Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 56

Pedang Kayu Harum Jilid 056

<--kembali

Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Mereka berjumlah tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong.

Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menanti di luar kota raja sebelah barat, tak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang telah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding,

"Engkau telah menyaksikannya sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia telah menguasai Thi-khi-I-beng (Mencuru Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?"

"Ha-ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?" Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak dan dia memang tidak pernah mau menyebit Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengaku bahwa gadis itu tidak ada lawannya, berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja. "Antara dia dan aku tidak ada urusan sesuatu yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencapuri urusanmu?"

Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biarpun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong.

Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andaikata demikian halnya, pasti dia tidak akan segan untuk menggunakan umpan lain.

"Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah engkau dahulu merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!"

Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak. "Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dahulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas, kecuali.... Ha-ha-ha, menolong dan membantumu!"

Cui Im tersenyum mengejek,"Hem, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Katakanlah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?"

Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara kitab-kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai..."

"Seng-to-cin-keng? Ataukah kitab I-kiong-hoan-hiat?" Cui Im memotong.

Kakek hitam itu terbelalak. "Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong-hoan-hiat. Amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan.

"Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Kalau engkau membantuku menghadapi Keng hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu."

Kakek itu membelalakkan mata. "Hemmm, jangan main-main. Andaikata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimanapun."

"Hi-hi-hik, ternyata engkau biarpun sudah tua masih tetap bodoh, Kwi-ong."

"Apa maksudmu?" Kening tebal itu berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.

"Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai dapat mengalahkan bekas guruku, Lam-hai sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap dan yang lain-lain? Akulah orangnya yang telah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong-hoan-hoat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewaskan, aku akan memberimu kitab pusaka Siauw-lim-pai kepadamu."

Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar seperti telinga gajah itu bergerak-gerak. Pak-san Kwi-ong sudah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis ini yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,

***

"Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?"

"Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah engkau perlu untuk mencobanya lebih dulu?" Cui Im meraba gagang pedang merahnya.

"Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut disini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong-hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?"

"Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu. Kalau memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?"

Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu, mengangguk-angguk.

"Kau tunggulah sebentar!" Cui Im berkelebat pergi dan tak lama kemudian ia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.

"Lihatlah baik-baik, bukankah ini kitab yang kau inginkan itu?" Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning memperlihatkan sampulnya dan membuka-buka lembarannya. Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Ia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong! Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng hong, setelah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang lihai benar-benar tidaklah amat sukar.

"Baiklah, Ang -kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu! Jawabnya penuh gairah.

Cui Im menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang penting adalah menewaskan Keng Hong. Kalau hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.

"Aku tidak mau bertindak sembrono," kata Cui Im. "Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang diiliki Keng Hong juga didapatnya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku tidak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi.." Cui Im menarik napas panjang karena ia benar-benar merasa penasaran dan kecewa, "dia telah dapat dapat menguasai Thi-khi-I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagaimana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mujijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya."

Pak-san Kwi-ong yang kini menjadi bersemangat karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong-hoan-jiat, berkata,

"Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?"

Cui Im menggeleng kepala. "Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu."

"Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?" Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina. "Mereka gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu."

Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius, "Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu amat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!"

"Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!" kata Siauw Lek.

Pak-san Kwi-ong mengangguk. "Kurasa pun begitu. Biarpun dia lihai, mustahil kita bertiga takkan dapat mengalahkannya."

Cui Im mengerutkan alisnya. "Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin, sebaliknya kalau kita bisa mengajak seorang di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan."

"Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?" Siauw Lek meragu.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam..."

Cui Im mengangguk. "Aku mengerti dan aku siap membalas budinya."

"Akan tetapi dia.... mengingatkan aku akan kuda Mongol..."

"Hussshhh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini." Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi. Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta berahinya kepada pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani? Dia bergidik. Teringat ia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semua mati setelah berada di kamar peranakan Mongol itu selama tiga malam!

Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!

Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandang matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol daripada bahasa Han,

"Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?"

"Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku."

Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab. "Ah, tentu saja, aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona."

Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. "Memang kita harus saling menolong dan aku berjani jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalasmu dengan membantumu."

"Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?"

"Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada datang musuh besarku yang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku ingin minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong..."

"Ah, pemuda lihai bukan main itu?" Kemutani tampak kaget karena diapun telah mmenyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.

"Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan," jawab Cui Im dengan suara pasti.

"Akan tetapi... Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah mengenal pemuda itu."

"Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, hal itu kau tak usah khawatir, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?"

Kemutani tapak meragu, akan tetapi pada saat itu, senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu berahinya. "Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?"

"Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu."

"Betul? Heh-heh-heh, engkau bersedia... Eh menemani aku semalam suntuk?" Ucapan kasar dan terang-terangan di depan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan.

***

Akan tetapi Cui Im kebal dan ia malah tersenyum, juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja.

Cui Im mengangguk. "Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, setelah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong."

"Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan dapat mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!"

Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata, "Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!" Ucapan Cui Im ini pun tentu akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa.

Mereka lalu berunding di dalam kamar itu mengatur siasat, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya. "Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apabila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya."

Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya, "Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?"

Pertanyaan itu sama sekali tidak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab, "Aku belum tahu. Harus kucari dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya."

Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa di waktu dia bebas tugas, ia menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh.

Biarpun baru kurang lebih setahun Cui I menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah amat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis berpakaian mewah dan indah, cantik, jelita, dan menunggang seekor kuda yang besar itu. Maklum pula bahwa di samping memiliki kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang.

Tentu saja bagi pemuda yang dipilih, hal itu merupakan pengalaman yang takkan terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan apabila Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah dan memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!

Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan ia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apalagi pergi bersenang -senang di pondoknya di luar kota. Dia ingin memilih seorang pemuda yang betul-betul memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya dan juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa!

Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlumba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani bersikap kurang ajar. Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata! Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu meneria kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tidak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.

"Sediakan meja di sudut dalam, menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!" kata Cui Im singkat. Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya ia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat dijalan besar depan restoran itu. Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya sejak ia memasuki restoran sampai ia duduk. Ada di antara mereka beberapa orang pria muda yang cukup ganteng, akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah. Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga ia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya.

Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran, semangatnya bangkit dan setiap urat syaraf di tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang berpakaian hijau, bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu berahinya bangkit, menyala dan berkobar. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya yang tebal hitam, matanya tajam dan hidungnya mancung, bibirnya merah membayangkan kesehatan. Wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan di masa itu, serba longgar, dengan lengan baju lebar.


lanjut ke Jilid 057-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar