Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 002

Petualang Asmara Jilid 002

<--kembali

Tiga orang perwira itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah kepala-kepala pegawai di kota Leng-kok dan menjadi orang-orang kepercayaan kepala daerah kota Leng-kok. Mereka adalah bekas anak buah Jenderal Yung Lo dan kini telah menjadi kaisar. Ilmu kepandaian mereka cukup tinggi dan kini mereka mengurung tosu itu dengan membentuk barisan segitiga.

Si Cambang Melintang rupa-rupanya menjadi pimpinan mereka. Dia lebih dulu membentak keras dan menyerang dengan pedangnya, menusuk ke leher tosu itu dari samping kiri. Gerakannya cepat dan kuat sekali, dan menyusul gerakannya ini, temannya yang berada di depan tosu itu telah menerjang dengan tusukan pedang ke arah perut. Orang ke tiga segera menyusul dengan sambaran pedangnya yang membabat ke arah kaki lawan. Dengan demikian, secara beruntun dan cepat sekali merupakan rangkaian serangan bersambung, tosu itu dihujani serangan ke leher, perut, dan kakinya!

Melihat sinar tiga batang pedang berkilat menyambar secara berturut-turut itu, Loan Khi Tosu tidak menjadi gentar atau gugup. Dengan tenang-tenang saja dia menggerakkan tongkat, menangkis pedang yang menyambar leher, tongkatnya dipentalkan dan langsung menangkis pedang yang menusuk perut dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga sambaran pedang ke arah kakinya itu tidak mengenai sasaran. Dari atas, dia sudah menggerakkan lagi tongkatnya, menusuk ke arah ubun-ubun kepala Si Cambang, dan menampar dengan tangan kiri ke arah orang di depan, sedangkan kakinya menendang ke arah orang di sebelah kanannya. Dapat dibayangkan betapa cepat gerakan kakek itu yang selagi tubuhnya masih berada di atas telah dapat mengirim serangan kepada tiga orang lawannya sekaligus!

Namun, tiga orang lawannya juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian segera menyerang lagi secara teratur ketika kakek itu sudah turun kembali. Pertandingan yang seru terjadi di halaman belakang kuil itu. To-su itu agaknya tadi memandang rendah para pengeroyoknya yang disangkanya sama lemahnya dengan dua orang musuh yang baru saja dibunuhnya. Disangkanya bahwa sekali menggerakkan tongkatnya, dia akan dapat membunuh mereka. Setelah kini ternyata tiga orang perwira itu belum juga dapat dirobohkan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus lebih, hanya mampu mendesak mereka saja dengan gerakan tongkatnya, dia menjadi penasaran dan marah sekali.

“Mampuslah kalian!” bentaknya dan tiga orang itu terkejut sekali ketika tiba-tiba Si Tosu melakukan gerakan cepat, tangan kirinya menyerang mereka bertubi-tubi dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan hawa pukulan panas seperti api! Tahulah mereka bahwa kakek itu telah mengeluarkan ilmu pukulan simpanannya yang selama ini dipergunakan untuk membunuhi orang, pukulan Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih) yang selalu meninggalkan bekas tapak jari tangan pada tubuh korbannya. Karena tahu akan kelihaian jari tangan itu, mereka mencelat mundur, sama sekali tidak menyangka bahwa pada saat itu, Loan Khi Tosu yang lihai telah meniup ujung tongkatnya tiga kali dan tampak sinar hitam berkelebat tiga kali ke arah tiga orang perwira itu. Mereka berteriak kaget dan terjungkal roboh, leher mereka terkena serangan gelap berupa jarum-jarum hitam yang ternyata disembunyikan di dalam tongkat yang berlubang itu dan yang dipergunakan sebagai semacam sumpit.

“Heh-heh, mata-mata laknat, anjing pemerintah yang busuk. Kalian harus mati!” Tosu itu melangkah lebar menghampiri tiga orang yang telah terluka, mengangkat tongkatnya hendak mengirim pukulan terakhir.

“Kakek tua bangka, engkau jahat sekali, ya?”

Loan Khi Tosu menahan tongkatnya, membalikkan tubuh dan melihat seorang anak laki-laki lari menghampirinya sambil memandangnya dengan sepasang mata yang jernih itu menyinarkan kemarahan. Setelah tiba di depan tosu itu, Kun Liong bertolak pinggang dan berkata, suaranya lantang penuh keberanian dan kemarahan.

“Melihat pakaianmu, engkau tentulah seorang tosu dan menurut pengetahuanku seorang pendeta selalu mengutamakan kebaikan dan pantang melakukan kejahatan! Di dalam kitab-kitab Agama To tidak terdapat pelajaran yang membenarkan kekejaman, bahkah Nabi Lo-cu selalu menentang kekerasan. Mengapa engkau ini seorang tosu, begini kejam dan suka melakukan pembunuhan?”

Loan Khi Tosu tercengang dan sejenak tak dapat bicara, hanya memandang anak itu dengan pengerahan kekuatan matanya agar dapat melihat lebih jelas. Matanya yang lamur hanya melihat bentuk seorang anak laki-laki dan hanya pendengaran telinganya yang jelas menangkap suara itu dan ia menduga bahwa anak itu tentu tidak lebih dari sepuluh tahun usianya. Kalau yang menegurnya seorang dewasa, teguran itu tentu dianggapnya penghinaan dan membuatnya marah, akan tetapi yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Belum pernah selama hidupnya dia menghadapi hal yang seaneh ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,

“Siancai... agaknya engkau juga yang tadi mengacaukan nyanyianku. Engkau sungguh bernyali besar dan karena keberanianmu itu aku suka menjawab. Ketahuilah bahwa tosu dari Pek-lian-kauw selain mengutamakan kebajikan dan kegagahan, terutama sekali kekerasan terhadap musuh. Membunuh musuh bukanlah perbuatan kejam namanya...”

“Omong kosong! Membunuh tetap membunuh, membunuh siapapun juga, dengan alasan apapun juga, pembunuh namanya dan membunuh adalah perbuatan yang paling terkutuk, paling keji dan yang paling busuk di dunia ini!”

Loan Khi Tosu menggerakkan kedua pundaknya. “Karena kau seorang anak-anak, pinto kagum menyaksikan sikapmu. Kalau engkau sudah dewasa dan mengeluarkan kata-kata seperti itu berarti engkau musuh pula dan tentu telah pinto bunuh. Sudahlah, pinto tidak ada waktu melayani seorang anak kecil!” Tosu itu membalik, dan kini tongkatnya digerakkan ke arah tubuh tiga orang lawannya yang sudah roboh pingsan itu!

“Wuuuuttt... trakkkk!!”

Loan Khi Tosu meloncat ke belakang, tongkatnya tergetar dan hanya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya saja membuat dia berhasil mencegah tongkatnya terlepas dari pegangannya.

“Siancai...! Siapakah engkau dan mengapa berani mencampuri urusan pinto?” Loan Khi Tosu menegur seorang laki-laki yang tadi menangkis tongkatnya dan yang kini berdiri dengan tenang di depannya sambil menyimpan kembali senjatanya yang istimewa karena senjatanya itu berupa sepasang pit (alat tulis, pensil buku) hitam dan putih.

Laki-laki itu berpakaian sastrawan, sederhana pakaian dan sikapnya, namun di balik kesederhanaannya, tampak kegagahan yang berwibawa. Wajahnya tampan tubuhnya tegak dan padat berisi membayangkan tenaga yang halus dan kuat, usianya kurang sedikit dari empat puluh tahun, namun rambut di atas sepasang telinganya sudah mulai bercampur uban. Dia bernama Yap Cong San, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, murid dari Tiang Pek Hosiang, tokoh nomor satu di Siauw-lim-pai, bekas ketua yang kini tidak muncul lagi di dunia ramai karena telah bertapa untuk selamanya dalam Ruang Kesadaran, yaitu di sebuah ruangan tertutup dari kuil Siauw-lim-pai.

Yap Cong San sendiri telah dipecat sebagai anak murid Siauw-lim-pai, pemecatan yang berdasarkan kebijaksanaan Ketua Siauw-lim-pai karena ingin menjaga baik nama Siauw-lim-pai, akan tetapi pribadi pendekar ini tidak dimusuhi, bahkan dianggap sebagai sahabat baik dari Siauw-lim-pai. Bagi para pembaca cerita “Pedang Kayu Harum”, nama Yap Cong San tentu bukan nama yang asing. Akan tetapi untuk para pembaca cerita ini yang belum membaca “Pedang Kayu Harum” sebaiknya berkenalan dengan Yap Cong San secara singkat.

Setelah kehilangan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San menikah dengan seorang pendekar wanita perkasa yang bernama Gui Yan Cu, seorang wanita amat cantik jelita, berkepandaian tinggi dan juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Suami isteri ini tinggal di kota Leng-kok, membuka sebuah toko obat dan mereka mempunyai seorang putera, yaitu Yap Kun Liong, anak yang pemberani tadi. Karena dia sendiri seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai yang lihai dan sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, setelah menjadi suami Gui Yan Cu dan membuka toko obat, Yap Cong San mempelajari ilmu pengobatan sehingga sering kali dia mewakili isterinya memeriksa dan mengobati orang sakit. Isterinya hanya memeriksa wanita-wanita yang sakit. Karena pekerjaannya ini, Yap Cong San lebih dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan disebut Yap-sinshe daripada seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Sudah bertahun-tahun dia dan isterinya tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, seakan-akan sepasang suami isteri pendekar ini bersembunyi di kota kecil Leng-kok, sehingga jarang ada orang mengenal namanya.

Ketika tadi mendengar dari pencari kayu yang menjadi langganannya pula, bahwa Kun Liong berkeliaran di dalam hutan di luar kota, sedangkan menurut pencari kayu itu, di dalam hutan terdapat orang-orang yang aneh dan mencurigakan, Yap Cong San merasa khawatir sekali. Cepat dia lalu meninggalkan toko obatnya, menyuruh isterinya menjaga dan dia sendiri pergi ke dalam hutan membawa sepasang senjatanya yang istimewa, yaitu Im-yang-pit hitam putih. Dahulu Yap Cong San terkenal sekali dengan ilmu silatnya, terutama sekali permainan Im-yang-pit, sepasang pensil yang tidak hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan juga dapat dipakai untuk menulis. Di samping sepasang Im-yang-pit ini, dia juga mahir melepas senjata rahasia berupa uang logam tembaga yang selain dapat dipakai berbelanja, juga dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang amat berbahaya, disebut Touw-kut-ji (Uang Logam Penembus Tulang).

Pendekar ini tiba di belakang kuil, tepat pada saat Loan Khi Tosu menggerakkan tongkat pendek membunuh tiga orang yang telah terluka itu. Sebagai seorang pendekar, biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak mempunyai urusan kang-ouw, tak mungkin dia membiarkan saja pembunuhan dilakukan di depan matanya. Cepat dia meloncat ke depan menggerakkan senjatanya menangkis sehingga tongkat tosu itu terpental.

Sebelum menjawab, Yap Cong San melirik ke arah puteranya yang masih berdiri di situ dan Kun Liong tersenyum kepada ayahnya, senyum yang memancing maaf dari ayahnya. Sejak kecil, Kun Liong paling takut kepada ayahnya dan paling manja kepada ibunya. Mungkin karena ayahnya keras maka ibunya memanjakannya atau bisa jadi juga sebaliknya, karena ibunya memanjakannya maka ayahnya bersikap keras kepadanya. Melihat puteranya tidak apa-apa, legalah hati pendekar itu dan ia cepat menjura kepada tosu yang bermata lamur itu.

“Totiang, saya tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena pekerjaanku adalah menolong orang sakit, sedapat mungkin berusaha mencegah kematian merenggut nyawa orang, tentu saja saya tidak tega menyaksikan totiang hendak membunuh orang.”

“Ayah, kakek tua bangka ini sudah membunuh banyak sekali orang. Dia iblis jahat!” Tiba-tiba Kun Liong berkata menudingkan telunjuknya kepada tosu itu.

“Kun Liong, diam!” Ayahnya membentak.

Tosu itu mengangguk-angguk. “Hemm kiranya dia anakmu? Pantas pemberani, kiranya ayahnya seorang yang lihai. Gerakanmu tadi jelas menunjukkan bahwa engkau tentu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai sekali, sicu (orang gagah). Karena Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan besar yang disegani dan dihormati oleh perkumpulan kami, biarlah pinto mengalah terhadapmu dan ketahuilah bahwa pinto adalah Loan Khi Tosu, pemimpin Pek-lian-kauw di daerah ini. Yang terbunuh oleh pinto adalah kaki tangan pemerintah yang selalu memusuhi kami, maka pinto harap sicu tidak ikut campur.”

Yap Cong San memang sudah menduga bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw ketika ia melihat bunga teratai putih dari baja itu. Dia menjadi tidak enak hati karena maklum bahwa Pek-lian-kauw adalah kumpulan orang-orang yang menentang pemerintah, yang menganggap pemerintah mulai menyeleweng, pembesar-pembesarnya tukang korup dan rakyat mulai ditindas pula, tidak becus menanggulangi gangguan-gangguan yang datang dari para bajak laut yang hanya menyusahkan kehidupan rakyat. Dia menganggap mereka itu sekumpulan orang-orang yang memberontak, namun karena dia melihat pula akan keadaan pemerintah yang makin memburuk, maka dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri pertentangan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah itu.

“Totiang, saya datang hanya untuk menyusul anak saya yang ternyata berada di sini. Karena totiang tidak mengganggu anak saya, maka sayapun tidak akan mengganggu totiang, akan tetapi tiga orang yang terluka itu menjadi tanggungan saya untuk mencoba mengobati dan menyembuhkannya.”

Tosu itu menyeringai, “Heh-heh, boleh kaucoba, sicu. Dan melihat muka sicu, pinto mau mengampuni mereka. Bolehkah pinto mengetahui nama besar sicu?”

“Saya hanyalah seorang biasa saja yang tidak terkenal, tidak ada gunanya dikenal oleh seorang tokoh Pek-lian-kauw seperti totiang.”

Tosu itu mendengus. Dia maklum dari tangkisan tadi bahwa yang berada di depannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi. Karena itu, dia tidak mau mencari perkara dan suka mengalah, pertama karena agaknya akan sukar baginya menandingi lawan ini, ke dua karena para pimpinan Pek-lian-kauw dengan keras melarang Pek-lian-kauw mencari bibit permusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai yang amat kuat.

“Kalau begitu, selamat tinggal dan sampai jumpa, sicu!” Tosu itu menyambar bunga teratai putih dari baja yang tadi menjadi tempat duduknya, kemudian sekali meloncat dia sudah lenyap dari situ, tubuhnya melayang cepat sekali keluar dari kuil tua.

“Ayah, mengapa ayah membiarkan si jahat itu pergi?” Kun Liong bertanya penasaran.

Ayahnya memandangnya dengan bengis. “Kun Liong, jangan mencampuri urusan orang lain! Mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?”

Mendengar suara ayahnya dan melihat sikap bengis itu, Kun Lion menundukkan muka dan menjawab lirih. “Tadinya aku hendak mencari bambu kuning, ayah...”

“Hemmm, mencari bambu tapi melibatkan diri dengan urusan gawat! Anak lancang, kau tak tahu akan bahaya. Kalau tosu itu berhati kejam, apa kaukira sekarang engkau masih hidup? Hayo lekas pulang dan minta bantuan orang untuk mengangkut mereka yang terluka ini. Cepat!”

Kun Liong mengangguk-angguk lalu melarikan diri secepatnya pulang ke kota untuk memenuhi perintah ayahnya. Yap Cong San lalu berlutut memeriksa keadaan tiga orang itu. Mereka belum tewas, bahkan Si Cambang Melintang sudah siuman.

“Yap... sinshe… tolonglah kami...” katanya sambil mengeluh.

Pendekar itu mengenal mereka sebagai perwira-perwira pengawal kepala daerah, maka ia mengangguk dan memeriksa. Kiranya di leher tiga orang itu menancap sebatang jarum hitam. Melihat keadaan luka di sekeliling jarum yang kulitnya menghitam, tidak ragu lagi hatinya bahwa jarum itu tentu mengandung racun yang jahat. Pek-lian-kauw selain terkenal mempunyai banyak orang pandai, juga terkenal dengan keahlian mereka mempergunakan racun. Cepat dia mencabuti jarum-jarum itu dan kembali Si Cambang Melintang jatuh pingsan.

Tak lama kemudian datanglah sepasukan pengawal dari Ma-taijin terdiri dari belasan orang. Pasukan ini dikirim setelah ibu Kun Liong mendengar dari puteranya akan peristiwa di kuil tua dan nyonya perkasa itu sendiri melaporkan kepada kepala daerah.

Tubuh tiga orang perwira pengawal itu, juga mayat dua orang yang terdahulu dibunuh Loan Khi Tosu diangkut. Yap Cong San mengikuti dari belakang setelah menyimpan tiga batang jarum hitam. Jarum-jarum itu perlu untuk diselidiki racunnya sebelum dia mengobati tiga orang perwira itu, dan dia perlu berunding dengan isterinya yang lebih ahli dalam hal racun dibandingkan dengan dia.

Setelah memasuki kota Leng-kok, para korban itu langsung diangkut ke perkemahan kepala daerah sedangkan Cong San pulang ke rumahnya untuk berunding dengan isterinya dan mengambil obat.

***

“Sungguh menjengkelkan sekali tosu itu, ibu. Sayang bahwa ayah membiarkannya pergi begitu saja setelah dia membunuh dua orang dan melukai tiga orang. Enak sekali bagi tosu itu. Padahal aku yakin ayah pasti mengalahkannya!” Kun Liong mengomel depan ibunya.

Nyonya Yap Cong San atau Gui Yan Cu, yang masih kelihatan cantik dan muda sekali biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, tersenyum dan menarik tangan puteranya, dirangkulnya penuh kasih sayang.

“Habis, kalau menurut pendapatmu, dia harus diapakan? Apakah ayahmu harus membunuhnya?”

Kun Liong menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak. “Membunuh? Ayah membunuhnya? Aihh! Sama sekali tidak, ibu. Bukan maksudku supaya ayah menjadi pembunuh. Akan tetapi sedikitnya, tosu itu harus ditangkap dan diserahkan kepada yang berwajib agar supaya mendapat hukuman atas kejahatannya. Kalau dibiarkan saja terlepas seperti yang dilakukan ayah, bukankah terlalu enak?”

“Husshh, kau tahu apa, Kun Liong? Di balik peristiwa itu tentu ada hal-hal lain sehingga ayahmu membiarkannya pergi. Kalau mendengarkan ceritamu tadi, tosu itu yang duduk di atas sebuah bunga teratai putih dari baja, dan mendengar nyanyian seperti yang kauceritakan tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Karena itulah ayahmu ingin lepas tangan dan tidak mau terlibat.”

“Ibu, apakah Pek-lian-kauw itu?”

“Dijelaskan juga engkau takkan mengerti, anakku. Pek-lian-kauw sebuah perkumpulan besar yang menentang pemerintah.”

“Apakah ayah takut kepada Pek-lian-kauw?”

“Bukan soal takut atau berani, akan tetapi ayahmu tidak mau terlibat pertentangan besar itu, dan aku membenarkan ayahmu karena memang tidak ada gunanya melibatkan diri, akan membawa akibat yang berkepanjangan dan hebat. Yang penting sekali adalah bahwa engkau tidak diganggunya dan syukur demikian, hatiku sudah khawatir sekali tadi ketika pencari kayu memberi tahu.”

Percakapan itu berhenti dengan masuknya Yap Cong San. Isterinya segera menyambutnya dan bertanya, “Bagaimana dengan para korban itu?”

Yap Cong San menggeleng kepala, menarik napas panjang dan mengeluarkan tiga batang jarum hitam, memperlihatkan kepada isterinya sambil berkata, “Aku tidak mengenal jarum ini, maka baru kuberi obat untuk mencegah menjalarnya racun dan kutotok jalan darah mereka.”

Gui Yan Cu memeriksa jarum hitam, memasukkan jarum itu ke dalam mangkok putih, menuangkan air jernih sedikit dan air itu berubah hitam. Dia mencabut tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak, mencelupkan benda itu ke dalam air beracun. Ujung tusuk sanggul yang putih itu kini berubah menghijau. Setelah memeriksa dan mencium racun itu, mata yang indah dan lebar itu terbelalak dan dia berseru.

“Racun ular senduk...!”

“Apa? Kalau begitu... nyawa mereka takkan dapat tertolong lagi!” Yap Cong San berkata, “Hemmm... Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw itu benar-benar terlalu kejam.”

“Memang dia kejam!” Tiba-tiba Kun Liong berseru, “Tidak seharusnya ayah melepaskannya begitu saja!”

“Diam kau! Anak kecil tahu apa?” Yap Cong San membentak.

Isterinya memandang kepadanya, lalu menarik napas panjang dan dengan halus berkata kepada Kun Liong, “Liong-ji, (anak Liong), ayah ibumu sedang sibuk, kau pergilah bermain-main di luar dan menjaga toko kalau-kalau ada tamu datang mencari kami.”

Kun Liong bersungut-sungut. Selalu begitu. Ayahnya demikian keras, ibunya demikian lunak kepadanya. Kalau saya ayahnya selunak ibunya, atau ibunya sekeras ayahnya, dia akan mengerti dan tidak menjadi penasaran! Dia berlari ke luar dan duduk termenung di bangku dalam toko obat.

Baru saja anak itu keluar dan suami isteri itu sekali lagi meneliti racun jarum, Kun Liong sudah berlari masuk lagi dan berkata, “Ada tamu utusan dari Ma-taijin!”

Yap Cong San dan isterinya segera keluar dan utusan itu mengatakan bahwa kepala daerah she Ma itu memanggil Yap-sinshe datang menghadap. Karena maklum bahwa tentu kepala daerah ingin melihat dia cepat-cepat mengobati tiga orang perwiranya yang terluka, Yap Cong San segera berangkat sambil membawa beberapa macam obat anti racun yang ada, sungguhpun dia tahu bahwa obat-obat itu tidak akan dapat menyembuhkan luka yang terkena racun ular senduk.

Seperginya Yap Cong San, melihat anaknya masih cemberut tidak puas, Gui Yan Cu merangkul puteranya dan berkata,

“Kun Liong, jangan kau kecewa kepada ayahmu. Ayahmu bersikap tepat dan benar. Biarlah kuceritakan kepadamu tentang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itu bukan perkumpulan orang jahat, sungguhpun seperti perkumpulan yang menamakan dirinya pejuang rakyat, mereka dapat berlaku kejam sekali terhadap musuh-musuh mereka. Mereka menentang pemerintah karena dalam anggapan mereka, pemerintah tidak baik dan menindas rakyat, membikin sengsara rakyat. Karena itu, mereka dimusuhi oleh pemerintah yang tentu berusaha membasminya. Nah, ayahmu tidak ingin melihat dirinya terlibat dalam permusuhan itu dan sikapnya itu tepat sekali. Mengertikan engkau?”

“Ibu, aku tidak kecewa atau menyesal kepada ayah. Aku hanya ingin melihat di dunia ini jangan ada orang menyakiti atau membunuh orang lain dan kalau itu terjadi, dia harus dihukum!”

Ibunya tersenyum, dan merasa bangga “Memang sebaiknyalah mempunyai pendirian itu, anakku. Pendirian seorang pendekar yang menentang penindasan. Akan tetapi engkau harus tahu bahwa yang melakukan kejahatan itu tentutah mereka yang lebih kuat, sedangkan yang dijatuhi atau yang menderita tentulah mereka yang lemah. Karena itu, seorang pendekar harus menggembleng diri sendiri agar supaya kuat...”

“Wah, dan menjadi penindas jahat?” Kun Liong memotong.

“Hushh, bukan begitu. Akan tetapi kalau engkau menghukum si jahat, engkau harus dapat menundukkan yang jahat bukan? Dan untuk dapat menundukkan si jahat, engkau harus lebih kuat dari mereka, padahal mereka itu adalah orang-orang kuat. Itulah perlunya engkau memperdalam ilmu silat dan mempergiat latihanmu, di samping pelajaran sastra dan pengobatan.”

Kun Liong mengangguk-angguk kemudian mengerutkan alisnya. “Akan tetapi aku paling tidak suka melihat kekerasan, tidak suka melihat perkelahian, Ibu. Aku tidak mau berkelahi, aku benci perkelahian.”

“Siapa menyuruh engkau berkelahi? Belajar ilmu silat itu bukan untuk berkelahi!”

“Ibu tadi bilang seorang pendekar harus menentang si jahat, kalau ditentang tentu berarti berkelahi.”

“Bukan, anakku. Perkelahian hanya terjadi antara dua pihak yang mempertahankan kepentingan diri sendiri masing-masing, memperebutkan sesuatu yang baik berupa kebenaran sendiri maupun berupa keuntungan untuk diri sendiri. Kalau kita membela yang tertindas, menentang si jahat sehingga terjadi pertandingan itu bukanlah pertandingan namanya. Mengertikah engkau?”

Kun Liong mengerutkan kedua alisnya, meruncingkan mulutnya, dan menggeleng kepala. “Aku tidak mengerti, dan aku tetap tidak suka, aku tetap benci pertempuran.”

Ibunya memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Apakah engkau takut akan pertempuran? Takut terluka, takut mati, takut kalah?”

Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ibunya, penasaran dan suaranya lantang, “Aku...? Takut...? Tidak, ibu, aku tidak takut apapun. Aku hanya benci akan kekerasan. Dan Pek-lian-kauw itu, mengapa menentang pemerintah? Mengapa menganggap pemerintah menindas rakyat? Betulkah itu, ibu?”

Ibunya menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Liong. Yang sudah jelas, kalau ada dua pihak bertentangan, sudah pasti sekali mereka itu saling menyalahkan, sudah pasti mereka itu masing-masing menganggap pihak sendiri benar dan pihak sana yang salah. Itu adalah urusan orang-orang yang murka akan kedudukan dan kemuliaan, kita tidak perlu mencampurinya, maka sikap ayahmu adalah tepat dan benar. Andaikata ayahmu melukai atau membunuh tosu itu, berarti bukan dia seorang melainkan kita semua terlibat dalam permusuhan dan pertentangan yang tiada habisnya.”

Sambil bercakap-cakap menceritakan keadaan dunia kang-ouw kepada puteranya yang mendengarkan dengan bengong dan penuh kagum, apalagi ketika ibunya menyebut-nyebut nama para tokoh kang-ouw yang dianggap sebagai pendekar-pendekar pilihan, timbul keinginan hati Kun Liong untuk menjumpai pendekar-pendekar itu! Sedangkan ibunya sibuk membuat campuran obat yang diambil dari resep simpanan, dan menanti kembalinya suaminya.

Tak lama kemudian Yap Cong San muncul dengan wajah keruh. Begitu memasuki toko, dia melempar diri di atas kursinya dan mengeluh, “Tetap saja tersangkut!”

“Apa maksudmu? Apa kehendak Ma-taijin memanggilmu?” tanya isterinya.

“Aku dituduh bersahabat dengan tosu Pek-lian-kauw!”

“Wah, itu fitnah!” Kun Liong berteriak penasaran.

“Apa sebabnya kau dituduh begitu?” Gui Yan Cu bertanya, sepasang alisnya berkerut, hatinya ikut penasaran.

“Agaknya, seorang di antara tiga perwira itu melihat pertemuanku dengan Loan Khi Tosu, melihat betapa aku dapat menangkis tongkat tosu itu dan menyelamatkan nyawa mereka, kemudian melihat betapa aku melepaskan tosu itu pergi tanpa bertanding dengannya, dan melaporkan hal ini kepada Ma-taijin. Pembesar ini menegurku, mengapa aku yang memiliki kepandaian tidak turun tangan terhadap seorang pemberontak yang sudah jelas membunuh dan melukai orang, apalagi melukai tiga orang perwira pengawal. Dia bertanya apakah aku bersimpati kepada pihak pemberontak!”

“Hemmm… tuduhannya hanya ngawur belaka. Kemudian bagaimana?”

“Aku menjawab bahwa aku segan bermusuhan dengap Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak orang pandai. Aku bilang bahwa aku takut…”

“Ayah membohong! Aku tahu betul, ayah dan ibu tidak takut kepada apapun, kepada setan dan iblispun tidak takut. Dan aku tahu, tosu itulah yang gentar menghadapi ayah!”

“Kun Liong, diamlah!” Ayahnya membentak marah, “Sudah berapa kali kukatakan kepadamu, engkau tidak boleh mencampuri urusan orang-orang tua. Dengarkan saja dan tutup mulut, kalau tidak bisa menutup mulut, pergilah dan jangan mendengarkan!”

“Baik, ayah.” Kun Liong menunduk dan kedua bibirnya dirapatkan masuk ke dalam mulutnya.

“Lalu bagaimana?” Gui Yan Cu mendesak, alisnya makin dalam.

“Dia bilang dapat memaafkan sikapku, akan tetapi aku harus dapat menyembuhkan tiga orang perwiranya.”

“Hemm, harus katanya? Nyawa orang berada di tangan Thian, bukan di tangan kita. Habis bagaimana jawabanmu?”

“Aku menjawab terus terang bahwa racun di tubuh mereka itu adalah racun ular senduk yang amat berbahaya dan sukar sekali dicari obatnya dan bahwa aku akan berusaha sekuatku.”
“Bagaimana sambutannya?”
“Dia bilang tidak peduli diobati apa dan bagaimana asal tiga orang perwiranya itu sembuh. Dalam kata-katanya terkandung ancaman bahwa kalau aku gagal mengobati, tentu dia akan mengungkit kembali urusan tosu Pek-lian-kauw itu.”
“Hemm, pembesar itu agaknya mempunyai niat buruk. Akan tetapi kita tidak perlu gelisah. Memang amat sukar mengobati racun ular senduk sampai sembuh, akan tetapi ada obat yang untuk sementara waktu, sedikitnya sebulan, dapat menahannya sehingga si korban tidak akan tewas. Dalam waktu sebulan itu, kalau engkau suka minta pertolongan ke kuil Siauw-lim-pai di mana aku mendengar disimpan banyak sekali obat-obat yang mujijat, kurasa mereka masih akan dapat diselamatkan.”

lanjut ke Jilid 003-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar