Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 8.

Jodoh Rajawali Jilid 8.
Jodoh Rajawali Jilid - 8 “Aku harus menyamar sebaiknya, ka¬lau tidak, mana bisa aku mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?” “Berminyak? Ada mata berminyak?” Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti! “Hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hi¬dungnya belang! Hi-hik!” Syanti Dewi tertawa geli dan ter¬kejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan de¬ngan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hati¬nya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali “kedoknya” yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit! “Eh, In-moi, bagaimana kalau kau me¬minjamkan kedokmu yang polos itu ke¬padaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya?” “Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-¬aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?” “Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hen¬dak kulihat apakah....“ Syanti Dewi tak dapat menahan ketawanya. “Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-lang¬gang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolong¬mu sambil melihat perkembangan. Sela¬mat berpisah untuk sebentar, Enci.” Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok namun masih halus dan menarik kemerah¬an itu. “Nyawaku berada di tanganmu, adikku,” bisik Syanti Dewi. Siang In tersenyum dan melangkah mundur. “Hi-hik, apa kaukira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti, Enci....“ Dan pergilah dia keluar dari kamar. Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka. “Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta sendiri!” Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan ma¬kanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang me¬mandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang men¬jadi sripanggung itu tidak pula ikut me¬nari. Setelah para penari itu selesai me¬nari, banyak tamu yang berteriak minta agar sripanggung menari! Pemimpin rom¬bongan itu, seorarag tua yang juga me¬nabuh alat musik, yaitu meniup suling, bangkit berdiri dan berkata dengan hor¬mat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau¬-kalau dara cantik itu tidak pandai me¬nari. Siang In baru kemarin memasuki perkumpulannya dan karena gadis itu mempunyai kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis sebagai anggauta rombongaannya, akan tetapi sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu mempunyai wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat. Akan tetapi tiba-tiba Siang In ber¬kata, “Lopek, biarkan aku menari sen¬diri!” Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. “Cu-wi sekalian, baru saja saya di¬panggil oleh calon mempelai puteri dan beliau mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mem¬pelai puteri!” Semua orang bersorak gem¬bira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk¬-angguk dengan gembira dan bangga! Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak me¬nari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya adalah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ke¬tika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biarpun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi. Memang indah sekali! Baik nyanyian¬nya maupun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu! “Ini tarian Kerajaan Bhutan!” Tiba-¬tiba terdengar teriakan orang dan hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, menggerak-gerakkan tongkat yang di¬pegangnya sehingga tongkatnya itu me¬ngeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu, dan si kakek Nepal ini meng¬geleng-gelengkan atau menggoyang¬-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya! Setelah Siang In menyelesaikan nya¬nyian dan tariannya, tepuk tangan me¬ledak di ruangan itu dan semua anggauta opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tak ternilai harganya! Ten¬tu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sripanggung ini, pi¬kirnya. Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu me¬makai topeng monyet dan mulailah dia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet. Di sini Siang In memperlihatkan ke¬mahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihat¬kan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah! Tongkat itu, seperti tongkat Kim¬-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil se¬perti sebatang pensil yang dapat ia se¬lipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat pan¬jang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan pu¬tih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya. Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal¬-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang ter¬heran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi serem karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar¬-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu, kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, ber¬kali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka! “Lihat, aku akan menjadi seekor hari¬mau!” terdengar dara itu berseru dan “Hauuuwwwww!” Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu le¬nyap! Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping rasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu “mencabut” bulu tubuhnya, meniup bulu-¬bulu itu dan munculiah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung! Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung. Baiknya suara kele¬nengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan ang¬gauta opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya muji¬jat untuk memuaskan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln. “Bagus! Bagus sekali pertunjukan ta¬di!” Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biarpun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempe¬lajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. “Kepandaian sripanggung memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal, benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang ma¬sih begitu muda. Sekarang, untuk me¬ramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!” Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah. Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk. Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran¬-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diper¬lihatkan oleh sripanggung tadi biapun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan sihirnya, maka sripanggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula! Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanyalah merupakan permainan ka¬nak-kanak saja, sungguhpun bagi, dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan. Kini Kakek Gita¬nanda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk ke empat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyam¬bar kotak itu yang disangganya dan di¬bawanya berkeliling. Kemudian dia kem¬bali ke tengah ruangan dan tiba-tiba dia menarik tongkatnya dan.... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan.... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat! Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu ter¬buka tutupnya, dan dari dalam kotak munculiah seekot ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu ber¬kilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu le¬masnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi! Dengan gerakan me¬lenggang-lenggok ular itu melayang ke¬luar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu mem¬punyai tiga belas buah kepala yang se¬muanya diangkat dan menari-nari me¬nurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tak lama kemudian, ketika su¬ara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu peclahan-lahan ke atas pang¬kuan si kakek Nepal yang juga meng¬hentikan tiupan pada tongkatnya. Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit bgrdiri, men¬jura ke empat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir. Hidangan besar dan arak mulai mem¬banjiri meja-meja para tamu dan mulai¬lah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu mem¬buat mereka menjadi gembira dan obrol¬an di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawak¬an mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meri¬ah dan gembira sekali. Para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwa¬i-kongcu, dengan sikapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik. Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan mi¬num arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi bermain sulap, memperlihatkan kepandai¬annya yang hebat. Dia menantang jago¬-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar. Kini yang menghadapinya adalah seorang ka¬kek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak, orang ini terkenal sebagai “setan arak” di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak! Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini setiap cawan yang memasuki mulut me¬reka diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggem¬birakan ini. “Ah, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!” tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh em¬pat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gita¬nanda tertawa memandang kepada lawan¬nya yang gendut. “Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?” Si gendut tersenyum. “Silakan kau dulu!” dia menantang. Gitananda lalu mengangkat guci itu menempelkan bibir guci ke mulutnya dan terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia mi¬num sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang diteng¬gak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini. Sungguh merupakan hal yang luar biasa. “Ha-ha-ha, giliranmu!” kata Gitananda kepada Si gendut. Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu lang¬sung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botak¬nya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya ter¬lepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk! “Heh-heh-heh.... kau hebat.... heh-¬heh, aku kalah deh....“ Si gendut bang¬kit berdiri, terhuyung kembali ke kursi¬nya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur un¬tuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang le¬wat membawa baki. Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah seorang ang¬gauta Hek-eng-pang, dengan mudah meng¬elak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raih¬an tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ter¬nyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biarpun dia mabuk sekali, da¬lam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak ce¬pat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu. Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tu¬buhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya. “Ehhhhh!” Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan me¬muji kelincahan pelayan wanita itu. Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan ter¬kenal sebagai seorang ahli ginkang dan yang menjadi seorang di antara pembantu¬-pembantu utama Hwa-i-kongcu, diam-¬diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin kesela¬matan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka adalah tiga orang dan sesungguh¬nya mereka itu bukan anggauta Liong¬-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-¬sahabat dan pembantu-pembantu utama. Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lain yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-¬kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban¬-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah! Adapun yang ke dua atau orang ke tiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang be¬kas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali. Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Akan tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ke¬tika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biarpun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapat¬kan anak naga itu. Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita¬-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hek Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pela¬yan itu. Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut sedemikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Biarpun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencuri¬gakan. Apalagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak. Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya me¬nuju ke belakang untuk menyelidiki dan kalau perlu mengumpulkan pelayan-pela¬yan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terompet dan canang di pukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan¬-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang. Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu yang memang sudah mereka per¬siapkan sebelumnya, ada pula yang meng¬gunakan mangkok piring menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan pa¬dam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang berkepandaian ting¬gi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka meng¬gunakan kepandaian untuk bersiap-siap turun tangan membantu fihak tuan ru¬mah. Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak me¬ngira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari men¬jerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang¬orang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli, dia me¬maki kebodohan sendiri yang tidak men¬duga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mem¬punyai niat sama dengan dia yaitu men¬culik sang puteri! Dia berlari terus me¬nuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatir¬kannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol. “Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!” teriaknya marah-marah dan dari tempat persembunyiannya, Siang In melihat betapa tosu tinggi kurus, rak¬sasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu ber¬kelebat dengan kecepatan yang mengejutkan, melakukan pencarian atau pengejar¬an tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita. Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana-sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu. Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggauta-anggauta Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, di¬kejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang. Tamu-tamu makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-¬semak atau pohon-pohon di dalam taman, ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar, tidak peduli kamar siapa, dan ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang berkepandaian saja membantu para anggauta Liong-sim¬-pang melakukan pengejaran kepada rom¬bongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu. Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik dan sebelum mereka me¬lakukan penculikan, sebagian di antara mereka telah mengatur “jalan lari” untuk kawan-kawannya. Kini, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-¬liu Nio-nio, mereka berserabutan me¬masuki taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula. “Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian?” Hak Im Cu mengejar dan paling cepat larinya tosu ini karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat. “Liong-li, bawa dia ini!” Yang-liu Nio¬nio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyam¬but tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nio-nio menyambut, serangan pedang Hak Im Cu dengan ran¬ting yang-liu yang tadi dipegangnya. “Singgg.... trakkkkk!” Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru. Sementara itu, para pengawal yang melihat pengantin wanita dilarikan se¬orang pelayan dan belasan pelayan lain, cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di an¬tara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar. “Blarrr....!” Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana-sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek¬-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu. Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nio¬-nio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nio¬nio mengajak anak buahnya lari dan me¬reka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman. “Keparat jangan lari!” Hak Im Cu memaki dan mengejar, akan tetapi tiba-¬tiba semak-semak itu terbakar dan nya¬lanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan mengambil jalan me¬mutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja de¬ngan cepat mereka mengejar. Wanita¬-wanita itu telah tiba di seberang jem¬batan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan-kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggauta Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu ada¬lah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jem¬batan itu. Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-¬gerakan yang amat ringan, mereka me¬loncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi. “Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke¬mana?” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang ting¬gi besar bersorban yang bukan lain ada¬lah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi! “Liong-li, lari....!” Yang-liu Nio-nio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu. Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa se¬rangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tem¬pat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka. Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertan¬ding melawan orang Nepal itu, karena bagi mereka yang terpenting adalah me¬rampas kembali pengatin wanita yang terculik, maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedang¬kan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan. Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah ber¬hasil keluar dari tembok, Yang-liu Nio-¬nio cepat mendesak kakek Nepal, dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika ka¬kek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng¬-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dah¬syat sekali. “Ehhhhh....!” Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun me¬loncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap. Karena malam itu gelap dan pe¬nerangan dari atas tembok tidak berapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tidak mau membahaya¬kan dirinya. Dia maklum bahwa menge¬jar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun me¬lakukan pengejaran seenaknya saja, de¬ngan sikap amat berhati-hati. Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wa¬nita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggauta Liong-sim¬pang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan dua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri. Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggauta Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-¬pang karena Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka ra¬hasianya dan akhirnya, dalam pertanding¬an melawan Tek Hoat, dia dikeroyok dan roboh pingsan. Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam se¬buah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang can¬tik-cantik. Begitu siuman, dia bangkit duduk dan siap untuk mengamuk, akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala¬-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan berkata, “Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa dua orang kawanmu itu kami bunuh!” Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk dan berkata, “Sesungguh¬nya, apakah yang kalian kehendaki dari aku?” Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, “Mana ketua kalian itu? Dan mana pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!” “Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau meng¬aku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukan¬kah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pe¬muda yang dikenal sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah.... eh, kekasihmu.“ “Jangan bicara sembarangan!” Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah. Ia tahu betapa lembut dan halus perasaan Cui Lan, betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bu¬kan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil! “Maaf, Kongcu. Sekarang, demi ke¬selamatan mereka, harap Kongcu ber¬terus terang saja, di mana adanya harta itu dan agar dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawan¬mu.” “Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!” Kian Lee berkata dengan nada menyesal. ”Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apalagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tidak ke¬beratan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi?” Wanita cantik itu tersenyum, seolah¬-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-¬pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata, “Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Kenapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri?” Kian Lee menahan kesabarannya. “Aku memang mempunyai saudara yang sedang kucari-cari, akan tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau men¬jelaskan atau tidak terserah!” Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, “Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hen¬dak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu lalu memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ter¬nyata banyak fihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami. Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami men¬dengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga fihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao.” “Hemmm, dan di mana adanya ke¬luarga Kao sendiri?” Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. “Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu di¬rampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembali¬kan harta itu kepada kami sebagai pe¬nukaran diri dua orang kawanmu.” Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun mendengar bahwa Suma¬ kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, telah berubah menjadi garong! Apalagi menjadi penculik! Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat men¬cari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus da¬pat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok. Ah, betapa banyaknya hal yang harus dikerjakan, betapa banyaknya ha¬langan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa! “Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian,” akhirnya dia berkata. “Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini,” hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang. Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cema¬ra. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu mu¬suh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-¬pang dengan hebat, membakari rumah di situ. Pihak Hek-eng-pang tentu saja me¬lakukan perlawanan sekuatnya, akan te¬tapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggauta Hek-eng-pang ini lemah semangatnya dan akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api! Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, me¬lainkan langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia me¬lihat dua orang penjaganya, yaitu wanita¬-wanita anggauta Hek-eng-pang yang di¬tugaskan menjaga dan menodong mereka, telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu. Ketika dia melihat orang-orang Huang¬-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Akan tetapi, gerombolan orang-orang dari lem¬bah itu menggunakan perahu-perahu melanjukan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di se¬panjang pantai sungai. Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus membayanginya. Tibalah mereka di se¬buah dusun di pinggir sungai dan perahu-¬perahu itu berhenti mendarat. Akan te¬tapi tidak semua anggauta Kui-liong-¬pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gu¬bernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejut¬kan oleh teriakan orang di belakangnya. “Eh, inilah dia pemuda itu!” Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Honan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan sebuah guci arak! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka. Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andaikata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman daripada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang¬-orang lembah itu belum tahu siapa ada¬nya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan. Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu¬-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lo¬mo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan me¬reka dan mengambil putusan untuk mem¬beri hajaran kepada mereka. Akan tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus, “Omitohud....! Tahan senjata.... pinni hendak bicara....!” Semua orang menengok ke arah da¬tangnya suara itu dan munculiah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa ni¬kouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo de¬ngan suara nyaring, “Apakah kalian orang¬-orang Kui-liong-pang?” Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadap¬an dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, “Harap Lo¬suthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, Guber¬nur Ho-nan!” Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya se¬bagai utusan gubernur. Akan tetapi sungguh celaka, ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. “Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan? Apa yang terjadi dengan dia?” Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apalagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan. “Hemmm.... nikouw tua....“ katanya, kini kurang nada hormatnya. “Apa mak¬sudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu?” Nikouw itu makin marah. “Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernur¬an?” Ditanya demikian, Wan Lok It me¬nepuk dadanya. “Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It dan aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa mak¬sudmu menanyakan gadis itu?” “Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencela¬kai gadis itu. Pinni mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orang¬nya gubernur, bahkan hendak membunuh. Benarkah begitu?” “Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani melindunginya, engkau akan celaka!” “Omitohud, sungguh berani mati! Eh, Setan Arak, Nona Phang, itu adalah se¬orang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!” Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu mempunyai banyak pem¬bantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bah¬wa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan-¬kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang me¬nolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini. Akan tetapi orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang¬-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Akan tetapi, dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apalagi yang muncul hanya seorang ni¬kouw tua sepertl itu, yang berani menge¬luarkan kata-kata keras bernada meng¬ancam terhadap gubernur dan kaki tangan¬nya! “Eh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai se¬orang kaki tangan pengkhianat!” “Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kautangkap pinni!” jawab nikouw itu. “Bagus! Engkau yang menantang, ja¬ngan nanti persalahkan aku dan menga¬takan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!” Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu. “Trang-trang-tringgggg....!” Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas dan ternyata se¬rangan balasan nikouw itu pun kuat sekali sehingga mengejutkan Ho-nan Ciu-¬lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok. “Sungguh tak tahu malu!” Kian Lee membentak dan pemuda ini melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari guber¬nuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee. Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang me¬rupakan pengawal-pengawal pilihan dari gubernuran hatinya menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Na¬mun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya ni¬kouw itu bersama si pemuda lihai, tentu saja dia dan kawan-kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman-teman yang ter¬luka. Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum lalu berkata memuji, “Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni mengkhawatirkan ke$elamatan Kong¬cu. Sungguh menggelikan!” Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, “Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang¬-orang jahat.” “Ohhhhh.... begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?” “Mari kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan se¬orang.... paman dibawa di dalam sebuah diantara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan ke¬pada Suthai tentang pertemuan antara kami.” Kian Lee dan nikouw tua itu menge¬jar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan per¬jalanan cepat-cepat sehingga tidak nam¬pak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai. Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan sing¬kat dia bercerita bahwa Cui Lan ber¬sama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat. “Ah,.... kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang. ”Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil?” Kian Lee bertanya. “Siapa lagi?” Nenek itu mengangguk. “Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjut¬kan.” “Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerom¬bolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri de¬ngan perahu-perahu itu. Sayang sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu¬-perahu itu sempat pergi.” Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. ”Ah, kalau begitu Kong¬cu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka boleh dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau.” Mereka melanjutkan perjalanan de¬ngan cepat namun belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu. “Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang dari mana?” Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee te¬nang-tenang dan biasa saja, dia men¬jawab, “Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa be¬liau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni di¬panggil dan diserahi tugas untuk me¬nyelidiki keadaan Nona Phang.” Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee. “Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenal¬an,” katanya. “Hemmm, tidak mudah!” Nikouw itu menggeleng kepala dan mereka melanjut¬kan perjalanan. “Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang ber¬temu.” Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tidak mau lagi bicara tentang Siluman Kecil. Me¬reka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Namun mereka terus mengejar dengan cepat sekali. Hari telah sore. Matahari telah con¬dong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu¬-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu. Terdengar suara air bergemuruh. Kira¬nya dibagian yang berbatu-batu itu me¬rupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tem¬pat itu dan air sungai itu terjun ke tem¬pat yang dalamnya sampai ratusan me¬ter! Air yang menghantam batu-batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka ber¬diri di atas awan. Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nam¬pak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nam¬paklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng berdiri di tanah datar itu. “Ah, ada perkampungan di sana!” Nikouw itu berkata. “Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sa¬ngat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau Per¬kumpulan Huang-ho Kui-liong-pang.” “Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-hoi” nikouw itu berkata heran. “Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang¬-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah men¬duga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok.” “Siapa Paman Hok itu?” Kian Lee tidak mau sembrono mem¬buka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, “Seorang pekerja di Gubernur¬an Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri.” “Kita harus dapat turun ke sana un¬tuk menyelidiki,” kata Liang Wi Nikouw. “Memang benar, akan tetapi bagai¬mana kita dapat turun ke sana?” Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu-satunya menuju ke per¬kampungan di bawah sana itu hanya me¬nuruni tebing curam itu! “Nona Phang harus ditolong!” kata si nikouw tua. “Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana.” Kian Lee mengangguk. “Tebing ini biarpun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita da¬pat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita se¬dang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun.” Nikouw itu mengangguk-angguk. “Kong¬cu benar dan cerdik, biarlah kita me¬nanti sampai gelap.” Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan me¬reka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, me¬lepaskan lelah dan menanti sampai mata¬hari tenggelam di barat. Liang Wi Ni¬kouw sudah duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi. Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat Kian Lee menyambar lengan niitouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan meng¬intai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mu¬lut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupa¬kan sebuah pintu rahasia! Terdengar suara orang dan munculiah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pen¬dek. Orang ini sikapnya tenang dan ang¬kuh, tanda bahwa dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan di antara te¬man-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah. Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan per¬mukaan batu yang menjadi pintu itu de¬ngan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil pen¬dek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tem¬pat itu. “Ji-pangcu (Ketua ke Dua), apakah para tamu sudah akan datang?” seorang yang duduk paling dekat bertanya. Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke de¬pan, merenung jauh. “Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan da¬tang, maka kita harus berslap-siap me¬nyambutnya di sini. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar, mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak sembarangan tu¬run tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan “paman” Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka un¬tuk turun tangan. Tak lama kemudian, dari jauh ter¬dengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit ber¬diri, lalu dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia ma¬kin berhati-hati. Terdengar kini suara kaki kuda ber¬derap dan tak lama kemudian, munculiah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-¬jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu. Se¬telah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata hormat, “Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!” Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang si kakek kecil pendek penuh perhatian, kemudian tertawa, “Ha¬ha-ha, biarpun baru sekarang saling ber¬jumpa, namun kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami?” Kakek pendek kecil itu pun tertawa. “Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Sila¬kan masuk!” Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pin¬tu terowongan itu, diantar oleh seorang di antara dua belas anak buah yang ber¬jaga di luar pintu terowongan itu. Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah men¬jadi pembajak lagi karena dia sudah men¬jadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah.... ikan yang dihasilkan oleh su¬ngai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tang¬kapan mereka kepada Boan-wangwe! Ten¬tu saja dengan harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya karena Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam hal memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nela¬yan itu harus disetorkan kepadanya de¬ngan pengganti sedikit uang lelah! Pen¬deknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan. Kian Lee dan nikouw tua itu meng¬intai terus dan tak lama kemudlan, kem¬bali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Munculiah rombongan ke dua dan rombongan ini terdiri dari se¬puluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan menga¬gumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, de¬mikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu semua menggunakan gin¬kang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali! Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah se¬orang gadis yang cantik sekali, berpakai¬an serba merah muda yang merah tereng dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya ter¬ukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua. Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. “Se¬lamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)?” Nona itu tersenyum manis dan men¬jura. “Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya.” Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera di¬perkenankan masuk dengan penuh ke¬ramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang. Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan men¬jadi pengganti langsung dari matahari sehingga biarpun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersem¬bunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa he¬ran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana se¬hingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya. Tak lama kemudian, munculiah se¬orang laki-laki tinggi besar, tanpa pe¬ngawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu ce¬pat menyambutnya dan ternyata pen¬datang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serom¬bongan yang datang dengan perahu-perahu mereka. Kemudian, sampai lama tidak ada tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya. kini semua ta¬mu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang bukan main banyaknya. Tiba-tiba terdengar suara riak air dan munculiah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompat¬an dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan berwarna dua, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, seperti orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat de¬ngan empuknya di atas batu karang, se¬olah-olah batu karang itu hanya kasur saja! Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Akan tetapi, sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun di atas dan hampir saja pemuda ini ber¬seru saking herannya. Dia mengenal ben¬da itu, yang sama dengan burung Raja¬wali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, di¬kenal oleh Kian Lee sebagai seekor bu¬rung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ke¬tika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manu¬sia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu ¬pangcu. “Kau boleh pergi!” Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong! Dengan gerakan sembarangan gadis itu terbang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan me¬lingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguhpun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki. Gadis itu menengok ke kanan kiri dan ketika sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan ber¬bisik, “Ahhh.... dia....?” Liang Wi Nikauw berbisik, “Engkau kenal padanya, Kongcu?” “Tidak.... eh, rasanya sudah pernah melihatnya....“ “Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo ber¬cerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka.” Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa.... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu mun¬cul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri. Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan pe¬rahunya di situ, cepat menghormat ke¬pada Khiu-pangcu, agaknya tidak mem¬pedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, ia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir ber¬samaan, gadis itu pun sudah melempar¬kan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup dan menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu. “Plakkk! Ahhhhh....!” Khiu-pangcu terkejut karena tiba-tiba saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yag diserahkan oleh kakek itu. Kini kakek itu yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, akan tetapi ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang! “Ah, aku yang datang lebih dulu!” Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik menutupi lubang. “Brakkkkk!” Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan! Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan. atau mengelak, melainkan me¬nyambut dengan kepalanya! “Dukkk!” Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan me¬nimpa batu karang lain! “Huh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!” Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun de¬ngan marah sudah siap menandinginya. “Bocah tak tahu aturan!” bentaknya. Khiu-pangcu cepat melerai di antara mereka dan menjura. “Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, ha¬rap saudara suka mengalah.” Biarpun hatinya masih penasaran, akan tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, akan tetapi mata¬nya masih bersinar marah. “Silakan, No¬na,” kata Khiu-pangcu dan sambil men¬dengus dan mengerling ke arah rombong¬an perahu itu, tak lupa tersenyum meng¬ejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang. “Sombong...., bocah sombong....!” Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima per¬lakuan yang tidak menghormat, bersungut¬-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya. Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa, namun masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun harus dia akui bahwa gadis itu sekarang amat 1i¬hai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan. Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-¬pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowong¬an sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat. “Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan,” demikian pesan pangcu ke dua dari Huang-ho Kui¬-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang. “Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!” jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke ba¬wah lucu sekali. Agaknya si kumis pan¬jang ini adalah kepala regu penjaga itu. Kian Lee melihat kesempatan baik ini lalu berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu. mengangguk-angguk. Kian Lee lalu meng¬ambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya me¬nyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat ke¬pala regu kumis panjang itu pada saat si kumis panjang sedang membetulkan se¬patunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan. “Plakkk!” Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan me¬ngenai kepala si kumis panjang. “Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, heh? Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak me¬ngerti mengapa tangannya secara tiba-¬tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya. “Plokkkkk!” Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ter¬nyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan. “Ngekkk....!” Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala pen¬jaga berkumis panjang. “Aduhhhhh....!” Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap se¬langkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sam¬bil terpincang-pincang, dia mengguna¬kan tangan kanannya memukuli penjaga itu. Seorang penjaga lain yang menyaksi¬kan perkelahian ini, cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuh¬nya menjadi lemas, dia kehilangan te¬naganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah. “Bresssss....!” “Eh, keparat....! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!” Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya. Kacau¬-balau di depan pintu terowongan itu dan semua penjaga berusaha untuk menenang¬kan si kepala penjaga yang mereka sang¬ka kemasukan roh jahat! Karena keribut¬an ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan! Kian Lee dan Liang Wi Nikouw ber¬jalan memasuki terowongan dengan cepat namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang din¬ding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga per¬tama yang mendengar ada ribut-ribut di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kar¬tu undangan. “Apakah yang terjadi di luar?” tanya¬nya. “Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara ke luar!” kata Kian Lee. Pen¬jaga itu terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus berjalan masuk dan kepada penjaga ke dua dan ke tiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas lari keluar menyeret tombak mereka. Akan tetapi penjaga ke empat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, “Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!” Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ maka biarpun sikapnya masih menghormat, namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu. Kian Lee pura-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak ce¬pat menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin ber¬kurang, jarak penjaga makin jauh sehing¬ga mudah bagi Kian Lee untuk meroboh¬kan setiap orang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. Akhirnya mereka keluar dari tero¬wongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi men¬jadi dua kelompok, dipisahkan oleh se¬buah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan¬-bangunan itu sambil memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lem¬bah itu. Kelompok bangunan di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun dan subur, di mana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga terdapat sayur-sayur¬an dan bunga-bungaan. Akan tetapi ke¬lompok ke dua yang berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya. Ru¬mah-rumah di kelompok ini bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agak¬nya merupakan pintu. Anehnya, di seki¬tar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun pohon atau tum¬buh-tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa sinar bulan, retak-¬retak seperti tanah kapur. Dari wuwungan itu, nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu la¬pangan luas di antara dua kelompok ru¬mah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan, juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup terang. Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ duduk di kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang kesemuanya meng¬hadap ke tengah lapangan di mana terdapat semacam panggung tempat duduk fihak tuan rumah dan para tamu kehor¬matan. Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia meman¬dang ke arah panggung dan melihat Khiu¬-pangcu dan beberapa orang lain yang ti¬dak dikenalnya. Banyak orang aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap co¬klat, hidungnya mancung agak meleng¬kung dan matanya cekung ke dalam, alis¬nya tebal, dan jelas bahwa dia bukanlah orang Han aseli, melainkan ada miripnya dengan orang India. Di belakangnya du¬duk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya berbulu. Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowong¬an. Dengan hati-hati Kian Lee lalu meng¬ajak Liang Wi Nikouw turun dan mem¬pergunakan kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya per¬temuan itu belum dimulai, untuk me¬nyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan demikian, maka me¬reka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguhpun ada beberapa orang di antara mereka yang memandang ke arah Liang Wi Ni¬kouw dengan curiga. Akan tetapi, Liang Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan “me¬masang” muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang anggauta kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ. Akan tetapi yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa pertemuan mulai dibuka. Bulan bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diang¬kat memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka acara dan terutama sekali un¬tuk melihat wajah tuan rumah. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Hu¬ang-ho Kui-liong-pang, sungguhpun mere¬ka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang luar biasa lihai¬nya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi ketua Kui-liong-¬pang. Tadinya, ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya yang rata-rata juga ber¬ilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh luar biasa itu diang¬kat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas menjadi ketua ke dua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu. Akan tetapi, ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura ke empat penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung, Khiu-pangcu lalu berkata, “Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-¬tama atas nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami meng¬haturkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Se¬belum maksud undangan kami kepada Cu¬-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dulu kami ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi.” Selanjutnya, dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan per¬kumpulannya, betapa dua tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat se¬telah memperoleh seorang ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rom¬bongan dari Gunung Cemara, perkumpul¬an wanita Hek-eng-pang menjadi iri dar timbul bentrokan di antara mereka se¬hingga terjadi pertempuran besar. “Karena munculnya seorang tokoh ra¬hasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami ber¬kenan mengampuni Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pu¬saka dari keluarga Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri” Kembali Khiu Sek menceritakan semua peristiwa me¬ngenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu. “Gara-gara ikut campurnya fihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah me¬ngirim pasukan untuk menghukum Hek¬-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapapun juga, mangsa kami itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas, kami dan Hek-eng-pang yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya.” “Hi-hi-hik!” Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyi¬an dan terdengar jelas sekali. Semua orang menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut me¬noleh ke arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, kare¬na yang tertawa adalah gadis cantik ini. Biarpun dia sudah tidak tertawa lagi, akan tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri menahan kegelian hatinya. Merah muka Khiu Sek karena dia merasa ditertawakan. Akan tetapi, se¬bagai seorang tuan rumah, dia menahan kemarahannya dan dengan suara lantang dia menegur, “Harap Ang-siocia suka menjelaskan mengapa mentertawakan kami?” Lalu ditambahkannya untuk memperkenalkan nona itu kepada para tamu, “Cu-wi sekalian, yang baru saja tertawa adalah Ang-siocia, murid yang mewakili gurunya hadir di sini, yaitu Hek-sin Tou-w¬ong!” Mendengar nama Hek-sin Touw-wong, semua orang memandang kagum. Raja Maling itu terkenal sekali, dan baru se¬karang mereka melihat bahwa Raja Ma¬ling yang menyeramkan itu mempunyai seorang murid yang demikian cantiknya, yang pakaiannya serba merah muda dan rapi sehingga kelihatan seperti seorang gadis bangsawan saja! Melihat dia diperkenalkan dan ditegur, Ang-siocia, gadis she Ang yang hanya dikenal sebagai Nona Ang (Ang-siocia) itu, bangkit berdiri dan berkata lantang, sama sekali tidak kelihatan jerih, “Itulah jadinya kalau dua ekor anjing mempere¬butkan tulang! Keduanya babak-bundas akan tetapi tulangnya dibawa kabur orang lain!” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar