Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 70

Pedang Kayu Harum Jilid 070

<--kembali

Kemudian, sebelum Siauw Lek dapat berbuat sesuatu, ujung sabuk sudah melibat kedua kaki dan kedua tangannya, tubuh terangkat ke atas dan... dalam keadaan terbelenggu ujung sabuk, dia terbanting ke dalam air sungai! Ia gelagapan, menggerakkan kedua kaki yang terbelenggu, tubuhnya dapat timbul di permukaan air, akan tetapi tiba-tiba Biauw Eng menggerakkan tangan yang memegang ujung sabuk, membuat tubuh Siauw Lek yang sudah tidak berdaya itu terlempar ke atas dan terbanting lagi ke air. Demikianlah, dia dilelap-lelapkan oleh Biauw Eng yang pandang matanya sudah liar penuh dendam. Siauw Lek kini hanya dapat megap-megap dan mengeluarkan suara "up-up-up-up", perutnya mengembung, mukanya membiru, matanya melotot.

"Sumoi..! Berikan dia padaku...!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee berteriak.

Biauw Eng yang masih memegang ujung sabuk dan membiarkan Siauw Lek megap-megap di permukaan air Sungai Huang-ho seperti seekor ikan kena di pancing, menoleh kepada Hun Bwee, mengerutkan alis dan bertanya,

"Untuk apa Suci? Harap jangan mencampuri urusan pribadiku!"

"Ihhh, Sumoi. Mengapa engkau begitu medit? Dia tukang perkosa, kau ingat? Aku benci kepada semua tukang perkosa di dunia ini, ingat?'

Biauw Eng termenung, lalu mengaguk-angguk. Ia dapat membayangkan dendam sucinya. Sebagai seorang gadis sucinya itu pernah diperkosa orang. Tadi ia melihat gadis yang ati dan diperkosa, tentu saja kebencian sucinya itu terhadap Siauw Lek belum tentu kalah besar oleh kebenciannya kepada Jai-hwa-ong itu. Ia lalu menggerakkan tangannya menyedal sabuk sutera dan tubuh Siauw Lek terlepat ke udara, terlepas dari belenggu dan melayang ke Hun Bwee!

"Hi-hi-hik! Terima kasih, Sumoi! Hun Bwee menyodorkan tangannya dan menangkap kaki Siauw Lek yang masih sadar hanya napasnya megap-megap karena perutnya penuh air yang membuat perutnya mengembung seperti bangkai anjing tenggelam.

Hun bwee menangkap kedua kaki Siauw Lek dan meutar-mutar tubuh laki-laki itu bagaikan kitiran angin cepatnya. Dari mulut Siauw Lek menyembur air sehingga pemandangan itu amat aneh. Seolah-olah Hun Bwee yang berpakaian merah itu sedang bermain sulap, atau seorang penari memperlihatkan tariannya, akan tetapi yang diputar-putar bukannya selendang melainkan tubuh orang yang ujungnya menyenbur-nyemburkan air!

"Augggghhh... Bunuhlah aku... Bunuhlah...!" Setelah air diperutnya habis, Siauw Lek dapat mengeluarkan suara dan minta dibunuh.

Hun Bwee menghentikan putarannya dan sambil terkekeh-kekeh ia melempar tubuh Siauw Lek ke dekat sebatang pohon, menelikung kedua tangan dan kedua kaki laki-laki itu ke belakang dan mengikat kaki tangannya dengan celana Siauw Lek sendiri yang sudah dirobek sambil tertawa-tawa oleh Hun Bwee. Dengan demikian, tubuh Siauw Lek pada batang pohon dan keadaannya amat mengerikan. Baju atasnya robek-robek bekas cambukan-cambukan sabuk Biauw Eng tadi, dan kini tubuh bawahnya telanjang bulat karena celananya direnggut Hun Bwee untuk mengikat kaki tangannya. Biauw Eng membuang muka, tidak sudi memandang, akan tetapi diam-diam ia merasa ngeri mendengar sucinya terkekeh-kekeh. Hatinya penuh keharuan. Sucinya itu tidak noral lagi. Biarpun tidak segila Go-bi Thai-houw, namun dendam sakit hati membuat sucinya tidak seperti manusia biasa lagi. Diam-dia ia berjanji dalam hatinya untuk membantu sucinya kelak membalas laki-laki biadab yang telah merusak kehidupan sucinya.

"Hi-hi-hik, kau tukang perkosa wanita, ya? Heh-heh-heh!" Biauw Eng mendengar sucinya berkata sambil tertawa-tawa. Kemudian ia mendengar suara Siauw Lek yang dibencinya.

"Bunuh saja aku! Bunuhlah aku... ampunkan... bunuh saja!"

"Hi-hi-hik, enak benar! Ingat, tentu telah ratusan kali engkau mendengar ucapan itu dari mulut para gadis yang kauperkosa.

Bukankah mereka pun mengeluh dan merintih, minta kau bunuh saja? hi-hi-hik, ingatkah engkau, anjing busuk?" Suara Hun Bwee penuh kebencian dan pandang matanya membuat Siauw Lek membelalakkan matanya penuh tasa takut.

"Kau tunggulah sebentar, Kim-lian Jai-hwa-ong! Hi-hi-hik!" Hun Bwee meloncat pergi.

"Song-bun Siu-li..., kau.. kau kasihanilah aku.. bebaskan aku dari tangan keji permpuan gila itu.. Kau bunuhlah aku, Sie Biauw Eng..!" Suara Siauw Lek penuh ketakutan dan agak terisak bercampur tangis. Namun Biauw Eng tidak menoleh, hanya berkata dengan suara dingin,

"Aku sudah menyerahkanmu kepadanya. Pengecut hina, kenangkan saja ratap tangis wanita-wanita yang menjadi korbanmu!"

Biauw Eng bergidik penuh muak ketika mendengar suara laki-laki itu benar menangis! Ia muak dan jijik. Orang yang sekeji-kejinya, yang mendapat julukan Jai-hwa-ong, yang telah memperkosa dan membunuh entah berapa ribu orang wanita, kini merengek-rengek seperti anak kecil minta mati dan minta ampun!

Tak lama kemudian Hun Bwee sudah datang kembali tertawa-tawa. Karena tertarik Biauw Eng menoleh dan melirik. Kiranya sucinya itu membawa sarang lebah penuh madu dan kini ia memeras keluar madunya dan memercikkan madu ke arah tubuh Siauw Lek di bawah pusar, ke alat kelamin laki-laki itu.

Siauw Lek merintih-rintih, bukan karena sakit melainkan karena takut. Biauw Eng tidak sudi memandang ke arah Siauw Lek, hanya bertanya, "Suci, apa yang kau lakukan? Bunuh saja anjing itu!"

"Hi-hi-hik, jangan kau kasihan kepadanya, Sumoi. Enak sekali kalau dia dibunuh begitu mudah. Lihat apa yang kubawa ini!" Tan Hun Bwee mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi dan melihat itu, Siauw Lek mengeluarkan suara parau saking takutnya. Yang dipegang oleh Hun Bwee adalah sarang terbuat dari daun kering penuh semut-semut api yang merah dan besar-besar.

Siauw Lek menjerit-jerit minta ampun, akan tetapi sambil terkekeh Hun Bwee melemparkan sarang semut api itu ke bagian tubuh Siauw Lek yang sudah tertutup madu. Tentu saja semut-semut itu berpesta pora ketika mencium dan merasai madu. Lalu merubung tepat itu dan menggigiti dengan lahapnya. Siauw Lek meraung-raung seperti babi disembelih dan Biauw Eng membuang muka. Bukan raungan laki-laki yang ikut membunuh ibunya itu yang membuat ia merasa ngeri, melainkan suara ketawa Hun Bwee yang bukan seperti suara ketawa manusia lagi!

Siksaan yang dilakukan oleh Hun Bwee memang hebat sekali. Penderitaan tubuh Siauw Lek amatlah mengerikan. Gigitan-gigitan ratusan ekor semut pada alat kelaminnya itu membuat seluruh tubuhnya terasa gatal dan sakit, semua bulu di tubuhnya berdiri, bahkan rambut kepalanya sampai berdiri satu-satu saking hebatnya rasa nyeri yang di deritanya. Kalau perasaan nyeri yang terlalu hebat akan membuatnya pingsan. Akan tetapi rasa nyeri oleh gigitan semut tidak membuatnya pingsan, melainkan menyengat-nyengat seluruh tubuh dan menggetarkan urat syarafnya! Tiba-tiba dia menjerit lebih menyayat hati lagi ketika Hun Bwee memoles mukanya dengan madu dan melempar segenggan semut merah ke mukanya.

Suara meraung-raung yang amat keras itu sampai membuat kerongkongan Siauw Lek seperti pecah, suaranya serak dan makin lama raungannya makin lemah. Biauw Eng bergidik dan berkata, "Suci, sudahilah saja. Aku muak!"

"Heh-hi-hi-hik! Ha-ha-ha-ha-ha! Rasakan kau sekarang, laki-laki keparat! Rasakan sekarang! Enak, ya? Hi-hik-hik, rasakan pembalasan Tan Hun Bwee kau, Keng Hong!!" Dan Hun Bwee tersedu-sedu menangis!

Biauw Eng tersentak kaget seperti disambar halilintar. Tidak salahkah pendengarannya? Sucinya menyebut nama Keng Hong! Ia cepat menengok dan kagetlah ia melihat sucinya yang tadi ia dengar tersedu itu meringkuk pingsan tak jauh dari tubuh Siauw Lek yang mengerikan. Anggauta kelamin dan muka laki-laki itu penuh semut merah dan tubuh Siauw Lek berkelojotan, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya kecuali suara seperti orang mendengkur dari kerongkongannya. Biauw Eng lalu menyambar tubuh Hun Bwee dan membawanya pergi dari situ, merebahkan tubuh sucinya yang pingsan ke dalam perahu yang tadi mereka naiki dan mendayung perahu ke tengah sungai. Perahu meluncur cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu!

Bagaimanakah kedua orang wanita murid Go-bi Thai-houw itu bisa muncul secara tiba-tiba di tempat itu sehingga manusia sesat Siauw Lek akhirnya menerima hukuman yang demikian mengerikan? Seperti telah dituturkan di bagian depan, secara kebetulan saja, Biauw Eng bertemu dengan Hun Bwee dan Go-bi Thai-houw, kemudian dia diambil murid dan digembleng secara aneh dan hebat oleh nenek yang gila namun luar biasa lihainya itu, bersama Hun Bwee yang menjadi sucinya. Bairpun Hun Bwee lebih dulu menjadi murid Go-bi Thai-houw dan menjadi suci Biauw Eng, akan tetapi karena dasar kepandaiannya jauh kalah tinggi oleh Biauw Eng, maka setelah Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, dalam waktu beberapa bulan saja Biauw Eng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga melampaui tingkat sucinya! Biarpun Go-bi Thai-houw otaknya miring, akan tetapi dalam hal silat, ia lihai dan awas sekali sehingga ia dapat melihat bahwa murid barunya ini paling boleh diandalkan. Setelah menggembleng dua orang muridnya secara tekun dan luar biasa, pada suatu hari ia memanggil mereka menghadap dan dengan suara tegas nenek gila ini berkata,

***

"Hun Bwee dan Biauw Eng, sekarang juga kalian harus pergi mencari Sin-jiu Kiam-ong dan membunuhnya mewakili aku!"

Hun Bwee dan Biauw Eng yang berlutut di depan nenek gila ini saling pandang dan diam-diam mereka terkejut karena baru sekarang mereka mendengar suara nenek itu seperti orang normal.

"Subo, Sin-jiu Kiam-ong telah mati." Jawab Hun Bwee.

"Betul, Subo. Sin-jiu Kiam-ong telah mati," Biauw Eng membantu sucinya.

"Kalau begitu, kalian berdua pergi sana mencari kuburannya dan bawa tengkoraknya ke sini!"

Kembali dua orang gadis itu saling lirik. Mereka berdua sudah mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia di puncak Kiam-kok-san dan kabarnya jenazah kakek raja pedang itu telah di perabukan, dibakar oleh muridnya.

"Subo, semua orang di dunia kang-ouw mengatakan bahwa jenazah Sin-jiu Kiam-ong tidak dikubur, melainkan di perabukan," kata pula Biauw Eng.

"Bukkk!!" Kaki kiri nenek itu dibanting ke atas tanah sehingga dua orang gadis itu merasa betapa tanah di bawah mereka tergetar, seperti ada gepa bui!

"Kau tidak bohong? Berani mempertaruhkan apa kalau bohong?"

"Teecu berani mempertaruhkan kepala teecu kalau teecu membohong, Subo," jawab Biauw Eng.

"Teecu juga sudah mendengar urusan itu sebelum teecu tiba di sini dan menjadi murid Subo," kata pula Hun Bwee.

"Hoahhh, sialan dangkalan! Siapa yang berani lancang membakar mayatnya sehingga aku tidak membalas orangnya, tidak mampu pula membalas tulangnya? Hayo katakan, siapa yang berani lancang demikian?"

Dua orang gadis itu sudah biasa menyaksikan watak yang aneh dan edan-edanan ini, maka mereka pula melayani terus. "Menurut kabar di dunia kang-ouw, yang membakar jenazahnya adalah murid tunggalnya," kata pula Biauw Eng dan jantungnya berdebar keras karena percakapan ini tanpa di sengaja telah menyinggung diri Keng Hong!

"Hayaaaaah-ha-ha-ha! Murid tunggalnya? Dia punya murid? Yahuuuu! Bagus sekali! Siapakah nama muridya itu? Siapa tahu?"

"Cia Keng Hong..!" Dua orang gadis itu saling lirik dengan heran karena nama itu mereka sebutkan dengan berbareng!

“Baik, sekarang kuperintah kalian pergi dan lekas tangkap muridnya yang bernama Cia Keng Hong itu. Seret dia ke sini! Mengerti?" "Baik, Subo!" kata Hun Bwee penuh gairah.

"Baik, Subo!" Biauw Eng juga menjawab, pikirannya melayang jauh.

"Awas, jangan sampai gagal. Kalau kalian pulang tidak membawa Cia Keng Hong, kalian berdua akan kubunuh!"

"Sumoi, mari kita berangkat!"

Demikianlah, kedua orang gadis itu meninggalkan guru mereka dan turun gunung, mulai dengan perjalanan mereka untuk mencari dan menangkap Cia Keng Hong.

"Ke mana kita akan mencari dia?" Tanya Biauw Eng setelah mereka tiba di kaki gunung.

"Aku pun tidak tahu. Kita nanti tanya-tanya kepada orang-orang kang-ouw."

"Kurasa sebaiknya mencari ke kota raja, di sana tentu kita dapat mendengar banyak."

Pada pagi hari itu, mereka melanjutkan perjalanan naik perahu di sepanjang sungai Huang-ho. Mereka tentu tidak akan bertemu Siauw Lek kalau tidak melihat mayat tukang perahu terapung-apung. Biarpun kedua orang gadis ini tidak peduli, akan tetapi sedikit banyak mereka tertarik, maka ketika mereka melihat perahu kosong di tepat sunyi itu, Biauw Eng mendayung perahu dan meloncat ke darat, kedua orang gadis ini tiba pada saat puteri bangsawan yang diperkosa itu menggigit leher Siiauw Lek sehingga dipukul mati oleh penjahat keji itu.

Demikianlah mengapa Biauw Eng dan Hun Bwee dapat tiba di tempat sunyi itu dan Biauw Eng kini mendayung perahunya meninggalkan tempat itu dengan cepat. Jantungnya berdebar keras, teringat ia akan teriakan Hun Bwee yang menyiksa Siauw Lek. Dahulu di depan Go-bi Thai-houw dia tidak merasa terlalu heran mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong amat terkenal, diketahui oleh semua tokoh kang-ouw karena memang menjadi perhatian berhubung adanya Siang-bhok-kiam yang dijadikan rebutan. Akan tetapi, ketika menyiksa Siauw Lek, mengapa sucinya menyebut nama Keng Hong? Apakah karena pikirannya yang sudah tidak waras itu tanpa disadarinya telah mencampuradukkan nama-nama orang?

"...Cia Keng Hong...Kubunuh kau... ahhh...!"

Mendengar ini, Biauw Eng cepat menengok dan ia melihat Hun Bwee sudah siuman dan sucinya itu menangis sambil menyebut nama Keng Hong berkali-kali! Jantung Biauw Eng berdebar keras. Cepat ia mendayung perahunya ke pinggir, mengikat tali perahu ke batang pohon kemudian ia cepat merangkul sucinya yang masih menangis sedih.

"Suci... sadarlah... engkau kenapakah, Suci?"

".... ahhh, Cia Keng Hong.. Betapa kejamnya engkau..!" Kembali Biauw Eng terkejut sekali.

"Suci, ingatlah. Kita berada di perahu dan yang kau bunuh tadi adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek." Hun Bwee mengangkat muka memandang sumoinya dan Biauw Eng makin heran karena pandang mata sucinya wajar, tidak membayangkan keruwetan batin. Hun Bwee memegang lengan Biauw Eng dan berkata perlahan sambil menyusut air matanya.

"Jangan khawatir, Sumoi. Aku tidak apa-apa dan aku sadar. Aku tahu bahwa anjing yang kusiksa itu adalah Siauw Lek. Akan tetapi semua itu membuat aku teringat akan pengalamanku dahulu, teringat akan.. Cia Keng Hong dan hatiku sakit sekali."

"Cia Keng Hong..?" Biauw Eng mengulang nama ini penuh pertanyaan.

Tan Hun Bwee menghela napas panjang dan mengangguk. "Diluar kesadaranku, karena hati sakit, aku telah menyebut namanya. Tadinya hendak kurahasiakan dari siapa pun juga, Sumoi, bahkan Subo sendiri tidak tahu. Akan tetapi ... biarlah, karena engkau sudah tahu sekarang. Memang, Cia Keng Hong itulah, orang yang oleh Subo disuruh kita menangkapnya, murid Sin-jiu Kiam-ong itulah yang telah memperkosaku.." Dan kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Hun Bwee. "Ah, sungguh tak kusangka.. betapa sakit hatiku memikirkan hal itu.. hu-hu-huuuuuukkk...!" Hun Bwee tersedu-sedu dan Biauw Eng cepat merangkulnya. Sepasang mata Biauw Eng sendiri menitikkan dua butir air mta dan gadis ini menggigit bibir bawahnya, Keng Hong pula!!

"Pemuda yang begitu tampan... begitu gagah perkasa.. Begitu halus budi... mengapa...? Mengapa..?" Ahhh....!!" Hun Bwee terisak-isak dan mencengkeram pundak Biauw Eng, menangis di atas dada sumoinya.

"Sudahlah, Suci. Tenangkan hatimu tak perlu kauceritakan kalau memang hal itu membangkitkan kenangan pahit.."

"Biar kau dengar, Sumoi, agar kau betapa buruknya nasib Sucimu ini...!" Hun Bwee mengangkat mukanya dan Biauw Eng cepat mengusap air matanya sendiri dan mendengar sambil memunduukan mukanya. "Ayah bundaku mengandung dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong karena dahulu pernah diganggu ketika ayah bundaku mengawal seorang puteri. Namun ayah bundaku tak pernah berhasil membalas denda, sehingga ayah bundaku meninggal dalam keadaan mengenaskan, menanggung dendam. Aku yang di tinggal mati dan hidup sebatangkara lalu berusaha membalas dendam. Aku yang ditinggal mati dan hidup sebatangkara lalu berusaha membalas dendam atau setidaknya merampas kembali barang-barang berharga yang dahulu dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kemudian aku bertemu dengan Cia Keng Hong! Tutur sapanya yang manis, nasihat-nasihatnya yang amat berharga menyentuh sanubariku, membuat aku insyaf dan aku menerima nasihatnya untuk menghapus permusuhan." Ia berhenti sebentar dan Biauw Eng mendengarkan dengan hati berdebar.

***

Terbayang di depan matanya wajah Keng Hong, terngiang suara yang selalu tak pernah ia lupakan. Kalau sucinya tahu akan semua pengalamannya, akan kekecewaan dan akan penghinaan-penghinaan yang dideritanya, akan cintanya kepada Keng Hong, kemudian betapa cintanya dihancurleburkan, ahhh, pengalaman sucinya itu masih belum apa-apa, masih ringan!

"Malah aku... aku tertarik... dan ketika itu muncul dua orang tosu Kun-lun-pai yang hendak menangkapnya. Aku mati-matian membelanya, malah aku sendiri sampai roboh oleh tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi.. apa yang dia lakukan sebagai balas jasa..? Aku dala keadaan pingsan.. Dan agaknya dia berhasil mengusir dua orang tosu Kun-lun-pai itu.. ketika aku sadar... aku telah diperkosa..!"

"Hemmmmm...!!" Biauw Eng menggigit bibirnya. Awas engkau, Keng Hong! Demikian hatinya berbisik.

"Kalau saja dia berterus terang... Ah, aku sudah seperti gila.. masih dapat diselesaikan dengan baik... akan tetapi dia.. si pengecut itu... Dia menyangkalnya...!" Hun Bwee kelihatan berduka sekali, menghapus air matanya lalu berkata, "Itulah sebabnya mengapa ketika Subo menyuruh kita pergi mencari Keng Hong, aku bersemangat sekali. Ketika tadi aku menyiksa dan membunuh Siauw Lek, terbayang olehku bahwa yang kusiksa itu adalah Keng Hong dan.. dan aku... uhu-hu-huuuh.. aku.... tidak tega.. Sumoi..!"

Biauw Eng memeluk pundak sucinya dan termenung. Hemmmmmm, betapa besar rasa cinta kasih yang berakar di dalam hati sucinya ini terhadap Keng Hong! Biarpun sudah diperkosa dan disangkal pula, kini masih belum lenyap rasa cinta kasih itu sehingga membayangkan betapa dia akan membalas dendam kepada pemuda itu saja membuat ia berduka dan tidak tega!

"Suci, katakanlah terus terang. Aku mohon kepadamu, katakanlah terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Cia Keng Hong?"

Hun Bwee mengangguk. "Semenjak dia menasehati aku untuk menghapus permusuhan, aku kagum kepadanya, aku tertarik dan aku sudah jatuh cinta kepadanya. Biarpun dia telah memperkosaku, kalau dia mengakui perbuatannya, dahulu pun aku bersedia mengampuninya...... tapi dia...... dia menyangkal........."

"Suci, katakanlah lagi secara terus terang. Andaikata dia itu suka mengakui perbuatannya terhadap dirimu, lalu mohon ampun kepadamu, apakah..... apakah Suci suka mengampuninya dan suka pula menerimanya sebagai ....... sebagai suamimu?"

Hun Bwee memandang sumoinya dengan mata terbelalak. "Mungkinkah.......? Mungkinkah dia...... mau........ melakukan hal itu?"

"Aku akan memaksa dia, Suci! Akulah orangnya yang akan memaksa dia agar jangan bersikap pengecut, agar suka mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu, dan agar minta maaf kepadamu dan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dengan mengawinimu!" Biauw Eng berkata penuh semangat dengan sepasang mata brani dan kedua tangan dikepal.

"Aaahhhh, Sumoi.......!" Hun Bwee merangkulnya smabil menangis. "Aku...... aku lemah. Aku cinta padanya......! Hi-hi-hi-hi-hik! Aku........ aku cinta Keng Hong, ha-ha-ha-ha-ha-ha-hah-hah!"

Biauw Eng bergidik. Hatinya penuh keharuan. Keng Hong bear-benar manusia keparat, pikirnya. Sudah merusak hatinya, merusak cintanya, kini menyebabkan Hun Bwee menjadi gila seperti ini! Ia menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam perahu. Biauw Eng melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan. Wajahnya yang cantik itu kini kelihatan kruh, pandang matanya sayu dan muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong! Tak mungkin ia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali ia bertemu Keng Hong. Bahkan ketika ia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekalipun, bertahun-tahun ia menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih! Siapa mengira, Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya ketika ia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah dimiliki Sim Lai Sek. Ternyata bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im umpamanya. hanya mencinta tubuhnya dan wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang seperti...... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi malah lebih jahat lagi, sudah memperkosa Hun Bwee!

"Aaahhhh..... Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu.....?" hatinya mengeluh dan hidup ini serasa kosong melompong baginya. Betapa senangnya kalau ia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari Cui Im dan balas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan...... dan....memaksa Keng Hong mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee Ia percaya bahwa sucinya ini akan sembuh daripada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka menerimanya sebagai isteri.

Perahu yang didayung Biauw Eng meluncur cepat, akan tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng yang hanyut mendahului perahu berlumba dengan riak air Sungai Huang-ho.

Ternyata peristiwa di tepi Sungai Huang-ho menyiksa Kim-lian jai-hwaong Siauw Lek itu mendatangkan pengaruh yang hebat atas jiwa Hun Bwee. Ketika masih belajar silat dibawah asuhan nenek gila Go-bi Thai-houw, Hun Bwee hanya pura-pura gila kalau berada di antara anak buah gurunya atau di depan gurunya. kalau sedang bicara berbisik-bisik di dalam kamar bersama Biauw Eng, dia waras. Akan tetapi sekarang, setelah penyiksaan atas diri penjahat cabul itu, benar-benar Hun Bwee mengalami perubahan dan hal ini amat kentara oleh Biauw Eng. Di sepanjang jalan, Hun Bwee kadang-kadang merenung, tertawa atau menangis sendiri, akan tetapi ada kalanya pula dia sembuh dan normal. Kalau sedang normal Hun Bwee mudah diajak bicara dan memang dasar watak Hun Bwee peramah, halus dan cerdik. Akan tetapi kalau sudah kumat, Biauw Eng kewalahan dan satu-satunya cara adalah ikut menggila!

Setelah melewati Cin-an, Biauw Eng yang kini selalu menjadi pelopor, mengajak Hun Bwee melanjutkan perjalanan ke utara, ke arah kota raja. Dua orang wanita muda yang cantik ini tentu saja menarik perhatian orang, terutama mata kaum pria, di setiap tempat yang mereka lalui. Akan tetapi sikap mereka yang gagah perkasa, terutama sekali pandang mata Hu Bwee yang liar dan wajah Biauw Eng yang dingin, membuat hati pria yang terbakar menjadi padam kembali.

Hari telah menjelang tengah hari, matahari amat panasnya ketika dua orang gadis ini melalui jalan yang lengang. Tidak tampak seorang pun manusia di tengah hari yang panas di sekitar tempat itu. Akan tetapi selagi mereka berdua jalan cepat agar segera sampai di hutan yang tampak di depan di mana perjalanan dapat dilakukan dalam keadaan tidak begitu panas terbakar matahari, tiba-tiba ada derap kaki kuda dari belakang mereka. Biauw Eng dan Hun Bwee berjalan minggir dan seorang penunggang kuda lewat. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki setengah tua. Ketika kudanya lewat dia menengok dan sejenak pandang matanya bertemu dengan wajah Biauw Eg.

"Aihhh.....!" Demikian terdengar penunggang kuda itu bersuara, akan tetapi kudanyadibedal makin cepat, meninggalkan debu mengebul di sepanjang jalan.

"Siapakah orang itu, Sumoi?" Hun Bwee bertanya. Suaranya normal. hati Biauw Eng lega karena sudah tiga hari ini Hun Bwee tidak kumat gilanya! Kalau sudah kumat, ia merasa cemas dan bingung.

"Entahlah, Suci. Aku merasa seperti pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana."

"Hemmm, dia mencurigakan. Ketika melihatmu, dia seperti melihat setan, kelihatan takut dan terkejut sekali."

Biauw Eng tersenyum. "Mungkin dia seorang di antara mereka yang pernah mengalami hajaranku dahulu, Suci."

"Mungkin, akan tetapi betapapun juga, kita harus hati-hati, sumoi."

Biauw Eng mengangguk. hari itu tidak terjadi apa-apa. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di dusun dekat perbatasan Propinsi Shan-tung dan Hopak. Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Matahari belum naik tinggi ketika mereka tiba di perbatasan dan di sebuah jalan hutan yang sunyi Biauw Eng melihat empat orang kakek yang tua berdiri menghadang perjalanan! Melihat bahwa mereka itu adalah tosu-tosu tua dan sikap mereka membayangkan kewibawaan, Biauw Eng maklum bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan dan ia menduga-duga sambil meneliti dari jauh. Seorang di antara mereka, yang paling tua dan rambutnya yang jarang itu sudah putih semua, memegang sebatang tongkat bambu dan mata kirinya buta. Dia inilah agaknya yang menjadi pemimpin karena kelihatan dia menggerakan tangan kiri memberi isyarat kepada tiga orang kakek lain yang kelihatannya marah ketika mereka memandang Biauw Eng.

Biauw Eng dan Hun Bwee hendak melewati saja empat orang tosu tua itu, akan tetapi tiba-tiba tongkat bambu di tangan kakek setengah buta dilonjorkan ke depan dan merintangi jalan.

"Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, tibalah saatnya orang berdosa menebus kedosaannya dan menerima hukuman. Eng kau telah membunuh suteku termuda, Kok Cin-cu, dan sekarang engkau harus menyerahkan nyawamu kepada kami agar roh sute kami tidak selalu penasaran!"

***

lanjut ke Jilid 071-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar