Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 35

Petyalang Asmara Jilid 035

<--kembali

“Desss!!” Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.

“Aduhhh...!” Kun Liong meraba tengkuknya. Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang dilatihnya selama ini tiada gunanya sama sekali. Betapapun pandainya manusia menghadapi kekuatan dan kebesaran alam benar-benar tak ada artinya. Mana mungkin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pukulan ranting tadi yang melecut tengkuknya kalau badai mengamuk dan menghembuskan angin yang bergulung-gulung menenggelamkan dirinya seperti itu?

Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang amat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, biarpun tanahnya tertutup rumpul tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.

Kun Liong menggunakan kedua tangan mengusap air yang membasahi kepala dan mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuatnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar telah membuat sin-kang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang menjadi amat kuat dan sebentar saja tubuhnya terasa hangat.

Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biarpun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti gila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tidak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu dan kehabisan tenaga.

Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar amat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti dalam dongeng berada di atasnya dan menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seolah-olah iblis-iblis itu hanya menanti saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.

Kun Liong tersenyum sendiri. Mengapa dia harus takut, pikirnya? Benar-benar adakah hantu seperti yang didengarnya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andaikata malam ini dia melihatnya, apakah yang ditihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain hanya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibacanya? Andaikata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tidak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu bahkan mungkin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali seperti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang-orang tertarik melihat sebuah tanaman atau seekor mahluk yang selama hidupnya belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan tentang iblis lagi, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!

Tolol kalau aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikiran merenungkan semua itu dan membayangkan kalau-kalau akan timbul lagi hal-hal itu di masa datang!

“Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Mari kita beramah-tamah dan mengobrol!” Pemuda itu berteriak-teriak, akan tetapi suaranya hanyut dalam desau angin dan desau daun-daun pohon.

Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup.

Setiap ada angin halus menghembus, butiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah. Kun Liong berjalan perlahan, kedua tangannya meraba-raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorongnya untuk meninggalkan tempat berteduh itu biarpun malam masih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya, maka dia melangkah dengan hati-hati, menggunakan tangan untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, presis seperti laku seorang buta melangkah melalui jalan yang tidak dikenalnya. Ketika dia duduk tadi, dia mendengar suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya tentang hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan, sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!

Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan seringkali tenggelam dan lenyap kembali. Akan tetapi kini mulai terdengar jelas, dan Kun Liong menghentikan lang-kahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara parau itu.

“Berani hidup mengapa takut mati?
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi “aku” tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!”

Kun Liong melangkah mendekat. Kalau dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin dia saat itu akan ketakutan dan menduga bahwa itulah hantu yang dia hadapi sekarang. Bukankah ada dongeng mengatakan bahwa hantu dapat mengambil bentuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekalipun?

Dia itu seorang kakek tua, usianya sukar ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun, pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar rambutnya yang berwama dua itu tidak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambaran kakek ini berkurang kelayuannya karena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api unggun di hutan yang baru saja diamuk hujan dan badai?

Kakek itu menengok. Mereka berpandangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri.

“Maaf, Kek, kalau aku mengganggumu.” Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.

“Kau mau apa?”

“Aku dingin, api unggunmu dan nyanyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini.”

“Kau hwesio?”

“Bukan, Kek, sungguhpun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta.”

“Hem, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!”

Kun Liong duduk dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu menyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat dan nyaman sekali duduk di dekat api unggun pada waktu malam sedingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.

“Mengapa kau membenci hwesio, Kek?”

“Mereka itu munafik.”

“Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?”

“Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!”

“Ah, tidak semua begitu, Kek! Memang dunia ini penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hatinya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, dan ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?”

“Akan tetapi pendeta yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor berpakaian bersih!”

“Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik.”

“Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!”

“Aku tidak mengerti, Kek.”

“Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyianku menarik perhatianmu?”

“Benar, karena nyanyianmu amat indah!”

“Kau suka mendengarnya?”

“Sama sekali tidak!”

Kakek itu mendengus, matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, lalu dia mendengus lagi. “Mengapa tidak suka?”

“Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!”

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia tergetar, tanda bahwa suara itu mengandung khi-kang yang amat kuat! Tiba-tiba kakek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhatian. Agaknya kakek itu pun walau tidak kentara, melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu disertai pengerahan khi-kang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sin-kang lumayan sekalipun!

“Orang muda,memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati, bercerita tentang kematian, dan dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!”

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang amat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat!

Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menyangka akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Dessss...! Haiiiih!!”

Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong telah mengerahkan sin-kang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Sebetuinya, ketika mengadu tenaga sin-kang tadi, dapat saja kalau dia hendak menggunakan Thi-khi--i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilakukannya karena memang dia tidak bermusuh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sin-kang itu membuat tubuhnya juga terlempar sampai jauh.

Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, maka dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu, maka dia segera mcloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.

“He, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...??” Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran.

Kun Liong menyelinap di balik sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi dan mengomel panjang pendek. Barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar.

SETELAH sinar matahari pagi menerangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon tumbang dan roboh malang melintang dilanda badai, terutarna pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seolah-olah ada iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa di dalam hutan menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam.

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di sanalah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan tampak pula pulau-pulau kecil kehijauan, di tengah telaga. Sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng--pang yang dicarinya. Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang dan secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang telah menyerbu kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan besar bahwa Kwi-eng-pang, sebagai sebuah perkumpulan besar yang terkenal, akan memandang Siauw-lim-pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang. Dia akan mengemukakan kebenaran dan akan membujuk Kwi-eng-pangcu agar tidak menanam permusuhan dengan sebuah perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biarpun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut. Dia datang bukan untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang tercuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Hosiang!

Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini tampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok dan genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.

Tiada angin di pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang amat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Cahaya matahari pagi mulai menyapu permukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur. Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari sinar matahari. Agaknya bukan hanya mahluk darat dan mahluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga mahluk air penghuni telaga. Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apalagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.

Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan perahu itu, tepat seperti yang dikehendakinya, didayung ke arah daratan.

Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan! Jelas tampak dari dandanan rambut dan pakaiannya, dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri? Betapapun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.

“Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?” Dia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong!

Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agaknya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah mengapa sengaja menggunduli kepalanya. Akan tetapi kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Sebaiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh dan kepala itu begitu bersih, begitu telanjang sehingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!

“Siapakah engkau dan mengapa kau minta menumpang di perahuku?” Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya.

Kun Liong yang merasa bahwa dia menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang, merasa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang, maka dia menjawab, “Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng-pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu.”

Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba lenyap dari wajah yang pukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga ketika dia bertanya, “Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng-pangcu?”

Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. “Bukan!”

“Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?”

“Aku mempunyai sedikit urusan yang hendak kubicarakan dengan Kwi-eng-pangcu. Urusan penting yang akan kusampaikan kepadanya sendiri. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya.”

Melihat pemuda gundul itu menyebutnya “kouwnio yang baik” beberapa kali dan tersenyum-senyum, wanita itu berkata, “Sebetulnya aku mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu.”

Kun Liong terkejut, akan tetapi juga girang. Kiranya Kwi-eng-pang tidak seperti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang berbahaya, sarang dari golongan hitam. Buktinya sekarang sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan manis!

Kun Liong menjura dan berkata girang, “Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik.”

Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil agak bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa wanita itu biarpun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi tentu “berisi”!

“Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio.”

Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong dan duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, biarpun hatinya tegang dan ingin dia cepat-cepat tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sin-kangnya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.

Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya terhadap ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya dan pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah!

“Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita.” Wanita itu menuding.

Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.

“Mereka tentu terheran-heran mengapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tetapi membawa seorang tamu.” Wanita itu terkekeh genit. “Kita sudah dekat, biar aku yang mendayung karena daerah dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik.”

Kun Liong terkejut mendengar ini dan cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, tiba-tiba jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.

Wanita itu hampir menjerit ketika ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya dipergunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.

“Krakkk!” Ujung dayung itu patah!

“Ihhhh...!!” Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air membawa dayungnya.

“Eihhh. Toanio, kau mengapa...?” Kun Liong berseru kaget. Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga ikut terlempar ke dalam air. Dia masih dapat melihat betapa tiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.

“Byuurrr...!” Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang. Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya tenggelam saja, dia bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.

“Ahhhauuupppp!” Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya! Dia menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas setelah dia menjejak dasar telaga. Baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!

Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga den ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya seperti hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya juga diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.

Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih dapat melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan ke daratan pulau. Yang mesiyeretnya adalah seorang wanita yang cantik juga, dan di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yang seorang adalah wanita yang membawanya tadi, kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang den kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau.

“Hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!” Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.

“Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!”

“Wah, ikan apa ini kepalanya gundul dan bersih sekali tidak ada rambutnya selembar pun!”

“Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!”

“Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh.”

Wanita yang menyeret berkata, “Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!”

“Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?”

“Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan.”

“Kehabisan apa?”

“Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!”

Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya seperti serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!

Ketika tubuhnya diseret tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon dan tentu saja tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong. Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena tubuhnya terasa lemas semua dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!

Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggauta dan para murid Kwi-eng pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.

lanjut ke Jilid 036-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar