Sek.

Eng-moi,

Aku maklum bahwa seorang pemuda tak berharga seperti aku hanya akan menjadi pengahlang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Maka, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.

Selamat tinggal, Sim Lai Sek

"Ah, Twako....!" Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan dan kedukaan hatinya. Ia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu. Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu. Jelas kini tampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Ia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Ia tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!

Cepat ia memeriksa luka di perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas! Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua tiga kali ia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisan, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi..... tiba-tiba wajahnya berubah. Tulisan yang berbunyi

"di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu" amat menarik perhatiannya. Lai Sek mengerti bahwa satu-satunya orang yang ia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatangkara yang miskin.

Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?

"Aduh...., Siauw-moi.... ah, kaihan sekali Lai Sek....! Ah, bagaimana bisa terjadi malapetaka ini...?" Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini ketika hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat ia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, memandang pembesar itu dengan mata basah akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya ia bertanya cepat,

"Taijin, aku ... Aku tidak mengerti.... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"

"Masa engkau tidak mengerti, Siauw-moi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah karena merasa takkan mapu membahagiakan engkau.... maka, sudahlah jangan berduka, Siauw-moi, di sini ada aku yang...." Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu mmenjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.

"Bagaimana engkau bisa mengetahui isi suratnya??" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.

"Aku... Aku sudah membacanya...." Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.

"Engkau baru datang bagaimana bisa mebacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, melainkan mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau.. pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semua ini, keparat!" Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.

"Jangan.... eh, tolooongg..!"

Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang, cepat menengahi dan berkata, "Nona, bersabarlah.... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin...."

"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikan!" Tangan kirinya menyambar dan ia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.

"Prokkk!" Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah dan pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika. Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.

“Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!" Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keaaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, adapun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.

Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang oleh si hidung bengkok sengaja di undang untuk menghadapi Biauw Eng. Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu meiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasihatnya.

Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin dan melemparkan mayatnya kepada mereka, seorang di antara mereka menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.

"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu?" Biauw Eng berseru, mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, kemudian sambil bercucuran air mata gadis ini mengamuk, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Adapun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan terjadi dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.

Dalam deretan tingkat para pengawal istana, pengawal pribadi rahasia tentu saja menduduki tingkat pertama, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Adapun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi dibandingkan dengan Biauw Eng, tentu saja mereka masih kalah jauh.

Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biarpun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-ciio Ngo-houw sehingga jumlah mayat di dalam kamar itu bertambah menjadi enam!

Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah menyerbu. Kota raja menjadi geger ketika mendengar bahwa seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.

Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi makin marah, akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika ia berkata,

"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu. Biauw Eng maklum bahwa untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang, amatlah berbahaya kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.

Apa yang dikatakan Biauw eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum ia meninggalkan kamar maut itu terjadilah. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu dan para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, akan tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini. Ruangan yang kuas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat menyeramkan, banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua pulah orang banyaknya!

Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka ia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada seorang pengeroyok dan begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang daripada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.

Tidak perlu lagi ia mengamuk, kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat ia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang makin banyak berdatangan itu.


lanjut ke Jilid 050-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar