Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 19

Petualang Asmara Jilid 019

<--kembali

“Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin ling-pai?”

“Banyak cerewet! Rasakan tanganku!”

Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia menggunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biarpun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.

“Cusss!” Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti kalau terkena tepat melainkan bergoyang dan menggigil sedikit, kemudian pemuda itu sudah meloncat mundur dan berkata, “Hemm, engkau mengajak berkelahi, ya? Aku seorang laki laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri.”

“Kau laki laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!”

“Wuussss...!!” Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang lagi dengan totokan totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus jurus San in Kun hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San in Kun hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan gerakan yang luar biasa lihainya. Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sin-kang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan. Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini lalu mainkan jurus dari Pat hong sin kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andaikata dia diserang dari delapan jurusan sekalipun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat hong sin kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi makin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya, “Hayo, keluarkan Thi khi-I beng, hendak kulihat bagaimana lihainya.”

“Eihhh...!!” Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya. Thi khi I beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau belum tentu selamanya akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tidak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasarnya belum kuat benar lahir batin. Kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi khi I beng. Hati siapa tidak menjadi gemas?

“Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi khi I beng untuk melawan manusia macam engkau!” Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah mendesak Kun Liong dengan totokan totokan maut, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.

“Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu tahu menendang pinggul!”

“Mampuslah!”

Giok Keng sudah menubruk maju. “Ciaaattt!” Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.

“Aihhhh...!” Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangan sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya dibuka, berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.

“Aduhhhh... curang kau, setan!” Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbareng dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk!!”

Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!

Sambil bertolak pinggang berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepalanya untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.

“HEMMM, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!” Dia mengejek.

Biarpun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut bicara, dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek! “Kalau begitu, mengapa tidak kaubunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kaucurangi sehingga tanpa tersangka sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!”

“Setan gundul! Kau masib berani membuka mulut besar?”

“Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik tapi galak, behati baik akan tetapi pura pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kuceritakan kepada ayah bundamu kelak!”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Ehh...? Kau... kau siapa?”

“Ayahmu adalah Supekku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoinya.”

“Apa? Engkau... engkau she Yap?”

“Tidak ada keduanya!”

“Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?”

“Hanya inilah orangnya!”

“Celaka! Kenapa kau tidak bilang sejak tadi ?” Tergopoh gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. “Eh, kau jangan...”

“Namaku bukan eh!”

“Orang she Yap...”

“Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?”

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan jengkel, gerakan yang ia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini! Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.

“Kun Liong...”

“Eh, eh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?”

“Kenapa lagi? Cerewet benar kau!”

“Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, berarti di antara kita masih ada hubungannya.”

“Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!”

“Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau bau...”

“Bau apa? Kurang ajar kau!”

“Maksudku, masih bau bau... eh, hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil...”

“Sombong! Apa kaukira engkau ini sudah kakek kakek? Aku bukan anak kecil!”

“Kalau begitu engkau nenek nenek!”

“Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!”

“Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw sumoi, dan aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?”

Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal gatal untuk menampar kepada gundul licin itu!

“Baiklah, Piauw suheng!” Dia mengejek sambil membungkuk dibuat buat. “Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?”

Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka. “Salah siapa! Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!”

“Aihhh... janganlah, Piauw suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan kepada piauw sumoimu?”

“Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?”

“Piauw suheng yang baik, kaumaafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... eh...”

“Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu ragu?” Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget.

“Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, malah pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling pai. Bayangkan saja betapa beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?”

Kun Liong merasa seperti dielus elus. Enak sekali rasanya, akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. “Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf.”

“Habis, harus bagaimana?” tanya Giok Keng penasaran. “Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?”

Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan kepada Hwi Sian, yaitu agar dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Kalau sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu! Dara ini takut kepada ibunya yang keras, tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum. “Engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan tadi engkau telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!”

Mata Giok Keng terbelalak lebar. “Apa...? Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup...”

“Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik agar ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka telah menyambut kedatangan piauw suhengnya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!”

“Aihhh... habis bagaimana?”

“Terserah kepadamu. Pendeknya, aku ingin kau menggunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!”

Giok Keng memandang kepala itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang gatal gatal rasanya, ingin sekali dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Ia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata, “Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!”

“Eeh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin ling-pai! Siapa mau percaya?”

“Habis bagaimana?”

“Terserah, asal menampar kepala.” Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.

“Kalau pelan pelan boleh, kan?”

“Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala.” Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan yang halus itu!

“Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!”

Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali. “Sudah cukup tiga kali!” kata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.

“Terima kasih, enak sekali!” kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.

“Pringas pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta ditampar!”

“Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?”

“Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!”

“Wah, kau tidak percaya kepadaku? Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu.”

“Dan aku benci kepadamu!”

“Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!”

“Aku benci, terutama kepalamu.”

“Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini.” Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak “untung” jika dia bertemu dengan dara~dara jelita!

Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, “Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?”

“Tidak sudi! Sekalipun cukuplah.”

“Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?”

“Tidak usah, ya!”

Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting banting kaki saking jengkelnya.

Biarpun mulutnya tertawa tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus elus kepalanya oleh tangan halus itu, namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang seperti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci?

Akan tetapi, ke mana dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing! Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim pai!

Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw lim si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si ?

Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang kadang hanya makan buah buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim si.

Menjadi murid Siauw lim pai? Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tabu bahwa dengan menyebut dirinya “bekas murid Siauw lim pai” berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid. Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya. Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.

Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerhang Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja!

“Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?” tanya kepala penjaga yang diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu.

Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, “Demikianlah, Losuhu, sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu.”

“Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup.”

Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh? Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah hekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.

Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!

“Saudara muda, kepalamu kenapakah?”

Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga.

“Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu.” Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga sia?sialah usahanya.

“Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa, hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!”

Diam?diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim?pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw?lim?si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah dia ingin berguru!

“Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah?olah Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapakah namamu?”

“Teecu she Liong, bernama Kun.” Kun Liong membohong.

“Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu,” kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.

Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong?ji, bekerja di dalam Kuil Siauw?lim?si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw?lim?pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir.

Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, ke dua adalah gudang pusaka yang hanya jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!

Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia?sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi risikonya. Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.
Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, Kun Liong keluar dengan hati?hati dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi temannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap.
Karena sudah hafal akan tempat?tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula.
Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin! Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata tertidur, masa dua?duanya? Tentu ada apa?apa yang tidak beres, pikirnya. Dia lalu menyelinap dengan hati?hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama keadaannya dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur!
Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw?lim?pai yang menyelundup masuk ke Siauw?lim?pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari dalam. Cepat namun hati?hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki?laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda?benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.

lanjut ke Jilid 020-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar