Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 57

Pedang Kayu Harum Jilid 057

<--kembali

Akan tetapi pakaian itu agaknya kotor dan berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan tapamk dalam keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu. Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, agaknya terisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia memesan makanan kepada pelayan.

Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini makin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya! Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut. Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im makin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya. Pemuda itu memandangnya dengan heran, seolah-olah mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti didapatkan Cui Im berada dalam sinar mata tiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya? Hemmm, aku harus mendapatkan engkau dan akan kubikin mabuk engkau dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, sampai engkau suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria!

Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im. Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandangnya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, ia menjadi penasaran dan mendongkol!

Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan juga sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah. Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.

Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang mau makan. Melihat isyarat itu ia lalu menggerakkan tubuh membungkuk dan mengangkat kedua tangan di dada sebagai ucapan terima kasih dan minta maaf sekaligus, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.

Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Ia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan kagum atau tertarik. Betapa sukarnya mencari pemuda yang memang sudah mengaguminya, kadang-kadang membosankan. Belum pernah ia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya

***

Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan semacam masakan bersama seguci arak. Setelah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi menawarinya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu sedang asyik makan sehingga dia mendapat alasan untuk tidak menawarkan, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya dan tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.

Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan. Cui Im tersenyum lalu berkata lirih,

"Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk dan menjawab lirih, "Terima kasih." Kemudian mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena dia merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.

Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang takkan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!

Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus dan lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan sinar matanya yang penuh pancaran kasih. Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya dia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Harus ia dapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong. Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, ia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apalagi memintanya!

Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi makin heran.

Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tidak menyenangkan, sungguhpun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa. Karena tertarik, ketika dia selesai akan dam memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,

"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?"

Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu meandang pemuda itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng kepala!

"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemmm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.." Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seolah-olah merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.

Pemuda itu lalu mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya!

Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti lari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya, "Siangkong, harap berhenti dulu...!"

Pemuda dapat menduga siapa yang menegurnya sungguhpun di dalam hati dia merasa terheran, maka ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi kaget. Ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,

"Ah, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"

Kembali Cui Im kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus. Akan tetapi ia mengusir keraguannya dan tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, ia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan kendali kuda di tangan ia membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,

"Tidak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya meerupakan seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku.." Cui Im menutupi mukanya untuk menyembunyikan senyum lebar, "aku bernama Bhe Cui Im..."

"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolo-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."

"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.." kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"

"Hemmm....., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah seorang yang amat bodoh..."

"Eh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentulah seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini.. eh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"

"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."

"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong.."

"Jangan merepotkan diri, Nona. Sesunguhnya saya... saya merasa amat malu menganggu Nona. Apalagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang bicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya…"

"Hemmm.... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!" Cui Im sengaja menengok sekelilingnya dan Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.

"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini.”

"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"

Pemuda kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum, "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."

***

Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat ahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak. Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah.

"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.

Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu. "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."

"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San. Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im,

"Banyak terima kasih, Nona."

"Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."

Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar, di ruangan depan ia menengok sambil tersenyum dan berkata, "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong." Lalu dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari situ, meninggalkan debu mengepul di halaan hotel.

"Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap," kuasa hotel itu berkata sambil tertawa, "Silakan, Siangkong."

Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,

"Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana dapat menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Beri padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah."

"Aiiihhhhh, mana bisa begitu. Saya masih sayang akan nyawa saya, Siangkong. Lihiap telah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintahnya? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kamu."

"Tapi.... tapi... " Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak meninggalkan kamar itu. "Saya... Tidak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?"

"Ha-ha-ha-ha-ha! Siangkong berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekalipun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong."

Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besar di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa, peristiwa-pwristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya!

Benar saja pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan. Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu ia memesan makanan yang cepat diantar ke kamarnya. Setelah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicuci oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab-kitab Susi Ngokeng, para pelayang maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara.

Sementara itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian tiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat. Adapun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri.

Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya dan membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang. Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara tentang sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu!

Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan, "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku siap."

Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah di nyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa "lihiap" telah menanti di luar. Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar.

Diam-diam dia kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik dan gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.

"Ah, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap."

"Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?"

"Tidak jauh kalau berkuda. Marilah arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?"

Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andaikata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.


lanjut ke Jilid 058-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar