Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 44

Pedang Kayu Harum Jilid 044

<--kembali

Keng Hong mengangkat muka memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang dia teringat. Ia adalah seorang di antara dua orang hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata,

"Ah, kiranya Locianpwe dari Siauw-li-pai yang berada di sini? Maaf, maaf....! Benar Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan...."

"Yang dulu kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan? Mengapa sekarang kau membelanya?"

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. "Ah, maaf, Locinpwe. Dahulu saya adalah seorang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak berdosa. Saya berani menanggungnya, aka harap Locianpwe sudi memaafkan apabila dia bersalah."

"Omitohud....! Kalau ada yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang pengalaman! Gadis yang kaubela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan sucinya... ... Si iblis betina itu telah membunuh suteku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya seperti itu, sucinya seperti itu mana bisa diharapkan dia ini seorang yang baik? Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, dia harus mati di tangan kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri, kalau engkau tidak bisa mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri suhumu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar keren dan berwibawa.

Keng Hong tersenyum sabar biarpun hatinya merasa penasaran sekali. "Locianpwe, bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang berdasarkan kasih yang luas? Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan, tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikannya hawa untuk kita isap, diberikannya sinar matahari untuk menghidupkan kita. Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapapun juga manusia maupun binatang, manusia yang disebut baik maupun yang jahat, yang berdosa maupun yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya daripada cinta kasihNya. Adakah matahari kehilangan sinarnya kalau menimpa tubuh orang-orang berdosa dan dianggap jahat? Adakah hawa menjadi berkurang manfaatnya kalau terisap oleh manusia yang dianggap berdosa? Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur menjadi berubah kebencian dan nafsu membunuh setelah Locinpwe bertemu dengan orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?"

Sejenak lima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak,

"Bocah! Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia? Kalau ada manusia jahat, kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, melainkan karena kita mengingat akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu, sehingga kita membunuh si jahat justeru berdasarkan cinta kasih kita kepada manusia!"

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak.

"Sungguh amat lucu alasan yang kaukemukakan itu, Locianpwe! Aku tidak percaya bahwa dalam pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang harus mati? Dari siapakah Locinpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan alasan demi untuk kasih. Mana mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan? Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi. Betapa munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan agar bersekutu dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ah, ha-ha-ha, benar ucapan suhu dahulu bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah sekumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi Locianpwe, apakah Ngo-wi memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa rabut? Ha-ha-ha!"

Tiba-tiba, Keng Hong berhenti terbawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan bicara seolah-olah di luar kesadarannya.

Rasa girang yang luar biasa sekali ketika Biauw Eng dalam keadaan selamat dan sehat membuat hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat kembali. Dia sama sekali bukan bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sesungguhnya seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang ingin membunuh Biauw Eng dan dia sendiri.

Thian Kek Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong lalu membentak, "Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat daripada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng tukang membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan, perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kau bersiaplah, bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!"

Thian Kek Hwesio yang sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat orang sutenya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada.

Sambaran jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan.

"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"

Empat orang hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan toya mereka.

"Locianpwe sekalian adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan hendak mempergunakan kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun memiliki kepandaian yang hendak ku pergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya di ingat bahwa aku bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku telah mempelajari ilmu-ilmu yang kiranya akan dapat mengatasi kepandaian Ngo-wi membatalkan niat buruk hendak membunuh orang dan kembali ke Siauw-liam-si, bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia."

Ucapan Keng Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh kelima orang hwesio itu dianggap sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang lagi, diikuti empat orang sutenya yang merasa penasaran. Serangan mereka hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk.

Sekali lagi Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke belakang sambil berteriak kaget.

Kini Keng Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya bersinar-sinar dan keningnya berkerut, "Losuhu, aku mengerti bahwa mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada Losuhu bahwa kedua buah kitab itu telah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah demi roh suhuku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini."

"Siapa percaya ocehanmu?" Thian Kek Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sutenya juga menerjang maju, kini menggunakan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang dalam menggerakkan senjata mereka.

Tiba-tiba tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang penggeroyoknya saking cepatnya dan pada detik-detik berikutnya, terdengar seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio dan empat orang sutenya karena tiba-tiba saja ke dua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu!

"Sudah jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja? Beginikah sikap orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?" Keng Hong berkata dan sekali tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, sedangkan empat orang sutenya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya masing-masing.

Diam-diam Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini setelah lenyap di puncak Kiam-kok-san, kini telah menjadi seorang yang amat lihai, dan menurut penilaiannya biarpun hanya bertanding dua gebrakan saja, pemuda ini malah lebih lihai daripada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka dia lalu menjura dan berkata,

"Pinceng berlima tidak buta, dapat melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku kalah dan hendak melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Namun hendaknya kauketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang boleh kaupermainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu, akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio mengenakan jubah yang tadi dia pakai sebagai senjata, kemudian menghampiri kuda dan meloncat ke punggung kuda, pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sutenya yang juga sudah menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya, memandang Biauw Eng.

Biauw Eng semenjak tadi berdiri seperti kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai, lupa akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia mengerahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang dia anggap telah membunuh cicinya! Terbayanglah dia betapa ketika dia terbangun dari tidur dahulu, dia melihat cicinya berada dalam pelukan Keng Hong, bermain cinta dengan pemuda ini, dan kemudian betapa cicinya tewa dalam pelukan pemuda ini pula. Teringat akan hal ini, kebenciannya terhadap Keng Hong makin mendalam. Akan tetapi karena Keng Gong mengahadapi lima orang hwesio itu dan membela Biauw Eng, tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa, hanya mendengarkan penuh perhatian.

Keng Hong yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak mereka saling berpandangan, dan hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang kini makin cantik jelita dalam pandangan matanya, agak kurus dan layu, seolah-olah kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya.

"Biauw Eng....!" Keng Hong berbisik penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu untuk minta ampun. "Biauw Eng.... Kau .... Kaumaafkan aku....??" Ucapan ini lirih dan menggetar.

"Keng Hong....!" Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya. Hatinya menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya membuat kedua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah ketika mulutnya melanjutkan bisikan, "... Syukurlah...engkau.... engkau.... masih hidup...."

Melihat betapa kini dua butir air mata seperti butiran-butiran mutiara menitik turun dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis? Gadis yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata? Ah, tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san! Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng.

"Maafkan aku.... Ampunkan aku, Biauw Eng ..... aku .... Aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah engkau memaafkan aku.....?"

"Jangan.... jangan berlutut, Keng Hong. Ah, Keng Hong..... Keng Hong....." Tubuh gadis itu terhuyung hendak roboh. Keng Hong meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak, merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh hatinya ini. Diantara isaknya ia hanya dapat berbisik, "Keng Hong..... Keng Hong.....!" Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang penuh rindu dan duka. Ketika merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng Hong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menggunakan kedua lengannya mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah ia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata membasahi bulu matanya dan akhirnya menitik turun ke atas pipinya.

"Biauw Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu. Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..."

"Keng Hong... Keng Hong.....!" Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah ia takut kalau akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi.

"Biauw Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila, seperti buta kedua mataku..."

Tiba-tiba Biauw Eng merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri seperti patung di bawah pohon, ia lalu meloncat lari menghampiri dan berseru. "Sim-koko.. ah, Koko....!" Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti buta itu teringat akan Lai Sek dan kini ia menangis di pundak pemuda buta itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Keng Hong seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia memandang penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai yang pernah berenang di lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh Cui Im.

"Engkau Sim Lai Sek....!"

"Bagus kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah berjalan maju.

Akan tetapi kakinya tersandung akar pohon dan tubhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai hatuh, kemudian Lai Sek menudingkan telunjuknya kearah Keng Hong sambil berkata dengan sura nyaring penuh kebencian.

"Cia Keng Hong manusia terkutuk! Engkau telah merayu dan membujuk ciciku, menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang seperti lidah ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah.

"Koko...!" Biauw Eng berseru menahan isak.

Keng Hong tersenyum pahit."Sim Lai Sek, aku telah bersalah dan engkau boleh memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh encimu!"

"Apa? Tidak membunuhnya?" Pemuda itu saking marahnya melangkah maju lagi tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah enciku, akan tetapi hatimu berlepotan darahnya! Kalau engkau tidak membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi kekasihmu itu akan turun tangan membunuhnya karena cemburu? Karena engkaulah enciku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau....!"

Menghadapi pemuda buta yang menudingnya dan mengucapkan kata-kata keras itu. Keng Hong menjadi pucat mukanya dan melangkah mundur dua tindak. Ia merasa jantungnya seperti ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran.

"Terserah kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tidak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau cinta kepadaku, seperti yang kaukatakan di depan ibumu, di depan banyak orang di Kun-lun-san. Dahulu aku seperti buta, lebih buta dari pemuda gagah ini, buta oleh nafsu tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng...."

"Keparat jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enciku, kini engkau hendak membujuk Biauw Eng? Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu. Hayo, kita sama-sama jantan dan biarpun aku buta, aku siap mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta, mari bertanding sampai mati Keng Hong!"
Keng Hong terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh menggelikan dan juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada Biauw Eng yang memandang sambil menangis.

"Kini terserah kepadamu, Biauw Eng. Kalau engkau sudi mengampuni aku dan masih mencintaku, marilah engkau ikut bersamamu, menjauhkan diri daripada segala keruwetan dunia. Aku cinta padamu!"

Sejenak Biauw Eng bingung, memandang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian lari menghampiri Lai Sek, memeluk pundaknya dan menangis. "Koko... Aku ... Aku... Tidak bisa meninggalkanmu…."

Lega hati Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia berkata kepada Keng Hong, "Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar sendiri! Apa yang kau lakukan sekarang? Membunuhku kemudian memperkosa Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan cantik?"

Panas hati Keng Hong, akan tetapi dia menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian encinya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, dan berkata halus,

"Jangan khawatir, Sim Lai Sek. Aku tidak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng telah bersikap bijaksana telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Ku harap engkau akan hidup bahagia Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya bisa menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..." Keng Hong menahan air mata dari sepasang matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian berlari cepat.

"Keng Honggg....!" Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema di rongga dada dan menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah! Betapapun lihainya gadis ini, tidak kuat ia menahan tekanan batin yang amat hebatnya itu. Ketika terpaksa ia "memilih" Lai Sek, ia melakukan hal ini karena mana mungkin ia tidak mempunyai siapa-siapa dan telah menjadi buta karena dia itu? Akan tetapi ketika melihat pemuda yang dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata bertahan, dengan hati hancur dan hal ini diketahuinya betul, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Tadi ia telah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan ketika ia menjeritkan nama Keng Hong, melainkan darah segar yang dimuntahkannya kemudian ia roboh pingsan!

"Biauw Eng....!" Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu. Ia menjadi bingung, menguncang-guncang memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali.

"Biauw Eng... Biauw Eng....!" Lai Sek memanggil-manggil dan dia menduga-duga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya telah dibunuh orang seperti yang terjadi pada encinya!" Biauw Eng....!"

Biauw Eng membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang penuh kegelisahan kemudian pandang matanya bergerak memandang kedua tangan pemuda buta itu yang penuh darah, darah yang diuntahkan tadi membasahi leher dan karena tangan Lai Sek menguncang-guncang dan meraba-rabanya, diluar pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah. Melihat ini, Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai Sek.

"Engkau... Engkau kejam!" tiba-tiba ia berkata sambil bangkit duduk.

Lai Sek menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah pergi.

"Biauw Eng, engkau tidak apa-apa....?"

Biauw Eng seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Ia menatap wajah pemuda itu dan berkata lagi, "Sim Lai Sek, engkau .... manusia kejam...!"

Kini Lai sek terkejut bukan main. Suara gadis itu menggetar setengah berbisik, penuh kedukaan yang hebat, akan tetapi amat dingin. "Apa... Apa maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak Biauw Eng.

"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang berdarah. Berdarah dengan darah yang mengucur dari hati Keng Hong, Engkau kejam sekali!"

"Eh, Biauw Eng! Apa.... apa kesalahanku..?"

"Sim Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu? Dia tidak bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan dan maki-makian yang lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Mengapa engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung kemarahan dan membuat Lai Sek lebih bingung lagi.

"Aku benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia telah menyebabkan kematian enciku, satu-satunya orang yang kumiliki saaat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku benci sekali kepada Keng Hong dan andaikata aku tidak buta dan andaikata aku berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya."

"Tapi dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh encimu, dan dia pun tidak memperkosa encimu. Kalau sampai terjadi hubungan cinta, tentu encimu yang tergila-gila kepadanya!" Suara Biauw Eng makin marah karena hatinya penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong.

"Biauw Eng! Engkau malah menyalahkan enciku?"

"Aku hanya bicara sebenarnya!"

Keduanya sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, kata-katanya halus dan lemah, "Biauw Eng, engkau... Mencinta Keng Hong?"

"Sudah sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal ini," Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong.

Lai Sek menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut, garis tegak lurus membagi mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu dipejamkan rapat-rapat dan urat di kedua pelipis berdenyut-denyut, suaranya menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan,

"Kalau begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong? Aku seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak meninggalkan aku saja? Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu...."

Biauw Eng memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan tadi. Sadarlah ia betapa sikapnya amat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguhpun pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar.

"Koko, maafkan aku, Koko...!" Ia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu. "Aku bingung... Akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan aku!"

Lai Sek tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya sepenuh jiwa raganya itu. "Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng."

"Aku tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku ku serahkan kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku ku serahkan kepadamu, Koko. Kalau engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang juga!"

"Apa... Apa katamu....?" Lai Sek terkejut.

Biauw Eng menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu. "Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!"

Lai Sek yang memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus, "Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah semata-mata cinta berahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada, cintaku terhadap enciku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku kepadamu. Aku tidak akan mempergunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku daripada perbuatan perbuatan itu. Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalahgunakan kepercayaanmu."


lanjut ke Jilid 045-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar