Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 20.

Kisah si Bangau Putih Jilid 20

20

Hong Beng tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, melihat pertanyaan yang polos itu, dia pun menjawab sederhana,
“Suhuku bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es”
“Aihhh....!”
“Kenapa?”
“Ayahku pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman mendalam sehingga wajah Hong Beng menjadi kemerahan.
“Sudahlah, Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi agaknya Tuhan telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan seperti telah menjadi kakak beradik. Akan tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku, dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”
“Aku biarpun aku hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama baik ayahku. Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”
“Baiklah, asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama, engkau harus sudah mengusir jauh-jauh kenekatan dan kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”
Ada perasaan perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi ia harus membantu Hong Beng menyelidiki dan menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar mencuci nama baik ayahnya, melainkan juga mencuci noda pada dirinya dengan darah dan nyawa Siangkoan Liong!
“Aku berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk menyelidiki keadaan Tiatliong-pang.
Setiap orang manusia hidup takkan terluput daripada peristiwa yang menimpa dirinya, baik peristiwa itu biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti yang dialami Ci Hwa. Peristiwa hebat yang diterima sebagai suatu malapetaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan, bahkan dapat membuat orang menjadi mata gelap, ada pula yang ingin menghentikan semua derita dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!
Akan tetapi, sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya merupakan suatu pelarian yang mata gelap. Peristiwa yang telah terjadi pun terjadilah, merupakan sesuatu yang telah lalu. Kalau peristiwa itu terus dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan yang timbul dari kenangan.
Kenangan ini menimbulkan iba diri, dendam, duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu peristiwa sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan .saja peristiwa itu lenyap, bagaikan sebuah mimpi buruk? Hidup adalah saat ini, bukan kemarin! Kemarin itu sudah mati, baik maupun buruk. Kenangan akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga kerinduan dan harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya kalau kita mampu menghapus semua kenangan peristiwa masa lalu, baik, maupun buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan siap menghadapi peristiwa yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka, tanpa kebencian.
Peristiwa adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula, karena sudah terjadi. Baik buruknya hanya tergantung daripada penilaian kita sendiri. Di dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi, yang terpenting bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan. Kewaspadaan mendatangkan kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi dan menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan menghadapi sesuatu yang diliputi penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu tidak bijaksana lagi.
***
Cin-san-pang adalah perkumpulan orang gagah yang bermarkas di lembah Sungai Cin-sa.
Kita telah mengenal ketuanya, yaitu Ciok Kim Bouw, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan bersemangat baja. Perkumpulan ini sekarang memiliki anggauta tidak kurang dari seratus orang banyaknya, bekerja sebagai nelayan, juga sebagai pengawal perahu-perahu para pedagang yang melakukan pelayaran di sungai itu dengan berupa imbalan sekedarnya. Seperti banyak perkumpulan gagah di jaman itu, merasa tidak suka akan penjajahan yang dilakukan bangsa Mancu sejak ratusan tahun, akan tetapi mereka pun tidak berdaya. Mereka tidak memberontak terhadap pemerintah yang teramat kuat, namun mereka pun enggan menjadi kaki tangan penjajah, dan hidup sebagai kelompok orang gagah yang suka membela kepentingan rakyat dari penindasan atau kejahatan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang, ikut pula diundang dan menjadi tamu dari perkumpulan Tiat-liong-pang dengan para datuk sesat sehingga hampir saja dia menjadi korban. Sejak lama dia memang telah bermusuhan dengan Sin-kiam Mo-li (baca kisahSuling Naga ), maka melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan segala pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw dia menentang dan akibatnya, hampir dia terbunuh ketika dalam perjalanan pulang dia dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Untung muncul seorang pemuda sakti yang tidak dikenalnya akan tetapi berhasil menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan musuh-musuhnya. Dia merasa menyesal sekali mengapa tidak sempat mengenal nama pemuda itu yang begitu menolongnya dan mengobati lukanya, terus pergi begitu saja. Ciok Kim Bouw tidak tahu bahwa di antara semua tamu yang tidak menyetujui persekutuan itu, hanya dia seoranglah yang selamat!
Ciok Kim Bouw adalah seorang yang gagah, dengan tubuh tinggi besar dan muka hitam seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok. Keistimewaannya adalah mempergunakan senjata golok besarnya. Dan, dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang kini telah berusia dua puluh lima tahun, bernama Ciok Heng. Pemuda ini memiliki tubuh tinggi besar seperti ayahnya, dan wajahnya tidak berkulit hitam, bahkan tampan gagah dengan sepasang mata lebar yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan. Sejak kecil dia digembleng ayahnya dan setelah berusia dua puluh lima tahun, dia telah mewarisi semua ilmu ayahnya dan menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.
Ketika Ciok Kim Bouw pulang dalam keadaan marah dan kecewa, puteranya segera dapat menduga bahwa tentu pertemuan itu tidak menyenangkan hati ayahnya, maka dia pun langsung bertanya. Ciok Kim Bouw menceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi di sana.
“Tiat-liong-pang telah dibawa menyeleweng oleh Siangkoan Lohan!” katanya sambil menggebrak meja. “Dia mengajak sekongkol datuk-datuk sesat. Bayangkan saja, iblis-iblis macam Sin-kiam Mo-li, para tosu Pek-lian-kauw dan Patwa-kauw, menjadi sekutunya!”
“Ahhh....!” Ciok Heng terkejut bukan main mendengar ini.
“Bukan mereka saja,” sambung ayahnya. “Masih banyak lagi orang-orang dari golongan hitam menjadi sekutunya, dan para tamu yang tidak setuju akan persekutuan itu pasti dimusuhi. Aku terang-terangan menyatakan tidak setuju dan aku dihina di depan umum oleh putera Siangkoan Lohan yang amat lihai. Bahkan ketika aku pulang, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Nyaris aku tewas. Kalau tidak muncul seorang pemuda sakti yang tidak mau mengaku namanya, tentu aku tidak dapat pulang dan sudah mati konyol di sana.” Selanjutnya dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada, puteranya, juga kepada para pembantunya yang setia.
“Brakkk!” Ciok Heng menggebrak meja dan mukanya menjadi marah sekali.
Tiat-liong-pang menyeleweng, kita tidak boleh mendiamkannya saja. Ayah, biarkan aku menggerakkan teman-teman untuk menyerbu dan menghancurkan Tiat-liong-pang!”
Ayahnya mengangkat tangan ke atas.
“Ciok Heng, jangan bersikap bodoh seperti anak kecil yang hanya menurutkan dorongan hati marah. Tiat-liong-pang itu kuat sekali, Siangkoan Lohan amat sakti, puteranya agaknya tidak kalah hebatnya oleh ayahnya dan di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi. Belum lagi diingat betapa anak buah mereka mungkin lebih banyak daripada jumlah teman-teman kita. Kalau engkau dan teman-teman menyerbu ke sana, akan sama artinya dengan segerombolan nyamuk menyerbu api. Memang kita harus menentangnya, akan tetapi dengan cara halus, bukan menggunakan kekerasan dan untuk itu kita harus berunding dan mengadakan kontak dengan para pendekar.”
Ciok Heng mengangguk-angguk membenarkan ayahnya.
“Kalau begitu, aku dan kawan-kawan akan menyebarkan berita itu kepada para pendekar, Ayah dan mengajak mereka untuk turun tangan karena persekutuan itu akan berbahaya sekali kalau didiamkan saja.”
Ciok Kim Bouw menyetujui.
“Baiklah, kalau mungkin, undang para orang gagah untuk mengadakan perundingan di sini.”
Ciok Heng segera mempersiapkan teman-temannya dan mereka pun lalu tersebar, memberitahukan kepada para pendekar yang mereka anggap patut mengetahui perubahan di dunia kaum sesat yang sedang mengadakan persekutuan dengan pimpinan Tiat-liong-pang yang agaknya kini hendak melakukan penyelewengan itu. Memang tidak diadakan perjanjian dan ketentuan harinya untuk mengadakan perundingan, namun di antara para pendekar yang menaruh perhatian akan berita ini, berjanji akan berkunjung untuk bercakap-cakap bahkan ada pula yang mengatakan hendak langsung pergi menyelidiki urusan itu di Tiat-liong-pang. Sementata itu, dengan penuh semangat Ciok Kim Bouw dan puteranya mulai melatih anak buah mereka dengan tekun agar mereka memperoleh kemajuan sehingga sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan untuk menghadapi musuh, mereka sudah berada dalam keadaan yang kuat. Barisan golok dibentuk dan setiap hari mereka berlatih, juga golok mereka semua selalu tajam terasah.
Dua bulan lewat dengan cepatnya sementara itu berita tentang persekutuan Tiat-liong-pang yang disebarkan oleh orang-orang Cin-sa-pang itu sudah terdengar sampai ke beberapa propinsi. Berita itu disambut oleh para orang gagah di dunia persilatan dengan sikap yang bermacam-macam. Ada pula yang menanggapinya dengan senang karena bukankah sudah sepatutnya kalau orang gagah mengumpulkan kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mancu? Ada pula yang merasa tidak senang karena mendengar betapa persekutuan Tiat-liong-pang itu merangkul tokoh-tokoh sesat, apalagi Pek-lian-pai dan Pat-kwapai disebut dalam persekutuan itu. Biarpun niatnya baik, yaitu menentang penjajah, akan tetapi kalau harus bekerja sama dengan golongan hitam, banyak diantara para pendekar yang tidak mau. Pendeknya, berita yang disebarluaskan Cin-sa-pang di dunia persilatan itu cukup menimbulkan kegemparan dan banyak di antara para pendekar meragukan kepatriotannya, apalagi kalau mereka mendengar dan mengingat bahwa Tiat-liong-pang tadinya adalah kaki tanggn pemerintah penjajah!
Betapapun juga, peristiwa ini menarik perhatian banyak kaum pendekar untuk meninggalkan tempat mereka dan menuju ke selatan untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada suatu pagi yang cerah nampak seorang pemuda memasuki perkampungan perkumpulan Cin-sa-pang di lembah Sungai Cin-sa. Semua orang yang bersua di jalan dengan pemuda ini pasti menengok dan merasa kagum. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, mukanya agak hitam akan tetapi bentuk muka itu gagah, dengan hidung mancung, mata tajam dan mulut membayangkan kekerasan hati dan keberanian. Sikapnya pendiam dan dia tidak pernah menengok ke kanan kiri, hanya lurus memandang ke depan sambil melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Ketika melangkah, tubuhnya bergerak seperti seekor harimau berjalan. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal, dan di balik jubahnya terdapat sebatang pedang yang tergantung di pinggang, tersembunyi namun ujung gagang pedang masih nampak tersembul di bawah jubah. Tanpa melihat pedangnya pun, baru melihat perawakannya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang pemuda gemblengan, seorang jago silat yang tangguh. Dugaan ini tepat karena dia adalah Cu Kun Tek, jago silat muda dari Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya.
Orang tua pemuda itu juga merupakan pendekar-pendekar yang lihai. Ayahnya bernama Cu Kang Bu, pewaris Lembah Naga Siluman dengan ilmu silat keluarga Cu yang amat tinggi, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Cu Kang Bu ini terkenal pula dengan julukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenega Selaksa Kati). Adapun ibunya juga seorang pendekar wanita yang lihai dengan ilmu-ilmu pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), dan Pat-liong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)! Tentu saja Cu Kun Tek mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya.
Cu Kun Tek meninggalkan tempat tinggal keluarga ayahnya ketika dia mendengar berita yang disebar oleh Cin-sa-pang itu. Sebagai seorang pendekar, hatinya tergerak dan dia tidak akan tinggal diam begitu saja, maka dia pun pergi dan berkunjung ke tempat perkampungan Cin-sa-pang untuk mendengar sendiri kebenaran berita itu. Dia pernah berjumpa dengan Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang yang dianggapnya seorang yang cukup gagah dan perkumpulannya juga merupakan perkumpulan orang-orang gagah.
Ketika para anggauta Cin-sa-pang melaporkan kepada ketua mereka akan datangnya seorang tamu dan Ciok Kim Bouw cepat keluar, dia menjadi girang sekali melihat pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu.
“Aih, kiranya Cu-enghiong yang datang!” katanya sambil membalas penghormatan pemuda itu.
“Bagaimana kabarnya, Ciok Pang-cu? Mudah-mudahan baik-baik saja.”
“Terima kasih, Cu-eng-hiong. Mari silakan duduk di dalam!” Mereka masuk ke ruangan dalam dan bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini Cu Kun Tek bertanya tentang berita yang dia dengar tentang Tiat-liong-pang dan ketua Cin-sa-pang itu segera menceritakan semuanya tentang pengalamannya ketika dia menghadiri undangan Tiat-liong-pang, yaitu pada pesta ulang tahun ke enam puluh tahun dari Siangkoan Lohan.
“Bayangkan saja, hati siapa tidak menjadi geram melihat betapa di antara para tamu kehormatan itu terdapat orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, bahkan di sana aku melihat pula iblis betina Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jelaslah bahwa Tiat-liong-pang hendak merencanakan sesuatu pemberontakan!”
Cu Kun Tek mendengarkan penuh perhatian, alisnya berkerut dan dia pun berkata,
“Akan tetapi, bukankah sudah menjadi idaman semua orang gagah untuk membantu usaha mengusir pemerintah penjajah dari tanah air, Pangcu?”
Ciok Kim Bouw menghela napas panjang.
“Kalau ada gerakan seperti itu, gerakan para patriot sejati dengan tujuan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, percayalah, kami seluruh anggauta Cin-sa-pang akan berdiri di belakangnya, akan bergabung dan siap mempertaruhkan nyawa untuk membantu gerakan itu! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang-orang Tiat-liong-pang merupakan patriot-patriot sejati? Mereka bahkan berjasa terhadap penjajah Mancu, bahkan Siangkoan Lohan dihadiahi banyak harta dan seorang puteri dari istana kaisar! Kini, dia mengadakan persekutuan dengan para pemberontak, akan tetapi pemberontak macam Pek-lian-kauw, dan bersekutu pula dengan orang-orang dari kaum sesat! Bagaimana mungkin gerakan seperti itu mengandung niat bersih dan gagah untuk membebaskan rakyat jelata?” Dia lalu menceritakan apa yang telah terjadi dalam pesta itu, tentang kecabulan dan lain-lain, kemudian menceritakan betapa dia secara terang-terangan mengatakan tidak senangnya dengan hadirnya tokoh-tokoh sesat sehingga dia dianggap menghina dan dikalahkan oleh Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan.
“Ketika aku pergi meninggalkan pesta, masih banyak di antara teman-teman sepaham yang juga meninggalkan tempat itu, sebagai protes dan pernyataan tidak suka karena Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat. Dan tahukah engkau apa yang terjadi setelah aku pergi meninggalkan tempat itu? Di tengah perjalanan, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong dan mereka itu sengaja hendak membunuhku!”
Lalu diceritakan betapa dia nyaris tewas kalau tidak muncul seorang pemuda lihai yang berhasil mengusir kedua orang itu, bahkan menyelamatkan nyawanya dari ancaman racun di lengannya akibat serangan Siangkoan Liong.
“Nah, melihat perkembangan itu, kami merasa amat khawatir, Cu-enghiong. Tadinya puteraku, Ciok Heng, berkeras hendak memimpin anak buah menyerbu ke Tiat-liong-pang, akan tetapi kularang dia karena hal itu sama dengan membunuh diri. Di sana berkumpul banyak orang pandai dan agaknya Tiat-liong-pang sudah menyusun kekuatan.
Maka, kami lalu menyebarkan berita itu agar terdengar oleh para pendekar dan orang gagah sehingga gerakan yang berbahaya dari Tiat-liong-pang dapat dicegah.”
Cu Kun Tek diam-diam merasa heran juga mendengar semua cerita itu. Dia. sudah mendengar perkumpulan macam apa adanya Tiat-liong-pang, sebuah perkumpulan yang pernah membuat jasa terhadap serbuan orang Mancu sehingga perkumpulan itu dianggap pro pemerintah Mancu. Akan tetapi kenapa kini mendadak saja perkumpulan itu hendak memberontak, bahkan bersekutu dengan orang-orang golongan hitam? Hal ini perlu diselidiki secara teliti sebelum dia mempercayai begitu saja keterangan Ciok Pangcu.
Hanya satu hari Cu Kun Tek berdiam di Cin-sa-pang sebagai tamu, bercakap-cakap dengan ketua Cin-sa-pang dan puteranya, Ciok Heng yang gagah perkasa. Kemudian dia minta diri karena dia hendak melanjutkan perjalanannya ke utara, untuk melakukan penyelidikan kepada perkumpulan yang katanya bersekutu dengan para penjahat hendak memberontak itu.
Di dalam perjalanan ini, Kun Tek mengenangkan masa lampaunya, tujuh delapan tahun ketika dia baru berusia sembilan belas tahun, ketika dia bersama para pendekar lain seperti Gu Hong Beng, Can Bi Lan, Sim Houw dan yang lainlain menghadapi musuh-musuh yang amat kuat seperti Kim Hwa Nio-nio, Saicu Lama, dan Sam Kwi yang amat lihai itu menjadi kaki tangan Thai-kam Hou Seng yang menjadi kekasih Kaisar dan yang hendak merajalela dengan kekuasaannya. Dengan demikian, para datuk sesat itu seolah-olah bekerja sama dengan pemerintah, sehingga para pendekar kadangkadang berhadapan dengan pasukan pemerintah (baca kisahSuling Naga ).
Akan tetapi kini keadaan berbalik. Tiat-liong-pang yang tadinya juga menjadi perkumpulan yang pro pemerintah penjajah, kini kabarnya tiba-tiba membalik dan hendak memberontak, akan tetapi, melihat betapa perkumpulan itu bersekongkol dengan datuk kaum sesat, Kun Tek meragukan kebersihan usaha pemberontakan mereka itu.
Tentu mereka bukan bermaksud berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kaum penjajah, melainkan hendak memberontak dan merebut kekuasaan, untuk mengangkat diri menjadi golongan pimpinan baru! Kalau benar demikian, maka gerakan itu harus ditentangnya! Dia hanya akan membantu perjuangan yang benar-benar ditujukan untuk membebaskan rakyat dari tindasan kaum penjajah. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa Kaisar Kiang Long yang sekarang ini masih jauh lebih baik dan bijaksana daripada kaisar-kaisar Mancu yang lalu, dan dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya kalau sampai kendali pemerintahan terjatuh ke dalam tangan para datuk sesat yang jahat dan kejam melebihi iblis itu.
Teringat akan masa lalunya, dada yang bidang itu menghembuskan napas panjang. Dia pernah jatuh cinta kepada Can Bi Lan, cinta sepihak, karena akhirnya wanita itu menikah dengan Sim Houw, yang masih keponakannya sendiri biarpun usia Sim Houw lebih tua empat belas tahun darinya, dan semenjak itu dia kembali ke Lembah Naga Siluman dan tidak pernah memasuki dunia ramai. Dia tidak merasa patah hati, bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Namun, kegagalan cintanya itu membuat dia malas dan segan untuk mencari jodoh seperti yang selalu dianjutkan kedua orang tuanya.
Sekarang, setelah kembali dia melakukan perjalanan seorang diri, baru dia dapat membayangkan betapa selama ini dia mengecewakan hati ayah bundanya, bahwa membuat mereka berduka dan kecewa merupakan suatu perbuatan yang tidak berbakti.
Pula, kenapa dia seolaholah menjadi putus asa dan tidak pernah mempunyai keinginan untuk berumah tangga? Ah, siapa tahu, sekali ini Thian akan menunjukkan jalan baginya, akan mempertemukan dia dengan jodohnya, atau mungkin juga dia akan gugur dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang pendekar, menyelidiki Tiat-liong-pang.
Bagaimana nanti sajalah! Keberuntungan atau kegagalan di masa depan, aku siap menghadapimu, demikian dia menyongsong masa depannya dengan hati lapang dan gagah.
Cu Kun Tek memang keturunan keluarga Cu yang sudah ratusan tahun tinggal di Lembah Naga Siluman sebagai keluarga sakti yang mengasingkan diri. Keluarga Cu ini memiliki ilmu silat keluarga yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan, dan nama besar keluarga Cu sudah dikenal oleh hampir semua tokoh dunia persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam. Dan kini, Cu Kun Tek, keturunan terakhir mereka, mengubah kebiasaan nenek moyangnya, dia keluar dari lembah untuk mencampuri urusan dunia ramai. Tentu saja sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, siap untuk melindungi yang lemah dan tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Juga diam-diam dia mengharapkan mudah-mudahan sekali ini dia akan bertemu dengan jodohnya karena bagaimanapun juga dia merasa kasihan kepada ayah dan ibunya yang sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu dan terutama sekali menimang cucu!
***
Semenjak Siangkoan Liong membunuh dua orang anggauta Tiat-liong-pang yang hendak memperkosa Kwee Ci Hwa, para anggauta Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi berbuat jahat dan sembarangan saja. Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini patuh akan semua perintah atasan.
Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan hal itu dan dia sempat menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.
“Ayah, apa yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang tanpa menurut peraturan? Akhirnya mereka takkan dapat dikendalikan dan kalau sudah begitu, mungkin kelak mereka akan berani membalik dan melawan kita. Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan besi. Mereka harus takut dan tunduk, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan mereka dengan baik. Apalagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan membutuhkan disiplin yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat taat seperti sepasukan tentara yang terkendali baik, bagaimana mungkin usaha kita akan berhasil?”
Siangkoan Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan menjadi girang sekali.
Benar kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya, puteranya ini memang ada bakat untuk menjadi kaisar! Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu, Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturan-peraturan yang membuat para anak buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah atasan. Setiap hari mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para sekutunya, yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, bahkan kadang-kadang Siangkoan Lohan turun tangan sendiri memberi gemblengan sehingga pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya itu terbentuk sebagai pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!
Pada suatu hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam Moli dan yang sebagian lagi dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong. Pasukan yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong bertugas untuk menyerbu Tiat-liong-pang sedangkan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li bertugas mempertahankan benteng perkumpulan itu. Penjagaan dilakukan dengan ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan “musuh” datang menyerbu. Benteng Tiat-liong-pang dianggap sebagai beteng kota raja yang harus diserbu dan diduduki. Tentu saja ada disebar mata-mata dari pihak penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari pihak yang diserbu untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga melakukan penyerbuan.
Latihan itu dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah memerintahkan kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk berhubungan dengan Cia Tai-ciangkun, komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian pula menghubungi Agakai dan dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan menyergap Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!
Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya kelak kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk menyusupkan dan menyelundupkan kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam, dari Pek-lian-pai dan Pat-kwapai, ke dalam benteng kota raja dan dapat melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.
Pagi harinya nampak sunyi di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi benteng Tiat-liong-pang itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal, mata-mata dari kedua pihak sudah berkeliaran, bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Tiba-tiba muncul seorang gadis dari kaki bukit. Ketika gadis itu tadi melewati Sang-cia-kou dan bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu diikuti orang dari jauh. Namun, gadis itu acuh saja walaupun ia tahu bahwa ada beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya. Ketika dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan tentu saja ia sudah lupa akan jalannya, apalagi hal itu sudah terjadi sangat lama, di waktu ia masih kecil. Dengan langkah santai ia mendaki bukit. Seorang gadis yang amat menarik perhatian orang, apalagi melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu.
Ketika ia sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan para mata-mata yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liongpang. Seorang gadis cantik dan sikapnya halus, gerak-geriknya pun halus, naik seorang diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau mata-mata musuh, mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari manapun juga?
Tiba-tiba muncullah lima orang anggauta pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di lereng itu. Kalau pasukan penyerbu mengenakan seragam kuning, pasukan yang bertahan ini mengenakan seragam biru, hampir sama dengan seragam pasukan pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada waktu itu dianggap sebagai benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.
“Berhenti!” bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapa engkau dan menyerahlah, engkau tentu mata-mata musuh!”
Gadis itu bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja datang dari kota raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati berduka ia memperoleh berita bahwa selain ayah ibunya, juga semua keluarganya, kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang kakaknya yang sulung, bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan satu-satunya anggauta keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara. Ia teringat akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah menjadi sahabat baik ayahnya. Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan, sedangkan Siangkoan Lohan amat berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari seorang perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka ia ingin minta bantuan ketua Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana kakaknya itu ditugaskan.
Kini, tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang perajurit! Ia tidak merasa gentar, bahkan dengan wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas bertanya,
“Apakah kalian ini perajurit kerajaan yang berjaga di tapal batas utara?”
Lima orang perajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan tetapi pada saat itu mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan benteng “kota raja”, oleh karena itu, ketika ditanya apakah mereka perajurit kerajaan, mereka menjadi bingung.
“Kalau benar kami perajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?” Lima orang perajurit itu memandang kagum. Mereka adalah orang-orang kasar yang biasanya bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita, apalagi secantik ini, akan tetapi semenjak ada dua orang kawan mereka dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena mengganggu wanita, mereka kini harus menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.
Dengan wajah tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata,
“Aku bernama Pouw Li Sian dan aku datang ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di tapal batas utara....“
Mendengar bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja berubah sikap lima orang itu.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar