Novel Summer in Seoul - Ilana Tan
SEKARANG aku
masih di jalan… Mm, baru pulang kantor… Aku juga tahu sekarang sudah
jam sepuluh… Ya, jam sepuluh lewat delapan belas menit. Terserahlah.”
Sandy
melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang ditempelkan
ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas tangan
kecil merah. Ia mengembuskan napas panjang dengan berlebihan dan
mengerutkan kening. Saat ini orang terakhir yang ingin diajaknya bicara
adalah Lee Jeong-Su, tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap
seperti kekasih yang protektif.
“Jeong-Su,
sudah dulu ya? Aku lelah sekali,” Sandy menyela ucapan Lee Jeong-Su dan
langsung menutup telepon. Sekali lagi ia mengembuskan napas panjang,
lalu menatap ponselnya dengan kesal.
Kenapa
hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan? Tadi pagi ia
sudah bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian diomeli
atasannya dan akhirnya harus lembur sampai selarut ini.
Sandy
semakin kesal begitu mengingat apa yang sudah dialaminya sepanjang
hari. Tapi ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di
tubuhnya terasa sakit dan otaknya sudah tidak bisa disuruh berpikir.
Lagi-lagi ia mengembuskan napas panjang.
Ini
bukan pertama kalinya Sandy harus bekerja sampai larut malam, tapi hari
ini ia sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana
itu. Pekerjaannya sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga
tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya
di pagi hari.
Sandy memandang sekelilingnya. Kota Seoul masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota, membujuk orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea Selatan yang menakjubkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul, Sandy masih terkagum-kagum pada suasana kota ini. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil yang berlalu-lalang. Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana, lagu disko terdengar samarsamar dari toko musik di sampingnya, suara orang-orang yang berbicara, berteriak, dan tertawa.
Tiba-tiba Sandy merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti pada toko makanan kecil di seberang jalan. Setelah merenung sesaat, ia mengangguk dan bergumam, “Baiklah,” seolah menyerah pada perdebatan yang dia lakukan seorang diri.
Sandy
menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin dilakukan
sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir, dan
masuk ke toko itu. Setelah memberi salam kepada bibi pemilik toko yang
sudah lama dikenalnya, Sandy langsung berjalan ke rak keripik.
“Nah,
Soon-Hee, ada masalah apa lagi di kantor?” tanya bibi pemilik toko
setelah melihat lima bungkus besar keripik kentang yang diletakkan Sandy
di meja kasir.
Sandy
tersenyum malu. “Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres.” Ia membuka
tas tangannya dan mencari dompet. Ke mana dompet itu?
“Sebentar,
Bibi. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi…” Sandy
mengaduk-aduk isi tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja
kasir. Kini, selain lima bungkus keripik kentang, di sana ada sisir
kecil, buku kecil yang agak lusuh, bolpoin yang tutupnya sudah hilang,
bedak padat, lipgloss, kunci, payung lipat, tiga keping uang logam,
saputangan merah, ponsel, dua lembar struk belanja yang sudah kusam,
bungkus permen kosong, dan jepitan rambut.
“Kenapa
tidak ada?” Sandy bergumam sendiri sambil terus mencari. Ketinggalan di
rumah? Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa
dompet?
Tiba-tiba
ia mendengar dering ponsel. Sandy melirik ponselnya yang tergeletak di
meja kasir. Oh, bukan ponselnya yang berbunyi. “Kau sudah sampai di
rumah? … Ya, sebentar lagi aku ke sana.”
Sandy
menoleh ke arah suara bernada rendah itu. Suara itu milik pria
bersetelah putih yang berdiri di belakangnya. Rupanya bunyi tadi adalah
bunyi ponsel pria tersebut. Sekarang Sandy melihat orang itu menutup
ponsel dan memasukkannya ke saku celana panjangnya. Sebelah tangannya
memegang keranjang kecil berisi lima botol soju*.
Pria berkacamata itu masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua
puluhan atau awal tiga puluhan, wajahnya tampan dan penampilannya rapi
sekali seperti seseorang yang mempunyai kedudukan penting di perusahaan
besar.
Pria
itu memandang Sandy, lalu tersenyum ramah. O-oh. Baru pertama kali
Sandy melihat senyum yang begitu menarik. Senyum itu membuat rasa
lelahnya seakan menguap tak berbekas. Senyum itu sangat menawan,
sangat…
Sandy
menggeleng untuk menjernihkan pikiran dan kembali memusatkan perhatian
pada barang-barangnya yang berserakan di meja kasir.
Tiba-tiba
Sandy merasa tangannya ditepuk-tepuk. Ia mengangkat wajahnya dan
melihat bibi pemilik toko sedang tersenyum kepadanya dan berkata,
“Soon-Hee, bagaimana kalau tuan itu membayar belanjaannya duluan?”
Sandy
memandang bibi pemilik toko, lalu berpaling ke arah pria yang berdiri
di belakangnya. “Oh, ya. Maaf.” Sandy menyingkir ke samping dan pria itu
melangkah maju.
“Berapa?” tanya pria itu sambil meletakkan keranjang yang dipegangnya di meja. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel lagi.
Kepala
Sandy mulai terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Ia sudah sangat lelah
dan sekarang bunyi ponsel pria itu nyaris membuatnya lepas kendali.
Pria
itu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan meliriknya sekilas. Lalu
ia meletakkan ponsel itu di meja dan merogoh saku yang sebelah lagi. Ia
mengeluarkan ponsel yang berbeda, ternyata ponsel yang kedua itulah yang
sedang berbunyi nyaring.
Astaga,
cepat jawab teleponnya! Satu ponsel saja sudah bikin pusing, kenapa
harus punya dua? pikir Sandy sambil memijat-mijat pelipisnya.
Pria
itu membayar belanjaan sambil tetap berbicara di ponsel, lalu berjalan
ke pintu. Tiba-tiba ia berbalik dan mengambil ponsel satu lagi yang tadi
diletakkan di meja kasir. “Maaf,” gumamnya sambil tersenyum kepada bibi
pemilik toko dan Sandy. Lagi-lagi senyum itu, senyum yang bisa
menghangatkan hati yang beku sekalipun.
Tunggu,
kata-kata apa itu tadi? Sandy memejamkan matanya kuat-kuat dan ketika
ia membuka mata kembali, pria itu sudah berjalan ke luar dan masuk ke
mobil sedan putih yang diparkir di depan toko.
Karena
Sandy tetap tidak bisa menemukan dompetnya, bibi pemilik toko
mengizinkannya membayar besok. Sandy mengumpulkan kembali
barang-barangnya yang berserakan di meja kasir sambil berkali-kali
membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda terima kasih sekaligus
permintaan maaf.
Begitu
keluar dari toko, Sandy langsung membuka sebungkus keripik dan mulai
makan. “Sekarang pulang ke rumah,” katanya pada dirinya sendiri.
Selesai
berkata begitu, ponselnya berbunyi. Saat itu juga ia mengutuk hari
ponsel diciptakan. Sebenarnya ia tidak ingin menjawab ponselnya karena
merasa harus menghemat tenaga untuk perjalanan pulang, tapi benda tidak
tahu diri itu terus menjerit minta diangkat. Akhirnya Sandy menyerah dan
mengaduk-aduk tasnya dengan ganas untuk mencari ponsel sialan itu
sebelum ia sendiri yang bakal menjerit histeris di tengah jalan.
“Haaloo!” Sandy ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa.
Tidak terdengar jawaban dari ujung sana. Orang itu bisu atau apa?
“Halo? Siapa ini? Silakan bicara… Halo? HALOO?”
Sandy baru akan memutuskan hubungan ketika terdengar suara seorang pria yang ragu-ragu di seberang sana.
“Maaf… bukankah ini ponsel Tae-Woo?” Siapa lagi orang ini?
“Anda salah sambung. Ini ponsel Han Soon-Hee,” ujar Sandy ketus dan langsung menutup flap ponselnya dengan keras.
Sandy
menatap ponselnya sambil menggigit bibir penuh rasa dongkol. “Tidak
bisakah kaubiarkan aku tenang sedikit?” Ia baru akan mencabut baterai
ponsel itu ketika ia merasa harus menelepon ibunya untuk memberitahu ia
akan segera sampai di rumah. Walaupun Sandy tinggal di Seoul dan
orangtuanya di Jakarta, mereka sering menelepon dan mengecek
keberadaannya. Tadi ibunya malah sudah sempat menelepon untuk menanyakan
kenapa Sandy belum sampai di rumah.
Ikuti Cerita Selanjutnya......!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar