Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 44.

Jodoh Rajawali Jilid 44:
Jodoh Rajawali Jilid - 44 - tamat Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid – 44 ( tamat ) “Hwee Li, harap kau suka lanjutkan,” Kok Cu berkata lembut. “Kami berdua lalu melakukan per¬jalanan menuju ke gurun pasir di dataran Chang-pai-san untuk menyaksikan per¬temuan antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok. Selama dalam perjalanan itu beliau bersikap amat baik kepada¬ku....“ Sampai di sini Hwee Li berhenti karena dia harus menyusut dua butir air mata yang kembali mengalir turun. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar rumah, “Apakah murid Si Dewa Bongkok berada di da¬lam? Keluarlah menemui kami!” Mendengar suara ini, sekali berkele¬bat Kok Cu sudah meloncat keluar, di¬ikuti oleh isterinya, dan Hwee Li juga cepat meloncat keluar. Ternyata di peka¬rangan rumah itu telah berdiri Twa-ok dan Sam-ok, dua di antara Im-kan Ngo-ok yang paling lihai! Kao Kok Cu mengenal dua orang ini, apalagi Sam-ok yang dulu menjadi Koksu Nepal. “Heemmm, kalian dua orang manusia iblis mau apakah datang mencari, murid penghuni Istana Gurun Pasir?” “Bagus, kebetulan sekali engkau ber¬ada di sini! Dewa Bongkok telah mati, akan tetapi dialah yang menggagalkan kami ketika kami sudah hampir berhasil membunuh Pendekar Siluman! Karena itu, engkau muridnya harus menebus kesalah¬annya terhadap kami itu!” “Keparat!” Teriakan ini keluar dari mulut Hwee Li dan dara ini sudah men¬dahului Kok Cu dan isterinya, langsung saja dia menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang dilakukan secara aneh, yaitu kaki kiri berlutut, tangan kiri di atas tanah dan tangan kanan memukul ke depan, ke arah dua orang kakek sakti itu. “Cuiiiiittttt.... desss! Desssss!” Dua orang kakek itu terkejut ketika melihat munculnya dara yang pernah melawan mereka secara aneh dan hebat membantu Pendekar Super Sakti itu. Tak mereka sangka bahwa gadis luar biasa itu pun sudah berada di situ. Gadis itu adalah Hwee Li, bekas tunangan Pange¬ran Nepal, anak dari Hek-tiauw Lo-mo yang dulu hanya terbatas saja kepandai¬annya, akan tetapi yang kini memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Kini Twa-ok dan Sam-ok tidak berani me¬mandang rendah, cepat mereka menang¬kis dan akibatnya tubuh mereka terdorong mundur sampai terhuyung-huyung! Dan Hwee Li sudah melayang lagi ke arah mereka, kini kedua kakinya bergerak, dengan tumit diangkat, berdiri di atas ujung jari-jari kaki, kedua lengan diputar sedemikian rupa dan dari kedua tangan¬nya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi berdesingan seperti dua batang pedang diputar. Twa-ok dam Sam-ok terkejut, cepat mereka pun mengerahkan tenaga dan menangkis sambaran dua hawa pukulan dahsyat itu. “Wuuuuut, brettt, brettttt....!” Dua orang kakek itu meloncat jauh ke bela¬kang, muka mereka pucat karena lengan baju mereka telah robek seperti digurat pedang pusaka, dan biarpun kulit lengan mereka thdak terluka, namun tahulah mereka bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan aneh. Menghadapi dara itu saja sudah berbahaya, apalagi kalau Si Naga Sakti Gurun Pasir murid Dewa Bongkok yang lihai itu maju bersama isterinya yang juga lihai! Maka tanpa banyak ca¬kap lagi keduanya lalu memutar tubuh dan melarikan diri! Sejenak Hwee Li memandang dengan berdiri tegak, tidak mengejar, kemudian dia menoleh dan ketika melihat bekas subonya dan suami subonya memandang dengan mata terbelalak kepadanya, dia menarik napas panjang dan berkata lirih, “Sayang aku tidak berhasil membunuh dua manusia iblis itu.” Kok Cu sudah cepat melangkah maju dan memegang lengan Hwee Li. “Gerakan¬mu tadi! Tenagamu tadi! Ah, Hwee Li, aku mengenalnya! Engkau.... engkau telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari men¬diang suhu?” Hwee Li mengangguk. “Beliau amat baik kepadaku, telah menurunkan ilmu-ilmu simpanannya dan juga telah meng¬operkan sinkangnya kepadaku....“ “Kalau begitu, engkau termasuk murid¬nya, engkau menjadi sumoiku!” Hwee Li menggeleng kepala. “Aku tidak berharga untuk menjadi murid beliau dan aku tidak pernah diangkat murid, aku tidak berani menjadi sumoimu, Taihiap....“ “Kaulanjutkanlah ceritamu tadi,” kata Kok Cu dan mereka lalu kembali duduk di ruangan depan di depan meja sem¬bahyang Dewa Bongkok. Ceng Ceng kini memandang kepada bekas murid itu de¬ngan mata kagum. “Kami berdua tiba di dataran itu dan Pendekar Super Sakti dikeroyok oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Kemudian muncul pula nenek iblis yang pandai sihir, dan Pendekar Super Sakti terdesak hebat. Dalam keadaan amat berbahaya itu, Lo¬cianpwe Dewa Bongkok agaknya tidak dapat berdiam saja, dalam keadaan ter¬luka parah itu beliau lalu membantu Pendekar Super Sakti sehingga pendekar Pulau Es itu terlepas dari bahaya maut, akan tetapi beliau sendiri.... beliau te¬was dalam keadaan duduk bersila....“ Kembali Hwee Li mengusap kedua matanya. “Ahhh, jadi Im-kan Ngo-ok yang men¬jadi biang keladi kematian suhu. Kalau tadi aku tahu....“ Kok Cu berkata. “Te¬ruskan, Hwee Li, teruskan ceritamu.” “Setelah beliau tewas, Pendekar Super Sakti mengamuk, akan tetapi terdesak oleh banyaknya lawan karena segera muncul Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol yang lihai. Melihat Locianpwe itu tewas, aku menjadi marah dan aku lalu maju membantu Pendekar Super Sakti. Aku berhasil membunuh Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol, menggunakan ilmu yang kupelajari dari Locianpwe Dewa Bongkok, kemudian membantu Pen¬dekar Super Sakti menghadapi lima orang dari Im-kan Ngo-ok sehingga akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan Pen¬dekar Super Sakti yang telah menderita luka-luka karena pukulan mereka.” “Hemmm, dan mereka menyalahkan suhu dalam kegagalan mereka terhadap Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu. “Dan memang suhulah yang menggagalkan mereka, dengan mewariskan kepandaian suhu kepadamu, Hwee Li. Kemudian, kau membakar jenazah suhu?” “Pendekar Super Sakti yang melaku¬kannya, aku membantunya, kemudian aku mengumpulkan abu Locianpwe Dewa Bon&¬kok dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu, Taihiap.” Kok Cu bangkit berdiri, memandang kepada Hwee Li dengan mata kagum dan berterima kasih. “Hwee Li, aku amat berterima kasih kepadamu. Tidak keliru suhu memilihmu sebagai ahli waris ilmu yang dirahasiakan itu, bahkan kepadaku pun dia tidak menurunkan ilmu itu. Eng¬kau baik sekali dan engkau patut meneri¬ma kasih sayangnya.” “Aku pun berterima kasih kepadamu, Hwee Li, dan kaumaafkanlah sikapku yang lalu....“ Suara Ceng Ceng ini mem¬buat Hwee Li memutar tubuh dengan cepat. Dia melihat subonya telah berdiri dan memandang kepadanya dengan mata basah. Bukan main lega dan girangnya hati Hwee Li, juga terharu sekali dan dia seperti mendapatkan kembali seorang ibu! Dia berlari menubruk Ceng Ceng sambil merintih dan menangis! Ceng Ceng menerimanya dalam pelukan dan sambil menyembunyikan mukanya di dada subonya itu Hwee Li menangis sepuas hatinya sampai sesenggukan. “Subo.... ah, Subo.... mengapa semua orang membenciku? Mula-mula Subo yang meninggalkan aku karena aku anak pem¬berontak, lalu dia.... Kian Lee juga menghinaku dan meninggalkan aku.... setelah itu ditambah lagi.... Pendekar Super Sakti juga mencaci maki anak pemberontak dan tidak menyetujui putera¬nya berjodoh dengan anak pemberontak.... hu-hu-huuuh...., Subo, apa salahku....?” Dia merenggutkan pelukan Ceng Ceng sehingga terlepas, lalu memegang kedua lengan subonya itu, mengguncang-guncang¬nya penuh penasaran, dengan air mata bercucuran. “Apa salahku, Subo? Apa salahku kalau ayah kandungku seorang pemberontak? Apa salahku kalau orang yang memeliharaku seorang penjahat? Apa salahku kalau Tuhan menentukan aku lahir dari keluarga pemberontak? Meng¬apa orang menyalahkan aku....? Meng¬apa....? Hu-hu-huuuuuh....!” Tangisnya menjadi-jadi karena dia teringat betapa Kian Lee meninggalkan dirinya, dan dia kembali sudah berangkulan dengan Ceng Ceng yang juga ikut menangis bersama muridnya karena dia merasa amat kasih¬an dan terharu. Berbagai hal teringat oleh Ceng Ceng. Kian Lee pernah jatuh cinta kepadanya dan cinta kasih itu ga¬gal karena dia masih terhitung keponakan sendiri dari pemuda itu. Kini pemuda itu mempunyai hubungan kasih sayang de¬ngan muridnya, dengan Hwee Li, apakah harus putus lagi? Tidak, sekali ini, kalau sampai putus, maka kesalahannya ter¬letak pada Kian Lee! Setelah mencium pipi yang basah air mata itu, Ceng Ceng menghibur, “Sudah¬lah, Hwee Li, tenangkan hatimu. Aku sudah bersalah dan kaumaafkanlah aku. Akan tetapi, mereka itu tidak boleh bersikap seperti itu kepadamu, sama sekali tidak patut! Kalau aku pada waktu itu marah kepadamu dan memutuskan hubungan, bukan hanya karena aku tidak suka mempunyai murid anak pemberontak, melainkan terdorong oleh kemarahan hatiku melihat engkau melindungi musuh yang telah menculik puteraku. Akan te¬tapi kemudian aku mendengar bahwa mereka semua yang bersalah itu telah tewas, enci tirimu Kim Cui Yan, ber¬sama suhengnya, dan juga Pangeran Liong Bian Cu, semua telah tewas karena ben¬trok sendiri. Engkau tidak boleh disama¬kan dengan mereka, dan kalau sampai Paman Kian Lee dan ayahnya menolakmu karena keturunan atau karena orang tua¬mu, biarlah aku yang akan menemui mereka dan menegur mereka!” Hwee Li memperoleh hiburan batin ketika subonya kembali bersikap baik kepadanya. dia tidak menolak ketika Ceng Ceng menyatakan hendak menyer¬tainya mencari Kian Lee dan memper¬baiki kembali hubungan yang terputus itu. Hwee Li tidak menolak karena dia pun tidak mempunyai orang yang dapat dipercayanya, dan subonya ini dapat ber¬tindak selaku walinya! Dia pun tidak putus harapan akan hubungannya dengan Kian Lee, karena bukankah Pendekar Super Sakti sendiri sudah menyatakan ingin mengambil dia sebagai mantu untuk menjadi jodoh Kian Lee? Akan tetapi, pemuda itu harus melihat dulu kesalahan¬nya, dan harus minta ampun kepadanya! Ceng Ceng minta kepada suaminya agar menanti dia di dusun keluarga Kao itu bersama Cin Liong, karena dia ingin menyertai Hwee Li mencari Kian Lee. Kalau sudah selesai urusan ini, baru me¬reka bersama-sama akan kembali ke Istana Gurun Pasir. Setelah memberi hormat kepada semua keluarga Kao, Hwee Li berpamit kepada Kok Cu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap....“ “Hushhh, engkau adalah sumoiku, mengapa menyebutku taihiap?” Kedua pipi Hwee Li menjadi merah karena jengah. “Ah, mana patut aku men¬jadi Sumoimu....? Biarlah aku menjadi murid Subo kembali. Tentu Subo akan sudi menerimaku kembali menjadi murid, bukan?” kata Hwee Li dengan manja kepada Ceng Ceng yang sudah berkemas untuk berangkat bersamanya. “Menjadi muridku? Ihhh! Sungguh ti¬dak patut, tidak patut!” Nyonya itu meng¬geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Hwee Li tahu bahwa subonya itu main-main, maka dia pura-pura kaget dan bertanya, “Mangapa tidak patut menjadi muridmu, Subo?” “Jangan menyebut subo lagi kepada¬ku, anak nakal. Apa kau hendak meng¬ejek aku? Tentu saja tidak patut, sama sekali tidak patut. Pertama, engkau telah menjadi murid suhu suamiku, maka eng¬kau terhitung sumoiku, mana bisa men¬jadi muridku? Dan tentang kepandaian, engkaulah yang layak mengajar aku ilmu silat, mana pantas engkau menyebut subo kepadaku? Kemudian, masih ada lagi. Engkau tidak patut menyebutku subo, bahkan semestinya aku menyebutmu.... eh, calon bibiku.” “Ehhh....?” “Ingat, Suma Kian Lee adalah adik sekandung dari mendiang ayahku, jadi dia adalah pamanku, maka apa yang harus kusebut kepada calon isterinya?” “Ihhh, Subo....!” Hwee Li mencubit lengan Ceng Ceng dan mereka semua tertawa. Memang Hwee Li selalu ber¬sikap polos, lincah, jenaka dan tidak per¬nah mempedulikan tentang ikatan sopan santun yang kaku sehingga bebas saja baginya untuk bersendau-gurau dengan subonya yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri itu. Maka berangkatlah dua orang wanita itu dengan wajah berseri karena kini, di samping subonya, Hwee Li memperoleh harapan baru. Dia berjalan sambil ber¬cakap-cakap dan dia menceritakan semua hubungannya dengan Kian Lee dengan selengkapnya, juga tentang sikap Pendekar Super Sakti yang amat baik kepada¬nya, bahkan telah menyatakan ingin mengambilnya sebagai mantu untuk di¬jodohkan dengan Kian Lee, dan betapa dia menjadi marah-marah dan mening¬galkan pendekar itu ketika pendekar itu mencaci-maki anak pemberontak! “Aihhh, kenapa engkau demikian keras kepala dan tidak mengaku saja bahwa engkaulah gadis itu kepada beliau?” Subo¬nya mengomel. “Biar, Subo. Biar mereka itu tahu akan kesalahan mereka.” “Ya, engkau memang pendendam. Akan tetapi memang sebaiknya kalau orang yang keliru itu menyadari sendiri kekeliruannya, seperti kekeliruan sikapku kepadamu. Jangan khawatir, aku akan menegurnya dan kalau memang dia benar-benar mencintamu, tentu dia pun men¬derita sengsara sekarang ini.” Mereka melanjutkan perjalanan de¬ngan kepercayaan penuh kepada diri sen¬diri. *** Dugaan Ceng Ceng memang sama sekali tidak salah. Semenjak berpisah dari Hwee Li, Kian Lee mengalami penderitaan batin yang parah. Rasanya jauh lebih parah daripada ketika menderita karena kegagalan cinta pertamanya ter¬hadap Ceng Ceng dahulu itu. Dia merasa menyesal sekali akan kenyataan bahwa dara yang dicintanya sepenuh hatinya itu ternyata adalah keturunan dari pembe¬rontak Kim Bouw Sin! Betapa tidak akan hancur hatinya. Mana mungkin dia akan dapat berjodoh dengan anak pemberon¬tak? Keluarganya selalu menentang pemberontak, bahkan kakaknya, Milana ada¬lah seorang puteri yang menjadi panglima dalam penumpasan pemberontak. Mana mungkin dia, puteri dari Majikan Pulau Es, pendekar yang amat terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang gagah per¬kasa itu dan terkenal pula sebagai mantu kaisar sendiri, kini bermenantukan seorang puteri pemberontak? Betapa dunia kang-ouw akan mentertawakan hal itu, dan sudah pasti keluarganya tidak akan menyetujui perjodohannya dengan anak pemberontak. Ah, mengapa nasibnya de¬mikian buruk? “Hwee Li....“ untuk ribuan kalinya dia merintih, menyebut nama dara yang amat dicintanya itu. Tubuhnya menjadi kurus karena dia jarang makan dan ja¬rang tidur, merantau tanpa tujuan lagi, tidak ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi juga tidak tahu ke mana dia harus pergi. Mengapa Hwee Li tidak menjadi anak orang biasa saja? Atau mengapa dia sendiri tidak menjadi anak orang biasa saja? Kalau dia anak seorang petani atau nelayan, atau bahkan anak seorang tokoh dunia hitam, tentu tidak ada halangan baginya untuk berjodoh dengan Hwee Li. Makin diingat, makin terbayang-bayang wajah Hwee Li yang cantik manis, sikap¬nya yang lincah jenaka dan manja, dan makin perih rasa hati Kian Lee, mem¬buat dia kehilangan gairah hidup. Mengapa cinta selalu mendatangkan derita sengsara dalam batin manusia? Mengapa demikian banyaknya kisah cinta yang berakhir dalam derita? Mengapa banyak terjadi cinta gagal sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian dan ke¬hancuran? Benarkah cinta demikian ke¬jamnya mempermainkan manusia sehingga cinta itu seperti racun dalam madu yang manis, nampaknya saja membahagiakan namun pada akhirnya menyeret manusia ke dalam kesengsaraan dan penderitaan batin? Tidak mungkin! Bukanlah cinta kasih namanya kalau mendatangkan derita seng¬sara! Yang mendatangkan derita sengsara adalah keinginan manusia untukk senang! Bukan cinta kasih! Cinta kasih tidak mengandung pamrih untuk kesenangan atau kepuasan diri pribadi! Kalau me¬ngandung pamrih seperti itu, maka bukan¬lah cinta kasih namanya. Kalau kita mencinta seseorang, maka sudah tentu kita ingin melihat orang itu berbahagia, tidak peduli kebahagiaannya itu ada sang¬kut-pautnya dengan kita atau bukan. Cinta adalah ingin melihat orang lain bahagia, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Cinta adalah belas kasih terhadap orang lain, tanpa pamrih mendapat imbalan untuk diri sendiri. Dan cinta seperti ini tidak mungkin mendatangkan derita seng¬sara! Sebaliknya, kalau kita ingin mem¬peroleh kesenangan dari orang yang kita cinta, itu namanya bukan mencinta orang itu, melainkan mencinta diri sendiri dan orang yang katanya kita cinta itu hanya sekedar kita jadikan alat untuk menye¬nangkan diri kita. Tidakkah demikian? Karena itulah, kalau orang itu tidak menyenangkan kita, kalau orang itu tidak mau mendekati kita, tidak mau menjadi milik kita, lenyaplah kegunaannya sebagai alat menyenangkan kita, dan kita kecewa, kita menderita sengsara, dan tidak jarang cinta kita berubah menjadi kebencian, benci karena orang itu tidak mau me¬nyenangkan kita, karena orang itu me¬ngecewakan kita! Inikah cinta? Jelas bukan! Namun, semenjak kecil kita telah di¬didik dan dibentuk untuk beranggapan bahwa demikianlah cinta itu! Penuh de¬rita, dapat menjadi sorga maupun neraka, sumber suka-duka, terisi kesenangan dan pemuasan nafsu yang kita sulap menjadi kebahagiaan! Bukan berarti bahwa kita harus anti terhadap semua kesenangan, harus anti terhadap sex, terhadap kemesraan antara pria dan wanita. Sama sekali bukan! Bahkan semua kesenangan, sex, kemesra¬an dan sebagainya itu akan mengalami per¬ubahan hebat sekali kalau di situ terdapat cinta kasih. Dengan cinta kasih, maka se¬gala sesuatu adalah benar dan baik, suci dan bersih! Dan selama manusia menafsirkan cinta kasih semaunya sendiri, disesuaikan dengan seleranya yang tentu berdasarkan pengejaran kesenangan menurut versi masing-masing, maka di dunia ini selalu akan “gagal”. Padahal, tidak ada istilah cinta gagal atau berhasil. Cinta adalah cinta! Kapan lagi kita dapat menyadari hal ini kalau kita tidak mau membuka mata sekarang juga? Menyadari berarti membuka mata memandang dan mengerti, dan pengertian inilah yang akan mem¬bebaskan kita dari lingkaran setan, ling¬karang suka duka akibat cinta seperti yang umum artikan itu! Dalam keadaan kurus dan sakit lahir ba¬tin, lahirnya karena kurang makan dan ti¬dur, batinnya karena selalu diperas oleh ke¬kecewaan dan iba diri, Kian Lee berjalan tanpa tujuan di lembah bawah pegunungan itu. Hampir saja timbul niat di hatinya un¬tuk membuang dirinya ke dalam jurang ketika dia melewati lereng gunung tadi. Namun dia masih ingat bahwa, perbuatan itu adalah perbuatan pengecut. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu ada orang yang melihatnya dari puncak bukit, dan kini orang itu berloncatan seperti terbang mengejarnya. Orang ini bukan lain adalah ayahnya sendiri, Pen¬dekar Super Sakti Suma Han yang memang sedang mencari-carinya. Ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pendekar berkaki tunggal itu sudah ber¬diri di hadapannya, berdiri tegak dengan tongkat di tangan, mereka saling pan¬dang sejenak dan Suma Kian Lee lalu cepat menubruk ke depan dan menjatuh¬kan diri berlutut di depan ayahnya itu. Sungguh kemunculan ayahnya ini merupa¬kan hal yang tak terduga-duga olehnya dan sekaligus menggugah kesedihan hati¬nya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu mengusap beberapa tetes air mata yang tak dapat dibendung keluar dari matanya. Melihat keadaan puteranya ini, Pen¬dekar Super Sakti Suma Han menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Ah, betapa kecewa hatiku melihatmu, Kian Lee. Beginikah jadinya anakku yang sudah demikian lamanya tiada kabar beritanya, berubah menjadi seorang yang berbatin lemah, yang menangis seperti anak kecil karena iba diri? Bangkitlah, Kian Lee, dan berdirilah seperti seorang jantan, dan hapus air matamu!” Seperti menerima cambukan, Kian Lee bangkit berdiri dan berhadapan de¬ngan ayahnya. Mereka saling pandang dan terdorong oleh rasa rindu yang sangat, keduanya lalu saling rangkul! Akan tetapi Suma Han sudah melepaskan anaknya lagi, mendorongnya perlahan ke belakang. “Nah, ceritakan mengapa engkau begini menderita lahir batin sampai kurus dan pucat.” “Ayah....“ Kian Lee tidak berani melanjutkan dan hanya menundukkan muka. Apa yang harus diceritakan kepada ayahnya? Diam-diam Suma Han terse¬nyum haru. Dia tahu bahwa anaknya ini menderita sesuatu seperti yang pernah dialaminya dahulu. Dan diam-diam dia girang karena keadaan puteranya ini membuktikan bahwa puteranya ini sung¬guh amat mencinta Hwee Li! Dia dapat menduga pula bahwa agaknya sukar bagi Kian Lee yang biasanya pendiam itu untuk bicara tentang rahasia hatinya, maka dia lalu membantunya. “Bukankah engkau menderita karena seorang wanita yang kaucinta akan tetapi terpaksa engkau tinggalkan karena se¬suatu?” Kian Lee mengangkat mukanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak kaget dan heran. “Bagaimana.... Ayah bisa tahu tentang hal itu?” tanyanya bingung. Suma Han tersenyum. “Tak usah kau tahu bagaimana aku dapat mengetahui hal itu, dan tidak perlu lagi kau me¬mikirkan wanita itu. Aku telah menentu¬kan pilihanku atas diri seorang dara yang amat patut menjadi isterimu. Tidak ada wanita lain yang lebih cocok daripada dara itu untuk menjadi jodohmu, Lee-ji.” “Ayah....!” Kian Lee terkejut bukan main dan sejenak ayah dan anak ini sa¬ling mengadu pandang mata, akan tetapi akhirnya Kian Lee menunduk. Dalam pandang mata ayahnya itu dia melihat keputusan yang tak boleh diganggu gugat lagi di balik kasih sayang yang nampak nyata. Maka selain dia tidak berani me¬nolak, juga dia merasa tidak tega untuk mengecewakan ayahnya yang dia percaya melakukan segala sesuatu demi kebaikan¬nya itu. “Aku tidak salah pilih, Lee-ji, dan jangan mengira bahwa aku sewenang-wenang hendak memaksakan kehendakku sendiri untuk menentukan calon teman hidupmu. Dara itu bukanlah orang sem¬barangan, Kian Lee. Dia bahkan telah dengan gagah perkasa membela dan mem¬bantuku menghadapi Im-kan Ngo-ok, bah¬kan dialah yang menyelamatkan nyawaku yang nyaris tewas di tangan Ngo-ok. Dia gagah perkasa, cantik jelita, dan lincah, jujur, keras hati, seperti ibumu ketika masih muda. Aku akan merasa bangga kalau engkau dapat berjodoh dengan dia, Kian Lee.” “Tapi, Ayah.... perjodohan haruslah dilakukan dengan dasar saling mencinta.” “Aku berani tanggung bahwa engkau akan jatuh cinta begitu bertemu dengan dia.” “Tapi.... tapi dia....? Bagaimana kalau tidak cinta kepadaku, Ayah?” “Kalau begitu, itu salahmu! Engkau harus mencarinya dan mendapatkannya!” Kian Lee merasa heran bukan main. Biasanya, ayahnya tidak begini watak dan sikapnya. Begini keras dan memaksa orang! Apalagi orang itu adalah anaknya sendiri, dan dalam menghadapi urusan perjodohan pula! Apa yang telah terjadi dengan ayahnya? “Ayah, bagaimana aku dapat mencari seseorang yang belum pernah kukenal?” “Mudah, saja! Cari dia, namanya adalah Kim Hwee Li....” “Ahhhhh....!” Wajah Kian Lee ber¬ubah pucat dan matanya terbelalak me¬mandang ayahnya seolah-olah dia tidak percaya bahwa yang berdiri di depannya adalah ayahnya. “Apa.... apa Ayah bi¬lang....“ “Gadis itu bernama Kim Hwee Li! Dan dia adalah anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo, dan dia adalah anak kan¬dung dari pemberontak Kim Bouw Sin! Ya, ya, benar dia. Dan engkau telah menghinanya, dan engkau telah menghan¬curkan hatinya, telah menolaknya, telah memutuskan hubungan cinta karena dia anak pemberontak! Bodoh kau! Kaukira ayahmu ini tidak pernah memberontak? Kaukira keluarga kita adalah keluarga langit, sehingga boleh memandang rendah orang lain? Ayahnya boleh jadi pembe¬rontak, ayah angkatnya boleh jadi manu¬sia iblis, akan tetapi dia adalah seorang gadis bidadari yang gagah perkasa!” Tan¬pa disadarinya, Suma Han mengulang sebagian dari kata-kata Hwee Li sendiri. “Ayah.... Ayah....!” Suma Kian Lee megap-megap, sukar bicara dan wajahnya perlahan-lahan berubah kemerahan, sinar matanya yang tadinya layu itu kini penuh semangat, wajahnya berseri, dia seperti “hidup” kembali se¬telah mengalami kematian semangat hi¬dupnya. “Mengapa gagap-gugup seperti itu? Hayo berangkat, dan awas, jangan kau berani pulang ke Pulau Es kalau tidak bersama Kim Hwee Li calon isterimu itu!” “Baik, Ayah! Baik, Ayah!” Suma Kian Lee menjawab dengan suara lantang, dan sekali dia memutar tubuh berkelebat, dia telah lari cepat sekali meninggalkan tempat itu! Pendekar Super Sakti Suma Han ber¬diri memandang bayangan puteranya sampai lenyap, dan barulah dia mengejap-ngejapkan kedua matanya untuk men¬cegah runtuhnya air mata yang mem¬basahi matanya. Kemudian dia menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala lalu mengayun tongkatnya, berjalan per¬lahan menuju ke arah perginya puteranya tadi. Pantai laut itu sunyi sekali sungguh¬pun keramaian orang-orang nampak dari situ, agak jauh di selatan, yaitu keramai¬an para nelayan yang baru datang dari mencari ikan dan pantai di selatan itu menjadi semacam pasar pula, pasar ikan yang cukup ramai karena dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang ikan dari kota-kota di pedalaman. Akan tetapi di pantai agak ke utara itu, amat sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia. Pantai ini amat indah dan bersih karena penuh de¬ngan pasir yang berwarna putih, pagi itu nampak lebih putih dari biasanya karena sinar matahari pagi yang amat cerah. Akan tetapi, di tempat sunyi itu kini nampak seorang dara yang berdiri ter¬menung, berdiri seorang diri sejak tadi dan matanya merenung jauh menyebera¬ngi lautan menuju ke utara. Jauh di sana, sebelah utara, tidak nampak dari situ, terdapat sekumpulan pulau-pulau dan di antara pulau-pulau itu terdapat dua buah pulau yang kini terbayang di depan mata dara itu. Pulau Neraka dan Pulau Es! Dia telah meyakinkan hati Ceng Ceng, bekas subonya yang kini tidak lagi mau disebut subo (ibu guru), melainkan dia harus menyebutnya enci, bahwa dia dapat menjadi penunjuk jalan dan bahwa perahu yang cukup kuat dapat dia layar¬kan menuju ke Pulau Es. Memang dia sendiri belum pernah mendarat di Pulau Es, akan tetapi dia semenjak kecil hidup di Pulau Neraka dan dia bukan hanya dapat mengetahui di mana letaknya Pu¬lau Es, bahkan sering kali dia dahulu naik perahu dan melihat Pulau Es dari jauh, karena ayah angkatnya, Hek-tiauw Lo-mo, dulu selalu melarang dia untuk mendekati Pulau Es yang dianggap amat berbahaya dan menjadi tempat larangan bagi semua orang dari Pulau Neraka. Ceng Ceng pergi mencari nelayan yang mau menyewakan perahunya atau yang mau menjual perahunya, dan Hwee Li, dara yang kini berdiri termenung di tepi laut itu, mempergunakan waktu luang itu untuk berdiri termenung dan memandang ke utara. Menurut pendapat Ceng Ceng, sebaiknya mereka langsung saja menuju ke Pulau Es untuk menemui keluarga Suma, daripada susah payah mencari Kian Lee yang belum jelas ke mana perginya itu. Ceng Ceng menenang¬kan hati Hwee Li yang gelisah bahwa bekas subonya itulah yang akan sanggup menjadi “juru bicara” nanti di Pulau Es! Dan Hwee Li tidak membantah lagi. “Hwee Li....!” Gadis itu memutar tubuh demikian cepatnya seperti disengat kelabang, ka¬rena dia memang terkejut bukan main mendengar suara itu. Suara Kian Lee! Dan memang benarlah. Di depannya telah berdiri Kian Lee! Agak kurus dan agak¬ pucat, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar membayangkan kebahagiaan karena pertemuan itu. Memang hati Kian Lee merasa bahagia sekali. Dia telah berhasil menemukan jejak Hwee Li dan keterangan-keterangan yang didapatnya membawa dia ke dusun kecil di tepi pantai itu. Dan betapa girang hatinya ketika akhirnya dia melihat dara itu seorang diri saja di tepi pantai yang sunyi ini. Dan betapa cantiknya Hwee Li. Wajahnya segar kemerahan, rambutnya yang dia tahu amat halus dan harum itu agak kusut karena dibelai angin laut. Pakaiannya yang berwarna serba hitam menempel ketat di tubuhnya karena ter¬tiup angin pula, mencetak bentuk tubuh¬nya yang indah. “Hwee Li....!” Dia berseru kembali, dan di dalam suaranya terdengar bayang¬an khawatir dan duka melihat betapa sepasang mata yang amat tajam itu kini mencorong penuh kemarahan. “Ah, engkau....?” Suara itu tetap merdu seperti biasa, suara yang selalu dirindukan Kian Lee sejak mereka saling berpisah, akan tetapi kini terdengar demikian dingin dan kaku. “Kebetulan se¬kali, aku tidak perlu mencarimu ke Pulau Es!” “Kau.... kau tadinya hendak men¬cariku ke Pulau Es?” Kian Lee berseru girang. “Benar, akan tetapi kini tak perlu lagi, di sini pun sama saja. Bersiaplah!” “Apa?” Mata Kian Lee terbelalak, tidak mengerti. “Apa maksudmu, Hwee Li?” “Bersiaplah, kita selesaikan perhitung¬an di tempat sunyi ini, dengan perkelahi¬an!” “Ah, Hwee Li, mengapa begitu? Bu¬kankah kita.... sahabat-sahabat baik? Aku.... aku cinta padamu, Hwee Li....” “Diam! Lupakah kau bahwa aku ke¬turunan pemberontak! Dan engkau ini putera Majikan Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti, keluarga langit? Sedangkan aku ini apa? Hayo, jangan bilang bahwa engkau takut menghadapi anak pemberon¬tak macam aku!” “Hwee Li, jangan.... aku.... aku....” Akan tetapi Hwee Li sudah menerjang maju dan memukul ke arah dada Kian Lee. Pukulan itu keras sekali dan Kian Lee hanya mempergunakan sedikit tenaga untuk menangkis. Dia tahu sampai di mana tingkat kepandaian dan tenaga dara ini, maka tentu saja dia tidak mau menyakitinya dan hanya menangkis dengan tenaga terbatas saja. “Desssss....!” Dan tubuh Kian Lee terlempar sampai empat meter dan ter¬banting ke atas tanah. Untung tanah di situ berpasir sehingga dia tidak men¬derita nyeri, hanya terkejut setengah mati karena tenaga Hwee Li sama sekali tidak seperti biasa, amat kuatnya. “Hayo bangunlah dan lawanlah aku, kalau engkau bukan pengecut rendah!” bentak Hwee Li yang sudah menghampiri dengan dua tangan dikepal. “Hwee Li.... jangan.... aku merasa bersalah kepadamu, kauampunkanlah aku.... ah, aku telah gila, aku seperti buta ketika aku merendahkanmu. Aku.... semenjak kita berpisah, aku menderita, Hwee Li, baru aku tahu bahwa aku men¬cinta engkau, dan engkau adalah Hwee Li, tanpa tambahan lagi, entah anak siapapun juga, tidak ada sangkut-pautnya dengan pribadimu....” “Cerewet! Kau bangkit dan lawanlah seperti jantan!” bentak Hwee Li dan ketika Kian Lee bangkit berdiri, dia sudah menyerang lagi. Kian Lee cepat mengelak karena se¬rangan Hwee Li itu cepat dan kuat bu¬kan main, angin pukulannya sampai me¬ngeluarkan suara bersuitan. Dia terkejut sekali dan ketika Hwee Li menyusulkan serangan lain secara bertubi-tubi, dia terus mengelak. Tentu saja dia ingin mengalah terhadap dara ini. Akan tetapi, makin lama, serangan Hwee Li makin kuat dan cepat saja. Kian Lee merasa terkejut dan heran bukan main. Mengapa dalam waktu singkat saja kini dara itu telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya? Jangankan mengalah, biar dia bersungguh-sungguh sekalipun, belum ten¬tu dia akan menang menghadapi serangan-serangan yang demikian cepat dan ampuhnya, terutama sekali tenaga gadis itu kini benar-benar amat mengejutkan. “Hwee Li, dengarlah, tunggu dulu....” Akan tetapi begitu dia bicara, kewaspada¬annya berkurang dan sebuah pukulan keras menyerempet pundaknya, mem¬buat dia terpelanting lagi, ke atas pasir. Akan tetapi Hwee Li tidak menyusulkan serangan, hanya membentak, “Hayo bangun! Bangun....! Ahhh, bangun engkau, pengecut!” Kian Lee mengguncang-guncang ke¬palanya yang berkunang-kunang, kemudian dia meloncat bangun, terus meloncat ke belakang. “Hwee Li, hebat kau! Dari mana engkau memperoleh kepandaian seperti ini? Dengar.... aku mengaku kalah, aku mengaku salah....” “Sambut ini!” Kembali Hwee Li sudah menerjang dengan hebat. Kian Lee merasa penasaran juga. Ti¬dak mungkin dia mengalah terus karena tingkat kepandaian Hwee Li benar-benar sudah hebat sekali. Akan tetapi, dia tidak tega untuk mempergunakan pukulan-pukulan berbahaya terhadap dara yang dicintanya ini, maka dia hanya mengelak dan menangkis sedapat mungkin terhadap hujan serangan itu. Kini dia harus me¬ngerahkan seluruh perhatiannya karena ilmu silat yang dimainkan oleh dara itu amat aneh, gerakan-gerakannya masih kaku tanda bahwa kurang latihan, namun benar-benar hebat gerakan itu dan terutama sekali tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan itu benar-benar amat kuat! Terjadilah perkelahian yang amat seru di tepi pantai yang sunyi itu. Tubuh mereka berputar-putar, berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya sampai sukar diikuti dengan pandang mata. Kian Lee tidak berani bicara lagi karena sekali bicara, dia terancam oleh pukulan yang membutuhkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai kena ter¬pukul. Dan untuk mematahkan serangan bertubi-tubi itu, dia pun kadang-kadang terpaksa membalas dengan pukulan yang tidak berbahaya, namun yang cukup mem¬buat dara itu membatalkan serangannya untuk balas menangkis atau mengelak. Saking serunya mereka bertanding, mere¬ka sampai tidak sadar bahwa sejak tadi, muncul dua orang di tempat itu. Per¬tama-tama yang muncul adalah Ceng Ceng dan wanita ini tadinya terkejut menyaksikan Hwee Li sudah menyerang Kian Lee dengan mati-matian seperti itu dan Kian Lee selalu bersikap mengalah. Akan tetapi Ceng Ceng membiarkan saja mereka berkelahi karena dia pun ingin memberi hajaran kepada Kian Lee yang telah menyakitkan hati Hwee Li. Ke¬mudian muncul pula Pendekar Super Sak¬ti yang tersenyum dan mengelus jenggot¬nya menyaksikan perkelahian itu. Pen¬dekar ini sudah mengenal pukulan-pukulan aneh dari Hwee Li, dan sekarang, me¬lihat betapa Kian Lee terus mengalah dan dara itu sebaliknya tidak pernah mengeluarkan pukulan-pukulan yang luar biasa dan mematikan itu, tahulah dia bahwa gadis itu menyerang hanya karena dorongan kemarahan saja, akan tetapi sedikit pun tidak mempunyai niat mem¬bunuh atau merobohkan Kian Lee dengan luka parah. Dia mengangguk-angguk dan menyaksikan dengan wajah berseri. Dia merasa geli, akan tetapi juga siap dan waspada untuk mencegah kalau sampai timbul bahaya bagi kedua fihak dalam perkelahian itu. Sudah lebih dari seratus jurus mereka berkelahi dan beberapa kali Kian Lee terkena pukulan walaupun tidak telak dan hanya membuat dia terpelanting atau terhuyung saja. Namun selalu Hwee Li menyuruh dia bangkit lagi dan menyerang lagi. Kian Lee menjadi bingung. Me¬lawan, hatinya tidak tega, tidak melawan, ternyata dara itu terus menyerangnya dengan hebat. Akhirnya dia mendapatkan akal. Ketika Hwee Li menyerang lagi, dia mengerahkan Swat-im Sin-kang, akan tetapi membuat dadanya menjadi lunak dan dia menerima pukulan itu langsung dengan dadanya. “Bukkk!” Tubuh Kian Lee terpelanting dan roboh terlentang, tak bergerak lagi! “Hayo bangun! Bangun dan lawanlah aku!” bentak Hwee Li sambil menghampiri. Akan tetapi sekali ini pemuda itu tidak bangkit lagi, melainkan rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan sedikit pun tidak bergerak, kedua matanya ter¬pejam dan napasnya terhenti. “Hayo bangun....!” Hwee Li mem¬bentak akan tetapi suaranya bercampur keraguan dan kekhawatiran. Lalu dia membungkuk, wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak, kedua tangan yang terkepal itu kini terbuka jari-jarinya dan dia meraba sana raba sini, meraba dada dan pergelangan tangan lalu dia menjerit. “Kian Lee....!” Dan dia sudah meng¬guncang-guncang tubuh itu, sambil me¬nangis sejadi-jadinya. “Kian Lee....! Kian Lee....! Bangunlah.... ah, jangan kau mati.... uh-huuuuu, Kian Lee....! Kau.... kau.... ah, aku telah membunuhmu.... telah membunuhmu.... huuu-huuu-huuuhhh....!” Dia me¬meluki tubuh itu, membasahi muka itu dengan air matanya, mengguncang-guncang dan akhirnya dia menangis mengguguk di atas dada Kian Lee. Dengan langkah lebar Ceng Ceng sudah menghampiri tempat itu. “Hwee Li, apa yang telah kau lakukan ini?” bentaknya dengan kaget bukan main. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa Kian Lee telah mati! Muka pemuda itu pucat kebiruan, napasnya terhenti dan sama sekali tidak lagi membayangkan kehidupan. “Hwee Li, dia.... dia.... ma¬ti....?” Hwee Li menoleh dan menubruk Ceng Ceng. “Subo....! Enci Ceng...., kaubunuh saja aku.... ah, kaubunuh saja aku.... huuu-hu-huuuuuh, aku.... aku telah memukulnya mati.... tidak sengaja, Enci.... ah, sungguh celaka.... bagaimana, Enci, bagaimana....?” Dara itu menangis lagi, menubruk tubuh Kian Lee, lalu menubruk lagi Ceng Ceng, bingung dan menangis seperti anak kecil. Ceng Ceng juga me¬rasa bingung sekali, tak disangkanya perkelahian itu akan berakibat seperti itu. Dia merasa betapa Hwee Li terlalu ganas dan kejam. “Hwee Li, mengapa kau lakukan ini? Mengapa kau sampai memukulnya mati? Bukankah engkau.... cinta padanya?” Ceng Ceng tak dapat menahan lagi ta¬ngisnya melihat pemuda yang pernah mencintanya itu kini rebah terlentang tak bernyawa lagi. “Aku tidak sengaja.... sungguh, aku tidak sengaja.... dia biasanya demikian kuat.... ah, Enci biar aku mati saja, biar aku mati saja! Kaupukullah aku Enci, kaubunuhlah aku....!” Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak mau melakukan hal itu dan se¬baliknya dia malah memeriksa Kian Lee. Hwee Li menangis tersedu-sedu dan menutupi kedua matanya, mengeluh panjang pendek dan bersambat minta mati. Ke¬tika Ceng Ceng memeriksa detak nadi di pergelangan tangan Kian Lee, dia tidak merasakan denyutan sedikit pun juga, dan ketika dia meraba dada pemuda itu, juga dia tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi ketika dia memandang wajah yang pucat kebiruan itu, tiba-tiba saja sepasang mata itu terbuka, lalu yang sebelah kiri berkedip kepadanya dan mulut pemuda itu tersenyum, lalu kedua matanya ter¬pejam lagi! Hampir saja Ceng Ceng men¬jerit, kemudian dia hampir tak dapat menahan ketawanya. Kiranya pemuda ini tidak mati! Sama sekali tidak, hanya entah dengan ilmu apa pemuda itu dapat bersikap seperti benar-benar mati itu, tanpa detak nadi dan denyut jantung! Bukan main lapang rasa dadanya dan kini dia ingin menggoda Hwee Li. “Nah, bagaimana sekarang? Engkau selalu keras kepala sih! Sudah jelas bah¬wa engkau dan dia saling mencinta, akan tetapi engkau memaksa dia untuk berkelahi!” dia mengomeli Hwee Li yang masih menangis. Tiba-tiba Hwee Li meloncat berdiri dan tahu-tahu dia telah memegang pe¬dang. Ceng Ceng terkejut bukan main. Dara itu telah dapat mencuri pedangnya tanpa dia merasa sama sekali! “Hwee Li, jangan....!” “Lebih baik mati menyusul Kian Lee!” Hwee Li berseru dan menggerakkan pe¬dang untuk menggorok leher sendiri. “Plakkk!” Pedangnya terlepas dari pegangan dan Pendekar Super Sakti Suma Han telah berdiri di situ, memandang Hwee Li dengan sinar mata penuh tegur¬an. “Membunuh diri hanya tindakan se¬orang yang rendah dan pengecut!” bentaknya. Melihat kakek ini, Hwee Li menjerit dan menangis, menubruk kaki Suma Han dan mengguguk, kemudian di antara ta¬ngisnya dia merintih, “Paman.... tolonglah.... tolonglah.... atau bunuhlah aku....” “Tenanglah, Hwee Li. Apakah engkau benar-benar mencinta Kian Lee sehingga engkau mau mati untuknya?” “Aku cinta padanya, Paman, aku cinta padanya melebihi nyawaku sendiri!” “Aku dapat menolongnya, dia belum mati dan aku dapat menyembuhkannya. Akan tetapi....” “Ah, Paman, sembuhkanlah dia.... hidupkanlah dia.... aku berjanji akan melakukan apa pun juga untukmu....!” Suma Han tersenyum. “Dia itu putera¬ku, tentu saja sudah semestinya aku menolongnya. Akan tetapi dia dan aku sendiri pernah bersalah kepadamu, maka tidak semestinya dia kuhidupkan. Bukankah dia telah menghinamu, seperti juga aku?” “Tidak.... tidak...., aku sudah me¬maafkan dia, Paman.” “Aku hanya mau menghidupkannya, akan tetapi hanya dengan satu syarat....” “.... ya? Apa syaratnya....?” Hwee Li memohon. “Syaratnya, engkau harus mau menjadi isterinya! Bagaimana?” “Aku mau! Aku mau....!” Hwee Li menangis. “Ohhh, aku mau....!” Suma Han tidak tega menggoda terus. Dia lalu menghampiri Kian Lee, pura-pura menotok sana-sini, dan meraba sana-sini. Padahal, tidak diapa-apakan pun pemuda itu akan dapat bangkit sendiri! Karena dia “mati” hanya sebagai akal dengan mempergunakan sinkang Swat-im Sin-kang yang sudah mencapai pun¬caknya sehingga seorang yang lihai seperti Ceng Ceng sendiri pun dapat dikelabui. Terdengar pemuda itu mengeluh, ber¬gerak dan bangkit duduk. Tanpa mem¬pedulikan orang lain, Hwee Li menubruk dan memeluk pemuda itu. “Kian Lee, kau.... kaumaafkan aku....” “Kian Lee, kau.... kaumaafkan aku....” Kian Lee tersenyum dan balas memeluk. “Hwee Li, akulah yang bersalah. Kaulah yang harus memaafkan aku aku pernah mencaci maki padamu....” Mendengar ini, Hwee Li melepaskan rangkulannya, menjauhkan diri dan cem¬berut. “Engkau memang terlalu....” katanya dengan muka membayangkan kemarahan. Akan tetapi ketika Kian Lee merangkulnya lagi, dia menangis dan membenamkan muka ke dada pemuda itu! Mereka berempat lalu mencari sebuah perahu besar yang dibeli oleh Suma Han. Perahu itu cukup besar dan mempunyai layar yang kuat. Mereka bertiga, Suma Han, Suma Kian Lee, dan Kim Hwee Li adalah orang-orang yang berasal dari Pulau Es dan Pulau Neraka, tentu saja mereka itu ahli berlayar, dan mereka bertiga sudah cukuplah untuk melayarkan perahu itu ke Pulau Es. Setelah mengisi perahu dengan perbekalan, mereka lalu naik ke perahu, diantar oleh Ceng Ceng. Hwee Li merangkul bekas gurunya dan mencium pipi Ceng Ceng. “Banyak terima kasih atas segala kebaikanmu dan pertolonganmu, Subo....” “Hushhh!” Ceng Ceng mencubit dagu dara yang cantik jelita itu. “Aku bukan subomu! Kelak aku malah ingin mem¬pelajari satu dua macam pukulan darimu. Malu ah mempunyai murid yang lebih pandai daripada gurunya.” “Kalau begitu, selamat berpisah, Enci Ceng....” “Ihhh! Bagaimana sih ini? Hai, Paman Kian Lee, dengar nih calon isterimu menyebutku enci! Aku sendiri harus me¬nyebutnya bibi, bagaimana dia boleh menyebutku enci?” Kini Hwee Li yang mencubit dengan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah. Memang menyulitkan sekali sebut-menye¬but itu. Ceng Ceng sebaya dengan Kian Lee, namun pemuda itu masih terhitung pamannya! Dan biarpun usianya sendiri tidak begitu banyak selisihnya dengan Ceng Ceng, hanya selisih kurang lebih tujuh tahun saja, namun nyonya muda itu pernah menjadi gurunya! Dan kini dia akan menjadi isteri dari paman gurunya itu! Lebih dari itu lagi, dia malah masih terhitung sumoi dari suami gurunya, se¬telah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Dewa Bongkok! “Enci, kelak engkau harus datang, bersama suamimu dan Cin Liong, kalau aku.... aku menikah. Harus lho!” Hwee Li berkata dan agaknya berat baginya untuk berpisah dengan wanita yang se¬lama ini amat dikasihinya, sebagai peng¬ganti ibu baginya itu. “Baik, asal aku dijemput perahu kare¬na untuk pergi ke sana sendiri aku tidak berani!” kata Ceng Ceng. “Jangan khawatir, Ceng Ceng. Aku akan mengirim perahu untuk menjemput¬mu,” kata Kian Lee memandang wanita yang pernah dicintanya itu. Ceng Ceng memberi hormat kepada Suma Han dan menghaturkan selamat jalan. Dia masih berdiri di pantai dengan tangan melambai ketika perahu mulai bergerak ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh, “Haiii, tungguuuuu! Kami ikut....!” “Bu-te....!” Kian Lee berteriak dan mendayung perahu itu ke pinggir lagi, wajahnya berseri penuh kegembiraan melihat dua orang yang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dari jauh saja dia sudah mengenal pemuda yang berlari cepat dengan rambut putih panjang berkibar-kibar itu. “Siang In....!” Hwee Li juga berseru girang mengenal dara cantik yang berlari di samping Kian Bu. “Kian Bu....?” Suma Han berdiri bengong memandang pemuda rambut putih panjang itu, hatinya seperti diremas rasanya bertemu dengan puteranya yang sudah enam tujuh tahun tak pernah dijumpainya ini dan yang tahu-tahu telah menjadi Siluman Kecil, julukan yang sama diberikan orang kepadanya, karena rambut puteranya itu putih panjang se¬perti rambutnya pula. “Ayah....! Lee-ko....!” Suma Han, Kian Lee, dan Hwee Li berloncatan ke darat kembali dan Kian Bu sudah berlutut di depan kaki ayahnya sedangkan Kian Lee memeluknya. Ke¬mudian Suma Han menarik Kian Bu ba¬ngun, dipandangnya puteranya itu dari kepala ke kaki dengan mata basah, lalu dirangkulnya. Setelah agak reda keharuan yang timbul karena pertemuan itu, dengan girang dan bangga Kian Bu lalu memperkenalkan Siang In yang tadi bercakap-cakap dengan Hwee Li, kepada ayahnya, “Ayah, inilah calon mantu Ayah, calon isteriku, namanya....” “Teng Sian In! Aku sudah mendengar dari kakakmu, Bu-ji,” kata Suma Han sambil tersenyum memandang dara can¬tik jelita itu. Dengan muka berubah merah sekali, Siang In lalu maju dan memberi hormat kepada Suma Han, tanpa berani meng¬angkat mukanya. “Ah, tidak kusangka bahwa kakek yang menolongku itu adalah suhumu, Siang In, dan gurumu itu telah....” “Aku sudah menceritakan hal itu ke¬padanya, Paman,” kata Hwee Li dan Siang In hanya menunduk saja, dengan kuat dara ini dapat menahan kedukaan¬nya mendengar bahwa gurunya, See-thian Hoat-su, telah tewas sampyuh ketika mengadu alhir dengan Durganini dalam usahanya mencegah Durganini menyerang Suma Han. Gurunya itu sudah tahu akan hubungan cintanya dengan Siluman Kecil, maka gurunya tentu melarang bekas isteri yang pikun itu menyerang calon besannya. “Mendiang suhu sudah sangat tua dan banyak menderita dari bekas isterinya itu. Sekarang beliau telah tenang dan terima kasih banyak saya haturkan atas budi kebaikan Locianpwe yang telah menyempurnakan jenazahnya,” katanya ke¬pada Suma Han. Pendekar ini mengang¬guk-angguk dengan girang. Dara ini juga lincah jenaka seperti Hwee Li, akan tetapi memiliki kekuatan batin yang me¬nonjol, agaknya karena telah mempelajari ilmu sihir dari gurunya yang ahli sihir itu. Diam-diam pendekar Pulau Es ini merasa bahagia sekali. Dua orang calon mantunya bukan dara-dara sembarangan! “Ah, kami akan beramai-ramai pergi ke Pulau Es! Enci Ceng, kenapa kau tidak ikut sekalian?” Hwee Li yang gem¬bira itu berkata. Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala. “Tempatku di daratan sini, ber¬sama suami dan anakku. Kelak aku pasti datang menghadiri pesta pernikahan kali¬an semua.” Suma Han tertawa dan menghampiri Ceng Ceng. “Sampaikan kepada suamimu bahwa aku sekeluarga minta bantuannya untuk mengedarkan undangan-undangan kepada handai-taulan kalau sudah tiba saatnya nanti.” “Tentu saja, Locianpwe,” kata Ceng Ceng, tidak berani menyebut “kakek” walaupun pendekar itu adalah suami dari Lulu, nenek kandungnya! Tak lama kemudian berangkatlah pe¬rahu itu, kini dikemudikan oleh kakak beradik Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda dari Pulau Es yang tadinya meninggalkan Pulau Es dalam usia sekitar enam belas tahun, dan se¬perti sepasang rajawali perkasa mereka mengarungi daratan besar mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat dalam Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Raja¬wali! Dan kini mereka berlayar kembali ke Pulau Es bersama calon isteri masing-masing. Sepasang Rajawali itu telah me¬nemukan jodoh masing-masing! Ceng Ceng memandang dari pantai laut sampai akhirnya perahu itu makin menghilang. Beberapa bulan kemudian, lima buah perahu besar menjemput para tamu yang berkumpul di dusun tepi laut itu untuk menghadiri pesta pernikahan dua pasang pengantin di Pulau Es! Tentu saja ber¬bondong orang-orang kang-ouw berdatang¬an ke tempat itu. Seperti sebuah dongeng saja. Mengunjungi Pulau Es yang tadinya hanya mereka kenal dalam do¬ngeng saja! Di antara mereka yang ikut hadir dan ikut dalam perahu-perahu besar itu tentu saja terdapat keluarga dari Pulau Es sendiri, dan orang-orang ter¬dekat seperti Milana, Gak Bun Beng dan dua orang anak kembar mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kemudian Ceng Ceng dan Kao Kok Cu bersama anak mereka Kao Cin Liong. Nampak pula Pangeran Yung Hwa yang mewakili pemerintah atau keluarga istana, dan juga hadir Hek-sin Touw-ong, Sai-cu Kai-ong, Sin-siauw Seng-jin, dan masih ba¬nyak tokoh besar lain, termasuk wakil-wakil partai persilatan besar yang tentu saja ingin sekali melihat Pulau Es! Pesta pernikahan itu cukup meriah, apalagi karena disaksikan oleh banyak tokoh besar di dunia kang-ouw. Muka-muka lama saling jumpa di situ dan sua¬sana menjadi gembira sekali. Ketika dua pasang pengantin itu dipertemukan, sua¬sana menjadi cerah dan penuh khidmat, diikuti oleh semua mata para tamu. Sung¬guh mengagumkan sekali dua pasang pengantin itu. Kedua mempelai pria tam¬pan dan gagah, Siluman Kecil nampak garang dan aneh dengan rambutnya yang putih mengkilap dan panjang, sedangkan dua orang mempelai wanita amatlah can¬tiknya, sukar dikatakan yang mana lebih cantik karena masing-masing memiliki kelebihan dan kecantikan yang khas. Ketika dua pasang mempelai melakukan upacara pai-ciu, yaitu menyuguhkan arak kepada sang mertua dan orang tua, maka dua pasang mempelai itu berlutut di depan Pendekar Super Sakti Suma Han yang duduk diapit oleh kedua isterinya, yaitu Nirahai di sebelah kanan dan Lulu di sebelah kirinya. Dua orang wanita tua itu tak dapat menahan keharuan hati mereka dan mereka menerima suguhan arak dalam cawan sambil bercucuran air mata. Suasana menjadi khidmat dan pe¬nuh keharuan, bahkan para tamu wanita banyak pula yang berlinangan air mata, termasuk Ceng Ceng, Milana dan yang lain-lain. Malamnya indah bukan main. Kebetul¬an bulan bersinar terang, bulan purnama yang memuntahkan cahaya keemasan di atas pulau itu. Indah sekali! Para tamu menikmati dan mengagumi keindahan Istana Pulau Es, lalu beramai-ramai mengelilingi pulau itu diantar oleh Milana dan Gak Bun Beng sebagai penunjuk jalan mewakili fihak tuan rumah. Sedangkan dua pasang pengantin sudah memasuki kamar masing-masing, tenggelam ke da¬lam lautan kemesraan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang pengantin pada malam pertama! Akan tetapi, diam-diam Ceng Ceng yang ikut pula menikmati keadaan di Pulau Es itu merasa kehilangan dan ka¬dang-kadang dia menarik napas panjang kalau teringat kepada kakak angkatnya, yaitu sang puteri dari Bhutan, Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat. Apa jadinya dengan dua orang muda itu? Suaminya telah berusaha keras mencari mereka untuk menyampaikan undangan, namun usaha suaminya gagal! Diam-diam Ceng Ceng merasa kasihan sekali kepada Syan¬ti Dewi! Apakah yang terjadi dengan puteri itu? Apakah puteri itu akan dapat bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat dan dapat berlangsung perjodohan mereka? Kiranya pertanyaan itu pun terkan¬dung dalam hati para pembaca semua. Juga pertanyaan yang sama tentang Siauw Hong atau Kam Hang, keturunan Pen¬dekar Suling Emas itu, dengan Yu Hwi atau yang dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang-siocia, si gadis pencopet dan tukang menyamar itu. Apa yang terjadi dengan mereka? Cerita ini sudah terlampau panjang, oleh karena itu terpaksa pengarang me¬nutupnya, apalagi karena Sepasang Raja¬wali Sakti, yaitu yang diumpamakan bagi diri Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, kini telah menemukan jodohnya, bahkan telah menjadi pengantin. Maka selesailah sudah kisah ini. Adapun mengenai nasib Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat, juga Kam Hong dan Yu Hwi, dapat anda baca dalam cerita selanjutnya yang sedang disusun oleh pengarang, yaitu yang ber¬judul SULING EMAS & NAGA SILUMAN. Seperti biasa, harapan pengarang se¬moga cerita ini selain dapat merupakan hiburan bagi pembaca, juga mengandung manfaat yang menggugah kesadaran. Sampai jumpa pula di lain karangan! Terima kasih! T A M A T ===>> Suling Emas & Naga Siluman ===>>http://fansbooks.blogspot.com/2014/01/suling-emas-dan-naga-siluman-jilid-1-37.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar