Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 34

Petualang Asmara Jilid 034

<--kembali

Kun Liong menjadi girang sekali.

“Kau benar-benar mau?”

Hwi Sian mengangguk.

“Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?”

Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar tidak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya!

Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak seperti kelinci ke-takutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!

“Hwi Sian, kau benar-benar mau?”

Hwi Sian tidak berani menjawav karena jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan.

Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tidak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya meng-angguk, kini dia benar-benar ingin di-cium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!

“Kalau mau...” Suara Kun Liong ma-kin gemetar seperti orang sakit demam. “Kalau mau, kaupejamkan matamu...”

Mata itu malah terbelalak, ageknya heran, kemudian sepasang mata yang in-dah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mu-lutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu. Sentuhan ini mendatangkan getaran hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka se-dikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.

Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah, kedua lengannya kini tanpa disadarinya telah memeluk pinggang Hwi Sian. “Satu kali...” bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.

Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika, melihat muka Kun Liong mendekat lagi, ia menjadi ngeri dan cepat memejamkan matanya. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong. Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tidak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!

Ciuman yang ketiga kalinya ini amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Ketika Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat mena-han napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua le-ngan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.

“Eh... eh... kok menangis? Ada apa ini...?”

Pertanyaan itu membuat Hwi Slan makin sesenggukan.

“Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh...” Kun Liong menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu. Gadis itu sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seolah-olah setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!

“Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak. Senang atau susah?”

“Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku, aku juga cinta kepadamu!”

Kun Liong terkejut seperti mendengar guntur di tengah hari. “Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?”

“Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku...”

Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat ber-diri. Dia memandang dengan alis berke-rut dan sikap sungguh-sungguh, “Hwi Sian, siapa bilang... eh, bagaimana eng-kau tahu bahwa aku cinta kepadamu?”

Kini gadis ini pun meloncat berdiri, matanya memandang tajam dan alisnya berkerut. “Tentu saja! Setelah apa yang kaulakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh, tidakkah begitu?”

Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian.”

“Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seper-ti itu...”

“Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan te-tapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepa-daku!”

Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarah-an.

“Yap Kun Liong! Jadi kau... kau ha-nya mau mempermainkan aku?”

Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa- pun juga. Sebelum aku menciummu, bu-kankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?”

“Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kaulakukan tadi...”

“Apa bedanya kalau kita melakukan-nya dengan dasar sama suka dan rela?”

“Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apalagi seperti yang kaulakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!”

“Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walaupun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan de-ngan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilaku-kan dengan kerelaan kedua pihak...”

“Tapi aku cinta kepadamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukannya, dengan siapapun juga. Lebih baik aku mati!”

Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk kepalanya yang gundul. “Kau aneh sekali...”

“Kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghina-ku!”

“Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biarpun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh...”

Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya kalang--kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot meng-elak dan menangkis.

“Nanti dulu... ehhh... heiiittt... luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah eng-kau sudah gila?”

“Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!” Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.

“Waaahhh... celaka! Nah, kaulihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!” Kun Liong terpaksa melempar diri ke bela-kang dan bergulingan, kemudian melom-pat bangun dan melihat Hwi Sian benar--benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!

“Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?” Hwi Sian mengejar.

“Waah, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka kalau harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!” Dia mengerahkan gin-kang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil menge-pal tinjunya. Setelah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.

Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan suara yang sama halusnya berkata, “Hwi Sian, jangan menangis. Kaumaafkan aku kalau memang kau ang-gap aku bersalah.”

Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh sekali menyelinap di hatinya melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya makin menjadi-jadi!

Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia me-narik napas panjang, lalu berkata, “Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat meng-hinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubohongi, bukan?”

Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong mengeluarkan saputangannya dan menggunakan saputangan itu menghapus pipi yang basah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini seperti meremas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepalanya di atas pundak Kun Liong!

“Sudahlah Hwi Sian,” Kun Liong mengelus kepala gadis itu, “Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?”

“Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?”

“Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu.”

Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat buruk dan sama sekali tidak menghinanya sungguhpun apa yang dilakukannya amat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali!

“Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka berbohong apalagi kepadamu, biarpun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?”

Hwi Sian memandang bingung. “Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku...”

“Hemm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?”

“Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... eh, baik hati. Aku suka kepadamu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!”

“Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada seseorang dan mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, ketika aku menyatakan tidak cinta kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak membunuhku...”

“Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi aku menyerang dan memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku saja.”

“Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tidak akan mendatangkan benci! Cinta bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir dengan kebosanan. Cin-ta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir.”

“Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?”

“Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masih terlalu kotor sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian.”

“Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?”

“Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat setangkai bunga yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, kita akan menyesal dan kecewa. Nah, mau-kah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku? Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!”

Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Semenjak kecil dia telah mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan yang sama sekali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia mendengar nasihat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu berahi. Adakah tadi nafsu berahi yang mendorong sehingga dia merasakan nikmat dalam pelukan dan menerima ciuman Kun Liong?

Tiba-tiba Kun Liong memegang tangannya. “Eh, ada banyak orang datang berkuda!”

Mereka bangkit berdiri dan menoleh ke belakang. Benar saja, tak lama kemudian muncullah serombongan orang berkuda. Kun Liong terkejut ketika melihat bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek--bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai.

“Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!” Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.

“Hwi Sian, mari kita lari!” Kun Liong berbisik.

“Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suhengku memang bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka aku yang kebetulan dapat membongkar rahasia mereka. Aku harus lawan mereka!” Tanpa menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari menyambut rombongan itu, dan langsung dia meloncat dan menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan bersama Hen-drik pemuda asing.

“Pemberontak hina!” Hwi Sian membentak marah.

Diserang secara tiba-tiba dengan dahsyat, panglima yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri dari atas kuda, bergulingan lalu meloncat bangun.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencarimu, Nona!” katanya sambil mencabut sebatang pedang.

“Tangkap dia!” Panglima itu membentak dan dua orang perajurit lalu menggunakan pedang mereka menubruk. Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biarpun dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Ketika dua orang itu menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya meraih. Seorang perajurit berteriak, tubuhnya terjengkang dan pedangnya terampas dan di lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur jatuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian!

Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk dengan pedang rampasannya dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi.

“Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!” Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Tubuhnya sudah melangkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.

“Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu. Kun Liong sejak tadi sudah melihat dan siap untuk membantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan dapat melayani pengeroyokan para perajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi melihat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pemuda itu, menghadangnya dan mencelanya.

Kini mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan, gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentu “pendeta” muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sambil tersenyum berkata,

“Bapak Pendeta, datang dari kuil manakah, dan apakah hubungan Bapak Pendeta dengan gadis pemberontak itu?”

Kun Liong tersenyum masam. Bangsanya sendiri saja, juga seorang gadis seperti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apalagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah tentang kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,

“Aku tidak datang dari kuil manapun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui betul siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!”

Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan.

“Pendeta muda sombong, engkaulah pemberontak!” Hendrik sudah meneriang maju dengan gerakan yang dahsyat. Pemuda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan memiliki tenaga yang dahsyat, kedua tangannya bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.

“Hemm... kau ganas...!” Kun Liong mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong--sin-kun yang ia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini mengeroyok Hendrik dari delapan penjuru!

“Kau pendeta sombong hebat juga!” Hendrik berkata kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu amat runcing dan tajam ringan dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!

Kun Liong cepat menghindarken diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tidak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi dengan pedang kecil panjang itu di tangan lawannya merupakan bahaya baginya. Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Slan. Dia menoleh dan melihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah panglima yang menggunakan pedang. Agaknya dara itu terancam bahaya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.

“Cuit-cuit-cuit-singg...!” Kun Liong cepat melompat ke belakang, hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi karena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir akan keadaan Hwi Sian, Kun Liong mengeluarkan teriakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tampak uap putih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.

“Ougghh...!” Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang tepat untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.

Ternyata Hwi Sian telah terluka di paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan, akan tetapi di dekatnya tampak seorang laki-laki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah pingsan itu. Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki--laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian. Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!

Tan Swi Bu menoleh dan berkata, “Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoiku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!”

Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali memperoleh korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan menyangkanya seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri, mendorong roboh seorang perajurit yang menunggang kuda, kemudian dia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.

“Tan-enghiong, lekas lari!” Dia berseru.

Melihat betapa “hwesio” itu telah berhasil melarikan sumoinya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lain yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan ia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.
“Kejar...! Siapkan kuda...!” Terdengar panglima itu berteriak.
Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing, melakukan pengejaran.
Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya dan para pengejar tidak jauh, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, dan berkata, “Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!”
“Akan tetapi...” Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.
“Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!” Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoinya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini setelah melibat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dulu pernah dilihatnya.
“Jadi engkau... Siauw-hiap...”
“Pergilah cepat!” Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, membalap dan sebentar saja pemuda dan sumoinya itu sudah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong lalu menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar. Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga ketika para pengejar tiba di situ, mereka menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras dan meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong!
“Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!” Bhong-ciangkun berseru setelah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan.
Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu sudah melompat melampaui kepala pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda. Serangannya dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang-sin-kun dari Tiang Pek Hosiang. Biarpun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!
Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia cepat secara terpaksa melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Biarpun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya. Kemudian Kun Liong dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari sehingga pasukan itu tidak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau dan tidak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!
Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari jauh membawa sumoinya. Sebetulnya tidak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk berkelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan kalau terpaksa sekali baru dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok tanpa melukai berat. Biarpun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!
Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, akan tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tempat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauhnya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi. Kurang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini kemudian dia meloncat ke belakang dan berkata, “Aku sudah lelah, lain kali saja kita main--main lagi!” Kun Liong lalu melarikan diri. Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, akan tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapat kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul selalu lari ke sana ke mari, seperti seekor kucing yang mempermainkan pengeroyokan segerombolan tikus!
Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun manusia kecuali dia sendiri. Celakanya, malam tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dari langit seperti dituangkan. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum-jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan.
Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia telah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia mendapat keterangan babwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar. Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu. Dia tersaruk-saruk terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak dapat melihat jelas karena diserang terus-menerus oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting seperti berubah menjadi tangan-tangan setan yang menjangkau, menyergap dan mencekik! Pohon-pohon besar yang kadang-kadang hanya tampak kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang berlumba untuk menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin melanda daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu.

lanjut ke Jilid 035-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar