Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 44

Petualang Asmara Jilid 044

<--kembali

Semboyan dan pendapat yang sama sekali tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Mungkinkah menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan de-ngan cara yang baik!

Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari empat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melanjutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, dan demikian pula Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.

Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya dan setelah mencari keterangan di sana-sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan guha di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet. Maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak guha dan di dalam guha-guba inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara guha-guha itu kini dijadikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!

Hari telah sore dan burung-burung valet beterbangan memasuki guha-guha yang amat banyak itu. Kedua orang datuk kaum sesat itu masih belum tahu benar guha yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan guha-guha dan memasuki guha yang gelap.

“Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi.” Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah guha yang agak besar di tengah-tengah kumpulan guha itu.

Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat perbedaan keadaan guha yang satu ini dengan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki guha-guha yang lain dengan cepat tanpa ragu-ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki guha yang dimaksudkan itu, tidak langsung terbang masuk melainkan beterbangan ke sana-sini di depan guha, seolah-olah mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam guha itu yang mereka takuti.

“Memang, di sanalah dia bersembunyi!”

Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncatan saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan guha yang dimaksudkan tadi. Guha itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka tidak kelihatan ujungnya dari luar.

“Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam guha ini! Apa kauminta kami membakar dan mengasapi guha sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!” Hek-bin Thian-sin berteriak.

“Plok! Plok!” Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).

“Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!” Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.

“Ang-cici, aku sudah menantimu sampai lama sekali di sini! Aku tetap menjadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!”

Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak lagi percaya kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, “Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk membunuhmu dan merampas bokor!”

“Serrr... serrr...!”

Sinar hijau menyambar ke arah dua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

“Hek-bin Thian-sin!” terdengar teriakan Bu Leng Ci dari dalam guha, “Mari kaubantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?”

Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si -Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian-sin meraba-raba dagunya dan mengerutkan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel, “Hemm... hemm, usulmu itu sebetuinya baik juga... tapi...”

“Thian-sin, jangan gila kau!” Kwi--eng Niocu berseru. “Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!”

Saat itu dari dalam guha berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Tentu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat meloncat ke belakang menghindar, lalu menerjang maju lagi menggunakan senjatanya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku-kuku tangannya yang panjang dan beracun!

“Hek-bin Thian-sin, kaupilih saja! Tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!” Bu Leng Ci masih berteriak sambil menggerakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.

Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.

Di dalam pikirannya terjadi perang sendiri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjatanya yang menyeramkan, sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.

Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang panjang melengkung sedikit itu telah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar terang yang berkeredepan. Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini terkenal sekali dengan ilmu ginkangnya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian gin-kangnya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu! Biarpun dia tidak memegang senjata namun sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah. Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci dan akan maju mengeroyoknya. Kebimbangannya inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biarpun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.

Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, “Ha-ha-ha! Mampuslah kau!” Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu! Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li. Keputusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biarpun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, namun dia mengambil keputusan untuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia teringat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu. Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok--hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang-tok Mo-li itu dibantu muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?

Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi-eng Niocu, tentu Bu Leng Ci dan muridnya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.

Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menyerangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah merasa girang sekali. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Agak terlambat dia menggerakkan samurainya menangkis.

“Cringgg...!” Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia menangkis terlambat dan kedudukannya tidak baik, maka terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!

“Siluman betina...!” Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang telah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci. Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tidak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya meluncur seperti sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.

“Trakkk...!” Dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia harus mengorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memutar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat--muncrat keluar dari luka di pahanya.

“Bi Kiok...! Lari...!” Dia menjerit.

Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam guha sambil menanti tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar membantu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian--sin. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama sekali. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia mengamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur gurunya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam guha dan terus melarikan diri.

“Haii, hendak ke mana engkau?” Hek-bin Thian-sin yang memang sudah memperhitungkan hal ini, dapat bergerak lebih cepat dan daripada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut guha dan membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya karena kehilangan kuku jari tangan kiri kepada Bu Leng Ci sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.

“Singgg...!” Sinar terang meluncur ke arah kakek itu ketika Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang menghadang di depannya.

“Trangggg...!” Golok besar itu menangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri. Melihat ini, Hek-bin Thian-sin cepat mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dah Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.

Kwi-eng Niocu telah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebetulnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila. Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka herat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, bahkan menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang telah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja. Namun karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.

“Krekkk...! Auuugghhh...!” Bu Leng Ci yang terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang namanya amat terkenal ditakuti soperti iblis di daerah selatan pantai laut selatan, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.

Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.

“Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku yapg membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya ka1au kita berdua yang berhak atas pusaka itu.”

“Ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apalagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Kalau kau mampu, boleh kaucoba merampas bokor ini dari tanganku!” Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.

Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Dalam keadaan tidak terluka sekalipun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan biarpun dia tidak takut, dia agaknya harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Biarpun tidak terluka, namun malapetaka ini baginya lebih hebat daripada kalau dia terluka karena dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak leluasa. Dalam keadaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha merampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain. Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal mengapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Kini dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.

Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya selain mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesaktian dari Panglima Besar The Hoo! Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu amat sakti dan lebih lihai daripada dia sendiri. Selain ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak. Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Legaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang berjanji untuk membantunya.

Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!

Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah kepada Legaspi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik, jauh lebih cerdik daripada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan tiba di hutan yang mengurung kaki bukit, tiba-tiba saja muncul Legaspi Selado di depannya sambil tersenyum lebar! Terlambat bagi Hek-bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu dan dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. “Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau telah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!”

Biarpun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.

“Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapapun juga.”

“Hemmm, begitukah...?” Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu. Mereka ini adalah para perwira pemberontak yang berhasil menyelamatkan diri dan lari ketika Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman dan dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga berhasil melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka telah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.

“Legaspi Selado, mau apa kau?” Hek-bin Thian-sin membentak.

“Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Di Ceng-to, engkau telah meninggalkan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau hendak menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi bersahabat lagi denganmu. Engkau adalah musuh dan kau harus menyerahkan bokor atau nyawamu!”

“Anjing biadab asing keparat!” Hek bin Thian-sin memaki dan golok di tangannya sudah diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan mengamuklah datuk timur ini. Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak ketika pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang, dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, goloknya menyambar lagi. Pedang, itu kena dihantam dari samping, mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula.

Amukan Hek-bin Thian-sin amat hebat. Kepandaiannya tidak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Dilolosnya pecut dari pinggangnya, dan pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.

“Tar-tar-tar-tarrr...!”

Hek bin Thian-sin cepat mengelak sambil membabatkan golok di sekelilingnya dengan kecepatan luar biasa. Kembali ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka.

“Mundur semua...!” Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas oleh sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini pertandingan yang amat seru. Legaspi Selado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Selain ini, Legaspi sudah banyak mempelajari ilmu silat dan memiliki sin-kang serta gin-kang yang tinggi. Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang kadang-kadang golok diputarnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.

Legaspi Selado selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, juga baru sekali ini bertanding melawan bekas sekutu ini, maka dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selamanya ini sukar menemukan tanding, kini tidak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini.

“Tar-tar-tar... wuuttttt...!” Kini dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi sinar hitam melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan goloknya dengan pengerahan sin-kangnya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerah-kan tenaga sin-kang.

“Trakkk...! Brettt...!” Golok patah tengahnya dan cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan gagang cambuk, kemudian mereka saling menerjang dengan tangan koseng!

Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi kakek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang kedua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali.

“Aihhh...!” Hek-bin Thian-sin berteriak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka cepat dia menangkis dengan tangan kirinya dan pada saat itu, tangan kanan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas yang dipegang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.

“Heii... kembalikan!” Hek-bin Thian-sin berseru.

“Serahkan bokor itu kepadaku!” Legaspi Selado juga berteriak. Dua orang kakek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerakan amat ringan, Toat-beng Hoat-su sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek-bin Thian-sin bertumbukan ketika berebut merampas bokor. Tubrukan ini dipergunakan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoat-su yang sudah meluncur turun itu pun menggunakan telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang secara berbareng oleh dua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sin-kang dan berusaha menangkis. Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpukul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu, akan tetapi begitu Legaspi dan Toat-beng Hoat-su meloncat mundur, Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.

Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoat-su dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoat-su, segera dia dapat menduganya.

“Toat-beng Hoat-su, berikan bokor itu kepadaku!” bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.

“Ha-ha-ha, anjing asing kau ikut-ikut memperebutkan bokor!” Toat-beng Hoat-su menangkis.

“Dess! Dess! Plak-plal-plakkk!” Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke belakang dan keduanya terkejut sekali. Pertemuan tangan mereka tadi telah membuktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoat-su yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.

“Kejar...!” Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.

Akan tetapi, tiba-tiba tampak bebe-rapa orang yang riapriapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Kiranya mereka itu adalah orang-orang Nepal yang meniadi anak buah Toat-beng Hoat-su! Ketika Toat-beng Hoat-su bersama tiga orang datuk lain secara berpencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan bermufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan. Maka mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mereka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular, dan orang-orang Nepal itu adalah para pembantunya pula yang kemudian sebagian membantu Toat-beng Hoat-su dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah. Akhirnya, Toat-beng Hoat-su yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana telah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoat-su dan anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke perahu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.

“Biarkan Angin Barat berangkat sendiri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!” kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.

“Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?” Toat-beng Hoat-su bertanya.

“Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tidak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki kapal besar yang jauh lebih kuat daripada perahu kita, maka kalau sampai kita tersusul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh.”

Toat-beng Hoat-su mengangguk-angguk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat biarpun pagi itu tiada angin karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasan tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.

Enam orang Nepal itu segera memasang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, belum jauh dari pantai, orang-orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah, seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang kini mendayupg perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat.

“Wah, jangan-jangan mereka itu mata-mata musuh!” Pemimpin orang Nepal berkata.

lanjut ke Jilid 045-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar