Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 57

Petualang Asmara Jilid 057

<--kembali

“Eeiiihhh...!” Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.

Liong Bu Kong marah bukan main. “Kurang ajar! Kembalikan benda itu!” Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

“Auhhh...!” Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong. Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!

Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, “Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!” Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

“Wussss... brettt!” Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.

Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.

Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya. Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

“Eeiiihhh...!” Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.

Liong Bu Kong marah bukan main. “Kurang ajar! Kembalikan benda itu!” Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

“Auhhh...!” Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong. Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!

Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, “Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!” Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

“Wussss... brettt!” Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.

Kun Liong kini siap siaga dan melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apalagi membunuh pemuda itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini merupakan orang terakhir yang membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga balas menyerang!

“Siuuuuttt...!” Kedua lengan Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong, yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat.

Kun Liong menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis. “Duk! Dukkk!” tangkisan yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.

“Plak! Dukkk...! Haittt...!” Kun Liong menangkis dua kali dan melanjutkan dalam detik berikutnya dengan hantaman tangan kiri dengan tangan terbuka, tangan kirinya mengeluarkan uap putih dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang amat ampuh, yang dia pelajari dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang.

Kwi-eng Niocu cepat menangkis dengan kedua tangan sambil melempar tubuh ke kiri, namun tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan. Dia tidak terluka parah, namun mengalami kekagetan hebat sekali.

Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai! Dia sudah meloncat bangun lagi, dan berseru “Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah aku!”

Kakek raksasa itu tertawa bergelak. “Huah-ha-ha, Niocu. Menghadapi seorang bocah gundul saja mengapa harus minta bantuanku? Kau sendiri tidak mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali ini?” Kwi-eng Niocu sudah menyambut lagi serangan Kun Liong. Sekali ini, Kun Liong yang menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiang Pek Hosiang tokoh besar Siauw-lim-pai itu untuk mempertahankan dan merampas kembali benda pusaka Siauw-lim-pai.

“Plak-plak...!!” Kwi-eng Niocu masih dapat menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.

“Krakkk!” Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.

“Aihhhh... Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!”

“Ha-ha-ha-ha! Begitu baru sepadan, namanya!”

Kini raksasa itu sudah bergerak maju, kedua lengannya yang sebesar paha orang dan panjang berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang dahsyat.

“Aihh!” Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.

“Desss!” Tamparan yang amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sehuah gunung baja!

“Huah-ha-ha-hah!” Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau menubruk seekor domba. Dengan menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat. Dua lengan panjang besar itu seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher dan pinggangnya dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi-i-beng karena kalau tidak, dia tentu takkan dapat bernapas dan jangan-jangan tulang-tulang iganya akan remuk!

“Aduhhh... auuuggghhh...!” Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang dipeluknya itu.

Melihat ini, Kwi-eng Niocu cepat melolos saputangannya dan sekali dia menggerakkan tangan, saputangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.

“Prattt!” Tubuh Kun Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali. Andaikata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu nenek ini pun akan ikut tersedot tenaga sin-kangnya oleh Thi-khi-i-beng. Akan tetapi sebagai Ketua Kwi-eng-pang dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas pengetahuannya, melihat halnya raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguhpun penuh keheranan, maka dia menggunakan saputangannya, sebagai pengganti jari tangan.

Raksasa itu adalah Thia-ong Lo-mo. Dia ini bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo (baca cerita Pedang Kayu Harum). Tempat tinggalnya adalah di kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia menjadi tamu Kwi-eng Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo.

Thian-ong Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari dahi. “Hebat benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan, tahu-tahu tenagaku disedotnya tanpa dapat kutahan.”

“Hemm, ilmu itu kalau bukan Thi-khi-i-beng apalagi?” kata Kwi-eng Niocu.

“Thi-khi-i-beng?” Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget. Dia pun terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.

“Thi-khi-i-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?” tanya pula Thian-ong Lo-mo.

“Hemm, siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting...”

“Bunuh saja dia, Ibu! Dia berbahaya!” kata Bu Kong.

“Hush! Bodoh kau. Dia penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi-i-beng, hemm, kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami.”

“Ha-ha-ha! Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!” Kakek raksasa itu melepaskan “kolor” celananya yang berwarna hitam. Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kaki tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga.

Malam itu sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar tahanan Kun Liong diganti dan diantara mereka itu dipilih para anak murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.

Sementara itu, di kamar para pelayan, tak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang pelayan wanita muda saling berbisik-bisik, “Niocu tidak mau diganggu malam ini, kita menganggur...” kata seorang yang paling genit.

“Hemm, mengapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihhh, menjijikkan sekali, raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!” kata yang ke dua sambil terkekeh genit.

“Kalian jangan main-main, kalau terdengar Niocu kalian bisa dibunuh,” kata pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.

“Sebaiknya kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang melayani dia, biar hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan gagah...” kata orang pertama.

“Cocok! Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang kita.”

“Pergilah kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu,” kata yang bopeng.

“Aihh, A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis daripada kami berdua, sayang mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila kepadamu.”

“Huh, aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Kalau dia memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?”

“Kau mau menjaga di sini untuk kami? Ah, A-hwi kau baik sekali.”

“Pergi dan bersenanglah,” kata A-hwi yang bopeng. Dua orang pelayan cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir, memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut dan pakaian, kemudian sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka menuju ke kamar Liong Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.

Setelah dua orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... selaput tipis terlepas atau terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan memiliki wajah yang cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya sebuah pun! Gerakannya berubah lincah sekali ketika dia berkelebat lenyap dalam gelap.

Siapakah dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Telah sebulan lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan. Dia dapat melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalam menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan memenuhi rencana dan siasat Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Setelah menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di situ, tepat seperti telah mereka janjikan. Giok Keng telah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh lima datuk, juga tentang bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia bertemu dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.

“Bagaimana, Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor...”

“Sssttt... Cia-lihiap,” Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang ia tahu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. “Ada berita hebat sekali...”

Dengan suara bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan tentang munculnya Yap Kun Liong yang hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.

“Dia sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di dalam kamar tahanan bawah tanah.”

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan gemas. “Si tolol itu! Sungguh tak tahu diri, berani mendatangi guha harimau. Biar dirasakan kelancangannya sendiri itu!”

“Tapi... Li-hiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun berhak untuk membalas kematian orang tuanya?”

Karena suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tidak dapat menangkap getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapapun juga dia harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu berindap mendekati kelompok bangunan. Tidak percuma Hwi Sian menjadi pelayan di situ selama sebulan. Selama itu dia telah menyelidiki semua tempat rahasia, dan tahu di mana Kun Liong disekap. Dengan hati-hati dua orang dara perkasa ini mmyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian, sedang dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang pedang pusaka perak yang ampuh.

Ketika kedua orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah, mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka dan dua orang pmjaga pintu telah menggeletak dan “tidur” alias pingsan tanpa luka. Lebih besar lagi keheranan mereka ketika mereka melihat dua belas orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak “kolor” hitam terbuat dari otot yang dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak di kamar tahanan akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak berada di tempat itu!

“Ke mana dia?” Giok Keng bertanya heran.

“Entah, tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang melihatnya.” Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah tanah.

Ke manakah perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu dapat meloloskan diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiang Pek Hosiang dan tentu saja sebagai murid Siauw-lim-pai, dia telah mempelajari Ilmu Jiu?kut-kang, yaitu ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai, bahkan dia telah mempelajari ilmu ini bagian tingkat tinggi karena digembleng oleh Tiang Pek Hosiang sendiri. Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan, sebentar saja dia sudah dapat meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan mulur itu memang tidak mungkin. Ketika melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak, tubuhnya menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan “ngorok” akan tetapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!

Cepat dia lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat pula dua orang penjaga, mereka ini pun dibikin “pulas” sebelum sempat berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan “cengli” (aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali pusaka-pusaka Siauw-lim?pai itu, kemudian dia akan berusaha membunuh orang terakhir yang menjadi pembunuh ayah bundanya.

Gerakannya ringan dan cepat sekali dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Kun Liong tidak dapat melihat ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap suara Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.

“Ahhh, Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!” Suara kakek itu penuh kecewa dan penyesalan.

“Cih, tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku dan karena engkau sudah membantu dan aku sudah berjanji, aku menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!”

“Aku tidak mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku hanya heran bahwa kenyataannya...”

“Bodoh! Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan pria. Bahkan aku telah menjadi seorang ibu...”

“Hehhh...?”

“Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan seorang pemuda she Liong. Hubungan kami akrab dan karena bujuk rayunya aku tidak dapat mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa yang dilakukan pemuda
keparat itu? Dia tidak mau mengakui kandunganku karena dia merasa malu menjadi suami seorang anggauta kaum sesat, katanya. Nah, aku membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal dia anakku sendiri, darl hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak terlahir tidak sah...”

“Liong Bu Kong...?”

“Benar. Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau menyimpan rahasia ini baik-baik.”

“Tentu saja selama engkau suka melayaniku, manis.”

“Aku akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku.”

Kun Liong yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong dan tanpa disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio! Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya “cinta”! Benarkah cinta itu selalu mendatangkan malapeta? Betapa banyaknya peristiwa yang disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal dinamakan cinta. Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya, dara itu merana. Demikian pula Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya dengan Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa. Sekarang, ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat!

Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya. “Keparat, jadi engkau dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!” Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Namun pemuda gundul ini sudah dapat menghindarkan diri dan mengelak dengan loncatan kiri dan dia berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah memegang pedang Lui-cong-kiam. Terdengar bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong telah dikurung, bahkan kini Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, telah datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa yang mulai malam itu telah menjadi kekasihnya itu!

“Kepung! Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak Kwi-eng Niocu yang merasa terkejut sekali melihat tawanan penting itu telah dapat lolos. Akan tetapi karena semua anggauta Kwi-eng-pang maklum betapa lihainya pemuda gundul ini, mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini menggunakan sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang beracun, adapun Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam penuh dengan gigi seperti gergaji. Sebuah senjata yang mengerikan, apalagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu, senjata aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain kedua orang tokoh sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang ampuh.

Karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidaklah hanya menjaga diri seperti pertama kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan gin-kangnya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan tak kalah berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya. Namun, karena tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja Kun Liong tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng, hanya terpaksa mengerahkan den mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata lawan yang bergulung-gulung.

Tiba-tiba timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang roboh dan berkelebatlah bayangan dua orang gadis yang keduanya memegang sebatang pedang dan yang gerakannya gesit sekali, terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak. Mereka ini bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang memasuki kepungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke medan pertandingan membantu Kun Liong!

“Kun Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!” kata Hwi Sian sambil memutar pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.
“Hwi Sian!” Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok Keng dan berseru, ”Nona Cia...!”
Akan tetapi Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra, sedangkan kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apalagi mereka berada di depan banyak orang.
Cia Giok Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara, tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan yang sudah siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng! Setelah itu, Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo. Adapun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Nioeu seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata. “Kwi-eng Niocu, sekarang tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundaku!”

lanjut ke Jilid 058-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar