Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 29.

Kisah si Bangau Putih Jilid 29

“Tidak banyak hal lain di luar yang telah kudengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah keluarga kita dibasmi, akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sribaginda mengampuniku, bahkan aku dianjurkan untuk membuktikan darmabaktiku kepada kerajaan dengan masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah....” Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, “.... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”
“Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.
“Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku.”
Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan.
“Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan sejak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liongpang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”
“Siauwmoi....!”
“Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Karena itu, aku sudah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita....”
“Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu....“
Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan dan melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.
Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah.
“Ah, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu karena aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga.”
Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. “Keperluan apakah itu, Kongcu?”
Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin.
“Ayah mohon bantuanmu agar surat yang amat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting.”
Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun mengangguk.
“Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bercakap-cakap.”
“Baiklah, Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya. Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim? Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah kalau sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana!
Betapapun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.
Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita tentang hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu. Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya dipergunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya.
Untung ketika itu, Bu Beng Lokai menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri.
Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, dan rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.
Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata,
“Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”
Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”
“Dia dibunuh orang....“
“Ahhhhh!” Betapapun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Siapa yang membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.
“Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku agar keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku.”
Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata, “Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”
Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, ia melihat belasan orang anggauta perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua. Ketika dekat, ia melihat bahwa di antara anggauta Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi, sekali ini tanpa suaminya, berada di situ.
Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena ia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya telah tewas, tak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.
“Siapakah dia ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing itu yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.
“Kami tidak tahu,” kata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”
Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat ia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan.
Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan?
Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh? Ia mengepal tinju dan di dalam hatinya ia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim!
Satu-satunya anggauta keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini dibunuh pula.
“Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.
Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang dan jenazah Pouw-ciangkun dipanggul. Jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dikubur dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari pasukan Coa Tai-ciangkun ikut pula hadir dan memberi penghormatan.
Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarga yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, hanya untuk diakhiri dengan kedukaan.
Pertemuan singkat, bahkan mereka belum sempat bercakap-cakap secara panjang lebar.
Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidaksesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.
Semenjak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin dan setelah jenazah itu dimakamkan, ia duduk terkulai di depan makam. Semua orang telah pergi meninggalkan kuburan kecuali ia sendiri dan Siangkoan Liong yang dengan penuh perhatian selalu menemaninya dan mencoba untuk menghiburnya.
Melihat gadis itu masih bersimpuh di dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu dan suaranya halus menggetar penuh perasaan iba,
“Sian-moi.... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja.”
Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis.
“Akan tetapi, Liong-ko, dia.... dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.... satu-satunya keluargaku....“
“Aih, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku....“
Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih,
“Liong-ko....“ dan ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik daripada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya, bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan ia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sianmoi?” tanya Siangkoan Liong halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu. Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab dan memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.
Mereka duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannyanya. Dengan lembut ia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
“Ah, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Bersenang-senang di depan makam kakakku....!” katanya agak menyesal.
“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu menjura sebagai penghormatan terakhir dan berkata,
“Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini akan membalaskan kermatianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim....!”
“Bagus.... bagus....!” Terdengar suara yang dalam dan lantang. Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang tiba-tiba muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
“Paman Siangkoan....!” Li Sian memberi hormat.
“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu telah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”
“Ayah, ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”
“Hemmm, berita apakah itu, Liongji (anak Liong)?”
“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”
Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh merupakan berita yang amat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali dan biarlah nanti kalau sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”
Siangkoan Liong cepat berkata,
“Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.” Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.
Ketika mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ telah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, juga beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedeng makan minum, atau baru saja selesai. Ketika melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, dan mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan,” kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira. Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira, ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.
“Ah, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li. Wanita ini lalu menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan, bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah kedua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li lalu membawanya menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri, dan dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.
“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia,” katanya. Semua orang sudah mengisi cawan arak mereka masing-masing dan mereka pun mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, “Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”
Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi ia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa ia menerimanya pula, dan mereka semua minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua dengan asyik.” Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.
Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, dan menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.
Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya.
Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diamdiam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain.
Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang ypng berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua kini membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.
Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah, kemudian ia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan keputusan Siangkoan Lohan bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong. Dalam makan minum lagi, sebelumnya ia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Namun, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong pandai menghiburnya, apalagi karena pemuda itu adalah calon suaminya, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya.
Sama sekali ia tidak sadar bahwa ia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang diatur oleh Siangkoan Liong bersama sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.
Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.
***
Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walaupun rapi dan bersih.
Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri di dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Dia hidup menyendiri bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan samadhi. Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan urusan dunia yang selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.
Tak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Namun tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri. Tempat yang sunyi tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga benda-benda memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tidak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata.
Biarpun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biarpun orangnya berada di tempat yang sunyi.
Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak mempunyai pamrih atau cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan menyiksa diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu. Banyak terdapat orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini seringkali disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan. Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena kalau demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari seuatu yang diinginkan.
Ketika perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari samadhinya dan dia pun teringat bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia pun turun dari tempat samadhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang sejak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.
Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang berjalan, menghampirinya, dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang tampan dan matanya bersinar tajam. Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.
“Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku adalah Suma Lian!”
Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu.
“Aih, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai di sini? Dan siapakah mereka itu?” Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut.
Gadis ini adalah keponakannya, keponakan dalam, akan tetapi juga sebetulnya tunangan dari muridnya. Sejak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini sudah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya (baca kisahSULING NAGA ).
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum.
“Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata masih ada hubungan dekat dengan keluarga kita, Paman. Tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu mengemblengnya di Istana Gurun Pasir.”
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian.
“Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?”
Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.
“Aih, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya lembut.
“Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi....“
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Ciong Siu Kwi....“ katanya perlahan. Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah menikah dengan seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?
“Apakah ia yang berjuluk Bi-kwi....?” Suma Lian mengangguk.
“Benar sekali, Paman.”
Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak ini putera bekas iblis betina itu?
“Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi....?”
“Panjang ceritanya, Paman....”
“Ah, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam.” Ajaknya sambil mendahului tiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih. Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat jerami kering yang tebal.
Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya. “Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apabila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali agar Paman suka pindah saja ke rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, daripada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman.”
Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum. “Ah, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi undangan ayah ibumu itu bukan tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian.”
Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka berceritalah Suma Lian tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas kalau tidak ditolong oleh Sin Hong. Juga ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.
“Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan anak ini di sini, Paman. Tentu saja kalau Paman tidak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya.”
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar