Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 58

Pedang Kayu Harum Jilid 058

<--kembali

"Maksudmu... Kita berboncengan?" tanyanya, agak gugup karena memang selama hidupnya, biar usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apalagi boncengan menunggang kuda!"

Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih "murni" itu, dan ia berkata merdu,

"Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!"

"Ah, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona menunggang kuda aku berjalan kaki saja."

"Mana bisa begitu, Siangkong? Apakah Siangkok merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah ... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?"

"Eh...., eh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..." Cong San berkata gagap.

"Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang yang kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah Siangkong suka di depan atau di belakang?"

Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan maka dia lalu berkata, "Biarlah.... Aku di belakang saja, Nona."

Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ah, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan?

Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata, "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!"

Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu. "Kuda begitu tinggi.."

"Meloncatlah!" kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda seperti permainan kanak-kanak saja.

"Saya... Saya tidak bisa....!" Cong San berkata dan para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apalagi yang tidak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukan pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!

"Mari tanganmu, kubantu!" Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena ia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini. Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.

***

"Berpeganglah kuat-kuat!" kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.

"Eh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud agar si pemuda menjadi ketakutan. Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pingang yang ramping itu sehingga diam-diam Cui Im menjadi girang bukan main, tubuhnya terasa panas semua karena nafsu berahinya sudah berkobar!

Sela kuda itu legok bagian tengahnya. Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah dan berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh daripada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung dan malu sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat. Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya!

Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun. Setelah keluar dari pintu gerbang, kuda membalap cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segerta menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah.

Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan disitu tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul telah tersedia di atas meja.

"Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil akan minum."

Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu.

Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata, "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!"

Cong San mengangkat cawan dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis. "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya."

"Ah, Nona. Sesungguhnya sayalah yang harus malu. Nona adalah seorang yang berpengaruh dan berkuasa, dan.... hemmm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa Nona tentulah seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya, seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin."

"Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!" Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka. "Silakan minum demi....eh, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!" Ia mengerling tajam penuh arti.

Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya. "Terima kasih, Nona. Aku ...., eh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat." Akan tetapi ia minum juga araknya. Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata,

"Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Kini dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan girang hattti saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?"

Cui Im sudah mabuk, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu berahinya sendiri. Pemuda ini tadi ketika berhimpitan tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah berahinya. Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, sekali tergugah berahinya seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan ini, Cui Im makin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, ia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.

"Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini," katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundak ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata. "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek ! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!" Ia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu berahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.

"Wah, engkau tentu hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang berkepandaian seperti dewa."

"Hi-hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-pa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedang merahku!"

"Aaaahhhhh!" Pemuda itu berseru kaget.

"Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andaikata malam ini ada musuhku datang menyerangku, karena pedangku akan melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?"

Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Diam-diam Cui Im girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.

"Mari kita makan hidangan ini!" Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan. Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini ia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang di dalam cawan tercium bau yang harum dan arak itu berwarna merah.

"Minum, sahabatku. Mari kita minum demi.... Cinta kasih kita!"

Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, lalu menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi. Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu.

Belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini sebelumnya karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya.

Mereka sudah kenyang akan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu telah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan "dingin" saja. hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali. Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik,

"Cong San.... ah, Cong San.... belum tergerak jugakah hatimu...?" Aku suka sekali padamu..." Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainakn jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im membawa tangan itu ke dadanya, dan ia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.

"Aihhh...!" Ia menjerit lirih dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak mengalingi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak!

Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh, "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!"

Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan ia lalu tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,

***

"Cia Keng Hong! Karena mendengar engkau masih berkeliaran di sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tepat sembunyimu. Sekarang dapat masuk ke pondok ini akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!"

Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan. "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!" Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran, "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu! Semua perbuatanmu yang telah engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, sungguh membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat."

"Heh-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dahulu aku cinta padamu dan bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Dan Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau pun seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa kita bersama menikmati cinta kita? Kemudian engkau malah menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?"

"Cui Im, mengingat bahwa engkau, biarpun secara tidak resmi, adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!"

"Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?"

"Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak ingin benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat, menghentikan perbuatan-perbuatamu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apalagi di bawah pengawasan pembesar-pembesar-pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."

Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya sehingga tampak sinar merah, "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah kalau benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guru. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pussaka-pusaka itu kepada peilik asal, berarti engkau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagaimana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tan Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?"

"Cui Im, perempuan iblis! Engkau yang membunuh mereka, masih berani menyebut nama mereka?"

"Engkau mau apa?" Cui Im menantang dan mengejek.

"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu!" bentak Keng Hong yang sudah marah sekali.

Cui Im mengeluarkan suara ketawa melengking tinggi sambil memutar pedangnya sehingga sinar merah bergulung-gulung menyilaukan mata. "Engkau sudah kutunggu-tunggu!"

Agaknya suara ketawa melengking itu dijadikan tanda rahasia, karena tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari jendela dan Siauw Lek bersama Pak-san Kwi-ong telah berada di ruangan itu. Keng Hong tidak kaget melihat ini. Biarpun dia tidak tahu bahwa dia dipancing, namun dia sudah menduga bahwa kalau Cui Im berani muncul di malam hari itu, tentu perempuan itu mempunyai andalan dan ternyata Cui Im diam-diam membawa dua orang lihai ini untuk mengeroyoknya.

"Bagus! Pak-san Kwi-ong dan Kim-lian Jai-hwa-ong memang bukan manusia baik-baik. Membunuh mereka amat berjasa bagi manusia!" Keng Hong mengeluarkan Siang-bhok-kiam dengan gerakan tenang.

"Sombong..!" Teriak Siauw lek dan begitu tangannya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Keng Hong dan ternyata laki-laki ini membacokkan pedang Hek-liong-kiam ke arah kepala Keng Hong dari samping. Tanpa menoleh Keng Hong mengangkat Pedang Kayu Harum di tangannya.

"Cringgg..!!" Hek-liong-kiam tergetar hebat sehingga hampir saja Siauw Lek tidak mampu mempertahankannya. Cepat dia memutar pedangnya sehingga getaran itu terhenti dan dia melangkah mundur. Pak-san Kwi-ong sudah melolos senjatanya pula, yaitu rantai panjang yang di kedua ujungnya bergantung dua buah tengkorak.

Sambil memutar-mutar tengkorak di ujung rantai, Pak-san Kwi-ong melangkah miring, demikian pula Cui Im menggerakkan kaki sehingga Keng Hong terkurung oleh tiga orang lawannya.

Yap Cong San yang berdiri di pojok ruangan, dengan kedua tangan gemetar menuangkan isi guci arak ke dalam cawan di tangan kirinya. Entah kapan dia mengambil guci dan cawan itu, mungkin tadi dia meninggalkan meja dengan kedua tangan masih memegang guci cawan dan kini menyaksikan ketegangan di depan mata yang membuat kakinya seperti terpaku di lantai, dia ingin menenangkan hatinya dengan minum arak!


lanjut ke Jilid 059-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar