Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 18

Petualang Asmara Jilid 018

<--kembali

Bukan main kagetnya hati Kun Liong. Juga Bi Kiok diam-diam kaget sekali biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu.

“Dia bukan segolongan dengan orang-orang ini, Subo,” jawab Bi Kiok, suaranya dingin dan sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

“Hemmm, kaukira aku tidak tahu akan hal itu? Semalam kulihat dia seorang pemuda yang bertulang baik dan berdarah bersih, tentu lebih bermanfaat bagiku jantungnya. Akan tetapi engkau telah menolongnya dan membebaskannya. Eh, Bi Kiok jangan main-main kau. Apakah engkau jatuh cinta kepada pemuda gundul yang tampan itu?”

Kembali Kun Liong terkejut sampai tubuhnya terguncang. Bukan main perempuan itu. Mengerikan dan ganas, juga cerdik luar biasa. Entah mengapa dan bagaimana Bi Kiok sampai bisa menjadi murid Iblis betina yang menyeramkan itu. “Tidak, Subo. Jangan Subo menyangka yang bukan-bukan. Karena melihat dia menjadi tawanan orang-orang ini, maka teecu menganggap bahwa Subo tidak menghendakinya dan teecu melepaskan belenggunya.”

“Untung bahwa kau tidak mencintanya. Kalau kau mencintanya, sekarang juga dia kubunuh dari tempat ini!”

Untuk ke tiga kalinya Kun Liong kaget setengah mati. Celaka, agaknya wanita mengerikan itu tahu bahwa dia bersembunyi di situ. Kalau tidak, mana mungkin wanita itu mengatakan dapat membunuh Kun Liong dari tempat dia berdiri?

“Mengapa begitu, Subo? Teecu tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi kalau teecu mencintanya mengapa Subo hendak membunuhnya?”

“Pertanyaan yang tolol, jatuh cinta kepada seorang pria berarti membunuh diri sekerat demi sekerat, tahukah engkau? Mencinta pria tidak ada gunanya sama sekali, karena di dunia ini tidak ada pria yang setia! Sebelum mendapatkan dirimu, pria bersumpah setinggi langit sedalam lautan, kalau sudah mendapatkan, matanya liar mencari perempuan lain. Tahu? Karena itu, jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada pria, dan kalau kelak engkau jatuh cinta jalan satu-satunya yang baik adalah membunuhnya, merubah cintamu menjadi benci. Mengerti?”

Bi Kiok tidak menjawab dan agaknya iblis betina itu pun tidak membutuhkan jawaban karena dia sudah mulai mengganyang lima buah jantung yang masih basah oleh darah itu, masing-masing digigit sepotong lalu dibuang sambil mengomel, “Ihhh, jantung manusia-manusia celaka ini sama sekali tidak enak, terutama jantung dia yang berpakaian sastrawan ini!” Dia menggerakkan kakinya menendang.

“Prokkk!!” Kepala mayat Ouw siucai remuk dan otaknya berantakan!

“Uweeekk!” Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntah-muntah di tempat persembunyiannya! Dia muak bukan main, tak dapat ditahannya lagi, bukan hanya muak melihat iblis betina itu makan jantung mentah, juga amat muak mendengar ucapannya.

“Ihhhh...!” Bi Kiok tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya karena dia sungguh tidak menyangka bahwa Kun Liong masih bersembunyi di tempat itu!

“Nah, kaulihat betapa menjemukan laki-laki!” Gurunya berkata lagi, “Untung engkau tidak mencintanya, kalau kau mencintanya, engkau kuharuskan membunuhnya sekarang juga. Karena kau sudah membebaskannya, kita harus menjaga gengsi! Biarlah dia bebas, akan tetapi sekali kita berjumpa dengan bocah gundul itu, engkau ketuk kepala gundulnya sampai pecah!”

Kun Liong tak dapat menahan rasa panas yang membakar di dalam perutnya. Dia boleh mati dibunuh akan tetapi tidak mungkin dia diam saja menelan penghinaan orang, biarpun orang itu sekejam iblis betina ini! Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dihina?

“Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak melakukan suatu kesalahan, mengapa tiada hujan tiada angin, tiada api tiada air, Bibi datang?datang memaki-maki aku?” Kun Liong sudah meloncat keluar dari balik semak-semak sambil mengusap mulutnya yang tadi muntah, memandang kepada iblis betina itu tanpa berkedip dan sedikit pun tidak merasa takut.

“Gundul buruk! Siapa bibimu?” Siang tok Mo li Bu Leng Ci membentak, terheran juga menyaksikan keberanian bocah gundul ini.

“Siapa lagi kalau bukan Siang tok Mo-li, seorang di antara para datuk kaum sesat? Kalau tidak boleh disebut bibi, habis aku disuruh menyebut apa?”

“Swinggg... siuuuuttt...!!”

Kun Liong sudah memejamkan mata melihat sinar hitam dari rambut wanita itu menyambar dengan kecepatan yang mengerikan. Benar saja, dia merasa ada rambut-rambut halus panjang dan harum membelit seluruh tubuhnya dan tubuhnya terangkat ke atas lalu berputar-putar seperti kitiran angin. Celaka, pikirnya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan karena keempat anggauta tubuhnya itu ikut terbelit. Sekali saja dibanting, akan remuk dia!

“Aku adalah Nona Bu, tahu?”

“Aku tahu, Nona Bu yang bisanya hanya membunuh orang yang tidak bisa melawan! Bisanya hanya menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan di atas tanah!”

“Apa kau bilang ? Bedebah busuk, kusiksa engkau sampai minta-minta ampun!”

“Siksalah. Siapa takut? Hal itu hanya akan menambah bukti bahwa Siang tok Mo li yang terkenal sebagai seorang di antara datuk-datuk hanyalah bernama kosong, yang melanggar janji sendiri!”

“Brukkk!” Tubuh Kun Liong dibanting ke atas tanah, akan tetapi tidak terlalu keras karena kata-kata pemuda itu sudah menikam ke dalam dada iblis betina itu.

“Bocah setan! Siapa bilang aku melanggar janji? Engkau takkan kubunuh sekarang, hal itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak berjanji untuk tidak membuntungi kedua kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi kedua buah kakimu akan kubikin remuk tulang-tulangnya sehingga engkau akan menjadi seorang buntung yang tidak ada gunanya!”

“Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak berani menghadapi kenyataan!” jawab Kun Liong dengan sikap tenang, seolah-olah ancaman dibuntungi kedua kakinya hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja!

“Kenyataan apa yang kau maksudkan?”

Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang. “Aku sudah pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau.”

“Ihh! Benarkah? Siapa yang kaujumpai?”

“Yang amat sakti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang Bouw!”

Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak itu.

“Bohong kau! Hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemm, untuk kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga sebuah lenganmu akan kubikin buntung!”

Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok, karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,

“Siapa bohong ? Ban tok Coa ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia mempunyai terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya paniang dapat berputar-putar.” Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan tepat sehingga wanita iblis itu percaya.

“Akan tetapi dibandingkan dengan Siang tok Mo li, Si Raja Ular itu masih kalah jauh, kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu terutama Si Bayangan Hantu...”

“Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kausaksikan sendiri. Kelak masih belum terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!” Iblis betina itu lalu menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!

Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal watak iblis itu. Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti di samping kelihaian dan kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang tok Mo li tidak kalah dibandingkan dengan datuk lainnya!

Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai menjadi murid iblis itu. “Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok.” Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca. Tampak olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai daripada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu.

“Jangan bicara tentang bokor kepada siapapun juga agar nyawamu selamat!”

Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang, dan tentu saja dia tidak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah disimpannya dengan aman. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya? Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Benarkah dia mencinta? Atau setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.

“Plakk!” Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri. “Wah, gundul! Untungmu besar memang!” Kun Liong berkata demikian dengan wajah berseri karena dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa gadis-gadis cantik melulu yang bersikap manis kepadanya? Dengan langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin ling san yang tak berapa jauh lagi.

Cin ling san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan Kun lun san, Tang la san, Heng tuan san atau bahkan Ci lian san yang puncak-puncaknya menjulang tinggi memasuki langit, kata orang! Namun justeru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat
Pegunungan Cin ling san merupakan daerah yang selain indah juga amat subur tanahnya, amat sejuk nyaman hawanya.

Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin ling pai (Perkumpulan Cin ling) terbentuk oleh Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker dan tidak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok. Apalagi ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin ling san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih maupun sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin ling san ini, lereng timur merupakan bagian yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini pula, bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan perkumpulan Cin ling pai yang tadinya hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Kemudian jumlah mereka membesar sehingga terkenalah Perkumpulan Cin ling pai karena Cia Keng Hong menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.

Pemandangan dari lereng timur Cin-ling san mentakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak samar-samar seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei ho yang mengalir ke timur. Memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta pa san di mana mengalir Sungai Han shui. Di selatan tampak puncak Pegunungan Ta pa san dan Sungai Cia ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu.

Yang disebut Cin ling pai adalab sebuah dusun di lereng timur Cin ling san, sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong bersama isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin ling pai, merupakan juga semacam kepala dusun yang disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggauta Cin ling pai, dari kanak kanak yang baru belajar bicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun!

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biarpun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang. Baik pakaiannya, sikap maupun tutur sapanya sederhana sekali sehingga dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang terkenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut kalau dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana. Hanya kalau orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.

Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat dan namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dahulu di waktu masih gadis berjuluk Song bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia adalah murid datuk golongan sesat, mendiang Lam hai Sin ni (Wanita Sakti Laut Selatan)! Di dalam ceritaSiang Bhok Kiam atauPedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song bun Siu li Sie Bun Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namun dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja, tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput. Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi kalau sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi. Biarpun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya!

Suami isteri yang gagah perkasa dan bagaikan yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, presis ibunya di waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.

Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia telah bangun mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia tidak pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi. Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar. Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memag kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.

“Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?” dia menuntut manja. “Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pemah bertemu dengan mereka?”

“Lain kali saja, manis,” jawab ayahnya penuh kasih sayang. “Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, engkau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin ling pai. Engkau sudah cukup dewasa!”

Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia setelah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung.

Sementara itu, tak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu setelah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit. Empat orang petani itu menghentikan langkah mereka dan memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, ditukar dengan segala macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggauta Cin ling pai sudah biasa bersikap waspada dan hati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka.

Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama. “Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin ling pai?”

Mendengar tutur sapa Kun Liong empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana, “Dusun kami itulah Cin ling-pai dan kami adalah anggauta-anggauta Cin ling pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin ling pai?”

Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin ling pai adalah nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum dan berkata pula, “Tidak ada keperluan dengan Cin ling pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin ling pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?”

Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya lagi dengan hati-hati, “Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?”

“Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia susiok.”

Empat orang itu kelihatan kaget sekali dan cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk. “Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah.”

“Tidak mengapa, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri,” kata Kun Liong. Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau oleh pemuda itu dilaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda amat galak, dan biarpun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri amat rajin dan suka bekerja!

Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanya merupakan sebuah dusun kecil dengan sedikit rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah. Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!

“Heee! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?”

Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya.

“Ehhh...! Siapa kau...?” Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya.

Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya.

“Mau apa engkau? Kalau engkau hwesio minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!”

Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hem, apakah karena cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapapun cantiknya dia?

“Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang mau minta derma!” Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!

Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan sinar berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut makin dalam, bibir yang merah dan berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,
“Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!”

“Sialan! Aku bukan hwesio!” Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak.

Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek. “Bukan hwesio ya sudah, tak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang mempunyai banyak kutu rambut, atau mungkin kepalamu penuh kudis maka kaubuang semua rambutmu!”

“Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?” Kun Liong melangkah maju setindak.

Senyum ejekan itu melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata, “Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?”

Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.

“Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!”

“Coba saja kalau berani!”

“Wah, sombongnya! Masa aku tidak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm...” Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina.

Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya. “Seperti apa? Hayo katakan kalau berani!” Kedua tangan yang bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil.

Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, kedua pipi itu menjadi kemerahan, presis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirya dan dia berkata, “Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!”

“Keparat kau!”

Giok Keng sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-henar amat cepat luar biasa.

“Takkk!” Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng. Berkat sin kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras!

“Aihhh, kepala gundulmu keras juga, ya?” Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!

“Pukulanmu seperti tahu saja!” Dia balas mengejek dan balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.

“Cih, kiranya engkau manusia cabul!” Giok Keng mengelak.

“Cabul hidungmu!” Kiin Liong makin marah. “Siapa yang cabul?” Dia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?

“Gundul cabul tak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!” Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri susioknya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu.

“Eh, tahan dulu...! Plak!” Karena lengah, pundaknya kena dipukul membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi.
“Nanti dulu! Desss!” Kun Liong menangkis dengan keras, kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang. “Apakah engkau Keng?”
Giok Keng menghentikan scrangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut di dahi kacau balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah. “Apa Keng?” Dia membentak.

lanjut ke Jilid 019-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar