Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 49

Petualang Asmara Jilid 049

<--kembali

Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu kalau melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung.

Akan tetapi Richardo bangkit dan menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri. “Aaakhhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama.”

Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja bicara dalam bahasa pribumi agar tamunya mengerti, “Ayah, Tai-hiap terlalu merendahkan diri, bikin orang penasaran saja!”

“Ha-ha-ha, begitulah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan.”

Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pembicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak berdagang di Tiongkok. Bahkan setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richdrdo yang mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri dan memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai.

“Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang disewa oleh rombongan Legaspi Selado,” kakek itu melanjutkan.

“Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?” Kun Liong bertanya.

KAKEK itu menghela napas. “Benar dan itulah kesalahan kami. Kami telah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa-bawa, terseret ke dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan aku akan membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah dipergunakan untuk pekerjaan buruk.”

“Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?” Kun Liong bertanya lagi.

“Sebetuinya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh pemerintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami.”

“Anakku Yuan de Gama terpaksa terlibat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal juga dia menjadi murid Legaspi Selado.”

Kun Liong mengangguk-angguk dan kini mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu. “Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dibancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi.”

Kakek itu mengelus jenggotnya. “Hemmm... siapa tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, tentu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan terseret.”

Mereka bercakap-cakap setelah makan dan Kun Liong merasa makin suka kepada kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata, “Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam membuat Ayah sakit.” Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya.

Richardo tertawa, lalu bangkit berdiri. “Wah, asyik benar bicara dengan Yap-taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dulu, biarlah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap.” Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita.

Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, di waktu malam lagi!

“Nona...”

Yuanita menoleh kepadanya dan memandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur, “Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Tai-hiap.”

Kun Liong tersenyum. “Kau mau menang sendiri saja, Yuanita. Aku bukan pendekar besar kau selalu menyebutku tai-hiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, pula terpelajar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di mana keadilan kalau begini? Kaupun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong.”

Yuanita tertawa dan memegang tangan pemuda itu. “Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini terdapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah kepada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Dan aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah kepada keluarga musuhnya! Kiranya engkau amat baik dan rendah hati, engkau seperti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar...”

“Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?” Kun Liong tertawa.

Yuanita juga tertawa. “Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu di waktu kau mandi...”

Kun Liong cepat menoleh ke kanan kiri. “Tiga orang wanita genit itu? Iihhh, mereka membikin aku merasa ngeri. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?”

“Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja.”

“Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang suka makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apalagi melihat engkau...”

“Bagaimana?” Yuanita menyambung ketika Kun Liong berseru. “Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?”

“Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati.”

“Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata membedakan pula selera pandangan terhadap kecantikan seseorang?”

“Engkau memang cantik sekali, Yuanita,” kata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. “Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang takkan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?”

Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri. “Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!”

“Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya sebentar saja,” Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan mereka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga.

“Ahhh, kasihan kakakku itu...” Yuanita berkata setelah Kun Liong menyelesaikan penuturannya. “Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Ketika kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bahwa rombongan Legaspi terdiri dari orang-orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan mengira bahwa gurunya dan rombongannya yang katanya hanyalah orang-orang pedagang itu bertualang di negaramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi, aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!”

“Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakakmu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada permusuhan, maka kami tidak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apalagi me-ngenai pengalaman dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa.”

Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh. “Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mungkin bisa jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menyelamatkan aku, bukan hanya aku, melainkan juga Ayah dan semua anak-anak perahu ini. Ayah sendiri berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Akan tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuat kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita...” Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu dengan bibirnya.

Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia menarik kedua tangannya.

“Ahhh, jangan berlebihan, Yuanita...” katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah.

Yuanita bangkit berdiri menarik tangan Kun Liong. Mereka berdiri berhadapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya. “Kun Liong... kami berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima ka-sih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu tertiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyatakan terima kasihku dengan setulus hatiku, kau... kau boleh... kalau engkau suka... kau menciumku, Kun Liong.”

Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka--sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita sudah seringkali mendengar do-ngeng tentang ksatria-ksatria berbaju besi yang menolong puteri dari tangan mahluk-mahluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan mahluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Puteri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria! Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan ayahnya dan seisi perahu dari keganasan bajak, apalagi setelah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gundul itu.

“Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?” Kun Libng bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apalagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!

“Pendengaran apa, Kun Liong?” Yua-nita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin berdekatan dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, matanya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya tertimpa sinar lampu.

“Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?”

“He-hemmm... kalau kau suka...”

“Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka...”

“Ihhh, canggung benar kau...” Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu. Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk dan tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir dengan kemesraan dan kehangatan! Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan biarpun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang. Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tiada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.

“Hemmm... Kun Liong...” Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya.

Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan berahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang mahluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam. Kun Liong sudah tak dapat menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang terasa sepenuhnya hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu berahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu! Nafsu berahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan takkan pernah mau berhenti, takkan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir.

Bagi Yuanita sendiri Kun Liong merupakan seorang pemuda yang asing dan aneh karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupekan hal baru dan aneh baginya. Namun, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain daripada yang telah dikenalnya sebelum itu. Maka dia pun terhanyut oleh gelombang peraaaannya sendiri sehingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempedulikan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiarkan diri terseret oleh nafsu berahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.

“Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!”

Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan kedua ordng muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pandang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar.

“Ahh... Yuanita... maafkan aku...”

“Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret...”

“Untung kita sadar, Yuanita. Hampir saja...!” Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri dan membantu merapikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seperti itu!

Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri dan berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong. “Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andaikata terjadi, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama...”

“Husss...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku kalau sampai terjadi.. engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu.”

“Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong.”

Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan. “Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta dipelajari? Betapapun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama bidupku aku takkan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang luar biasa...”

“Tuut... tuut... tuuuutttt!”

Mereka menengok ke atas kiri dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang.

“Ada apakah?” Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.

“Tentu penjaga itu melihat sesuatu,” kata Yuanita.

Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama dan orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?” Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri.

Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau, “Ada kapal di sebelah kiri!”

“Lekas nyalakan lampu sorot!” Richardo de Gama memerintah. Terjadi kesibukan di situ dan tak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam malam gelap di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian setelah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan penggunaan corong dan teriakan mulut.

Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria.

“Apakah yang terjadi, Yuanita?” tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya.

Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab, “Kapal itu adalah Kuda Terbang!”

Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini. “Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?” Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu.

Yuanita mengangguk manis “Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini telah berkumpul di kapal itu.”

Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu mepet. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong dan Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu. Kung Liong ikut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Dia terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu telah berpelukan dan berciuman dengan dia! Ketika Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang.

“Halooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?” serunya, melepaskan adiknya dan melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya.

Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka berjabat tangan.

“Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” kata Kun Liong gembira.

Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.

“Ahhh, terima kasih banyak, Yap--taihiap...”

“Jangan menyebutnya tai-hiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!” Yuanita mencela kakaknya.

“Dia benar, Yuan. Kita adalah sahabat, sebut saja namaku,” kata Kun Liong.

Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu tersenyum lebar. “Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menjatuhkan hatimu di depan kaki pendekar perkasa ini?” Dia tertawa bergelak.

“Andaikata benar demikian, apakah kau tidak setuju?” Yuanita juga berkata sambil tertawa.

“Tentu saja!”

Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu dianggapnya keterlaluan dan luar biasa sekali sampai muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara bebas, seolah-olah urusan cinta merupakan hal yang boleh dianggap main-main?

Mereka menghentikan sendau-gurau ketika melihat Legaspi Selado dan seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan yang berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berjalan di sebelah wanita ini, mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian. Kun Liong tidak mempedulikah yang lain, hanya dia menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

“Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?”

Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya menuding ke arah muka Kun Liong. “Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata-mata wanita di Ceng-to!”

Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tidak mengerti maksudnya, akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda.

“Tar-tar-tarrr...!”

Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.

“Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!” Tiba-tiba Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu.

Yuan meloncat ke depan dan berteriak. “Hendrik, jangan...!” Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang telah mencabut pistolnya. “Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!”

Menyaksikan keributan ini, Richardo sudah melangkah maju dan segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang amat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti telah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya terkena angin laut berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat.

Ketika terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hem, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya.

“Jadi engkau seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?” tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah agak parau mendatangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong. Dia tidak menjawab, hanya membalas pandang mata itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini tidak berbahaya pula seperti Legaspi Selado. Ka-kek itu memanggil, “Nina...!” dan wanita itu meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas.

lanjut ke Jilid 050-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar