Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 20.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 20:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 20 Jilid 20 Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?” Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, makin lama makin dekat. “Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.” Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.” “Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?” “Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala dibawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!” Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu. Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak. “Maaf, Pangeran” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.” Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu aku lagi!” Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air. Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu. “Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.” Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.” Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut. Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguhpun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian dia mengambil stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.” Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berobah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan kagum. “Ah, engkau telah berobah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!” Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama, dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpemandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana. “Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu. Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia benar-benar merasa kagum sekali sehingga pertanyaan itu seperti tidak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar. “Ohh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Takkan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kaupakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke manapun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi. Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....” “Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu.” Dara itu menunduk, dan mengangguk, kemudian mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.” “Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku telah menjadi kaisar....” “Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya”. “.... dan kalau engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... di sampingku....” Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini! Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seerang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya! Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir. Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Pangeran itu bukan saja menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah “meminangnya” secara tidak langsung pula! Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya. Karena sampai lama gadis itu tidak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu melepaskan tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan hati-hati menggunakan jari-jari tangan kiri memegang dagu gadis itu dan mengangkat muka itu perlahan-lahan menghadapinya. Muka yang agak pucat, kedua matanya terpejam dan beberapa butir air mata menitik turun dari mata itu ke atas kedua pipinya. “Li Hwa.... jawablah, maukah engkau....?” Li Hwa membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu mengangguk dan menggenggam cincin itu. “Hamba.... akan menyimpan cincin ini.... sampai akhir hayat....” “Tok-tok-tokk!” Keduanya terkejut dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh memandang ke arah daun pintu itu. “Siapa....?” Pangeran Kian Liong membentak dengan suara keren. “Saya, Pangeran. Harap buka pintu!” terdengar suara wanita dari luar pintu. Mendengar suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia menghadapi ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak mengenal suara itu, lalu bertanya. “Saya siapa?” “Saya Ibumu ke tiga, Pangeran.” “Ah, harap Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur.” “Bukalah, Pangeran dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau menyembunyikan wanita pemberontak itu di dalam kamar!” “Singgg....!” Li Hwa mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia lalu memegang dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya. Kemudian dia berkata, menghadapi pintu. “Tunggu, saya hendak keluar dengan teman saya.” Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan Li Hwa, diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar sambil menggandeng tangan gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali, jantungnya berdebar tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau ditangkap. Melihat Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang “pemuda” yang pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak dan tahulah dia bahwa “pemuda” itu tentu wanita pemberontak yang dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan mata-matanya, yaitu seorang di antara para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk kamar bersama wanita yang pakaiannya basah kuyup. “Pangeran, tunggu! Engkau tidak boleh....” “Apa?” Pangeran itu berhenti, membalik dan menghadapi wanita tua itu, lalu memandang kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang matanya penuh tantangan, “Siapa berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa? Ingin aku melihat orangnya yang berani menghalangiku!” Sikapnya amat gagah dan menantang, sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata Pangeran itu. Melihat ini, Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan terus diajak berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan keberanian Pangeran itu dan kemudian dia pun sadar bahwa bagaimanapun juga, tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran Mahkota itu. Kalau dia mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapapun juga, Pangeran itu adalah Pangeran Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia harus bersikap hati-hati. Maka, dengan marah dan mendongkol sekali dia berkata, “Pangeran, tunggu saja nanti apa kata Sri Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak dan pembunuh Kaisar!” Akan tetapi Kian Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana itu. Setiap pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari “pemberontak” wanita itu, begitu melihat Pangeran itu bergandengan tangan dengan seorang “pemuda” yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis pemberontak yang mereka kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa, kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka memberi hormat dan menundukkan muka! Li Hwa merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh Pangeran itu keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas yang penuh dengan penjaga-penjaga. Diam-diam dia merasa semakin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan dia tahu bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh kemarahan Kaisar! Dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang meloloskan orang yang hendak membunuhnya! Akan tetapi, tidak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang menggandeng tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu gerbang istana! Pangeran Kian Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana dan berhenti di tempat yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon. “Nah, dari sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan, Li Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung takkan ada seorang pun yang berani mengganggumu.” Li Hwa menjatuhkan diri berlutut. “Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta kasih yang amat besar untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama hidup hamba....” Pangeran Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun berdiri dan biarpun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan tembok dan pohon, akan tetapi karena mereka berdiri berhadapan dekat sekali, mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing. “Li Hwa, kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji datang kepadaku dan hidup bersamaku.” Li Hwa merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika dia berbisik, “Hamba bersumpah....” akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dalam sebuah ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang. Dalam dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih, gadis itu hanya merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua lengannya pada leher Sang Pangeran. “Pemberontak, kalian hendak lari. kemana?” Bentakan ini tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan masing-masing dan Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang tinggi besar telah berada di situ, berdiri bertolak pinggang dengan sikap mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu tentu seorang di antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah. “Hemm, manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?” Akan tetapi, sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu tertawa bergelak, “Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran yang mengkhianati Kaisar, membantu pembunuh melarikan diri!” “Eh, siapa engkau? Dan mau apa kau?” Pangeran membentak, wajahnya berobah agak pucat karena dia maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam keselamatannya, terutama sekali keselamatan Li Hwa. “Aku? Ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak maju. Melihat ini, Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu cepat menerjang, mendahului orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya cepat dan ganas sekali karena dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia mengadu nyawa! Maka, seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi. Akan tetapi, orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia menangkis pedang nona itu. “Trakkk!” Sekali tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan benda yang luar biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tidak mundur sama sekali. “Keparat, jangan kau berani mengganggu Pangeran!” bentaknya dan dengan pedang buntung itu dia menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim pukulan ke arah pusar lawan, gerakannya amat ganas. “Bresss....!” Orang tinggi besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu yang ketika bertemu dengan tubuhnya yang kebal seperti menyerang orang-orangan dari karet yang amat kuat saja sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa terjengkang dan terbanting sampai berguling-gulingan. “Li Hwa....!” Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara itu. “Hamba tidak apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan keparat ini!” Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian Liong. Melihat ini, orang tinggi besar itu tertawa. “Biarlah kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan” kata Pangeran itu yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan terluka atau tewas di tangan orang yang lihai itu. “Ha-ha-ha, sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak, yang berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran, perintah yang kuterima adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati yang mesra, ha-ha-ha!” Orang tinggi besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan kesaktian orang itu, hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa mampu membela diri lagi. “Desss....!” Tubuh orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak mencoba menembus kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang laki-laki yang berlengan satu sudah berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi menangkisnya! “Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....” Orang tinggi besar itu tergagap. “Hemm, Sam-ok, keberanianmu melewati batas!” kata orang berlengan satu itu yang bukan lain adalah Kao Kok Cu. Kiranya orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban Hwa Sengjin maka pantas saja Li Hwa sama sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti ini. Karena usahanya digagalkan, biarpun dia tahu akan kesaktian Si Naga Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri! Tubuhnya sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi), dan sambil berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah meluncur ke arah Si Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka melihat gerakan lawan ini dia bersikap tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri untuk menghindar setiap kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan tangan atau kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok. Sementara itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian Liong menjadi lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan berkata, “Li Hwa, cepat kau pergilah dari sini. Ingat, pergunakan cincin dan surat!” Li Hwa terisak, “Pangeran.... selamat tinggal....” “Jangan lupa pesanku, Li Hwa.” Gadis itu lalu meloncat dan melarikan diri kedalam kegelapan malam, menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah selatan dengan cincin dan surat itu, tentu saja dia akan dengan mudah keluar dari kota raja, karena di dalam surat itu Sang Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang berani membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap perintahnya dan si pembangkan akan dihukum berat! Sungguh terjadi perobahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika dia memasuki istana dia merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, penuh kebencian dan dendam terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan, kekaguman dan juga cinta kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah dari Pangeran yang amat dikaguminya itu. Dia masih merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali dengan Pangeran yang dicintanya itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang menjadi selir paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu menjadi Kaisar yang amat berkuasa kelak! Sementara itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru belasan jurus saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biarpun dia tidak mengalami luka parah, namun dadanya terasa sesak setiap kali dia bertemu tangan dengan pendekar sakti itu dan akhirnya Sam-ok lalu melompat dan melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan celaka. Kao Kok Cu tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang, “Sebaiknya Paduka kembali ke dalam istana.” “Kembali engkau telah menyelamatkan aku, Paman.” jawab Pangeran Kian Liong yang lalu menambahkan, “Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada malam hari ini.” Kao Kok Cu mengangguk, mengerti bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang mengenal diri gadis Siauw-lim-pai itu. Dia lalu mengawal Sang Pangeran kembali ke istana, disambut oleh Wan Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah mengintai keadaan Im-kan Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat oleh Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li. Pangeran Kian Liong yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan mengambil keputusan untuk tidak mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw yang amat membahayakan ayahnya itu. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama, dua pasang suami isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu mereka diundang untuk makan pagi bersama Kaisar untuk bercakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir pula Pangeran Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi, Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya dan pandang matanya lebih banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri, dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal mata keranjang itu mulai tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu. “Kami mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,” dalam suatu kesempatan Kaisar berkata, ditujukan kepada Syanti Dewi. “Timbul keinginan hati kami untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri yang demikian halus dan cantik, lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda suka memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk mengagumi ilmu silat yang baik.” Semua orang diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keterluan. Biarpun dia seorang kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita yang baru saja menikah pula. Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja, apalagi kalau orang itu seorang wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi? Syanti Dewi dengan sikap tenang lalu menjura. “Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba hanya belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan Paduka?” “Aih, Anda terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi dari Kim-coa-to selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, yang sukar dicari bandingannya. Kecantikan seperti bidadari itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu kenyataannya, hanya ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk menggembirakan suasana pagi ini.” Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap ceriwis, tanpa sungkan sedikitpun juga sungguhpun di situ hadir suami puteri itu, hadir pula puteranya dan suami isteri pendekar yang selama ini amat dikaguminya. Syanti Dewi melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja, jelas bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk mengambil keputusan sendiri bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu. Akan tetapi pada saat itu, terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara lantang, “Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!” Kaisar menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, akan tetapi sebelum dia membantah, dan kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya, dengan muka yang dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi, pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang amat mencolok hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di atas pakaian dan tubuhnya. Setelah menghampiri meja itu, Sam-thaihouw menjura ke arah Kaisar dan untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang yang menjadi Ibu tirinya itu. “Semoga Thian memberkahi Sri Baginda!” kata Sam-thaihouw. “Semoga Ibu selalu dalam keadaan sehat.” balas Sri Baginda Kaisar. Sam-thaihouw lalu memutar tubuhnya dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di atas bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian dengan gerakan lambat seperti gerakan teratur seorang pemain wayang. Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang, “Sri Baginda telah makan pagi bersama dengan seorang pengkhianat.” Tentu saja Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu tirinya itu dan akhirnya bertanya, “Apa yang Ibunda maksudkan?” “Tentu Sri Baginda sudah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang semalam menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos. Tahukah Paduka apa yang terjadi semalam? Saya telah melihat sendiri di mana adanya gadis pemberontak itu semalam!” Dia berhenti lagi, untuk menambah ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar. “Di mana?” Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali. “Di dalam kamar Pangeran Kian Liong!” “Ahhh....” Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya. “Bukan itu saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong telah membantu pemberontak itu, membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana, menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan para pasukan pengawal. Itulah sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pengkhianat!” Wajah Kaisar berobah merah dan sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika kini dia memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar itu memandang kepada Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka kagum bukan main ketika melihat betapa Pangeran itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya. “Pangeran, apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang dikatakan oleh Sam-thaihauw?” Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan penuh aturan. Pangeran Kian Liong mengangguk! “Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba tentang gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang tentu Paduka kenal, dan gadis itu datang bukan sebagai pemberontak melainkan ada kujungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhunya dan Paduka. Jadi urusan semalam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak ada hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona itu pergi setelah hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan murid-murid Siauw-lim-pai. Hamba juga menyuruh dia menyadarkan para murid Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauw-lim-pai adalah keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang Paduka, dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan menyelamatkannya demi untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka menganggap hamba bersalah, hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda Kaisar!” Mendegar jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suheng-suhengnya dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua itu dan dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu murid dari suhengnya yang datang bersama isterinya yang cantik beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu. Agaknya puteranya itu pun tahu akan hal itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak membuka rahasia itu. Biarpun dia kurang puas karena seorang di antara calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri, namun betapapun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam hati para murid Siauw-lim-pai terhadap dirinya. Melihat Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali. Dia melihat kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran ini dari ayahnya, untuk membangkitkan kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap Pangeran Mahkota, akan tetapi melihat Kaisar itu mengangguk-angguk mendengar jawaban Pangeran Kian Liong, dia kecewa sekali. “Sungguh keterangan yang bohong!” teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya kepada Pangeran Muda itu. “Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis itu memakai pakaian Pangeran! Dan betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya! Dan kalau pangeran sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda, seolah-olah mempunyai musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap pemberontak ini, pengkhianat ini dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan para pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi itu memasuki istana....” Pangeran Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya lantang ketika dia memotong kata-kata nenek tirinya itu, “Tidakkah akan lebih lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar cerita Sam-thaihouw tentang Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki tangan Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?” Sam-thaihouw terkejut mendengar itu, akan tetapi dia cepat menegakkan lehernya dan berkata dengan suara mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhannya dan keyakinan akan kekuasaannya, “Apa salahnya aku mempergunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka adalah rakyat yang setia kepada kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan negara, bukan sebaliknya untuk mengkhianati negara bahkan Kaisar sendiri!” Sam-thaihouw menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat. Mendengar perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung dan dia hanya menoleh kepada dua orang itu berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik. Pangeran Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biarpun masih muda namun sesungguhnya dia amat cerdik dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar pembelaan diri Sam-thaihouw, dia tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban inilah yang ditunggu-tunggunya. “Sam-thaihouw menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya berusaha melenyapkan sikap bermusuhan mereka terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thaihouw agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa adanya Im-kan Ngo-ok! Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya orang ke tiga dari Im-kan Ngook? Siapakah adanya Sam-ok Ban Hwa Sengjin itu? Yang sudah berkali-kali hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?” Wajah Sam-thaihouw menjadi agak pucat dan dia mulai bingung dan gelisah, memandang kepada wajah Kaisar, kemudian kepada wajah Pangeran itu dan mulutnya bergerak-gerak, akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa. “Kenapa Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang kini menjadi orang yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw, bukan lain adalah bekas koksu dari Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan penyerangan terhadap tanah air kita.” Kaisar terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali ibu tirinya itu, yang sejak dahulu kelihatan amat setia kepadanya, ternyata diam-diam dia telah mengumpulkan tenaga-tenaga dari pihak musuh! Dia cepat menoleh dan memandang kepada nenek itu dan melihat betapa wajah yang tertutup bedak tebal itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan dan kedua kaki yang tertutup pakaian panjang itu menggigil, membuat tubuhnya bergoyang-goyang! “Harap Ibunda menjelaskan apa artinya semua ini!” terdengar suara Kaisar yang kini kelihatan marah terhadap nenek itu. “Saya...., saya.... tidak tahu akan hal itu.” “Sam-thaihouw tidak tahu? Hemm, berbeda sekali dengan semua yang telah saya alami. Im-kan Ngo-ok berusaha untuk menculik saya ketika saya pergi Kim-coa-to, berusaha untuk merusak nama saya dan semua itu adalah atas perintah Sam-thaihouw. Bahkan nyaris mereka itu berani untuk membunuh saya dan hal itu tentu sudah terlaksana kalau saya tidak dilindungi oleh orang-orang gagah, temasuk orang-orang Siauw-lim-pai! Dan empat orang iblis betina Subi Mo-li itu pun pernah menculik putera kembar Paman Gak Bun Beng dan mereka pun mengaku bahwa perbuatan itu adalah atas perintah Sam-thaihouw! Usaha Sam-thaihouw dengan mempergunakan tenaga-tenaga macam bekas Koksu Nepal semua itu bukankah semata-mata untuk menyingkirkan saya agar kelak yang menggantikan kedudukan kaisar adalah pilihan Sam-thaihouw di mana Sam-thaihouw akan dapat memegang kekuasaan tertinggi?” Serangan ucapan Pangeran Kian Liong memang sudah diperhitungkan baik-baik dan wajah nenek itu nampak semakin ketakutan. Kaisar sejak tadi mendengarkan ucapan puteranya sambil menatap wajah Sam-thaihouw. Tanpa diketahui oleh nenek itu, Kaisar sesungguhnya amat mencinta dan sayang, juga kagum kepada puteranya itu, maka segala usaha nenek itu untuk memisahkan putera mahkota ini dari ayahnya sungguh merupakan usaha sia-sia bahkan memukul diri sendiri! Baru sekaranglah Sam-thaihouw menyadari akan hal ini dia merasa menyesal sekali atas kebodohannya sendiri. Menyesal, bingung dan juga ketakutan. “Benarkah semua itu, Ibunda? Kalau tidak benar, harap Ibunda suka menyangkal dengan bukti-bukti!” Sam-thaihouw sudah terpojok dan tidak mampu bicara lagi, akhirnya menundukkan mukanya. Kaisar menjadi marah. Akan tetapi mengingat bahwa nenek itu memiliki kekuasaan yang cukup besar dan mengingat akan jasa-jasanya di masa lampau, maka dia pun tidak memerintah pengawal untuk menangkapnya, melainkan hanya menudingkantelunjuk kearah pintu sambil berkata, “Pergilah, Sam-thaihouw!” Nenek itu lalu melangkah ke arah pintu, agak terhuyung dan dia seolah-olah dalam waktu beberapa menit saja telah berobah menjadi seorang nenek yang sudah amat tua dan lemah. Setelah tiba di luar pintu, dia dikawal oleh pasukan pengawal pribadinya meninggalkan tempat itu, akan tetapi sebelum tiba di kamarnya sendiri, dia roboh dan terpaksa digotong oleh para pengawalnya. Akan tetapi, tak lama kemudian, sebelum dia tiba di kamarnya, nenek ini telah menghembuskan napas terakhir. Kiranya dia tewas karena serangan jantungnya yang memang kurang begitu kuat sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Rasa penyesalan, kekagetan dan rasa takut dan bingung membuat jantung yang lemah itu terserang dan mengakibatkan dia tewas seketika! Kematian Sam-thaihouw ini secara tidak langsung telah menyelamatkan Syanti Dewi! Atau setidaknya menghindarkan wanita cantik ini dari hal-hal yang amat tidak enak baginya. Sudah terasa olehnya, bahkan diketahui pula oleh suaminya dan oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti bahwa Kaisar yang berwatak mata keranjang itu telah tergila-gila kepada Syanti Dewi. Bahkan setelah minum arak agak banyak di pagi hari itu, kata- katanya mulai berani ditujukan kepada Syanti Dewi, membayangkan kehendaknya agar Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi untuk sementara tinggal di istana sebagai tamu agungnya! Akan tetapi, selagi mereka berenam masih melanjutkan percakapan setelah makan pagi, tiba-tiba datang laporan bahwa Sam-thaihouw telah meninggal dunia secara mendadak. Hal ini tentu saja mengejutkan juga kepada Kaisar dan pertemuan itu segera diakhiri. Peristiwa kematian Sam-thaihouw mendatangkan beberapa kesibukan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat dan Syanti Dewi, dibantu oleh Pangeran Kian Liong, untuk meninggalkan istana dan pulang ke Bhutan tanpa menemui lagi Kaisar, cukup berpamit kepada Pangeran Kian Liong saja. Bahkan mereka tidak mau dikawal pasukan, hanya menerima sebuah kereta kecil dengan dua ekor kuda dan hanya membawa surat dari Pangeran Kian Liong untuk Raja Bhutan, ayah Syanti Dewi. Demikianlah, bagaikan sepasang burung baru terlepas dari sangkar emas yang mengancam akan mengurung mereka dan menghadapkan mereka kepada hal-hal yang amat tidak enak, bahkan mungkin sekali berbahaya, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi lolos dari kota raja, melakukan perjalanan yang amat jauh namun amat penuh dengan kebahagiaan mereka berdua, bagaikan sepasang pengantin baru melakukan tamasya di tempat-tempat sunyi nan indah, mereka menuju ke Bhutan, naik kereta berdua dan kadang-kadang berhenti untuk mengaso atau untuk bercumbuan! Dunia penuh dengan keindahan terbentang luas di depan mereka, seolah-olah menjadi hadiah dari mereka berdua yang sudah bertahun-tahun lamanya menderita kerinduan dan kesunyian yang mendatangkan kedukaan. Biarpun Kaisar telah mengetahui rahasia Sam-thaihouw dan diam-diam telah menyuruh tangkap semua kaki tangan nenek itu yang tidak keburu melarikan diri dan melempar mereka ke dalam tahanan, namun demi menjaga nama baik keluar istana, kematian Sam-thaihouw menjadi peristiwa perkabungan resmi. Bahkan Kaisar melakukan upacara sembahyang seperti lajimnya, dan menerima ucapan belasungkawa dari negara-negara tetangga. Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Tan, dan dua orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga-keluarga Kaisar ini lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi menghadap Kaisar. Dua orang pemuda ini lalu mengulang semua pengalamanna, ketika beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh Sang Pangeran kepada Kaisar. Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin sadar bahwa selama ini dia telah berdekatan dengan orang-orang yang pada hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka. Dengan terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkarlah pula kepalsuan Lan-thaikam, orang kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan menggantikan kedudukan Kaisar Kiang Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta kekayaan yang luar biasa banyaknya, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan tail emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas luasnya! Karena maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan yang amat erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat Lan-thaikam menjadi berhati-hati dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang meracuninya! Maka, tak lama kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas pulalah thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga tidak menimbulkan keributan. Setelah upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat. Jenderal Kao Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil menumpas pergolakan di barat. Jenderal muda ini disambut dengan upacara kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang. Kaisar menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran dan tidak puaanya dengan hilangnya pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu. Pasukan yang dikirim dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah mengalami kegagalan. “Kiranya tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu.” kata Kaisar antara lain, kemudian melanjutkan. “Pedang itu sendiri tidaklah sangat penting dan istana masih mempunyai banyak pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini menyangkut kehormatan istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang dicuri. Lalu bagaimana akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak mampu menangkap seorang maling saja?” Jenderal Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua kembali ke rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong yang ikut pula berkunjung ke situ mengajak mereka semua berunding. Dari Wan Tek Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang Koai-liong-kiam. Didepan Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar akan marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk merampas kembali pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan tentang pedang yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang didengarnya dari Tek Hoat. “Menurut ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka istana itu dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas.” kata Kao Cin Liong. “Betapapun juga, perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana, maka kita pun berhak untuk menuntutnya dan untuk itu, tidak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran, hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang menurut cerita Paman Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang menyembunyikan diri, sebaiknya diambil jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan dengan serbuan pasukan tentara.” Sang Pangeran mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya? Perjalanan ke tempat itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatiah jauhnya dan sukar sekali, pula, menurut Paman Wan Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat daripada tingkat kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.” “Memang berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran.” kata Kao Kok Cu dengan tenang. “Dan kami berdua akan menemani Liong ji (Anak Liong) untuk mencari pedang itu dan membawanya kembali ke istana.” Mendengar ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya, karena kalau pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang pusaka itu akan dapat didapatkan kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatsn jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya itu. Dia tertawa dan bangkit berdiri. “Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.” Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar yang masih ada hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Sementara itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya, barulah Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas dengan putera mereka. Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa putera mereka kembali dari tugas ke barat dan mendapatkan sambutan yang meriah dari Kaisar. Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana sentai dan bebas di ruangan gedung jenderal muda itu. Dan dalam kesempatan inilah suami isteri pendekar itu lalu bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga Bu itu. Tentu saja Kao Cin Liong terkejut den merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya bertanya tentang gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, tahulah dia bahwa mereka itu serius dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis itu, maka dia pun menjawabnya dengan terus terang. “Ah, Bu Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat, seorrang Panglima Nepal yang tangguh sekali!” Ayah bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong menceritakan tentang usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil menyelundup ke markas musuh dan bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan, puteri panglima itu, sampai bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan musuh, menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu. “Nah, demiklanlah ceritanya.” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu dapat mengenal nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?” Kini dialah yang ingin sekali mendengar dari mereka tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya semenjak mereka berpisah sebagai musuh. “Jadi dia itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah aekali. “Ini penghinaan namanya!” “Tenanglah, isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang pernah menyelamatkan Pangeran....” “Tidak peduli ayahnya pendekar atau dewa sekalipun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal, panglima musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang perjodohan?” Nyonya itu berkata lagi dengan marah. “Ayah, Ibu, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang datang menemui Ayah Ibu dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar keterangan mereka. Karena melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada puteranya dan bertanya, suaranya sungguh-sungguh, ”Cin Liong, katakanlah, apakah ada hubungan cinta antara engkau dan Nona Bu Siok Lan itu?” “Apa.... apa maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran. “Mendengarkan penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara engkau dan dia terdapat hubungan persahabatan, sungguhpun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk menyelamatkan pasukanmu yang terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah engkau jatuh cinta kepada gadis itu?” Cin Liong mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi sahabat Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang wajah Ci Sian dah dia lalu menjawab tenang, “Tidak, Ayah! Aku memang suka padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku cinta padanya.” “Nah, apa kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi. “Mengapakah mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya. “Keluarga yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya karena mereka kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta kepada Pangeran untuk menjadi perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak mengikatkan perjodohan antara anak perempuan mereka itu denganmu!” “Ahh....!” Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak disangkanya bahwa Panglima Nandini, yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam kepadanya, kini malah hendak menjodohkan puterinnya yang tunggal itu dengan dia! “Kita harus menghadapi urusan ini dengan kepala dingin.” Kao Kok Cu berkata, sambil memandang kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara engkau dan gadis itu tidak ada hubungan cinta, Cin Liong?” “Tidak, Ayah.” “Dan bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini? Ingat, urusan perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah yang berhak untuk memutuskan sendiri. Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu bagaimana watak-wataknya, sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau tentu mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?” Pemuda yang sudah menjadi jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat, bahaya yang besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia tidak mampu menyembunyikan rasa malunya dan wajahnya menjadi merah sekali. “Ayah.... Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....” “Jadi, berarti engkau menolaknya?” “Ya, begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, melainkan karena aku belum mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.” “Baiklah, kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu datang menemui kami.” Urusan itu tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao Kok Cu dan isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja pulang dan masih merasa lelah. Mereka mengambil keputusan untuk pergi atau berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga hari kemudian. Akan tetapi pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang mengunjungi rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan yang datang bersama laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di antaranya dikenalnya sebagai Panglima Nandini! Dia sudah diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah Bu Siok Lan yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri, dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan adalah seorang di antara isteri-isterinya, entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah disusul oleh ibunya dan ayahnya. Melihat Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju memberi hormat dan bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau panglima itu bukan merupakan bekas panglima musuhnya. “Ah, kiranya Bibi dan Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah Paman dan para Bibi yang lain ini?” Sejak tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang kepeda pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah peritasa itu, juga dia agak terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan satu itu. Tak perlu diperkenalkan iagi, dia dapat menduga siapa adanya pria berlengan satu itu. “Ah, kalau mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga berhadapan dengan pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah dugaan saya?” kata Bu-taihiap sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana. Melihat sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali. Dia dapat mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan yang luas dan tajam. Dia pun cepet membalas penghormatan orang dan menjawab. “Dan saudara yang perkasa tentulah pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?” “Ha-ha-ha, orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun Pasir?” “Silakan, silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk ke ruangan dalam untuk bicara.” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat betapa isterinya menerima kedatangan rombongan tamu itu dengan sikap cemberut dan muram. “Terima kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar bahwa saya adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal oleh putera Tai-hiap. Dan dia adalah Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka bertiga adalah isteri-isteri saya.” Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik. Terpaksa Wan Ceng membalas pengbormatan mereka, akan tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan cemberut. Akan, tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa Wan Ceng mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu dipersilakan duduk. Setelah mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa pertemuan ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang dan halus, “Kami sekeluarga mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa hubungan antara kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri Cu-wi dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah ada keperluan lain?” Bu Seng Kin tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum kepada pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang benar-benar gagah, tidak berliku-liku dan bersikap jantan tanpa sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang. “Kao-taihiap, maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Akan tetapi sebelum saya mewakili keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih dahulu saya ingin bertanya apakah Tai-hiap sekalian telah mendengar sesuatu tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian Liong?” Si Naga Gurun Pasir mengangguk. “Benar, kami telah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan beliau telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk mengadakan ikatan jodoh antara anak-anak kita.” Mendengar ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak rasa hati pemuda ini. Dia akan lebih suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang ganas daripada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal yang tidak amat enak. Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan Siok Lan. Kalau pihak wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus dilakukannya karena dia tidak jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak dan hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita. “Ah, Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati kami. Memang benarlah demikian, Tai-hiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan melihat putera Tai-hiap yang gagah perkasa, akan tetapi Siok Lan dan Ibunya telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan putera Tai-hiap untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Tai-hiap. Dan untuk membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga datang bertemu dengan Tai-hiap sekeluarga”. Bagi Kao Kok Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga merasakan, seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan tetapi sebelumnya dia sudah membicarakan urusan itu dengan isterinya dan puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab dengan suara tenang namun tegas, “Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau kami terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda Sekalian). Setelah kami mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah membicarakan hal itu dan kami telah mengambil keputusan bahwa pada waktu ini, putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dalam perjodohan dengan siapapun juga.” Jawaban itu sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya yang lain semua memandang kepada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah Nandini dan Siok Lan telah mengatakan, bahwa “ada apa-apa” antara jenderal muda itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul perjodohan ini sudah pasti, akan diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan amat mengejutkan. Apa1agi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi pucat ketika dia menoleh kepada isterinya, Nandini. Siok Lan sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina dan malu, bangkit berdiri dan menegur Cin Liong, “Kao Cin Liong apakah engkau hendak mempermainkan Anakku?” Mendengar kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri. “Beginikah sikap seorang tamu yang baik? Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak tahu aturan dan liar?” Dua orang wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi, ditujukan kepada Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap sopan-santun, dia berkata dengan lantang dan sejujurnya, “Puteramu telah saling mencinta dengan puteriku, akan tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalim belum ingin mengikatkan diri dalam perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermaikan puteriku?” “Siapa mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada kalian, apakah itu berarti dia mencinta puterimu?” “Siok Lan!” Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang bahwa kalian sudah saling mencinta!” Dapat dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, dengan muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab. “Aku memang cinta kepadanya, Ibu, dan.... aku yakin dia pun cinta padaku....” “Cin Liong, aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan tentang hal ini.” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas penuh wibawa. “Aku tidak pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!” kata Jenderai Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya memandang ke arah gadis itu, sehingga tidak dapat disangsikan lagi kebenarannya. Dengan suara gemetar Nandini berseru, “Siok Lan....?” Gadis itu menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana seorang pemuda yang dicintanya terang-terangan menyatakan bahwa tidak mencinta dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin! “Dia memang tidak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya, senyumnya..... ah, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis! Wan Ceng sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali. “Hemm, sungguh tidak tahu diri! Mana mungkin puteraku jatuh cinta kepada anak seorang panglima pasukan musuh? Dan bagaimanapun juga, aku tidak sudi menjadi besan seorang Panglima Pasukan Nepal!” “Jaga mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan kedudukan!” “Huh, kau mau apa? Kaukira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang. Dua orang wanita itu sudah saling pandang seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan anak mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang lengan isterinya dan berbisik, “Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus dihormati.” Sementara itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya, “Hushhh, diamlah, kita adalah tamu-tamu dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar mengapa ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini dengan muka merah sekali menghadapi Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap suka memaafkan kami yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh. Maafkanlah dan kami mohon diri.” Kao Kok Cu merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata, “Harap Bu-taihiap tidak terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh adalah urusan anak-anak, dan kalau mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.” “Kami mengerti, selamat tinggal.” “Selamat jalan!” Bu-taihiap bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari rumah itu dengan muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke depan itu maklum bahwa tanpa dapat dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguhpun hal itu bukan karena kesalahan pihak keluarga Kao. Betapapun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh peristiwa ini. Dua hari kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong, berangkat meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar, yaitu mencari dan merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari gudang pusaka istana beberapa tahun yang lalu. *** “Bu-koko, sebaiknya kalau engkau menanti dulu di sini, biarlah aku yang lebih dulu masuk menemui kakek. Setelah aku bicara dengannya, barulah aku akan memanggilmu. Hal ini untuk melancarkan pembicaraan antara kakek dan aku.” Mendengar kata kata Yu Hwi ini, Cu Kang Bu mengangguk dan dia menyentuh lengan kekasihnya. “Mudah-mudahan segalanya akan berjalan baik, Hwi-moi.” Dia tahu bahwa Yu Hwi menghadapi persoalan yang cukup menegangkan dan tidak enak bagi gadis itu yang terpaksa harus membicarakan tentang keputusan untuk membatalkan ikatan jodoh antara dia dan Kam Hong, yang berarti tentu saja menentang keputusan yang telah diambil oleh kakeknya, yaitu Sai-cu Kai-ong. Matahari telah naik tinggi dan pemandangan di Puncak Bukit Nelayan itu indah sekali. Akan tetapi, rumah besar yang seperti istana kuno itu nampak sunyi sekali, sesunyi puncak-puncak lain di Pegunungan Tai-hang-san itu. Berdebar rasa jantung Yu Hwi ketika dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci itu. Tempat yang terlalu besar untuk kakeknya yang agaknya kini hanya dapat menyendiri saja di tempat ini, apalagi kalau tempat itu nampak kosong seperti itu, menjadi amat menyeramkan, seperti rumah kediaman para iblis dan siluman. Tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar dari jauh di dalam gelap itu, akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi, “Siapa di luar....? Harap jangan mengganggu aku seorang tua yang sudah tidak ingin berurusan dengan siapapun....!” Mendengar suara ini, Yu Hwi berseru girang. “Kong-kong...., ini aku, Yu Hwi, yang datang....” Hening sejenak, seolah-olah suara Yu Hwi itu mengejutkan pendengarannya, sampai lenyap gema suara gadis itu. Yu Hwi berdiri di ruangan depan yang luas, menanti sejenak dan dari dalam nampaklah seorang kakek yang pakaiannya sederhana, tubuh itu masih tinggi tegap dan gagah akan tetapi mukanya kelihatan amat tua dan tidak bersemangat, muka dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek! Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut. “Kong-kong....!” “Yu Hwi.... engkaukah....? Benarkah engkau yang datang?” Kakek itu mengejap-ngejapkan kedua matanya memdndang wajah yang menengadah itu. Selama bertahun-tahun dia mengharap-harap kedatangan cucunya ini, bahkan kemudian pergi merantau bertahun-tahun mencarinya, sampai membawanya ke Pegunungan Himalaya, namun semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya, semua harapan itu memudar dan setelah dia merasa bahwa tubuhnya telah terlalu tua dan sahabatnya, yaitu Sinsiauw Seng-jin yang pada tahun-tahun terakhir bertapa di sebuah puncak berdekatan dengan puncak Nelayan di mana dia berada itu meninggal dunia, kakek ini tidak lagi pergi mencari Yu Hwi, bahkan tidak lagi mengharapkan kedatangannya. Dia mengira bahwa cucunya itu telah tiada lagi di dunia ini, dan harapannya melihat cucunya berjodoh dengan keturunan Suling Emas sudah membuyar. Akan tetapi, pagi hari ini dia mendengar suara Yu Hwi dan bahkan kini dia berhadapan dengan cucunya itu! Dia masih mengenal wajah cantik itu dan keharuan yang amat sangat membuat kakek ini memejamkan mata dan menahan dua butir air mata yang hendak runtuh. Betapapun juga, dia adalah bekas Raja Pengemis, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang gagah perkasa, dan semenjak dia muda, menangis merupakan pantangan baginya. Namun, perjumpaan ini seolah-olah perjumpaan dengan seorang yang baru bangkit dari kematian, maka dia terkejut, heran, terharu dan girang sekali. “Cucuku....!” Dia maju dan menyentuh kepala gadis itu. “Kong-kong...., ampunkanlah bahwa baru sekarang saya datang menghadap....!” Yu Hwi berkata dengan suara mengandung isak karena gadis ini pun merasa terharu sekali. Sejak kecil dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang yang kemudian menjadi gurunya yang tercinta, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling dan sejak kecil dia terpisah dari kakeknya. Kemudian, setelah mereka saling bertemu kembali, dia melarikan diri ketika mendengar bahwa dia dijodohkan sejak kecil dengan Kam Hong! Dan semenjak itu, kembali dia berpisah dari kakeknya dan baru sekarang mereka saling bertemu kembali. “Yu Hwi.... Yu Hwi, ke mana sajakah engkau selama ini pergi? Betapa dengan susah payah aku mencari-carimu Yu Hwi....” “Maaf, Kong-kong, saya hanya mendatangkan banyak pusing dan susah saja kepada Kong-kong selama ini.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemm.... dan kedatanganmu ini pun hanya akan menimbulkan kecewa padaku, bukan?” “Maaf.... agaknya demikianlah.... Kedatangan saya, ini hanya untuk meresmikan putusnya pertalian jodoh yang Kang-kong adakan dehulu antara saya dengan Kam Hong.” Akan tetapi ucapan itu sudah tidak lagi mendatangkan kekecewaan dalam hati kakek itu yang memang sudah tidak mengharapkan lagi dapat dilanjutkannya ikatan jodoh itu. Dia menarik napas panjang. “Sin-siauw Seng-jin juga sudah meninggal dunia...., dia kiranya dapat memaafkan aku. Akan tetapi, pemutusan ikatan itu tidak mungkin dapat dilakukan sepihak saja, Yu Hwi, maka harus dibicarakan dengan yang bersangkutan, yaitu Kam Hong....” “Hal itu sudah beres, Kong-kong. Saya telah berjumpa dengan Kam Hong dan kami berdua sudah membicarakan tentang itu. Adalah Kam Hong yang menasihatkan agar saya datang kepadamu dan memberitahukan akan pemutusan ikatan itu agar resmi.” Kakek itu mengangguk-angguk. Agaknya, kini sudah kehilangan kesungguhan hatinya tentang hal itu. “Sesukamulah.... sesukamulah...., akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalau engkau masih menganggap aku sebagai Kakekmu, apakah sebabnya meka engkau memutuskan ikatan itu? Apakah tidak ada kecocokan antara engkau dengan Kam Hong....” “Sesungguhnya karena saya.... saya telah menemukan calon suami saya sendiri, Kong-kong.” “Hemmm....” “Bahkan dia pun mengantar saya menghadap Kong-kong, akan tetapi saya suruh menanti di luar agar tidak mengejutkan hati Kong-kong. Kalau Kong-kong memperkenankan, saya akan memanggil dia masuk....” Yu Hwi memandang kepada kong-kongnya dengan ragu-ragu, lalu bangkit berdiri. Untuk beberapa lamanya kakek itu memandang wajah cucunya. Harus diakui bahwa cucunya itu telah jauh lebih matang sekarang dan dia pun tahu bahwa bagi seorang wanita, cucunya itu telah lewat batas usia kepantasan untuk menikah dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada cucunya ini. “Cukup, tahukah engkau berapa usiamu sekarang?” Yu Hwi tecsenyum. “Tentu saja, Kong-kong. Antara dua puluh tujuh dan dua puluh delapan tahun.” Sai-cu Kai-ong. menarik napas panjang. “Dan baru sekarang engkau menemukan calon suamimu? Berapa usia calon suamimu itu?” “Dia sudah berusia tiga puluh tahun, Kong-kong....” Jawab Yu Hwi. Wajah kakek itu agak berseri mendengar ini. Setidaknya, cucunya memperoleh seorang calon suami yang sepadan usianya. “Tentu saja aku ingin sekali berkenalan dengan calon cucu mantuku. Suruh dia masuk, Yu Hwi.” Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan kata-kata seperti sedang bicara dengan orang yang berdiri di depannya saja, perlahan-lahan dan biasa saja, “Bu-koko, Kong-kong telah memperkenankan engkau masuk. Masuklah, Koko!” Biarpun ucapan itu lirih saja, namun Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. Suaranya tadi mengandung getaran yang tinggi dan dengan getaran seperti itu, suara itu akan dapat dikirim sampai jauh. Itulah semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang mengandalkan khi-kang yang amat kuat. Dia sendiri pun belum tentu sekuat itu! Dan dari luar masuklah sesosok tubuh seorang pria yang membuat kakek itu kagum. Tubuh seorang pria yang tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong dalam dongeng Sam Kok dan setelah pria muda itu tiba di depannya dan memberi hormat dengan sikap yang amat gagah, Sai-cu Kai-ong diam-diam merasa girang sekali. Keadaan pria ini sungguh merupakan obat yang mujarab untuk menghapus sama sekali sisa-sisa kekecewaan atas terputusnya tali perjodohan antara cucrrnya dengan Kam Hong. Pria ini sungguh tidak mengecewakan, bahkan mengagumkan. Begitu gagah perkasa dan Jantan! Akan tetapi, di samping rasa puas ini pun dia merasa terkejut karena dia merasa seakan-akan pernah dia bertemu dengan pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini. “Eh.... rasanya.... aku pernah berjumpa dengan Sicu yang gagah ini....” katanya sambil memandang wajah itu penuh selidik. Pemuda perkasa itu menujura. “Tidak salah apa yang Locianpwe katakan. Kami sekeluarga di Lembah Suling Emas pernah menerima kehormatan dengan kunjungan Locianpwe beberapa tahun yang lalu.” “Ah, sekarang aku ingat....! Sicu adalah seorang di antara tiga saudara Cu yang sakti itu!” Kembali Cu Kang Bu menjura. “Saya adalah Cu Kang Bu, saudara termuda dari Cu.” Tentu saja Sai-cu Kai-ong menjadi terkejut, terheran dan juga diam-diam merasa girang sekali. Dia pernah menyaksikan kehebatan ilmu silat pemuda tinggi besar ini yang tidak kalah lihainya ketika melawan Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Pemuda seperti ini mungkin tidak kalah dalam ilmu silatnya dibandingkan dengan keturunan Suling Emas, Kam Hong sekalipun! Gagal mempunyai cucu mantu seperti Kam Hong akan tetapi mendapatkan pengganti seperti ini tidaklah terlalu mengecewakan! “Dan Cu-taihiap yang menjadi calon suami cucuku yang bodoh?” Kang Bu adalah seorang pemuda yang jujur dan sederhana, maka disebut Taihiap itu dia cepat berkata, “Harap Locianpwe tidak menyebut Taihiap kepada saya karena keluarga kami sejak dahulu tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Tidak salah bahwa Hwi-moi dan saya telah bersepakat untuk menjadi suami isteri dan mohon doa restu dan ijin dari Locianpwe.” LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar