Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 33

Petualang Asmara Jilid 033

<--kembali

“Apa yang dikatakan Tung-taijin, be-nar,” kata panglima yang berpakaian komandan pasukan. “Selain pasukan pemerintah besar sekali, juga di sana terdapat banyak pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya.” Jelas bahwa panglima ini merasa jerih.

“Hemm, tentang itu, mengapa Ciang--kun (Panglima) merasa khawatir? Kami dari Pek-lian-pai mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami berhubungan juga dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal.”

“Ha-ha-ha-ha!” Kakek asing yang di-sebut namanya Legaspi Selado itu tertawa bergelak sambil memandang ke atas sehingga perutnya yang gendut tergun-cang-guncang. “Memang Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita, mengapa mesti takut? Kalau tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan dapat berha-sil? Bagaimana katamu, eh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?”

Si Muka Hitam menyeringai. “Memang tak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus berhati-hati, pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga benar bahwa kita harus berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang sakti membantu pomerintah, dan para datuk tidak mau bersatu, agaknya me-mang berat bagi kita. Sayangnya, empat orang datuk yang tadinya sudah bersemangat, kini kendur lagi semangatnya, menganggap perjuangan ini terlalu ber-bahaya, tidak sesuai dengan hasilnya untuk mereka nanti.”

“Ha-ha-ha, kalau memang kalah kuat, mengapa takut? Kami sanggup menyedia-kan senjata-senjata api dan melatih pa-sukan kalian. Dengan senjata api, kiranya kita akan jauh lebih kuat. Kami memba-wa meriam-meriam di kapal, kalau perlu dapat kami datangkan lagi dari barat.”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Pemberontak-pemberontak hina!” Dan tampak sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam kamar itu.

Kun Liong dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah seorang gadis muda yang cantik. Begitu masuk, gadis itu sudah mencabut pedangnya dan menye-rang Tung-taijin sambil memaki, “Pembe-sar terkutuk! Pengkhianat bangsa! Orang macam engkau harus mati!”

“Trang-trang...!” Bhong-ciangkun yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut goloknya dan menangkis tusukan pedang ini. Seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang duduknya dekat, cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Agaknya dia terlalu memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya begitu saja.

“Tosu pemberontak, robohlah!” Gadis itu tiba-tiba membalikkan tubuh, tangan kirinya memukul dengan kecepatan yang luar biasa.

“Dukkk!” Tosu Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena dihantam dadanya dan dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi tetap saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan luka di dalam dada-nya.

“Cringgg...! Aihhh...!” Dara itu menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam pedangnya dan... pedang itu terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek--bin Thian-sin sudah turun tangan dan sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si Muka Hitam ini tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai.

Maklum bahwa pihak lawan amat lihai, dara itu sudah meloncat secepat burung walet terbang ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.

“Uiii..., hendak lari ke manakah, No-na?” Kakek asing berkepala botak ber-tanya, suaranya nyaring disusul suara “tar-tar-tar!” dan tampaklah sinar putih seperti ular menyambar ke arah jendela. Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menierit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing itu! Si Kakek memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang terdiri yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya berge-rak menyambar.

“Plakkkk!” tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu ping-san, tak dapat bergerak lagi!

“Ha-ha-ha, beginikah yang kaumaksud-kan orang-orang lihai yang membantu pemerintah, Tong-taijin?” Legaspi Selado berkata sambil tertawa. “Kalau hanya begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!”

Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa dan menatap tubuh dara yang telentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Dara itu memang cantik dan bentuk tubuhnya padat langsing me-narik hati.

Sementara itu, Keng Hong berbisik, “Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka mengejarku, kautolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tung-gu aku di luar kota sebelah barat.”

Kun Liong mengangguk dan sekali berkelebat, supeknya itu sudah lenyap. Kun Liong memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, ti-dak tahu apa yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk meno-long dara cantik itu.

Tak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin telah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayang-an dua orang melayang ke dalam ruangan itu.

“Tar-tar-tar!”

“Wuuuutttt...!”

Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin berge-rak menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika! Akan tetapi dapat diba-yangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu ada-lah dua orang penjaga yang menjadi pe-ngawal Tung-taijin!

Kembali ada dua orang melayang masuk. Sekali ini dua orang sakti itu tidak mau sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam keadaan sudah pingsan.

“Keparat, siapa berani main gila di rumahku?” Hek-bin Thian-sin sudah me-layang ke luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh Legaspi dan puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu Pek--lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri.

Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu bahkan rumah itu seperti ikut terge-tar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara supeknya yang me-nantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam ruangan.

Maka dia lalu melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keada-an remang-remang maka mereka tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa kaget dan marahnya ketika bayangan yang me-layang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang menjadi tawanan. Me-reka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai sin-kangnya sedangkan tangan kanan dipakai memanggul tubuh dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka, akan tetapi mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mujijat yang dapat merobohkan mercka tadi saja sudah membuktikan bahwa “hwesio” yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh untuk mereka. Betapapun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, me-reka meloncat lalu mengejar sambil ber-teriak. “Tahan penjahat yang melarikan tawanan!”

Mereka semua berkumpul di atas gen-teng, bingung karena mereka kehilangan “penjahat” yang mengacau tadi!

“Eh, ke mana perginya setan itu tadi?” Legaspi bertanya penuh penasaran. Dia mendengar juga lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang menge-luarkan suara itu memiliki khi-kang yang amat hebat, yang membuat dia merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bu-kan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan tetapi me-reka hanya melihat bayangan orang ber-kelebat dan lenyap!

“Celaka, tawanan dilarikan orang...!”

Teriakan dua orang tosu Pek-lian--pai ini makin mengejutkan mereka. “Sia-pa yang melarikan?” bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.

“Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwe-sio gundul. Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan ta-ngannya.”

Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lalu mengumpulkan pengawalnya dan pengawal Tung-taiiin, memaki-maki me-reka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan pencarian di seluruh kota!

Dengan waiah murung mereka kembali ke ruangan tadi dan menyuruh orang menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.

“Apa yang kukatakan tadi!” Bhong-ciangkun berkata, suaranya gemetar ka-rena dia merasa tidak enak sekali. “Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul dua orang itu saja sudah kacau kita!”

Legaspi Selado juga masih terkejut sekali. “Hemmm... kepandaian orang yang mengeluarkan suara melengking itu memang hebat, kurasa belum tentu ada keduanya di negeri ini...”

“HARAP Saudara Legaspi jangan ber-pendapat demikian,” Hek-bin Thian--sin membantah. “Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini ba-nyak sekali terdapat orang sakti yang me-lebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang tidak dapat dilawan oleh ilmu yang ma-napun juga. Masih ada lagi yang hebat--hebat, seperti para pengawal Panglima Besar The Hoo, yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum sebera-pa hebat kalau dibandingkan dengan ke-saktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan...”

“Hemmm... kalau tadi aku membawa senjata api, agaknya dia tidak akan mudah saja melarikan diri!” kata Hendrik dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan dia, hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.

Peristiwa malam itu di rumah Hek-bin Thian-sin membikin kecut hati kedua orang pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan orang-orang asing itu.

Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri supeknya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supeknya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu.

“Supek!” katanya kagum.

Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. “Tidak terluka, hanya terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kaularikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Ke-mudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan di mana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan padanya agar jangan lancang lagi menyerbu gua harimau. Aku sendiri harus pergi ke kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemu-dian, kalau ada waktu pergilah ke Cin--ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut.”

Kun Liong tak dapat membantah biarpun dia masih ingin melakukan perja-lanan bersama supeknya yang sakti itu. “Baiklah, Supek.” Dia tidak mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supeknya tidak setuju dan melarangnya.

Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke barat sedangkan Keng Hong se-gera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melaku-kan pengejaran, maka Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia me-masuki hutan yang besar. Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar. Dara itu masih pingsan dan dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin sekali, biarpun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menye-limutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah yang telentang itu.

Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerah-an, apalagi bibirnya yang setengah terbuka itu! Cahaya api unggun bermain--main di atas wajah cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya. Setelah puas menjelajahi wajah itu de-ngan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut yang se-tengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jan-tungnya berdebar aneh. Mulut ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya begitu segar nampaknya, bagai-kan buah angco merah yang masak, men-datangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya!

“Plakk!” Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. “Gila kau!” Dia memaki ketika mengenal pikirannya sendiri tadi. Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seorang yang mata keranjang? Mata keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik, seperti orang tertarik melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu?

Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk mendekati muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya. Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok Keng ketika dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.

“Plakkk!” Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, agak keras sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya. Tidak boleh! Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor! Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tidak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat. Akan tetapi, kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau? Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang di-cium dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayah-nya, dan dia menjadi berduka, lalu me-rebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!

Malam telah terganti pagi. Kun Liong menggeliat dan menelungkup. Tiba-tiba dia terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di teng-kuk telah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah ke-matian, dan kini ada dua buah jari ta-ngan yang sudah menempel di tengkuknya dan terdengar bentakan, “Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!”

Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Kiranya dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sin-kangnya menutup jalan darah di tengkuk. Akan teta-pi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.

“Eh, eh, kau mau apa?” tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersem-bunyi di antara kedua lengannya.

“Hayo katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini? Engkau tentu kawan pemberontak- pemberontak itu, ya?”

“Hi-hi-hik!” Kun Liong tertawa geli.

“Eh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih ingin mampus?”

“Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tapi dengar dulu kata-kata-ku, Nona galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!”

Gadis itu marah sekali, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sin-kangnya. Kalau perlu, untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi-i-beng! Akan tetapi agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggap-nya hwesio itu maka dia mendesak, “Ja-ngan kurang ajar! Kekeliruan apa yang kulakukan?”

“Pertama, aku bukan anggauta atau kawan para pemberontak itu, ke dua, akulah yang melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!”

“Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?” Dara itu membalikkan tubuh Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini dia pun teringat ketika melihat sepasang mata itu.

“Engkau...? Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?” Dia merasa yakin sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.

Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas. “Hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu? Aku Lim Hwi Sian.”

Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. “Jadi engkau ini, ya? Kesalahanmu makin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!”

Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Maafkan aku. Aku tadi salah sangka... ah, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Tai-hiap (Pendekar Besar)...!”

Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu membulat. “Kau ini mengangkat atau memembanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!”

“Eihhh? Apa salahku?”

“Kau menyebut aku tai-hiap segala macam. Kau mengejek, ya?”

Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali! “Tidak! Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biarpun kau pura-pura... eh, bodoh dan kepalamu kaucukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa menolongku kali ini dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?”

Kun Liong merasa terdesak. “Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku tai-hiap. Sekali lagi, aku benar-benar akan marah!”

Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa pemuda gundul ini hanya pura-pura marah tadi. Maka timbul juga kenakalannya. “Habis, aku harus menyebut situ apa?”

“Kok situ? Situ mana?”

Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! “Jangan main-main lagi! Tentu saja yang kumaksudkan situ adalah engkau.”

“Hemm, omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu saja, kaupun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?”

“Hi-hik. Kau lucu!” Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi mengguna-kan tubuh telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!

“Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu kita mula-mula bertemu? Kau masih seorang perempuan yang manis, sekarang...”

“Sekarang apa?”

“Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita.”

Dara itu mengerutkan alisnya. “Yap Kun Liong, kalau aku tidak yakin bahwa engkau memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis dengan ucapanmu itu.”

“Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah mclupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kaubenci ini sampai tiga kali!”

Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah sekali. “Kun Liong, mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ah, itu soal lalu, ka-rena aku merasa menyesal telah menya-kitkan hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan aku.”

“Hemm, kalau sekarang? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!”

“Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... eh, mengapa kau memandangku seperti itu?”

“Tidak cukup dengan maaf! Kalau dulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang akan menciummu, bukan kau yang menciumku.”

Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. “Apa... apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?”

“Terserah kau mau menganggap bagai-mana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya mau memberi maaf kalau kau suka kucium. Dengar baik--baik, aku sudah sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan biarpun kau sedang pingsan ka-rena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu de-ngan menciummu, akan tetapi kalau kau suka, bukan paksaan!”

Muka yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah, agaknya bingung bukan main. “Kalau... kalau aku tidak mau?”

“Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja, aku pun tidak mau memaaf-kanmu dan akan selalu mengaggap kau seorang gadis tak tahu membalas budi!”

“Kun Liong...” Suara itu seperti ber-mohon agar pemuda itu tidak mengang-gapnya demikian. “Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada-mu. Akan tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukan-nya?”

“Bukan kau yang melakukan, melain-kan aku.”

“Maksudku... eh, kau membikin bi-ngung aku. Aku... aku...”

“Dengar, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak mau. Habis perkara.”

“Kau mendesak, seperti memaksa.”

“Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Kalau kau tidak suka, katakan tidak mau dan kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?”

“Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu, ah!”

“Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang!”

“Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau se-tan...”

“... gundul!” Kun Liong menyambung.

Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.

“Nah, bagaimana?” Kun Liong teringat lagi dan bertanya.

“Bagaimana, ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali...”

“Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!” Kun Liong memotong cepat.

“Tiga kali?” Sepasang mata itu terbe-lalak, tangannya meraba-raba rambutnya. “Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak ke-ramas.”

“Siapa mau mencium rambutmu?”

Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga. Kun Liong terpaksa me-mejamkan matanya. Manis sekali wajah itu!

“Tidak mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?”

Kun Liong membuka matanya, tersenyum. “Siapa main gila. Aku main sung-guhan! Tidak perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau kucium?”

“Mau sih... mau, akan tetapi...”

“Kalau sudah mau masih ada tetapi-nya, namanya bukan mau...”

“Kau sih aneh! Dahulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak men-cium... apa?”
“Hwi Sian, memang agak sukar mem-beri pengakuan. Pendeknya aku baru suka memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku! Kalau engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu ku-katakan mana yang akan kucium. Pokok-nya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau ti-dak?”
Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepa-sang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu ter-senyum aneh! Lalu Hwi Sian mengang-gukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tu-buh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!

lanjut ke Jilid 034-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar