Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 43

Petualang Asmara Jilid 043

<--kembali

Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian.”

Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu!

“Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit,” kata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.

“Ohhh, jangan buka...!” Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, “Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biarpun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki.”

Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak menyentuhnya. Dia mengomel, “Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya.”

“Aihhhh... tak mungkin...!” Terdengar jerit tertahan dari dalam tandu.

Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. “Sungguh aku tidak mengerti sama sekali sikap Si Sakit” katanya dengan alis berkerut. “Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?”

Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri. “Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini...” Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.

Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar, “Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah.”

Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian tedengar suara halus itu. “Sumoi, mari kita pergi...”

Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali.

“Tahan dulu...!” kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, “Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?”

Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah “percakapan” bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul! Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan “jalan keluar” yang baik.

Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun Liong dan berkata, “Twa-suci dapat menerima usul Locianpwe, dan kini mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya.”

Kun Liong tersenyum lebar, dan karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki, “Hwesio genit!”

KETIKA Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama, memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah dalam joli. Begitu memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga kagum sekali. Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-henar tidak kelihatan orangnya, mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli, dan yang tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggunung melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu membengkak dan sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan merahnya! Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya sehingga membayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru! Melihat bentuk pinggul ini, timbul dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang nenek tua, biarpun para sumoinya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh tahun. Memang sukar menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi, biarpun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya kelihatan sedikit karena sebagian tertutup air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus!

“Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam racun,” kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak sedikit tanpa menjawab.

Kun Liong mulai memeriksa. Ketika pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit pinggul, pinggul itu tergetar hebat sehingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul orang, apalagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan.

Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul telah ditotok dan dihentikan sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sin-kang yang menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi!

“Harap jangan mengerahkan sin-kang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Kalau Su-thai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sin-kang, bisa berbahaya.”

Kerudung bagian kepala itu mengangguk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di kerudung itu, sepasang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!

Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa betapa halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus melenyapkan pikiran yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sin-kang, mempergunakan Thi-khi-i-beng! Hanya dengan ilmu inilah dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan campuran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya mempergunakan Thi-khi-i-beng.

“Ihhhh...!” Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika merasa betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang amat kuat dan yang seolaholah akan menyedot seluruh tubuhnya bagian dalam! Otomatis nikouw yang memiliki kepandaian tinggi ini menggerakkan sin-kang-nya untuk melawan dan... tenaga sinkangnya segera membanjir keluar tersedot oleh telapak tangan Kun Liong.

“Ahhh, bodoh...!” Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hoat Tosu untuk melepaskan telapak tangan yang melekat dan menyedot itu. Kalau dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis disedot olehnya!

Nikouw itu terengah-engah kaget dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya keluar darah berwarna hitam!

“Kenapa mengerahkan sin-kang?” Kun Liong mengomel.

“Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa...” Nikouw berkerudung itu berkata.

“Sudahlah, jangan terlupa lagi!” Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, mengerahkan Thi-khi-i-beng.

Darah hitam keluar makin banyak dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak tangannya.

Di atas telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah.

“Hemmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong...” Kun Liong berseru keras ketika melihat jarum itu.

“Siauw-suhu mengenalnya?” Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi tidak hitam macam tadi.

“Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouw-yang Bouw.”

“Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan yang mengaku bernama Ouw-yang Bouw.” Nikouw itu berkata.

“Hemm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat disembuhkan dengan obat minum.” Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw dan untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon.

Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, “Pinni telah menerima budi pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di mana kuil Siauw-suhu.”

Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah di tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya setelah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio!

“Ha-ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benarkah bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, betapa mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat kulitnya, betapa menyesatkan! Saya bukan seorang hwesio biarpun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.” Dia menjura ke arah nikouw di dalam tandu.

Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan mereka! Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan makin merasa malu. Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang sudah bersih hatinya!

“Sumoi sekalian, mari kita pergi!”

Tirai ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu, “Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya.”

Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga merasa sedikit curiga dan herah mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tidak ingin dikenal setelah terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang membuat nikouw itu segan dikenal orang?

“Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-tai-hiap telah mengajarkan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng kepadamu!”

Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. “Bagaimana Totiang dapat mengetahuinya?”

Kiang Tojin tersenyum lebar. “Hanya Thi-khi-i-beng saja yang mampu menyedot racun dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh menguntungkan akan tetapi juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apakah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?”

Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini dia tidak perlu berbohong. “Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu adalah murid dari Bun Hoat Tosu selama lima tahun dan murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula.”

Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas panjang. “Aaihhh... kiranya Sicu adalah murid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, Sicu hendak pergi ke manakah?”

“Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama teecu harus mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, yang dirampas Kwi-eng-pang, dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan menegur puteranya atas kekejamannya melukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun.”

Kiang Tojin makin terkejut dan heran. “Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi Sicu hendak menentang datuk-datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang amat berbahaya dan berat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu tewas di tangan Sicu.”

“Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tidak ada pikiran untuk membunuh siapapun juga.”

“Ehhh? Kalau menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-matian?”

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu akan mendatangi Kwi-eng pangcu, minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor emas, mengajukan cengli (aturan yang beralasan) menegur kepadanya. Juga keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian kejam.”

Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Aihhh, banyak sudah aku bertemu dengan orang muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau bertemu dengan seorang muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat dan menegur mereka dengan menggunakan cengli! Kalau tidak mendengar sendiri mana aku dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu.”

Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa pemuda itu telah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan telah mewarisi Thi-khi-i-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau menggunakan kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud untuk menasihati datuk-datuk kaum sesat! Dulu dia kagum sekali kepada Cia Keng Hong (baca cerita Pedang Kayu Harum) akan tetapi sekarang dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun Liong.

“Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan yang amat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan teecu.”

“Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja kalau kelak kebetulan kau lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai”

“Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah.” Kun Liong memberi hormat lalu pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran.

“Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!”

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik ang-katnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, dan Hek-bin Thian-sin yang sudah berhasil menyusulnya ketika Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawanya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu berusaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Namun, tentu saja dia tidak mampu menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor sedangkan Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu.

Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak dapat membebaskan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Siang-tok Mo-li, maka tak lama kemudian tiga orang datuk pria itu telah menyusulnya dan segera mengepungnya.

“Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!” Toat-beng Hoat-su menubruk ke depan.

Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengah lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apalagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah menerkamnya.

“Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor...!” Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tempat itu. Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan me-ngandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih amat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu telah mengejar lagi sambil berteriak-teriak.

“Wah, curang! Kalian berdua bersekongkol!” Ban-tok Coa-ong berteriak.

“Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!” Toat-beng Hoat-su mengomel sambil mempercepat larinya mengejar.

Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali mengapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang lihai itu, yang sudah berjanji akan membantu memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Kalau ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lainnya.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mengejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.

Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pengejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, sedangkan Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking yang menyambut tanda rahasianya. Ketika dia tiba di seberang sebuah jurang, tampaklah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.

“Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!” Bu Leng Ci berseru.

Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedangkan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Ketika mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya melihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu. Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.

“Ehh, ke mana kau membuang pusaka itu?” Toat-beng Hoat-su berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebutkan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut. Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li menoleh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!

Timbul kecurigaan di hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata mengejek, “Kalian ini tua-tua bangka mau apa lagi? Kalian takkan dapat merampas bokor itu!”

Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam mereka, dan untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan mengambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!

“Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!”

Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biarpun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, “Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kaukira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kaupakai menakuti kanak-kanak itu?”

Akan tetapi kini Toat-beng Hoat-su juga berkata penuh penyesalan. “Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kaukira Siang-tok Mo-li akan demikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemm, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu.”

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. “Celaka...! Giok-hong-cu...!”

“Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?” Hek-bin Thian-sin berseru.

“Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!” Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat lari bersicepat seperti berlumba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.

Empat orang datuk sesat ini seperti orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencaharian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti, kalau mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu. Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan tujuan satu-satunya bagi para datuk ini. Mereka me-rasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!

Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk! Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau--kalau kita gagal! Dan kalau sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara. Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir? Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram se-lama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bah-wa kita tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengke-ram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita karena kita tak pernah dapat melihat dan me-nikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, se-hingga saat ini, sekarang, tidak ada arti-nya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!

Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tidak segan-segan melakukan apapun juga. Tidak segan untuk membunuh, kalau perlu antara kawan sendiri. Dan demikian pula dengan kita yang berlumba dalam mengejar cita-cita, untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menying-kirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentang-an, permusuhan, dan kebencian, dan se-mua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya ada-lah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan dalam kesesatan kita tidak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan “tujuan menghalalkan segala cara”!

lanjut ke Jilid 044-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar