Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 006

Petualang Asmara Jilid 006

<--kembali

“Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-kauw.”

“Bohong besar!” Yan Cu berteriak, “Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap orang warga harus dan berkewajiban uatuk membunuh seorang anggota Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi, dan membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang baik telah menolong tiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah pembunuh adalah kewajiban setiap orang, apalagi kami yang berjiwa Pendekar. Akan tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku.”

“Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang perwira pemerintah.”

“Sungguh tidak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?”

“Suamimu, terutama engkau, telah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan. Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi justeru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw? Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!”

“Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah malaikat pengatur nyawa yang dapat memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang suka mencabut nyawa! Kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Adapun aku ke sini dengan maksud bicara denganmu dan minta dibebaskannya suamiku yang tidak berdosa, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapa yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kaubebaskan dia!”

“Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!”

Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah berkelebat dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!

“Toloooonggg… tangkap… ahhhh!” Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!

“Mundur semua!!” Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. “Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!””

Para pengawal menjadi bingung dan Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang muda-muda dan banyak, gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air matanya bercucuran.

“Jangan bunuh aku...” ratapnya.

“Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, membawanya ke sini. Cepat, kalau aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!” Yan Cu membentak dan memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan sedikit darah mengucur!

“Aihhh... jangan... haiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah! Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara, bebaskan Yap-sinshe, ehhh... ajak dia ke sini... cepat!!”

Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, tidak bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!

“Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu datangnya suamiku. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk membunuhmu dan para pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan pemberontakan-pemberontakan atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku dan suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan setelah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang sendiri untuk mencabut nyawamu!”

Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali diperbolehkan duduk di atas kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang amat menyiksanya adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-angguk tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung. Yan Cu berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok di leher dan mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan agar jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya untuk mengancam belaka, agar suaminya dapat segera bebas.

Tak lama kemudian, datangnya kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,

“Aihhh, apa yang kaulakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan. Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau…”

“Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku? Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari Liong-ji! Mari kita pergi!”

Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya dan mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi menancap di depan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan lenyap.

“Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepat! Tolol kalian semua!” Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya, akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya!

Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati kebat-kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe. Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tidak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang toko dan mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian!

“Aihhh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Kalau saja dia tidak menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan kepusingan baru bagi kita!”

Yan Cu cemberut. Mereka sudah lari ke luar kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong sehingga dia terpaksa pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang baru di dusun yang ditemuinya yaitu membakar rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa dibicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka.

“Siapa bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya.”

“Aku....?” Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya semenjak terjadi peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia bertobat dan bersikap hati-hati, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan dosanya yang lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya.

“Ya, engkau...” Yan Cu berkata. Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.

“Mengapa aku...?”

“Kalau-kalau dicari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena takut kepadamu, karena engkau terlalu keras kepadanya. Engkau marah karena dia menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek, dan dia murung dan bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek karena dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw. Andaikata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan tidak bermain-main dengan anjing dan tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan...”

“Stoppp...!” Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi isterinya. “Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita...”

“Mungkin dimulai sejak dunia berkembang, sejak manusia pertama...” Yan Cu juga tertawa.

Keduanya tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, kemudian menjadi penuh pengertian.

“Aihhh... apa yang kita lakukan ini…?” Yan Cu berkata lirih.

Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. “Mengertikah engkau apa yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?”

Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan mendesak,

“Kalau memang mengerti, apa?”

“Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!”

“Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar.”

“Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!” Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. “Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!”

“Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?”

“Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?”

Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. “Hemm... agaknya, yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat kita mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!”

“Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!” Isterinya mencela.

“Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga...”

“Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?”

“Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?”

“Agaknya, kebebasan seperti yang kaukatakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!”

“Wah, celaka tiga belas!” Cong San memegang kepalanya.

“Mengapa?”

“Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!”

“Ihhhh!” Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.

“Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...” bisik Yan Cu.

“Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah...” terdengar suara Cong San lirih. “Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini… aih… mesra...!”

“Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!”

“Cinta tak mengenal usia...”

Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca ceritaPedang Kayu Harum ).

Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.

“Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat membebaskan diri dan lari entah ke mana.”

“Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya.”

“Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri.”

“Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku.”

“Apa maksudmu?” Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.

“Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri.”

“Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?”

Cong San menarik napas panjang. “Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!”

Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.

“Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?”

“Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu.”

“Hemm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?”

Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.

“Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?”

Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.

“Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya.”

Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh kasih. “Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan.”

“Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!”

Cong San menarik napas panjang. “Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh.”

“Memang kau saja melamun? Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan, melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong.”

“Ke mana?”

“Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san.”

“Keng Hong dan Biauw Eng…?”

Yan Cu mengangguk.

Hening sejenak. “Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka.”

Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!

Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Ken Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri! Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau “raja” dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.

***

Tubuhnya penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, ada pula yang terobek kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis.

Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak nyawa lagi! Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia!
Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun! Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main. Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja!

Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi segera dilawannya pikiran ini. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya!

Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia jatuh menelungkup. Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi! Rasa lapar di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.

“Ibu…” dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.

lanjut ke Jilid 007-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar