Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 42.

Jodoh Rajawali Jilid 42:
Jodoh Rajawali Jilid - 42 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 42 “Mengapa Locianpwe memandang ren¬dah sekali kepada saya? Sebaiknya Locianpwe duduk di atas tanah agar tidak terlalu tinggi hati!” Setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu lalu men¬dorong dengan kedua tangannya ke arah batu besar yang diduduki oleh Dewa Bongkok. Dorongan itu mengandung te¬naga sinkang yang amat kuat dan hawa pukulan yang dahsyat menyambar dan mendorong batu itu. Batu itu terguling dan tubuh Dewa Bongkok ikut pula ter¬guling, tanpa kakek itu dapat memper¬tahankan diri. Tentu saja kalau dia hen¬dak mempertahankan diri, bukanlah hal sukar. Akan tetapi dalam keadaannya se¬perti saat itu, amatlah berbahaya bagi¬nya untuk mempergunakan tenaga sinkang¬nya. Sekali mengerahkan sinkang, lukanya yang sudah sembuh sebagian itu tentu akan terbuka dan kambuh kembali, bah¬kan mungkin akan lebih hebat sehingga dapat mengakibatkan kematiannya. Oleh karena itulah, ketika batu besar itu ter¬guling, dia pun ikut terguling dan ter¬banting ke atas tanah. Namun, kakek ini lalu merangkak bangun dan duduk bersila kembali ke atas tanah. Melihat ini, Siluman Kucing menjadi heran dan juga girang. Kalau kakek ini sudah dapat membunuh dua orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, jelas bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti luar biasa. Akan tetapi, sekarang, dengan sekali dorong saja batu itu roboh bersama tubuh kakek itu yang kelihatan sama sekali tidak mampu menjaga diri, dia pun tahu bahwa kakek itu benar-benar telah terluka parah dan tidak berani mempergunakan sinkangnya! “Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya engkau telah terluka parah? Tahukah engkau siapa aku, orang tua buruk? Aku adalah Lauw Hong Kui, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang telah kaubunuh. Nah, aku datang untuk membalaskan kematian suhengku!” setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu menerjang ke depan, ke arah kakek yang duduk bersila di atas tanah itu. Dengan pengerahan tenaga sinkangnya, tangannya menyambar dan menampar ke arah kepala Dewa Bongkok yang botak. “Syuuuuuttt.... plakkk!” Dewa Bongkok tentu saja tidak mau menerima kematian secara konyol. Dia tidak berani mengerahkan sinkang karena hal ini dapat berarti bunuh diri, maka dia pun miringkan kepalanya ketika me¬rasa ada angin dahsyat menyambar ke¬palanya. Pukulan itu luput, akan tetapi masih menghantam pundaknya sehingga untuk kedua kalinya tubuh Dewa Bongkok terguling-guling! Namun dia sudah duduk lagi bersila. Makin giranglah hati Mauw Siauw Mo-li karena dia yakin bahwa semua dugaan¬nya benar belaka. Biarpun jelas bahwa kakek itu amat lihai, terbukti bahwa dalam keadaan duduk bersila tanpa me¬lawan tadi kakek itu telah mampu meng¬elak sehingga kepalanya terluput dari tamparannya yang sedemikian cepatnya. Akan tetapi ketika tangannya menampar pundak, dia sama sekali tidak merasa¬kan ada hawa sinkang yang menolaknya, tanda bahwa benar-benar kakek sakti itu tidak berani mengerahkan sinkang! Kakek itu lebih mengandalkan kelemasan untuk menerima tamparan tadi, membiarkan tubuhnya terguling sehingga tamparan itu hanya membuatnya terbanting tanpa men¬datangkan luka parah karena dia sama sekali tidak melawan. “Hi-hi-hik, tua bangka, bersiaplah engkau untuk mampus!” bentaknya dan dia sudah menerjang, maju lagi. Dewa Bongkok maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan dalam keadaan seperti itu. Kalau dia mengerahkan sinkang, tentu dia akan mampu menewaskan wa¬nita ini dengan mudah, walaupun untuk itu dia sendiri akan berkorban nyawa. Akan tetapi, kakek ini tidak ingin mem¬bunuh orang, apalagi dalam keadaan men¬dekati akhir hidupnya itu. Kalau dua hari yang lalu dia menewaskan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, hal itu terjadi karena dia tidak sengaja, karena dia diserang dengan tiba-tiba sehingga pe¬ngerahan sinkang yang otomatis membuat tenaga pukulan mereka membalik dan mengakibatkan tewasnya dua orang itu. Kini, dia tidak mau melakukan pem¬bunuhan dan dia hanya menanti datangnya maut melalui tangan wanita yang tidak dikenalnya ini. “Wuuuuuttt.... plakkk!” Siluman Kucing memekik kaget dan meloncat mundur. Pukulannya telah di¬tangkis oleh sinar hitam yang panjang dan ternyata yang menangkis lengannya itu adalah seekor ular hitam besar dan panjang yang kini melingkar di lengan dan leher seorang dara cantik jelita ber¬pakaian serba hitam! “Hwee Li!” bentaknya dengan marah. “Engkau melawan bibi gurumu?” Dara yang telah menangkis pukulan Siluman Kucing yang menyelamatkan nyawa Dewa Bongkok tadi memang benar Hwee Li adanya. Seperti kita ketahui, dara ini mengalami guncangan batin yang hebat ketika ditinggal kekasihnya yang menyatakan benci kepadanya karena dia keturunan pemberontak, bahkan gurunya sendiri, Ceng Ceng, juga memutuskan hubungan dan tidak mau mengakuinya lagi. Hal ini amat menyedihkan hatinya, akan tetapi karena memang pada dasar¬nya Hwee Li berwatak keras, lincah dan gembira, penderitaan batinnya itu ter¬tutup oleh kelincahannya dan hanya muka¬nya yang agak pucat itu saja yang men¬jadi bukti bahwa di lubuk hatinya, dara ini menderita batin yang amat hebat. Memang pada kenyataannya, watak Hwee Li jauh sekali bedanya dengan watak Hek-tiauw Lo-mo, orang yang se¬lama belasan tahun dia anggap ayah kandungnya sendiri. Biarpun semenjak kecil dia dididik oleh seorang manusia iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo sehingga Hwee Li memiliki sifat-sifat liar yang keras, namun pada lubuk hatinya dia menjunjung tinggi kegagahan dan tidak suka bertindak sewenang-wenang, bahkan lebih condong untuk melindungi orang-orang lemah tertindas. Apalagi setelah dia berkenalan dengan orang-orang gagah, bahkan kemudian dia memperoleh didikan dari Ceng Ceng, sifat kegagahan seorang pendekar ini menonjol. Hal ini makin kuat ketika dia menemukan rahasia bah¬wa dia sesungguhnya bukan anak kandung Hek-tiauw Lo-mo. Dia merasa lain dan berbeda dengan golongan Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia menentang tindakan-tin¬dakan mereka seperti nampak ketika dia menjadi tawanan Pangeran Liong Bian Cu yang tergila-gila kepadanya. Maka, ketika secara kebetulan dia melihat Mauw Siauw Mo-li, hendak menghantam seorang kakek botak tua renta yang kelihatannya tidak berdaya dan tidak melawan, bangkit ke¬marahannya dan segera dia turun tangan menangkis pukulan itu dengan mengguna¬kan ular hitamnya yang panjang. Sambil tersenyum dan sepasang mata¬nya menatap wajah Mauw Siauw Mo-li dengan tajam, dia menjawab, “Sudah tentu, Mauw Siauw Mo-li. Mana mungkin aku membiarkan saja engkau melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, membunuh seorang kakek yang tidak berdaya dan tidak melawan? Seharusnya engkau merasa malu untuk menyerang seorang kakek tua tidak melawan!” “Bocah setan! Engkau menyebut nama¬ku begitu saja? Bukankah aku ini bibi gurumu?” “Aku tidak mempunyai bibi guru se¬perti engkau! Engkau jahat, kejam dan curang!” “Eh, Hwee Li, berani engkau kurang ajar! Engkau murid murtad! Ingat, aku adalah sumoi dari ayahmu!” Mauw Siauw Mo-li membentak marah. “Kau tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu? Ayah¬mu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas oleh kakek itu! Hayo kita bunuh dia sebelum dia sembuh kem¬bali dari lukanya untuk membalas kematian ayahmu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li melompat dan hendak menerjang Dewa Bongkok. Akan tetapi nampak bayangan hitam berkele¬bat dan Hwee Li sudah menghadang di depannya. “Tidak! Engkau tidak boleh mem¬bunuhnya!” katanya dengan wajah keras dan suara tegas. Mauw Siauw Mo-li mengerutkan alis¬nya dan perlahan-lahan mukanya berubah merah, matanya berapi-api tanda bahwa wanita ini sudah kehilangan kesabaran¬nya. Kalau tadi dia masih bersikap sabar adalah karena dia masih mengingat bah¬wa dara ini adalah murid keponakannya. “Hwee Li, siapakah kakek ini dan apamukah dia maka engkau hendak me¬lindunginya?” “Bukan apa-apa. Aku tidak kenal padanya, akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang tua renta yang sudah terluka dan tidak berdaya, maka kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, akulah yang akan membelanya!” “Keparat, murid murtad engkau!” bentak Mauw Siauw Mo-li dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Hwee Li dengan pukulan maut. Namun, dengan lincahnya Hwee Li mengelak ke kiri dan dari sini kakinya meluncur dengan ten¬dangan kilat ke arah lambung bibi guru¬nya! “Ehhh!” Mauw Siauw Mo-li terkejut dan makin marah. Kiranya murid kepo¬nakannya ini benar-benar berani melawan¬nya. “Singgg....!” Sinar hijau nampak dan Siluman Kucing itu telah mencabut se¬batang pedang, lalu dia menubruk ke de¬pan dan menyerang dengan dahsyatnya. Hwee Li cepat berloncatan meng¬hindarkan diri, kemudian tiba-tiba sinar hitam meluncur dari tangannya dan ular hitam itu telah digerakkan seperti sen¬jata, menyerang dan mematuk ke arah leher Lauw Hong Kui. Wanita ini cepat menarik tubuh ke belakang dan mengibas¬kan pedang untuk membacok putus leher ular itu. Namun, ular itu amat gesit, sudah mengelak dengan leher dilengkung¬kan, dan pada saat itu, tangan kiri Hwee Li telah melancarkan pukulan tangan kiri yang mengandung uap berwarna putih. Itulah pukulan beracun yang berbau ha¬rum. “Ihhh....!” Untuk kedua kalinya Mauw Siawu Mo-1i terkejut dan cepat dia meng¬elak, kemudian dia memutar pedangnya dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah menjadi segulung sinar hijau yang melingkar-lingkar dan menyambar ke sana-sini dengan hebatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Setelah mendapatkan gemblengan dari Ceng Ceng dan petunjuk-petunjuk dari suami gurunya itu, yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, kini tingkat ke¬pandaian Hwee Li sudah naik tinggi se¬hingga tidaklah mudah bagi Mauw Siauw Mo-li untuk mengalahkannya. Sebaliknya, Hwee Li pun merasa sukar untuk mengalahkan bekas bibi gurunya yang lihai ini. Sampai seratus jurus mereka bertan¬ding, masih belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran sekali. Masa dia tidak mampu mengalahkan bekas murid keponakannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Terdengar ledakan dan nampak asap mengepul ting¬gi. Hwee Li maklum akan kelihaian bibi gurunya ini menggunakan bahan-bahan ledak, maka dia pun cepat meloncat jauh ke kiri. Akan tetapi kembali dia disambut oleh ledakan yang membuat pandang matanya gelap dan pada saat itu, dia masih melihat sinar hijau meluncur ke arah dadanya. Cepat dia melempar tubuh ke belakang dan menggerakkan ular hi¬tamnya untuk menangkis. “Crakkk!” Ularnya terbabat putus menjadi dua dan terdengar suara ketawa mengejek dari Siluman Kucing itu, suara ketawa yang bercampur dengan suara kucing, ciri khas dari wanita ini! “Setan!” Hwee Li memaki dan mem¬buang bangkai ular itu, kemudian dia mengelak dari sambaran pedang berikut¬nya, lalu membalas dengan tamparan ta¬ngannya yang juga dapat dielakkan oleh lawan. Melihat Hwee Li kehilangan sen¬jata ular yang ampuh itu, Mauw Siauw Mo-li tertawa lagi. “Hwee Li, hayo kau berlutut minta ampun kepada bibi gurumu, baru aku ampuni engkau dan lekas kaubunuh kakek itu untuk membalas kematian ayahmu!” Dia masih tidak ingin membunuh dara cantik itu. “Siluman betina!” Hwee Li memaki dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, kedua tangannya mengirim pukulan be¬rantai yang cepat dan kuat. Mauw Siauw Mo-li menjadi marah. “Bagus, engkau sudah bosan hidup!” bentaknya dan dia memutar pedangnya, namun dara itu benar-benar lihai. Biar¬pun kini tidak lagi memegang ular se¬bagai senjata, namun setiap serangan pedang dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan untuk setiap serangan dia membalas kontan dengan pukulan atau tendangan yang tidak kalah bahayanya. Mauw Siauw Mo-li makin gemas. Kembali tangannya melempar sebuah benda, sekali ini benda itu dilemparkan ke arah Dewa Bongkok! Melihat ini, Hwee Li menjerit dan tubuhnya meluncur ke samping, cepat dia menyambar benda itu sebelum mengenai tanah dan meledak, kemudian dia melontarkan benda itu ke arah pemiliknya. Terdengar ledakan keras dan asap makin memenuhi tempat itu. Tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Hwee Li maklum bahwa bibi guru¬nya itu menyerang dengan hebat, maka dia mengelak dan membalas dengan ten¬dangan. “Singgggg.... brettttt!” Sinar hijau menyambar di antara gumpalan asap dan celana kiri Hwee Li di bagian paha te¬robek ujung pedang, berikut kulit dan sedikit dagingnya sehingga paha itu luka berdarah. “Ha-ha-ha, bocah murtad, engkau tidak lekas berlutut?” bentak Mauw Siauw Mo-li sambil tertawa dan mendesak dengan pedangnya. Hwee Li terpincang-pincang, namun dara yang berhati baja ini sama sekali tidak mau tunduk, bahkan sambil mengelak dia masih mencoba untuk balas menyerang. Akan tetapi, karena pahanya sudah terluka yang mem¬buatnya terpincang, gerakan kakinya menjadi kaku dan tentu saja kegesitannya berkurang sehingga ia mulai terdesak hebat oleh pedang di tangan Siluman Kucing. “Serang lambung kirinya!” tiba-tiba Hwee Li mendengar bisikan halus dan dia mengenal suara kakek tua renta yang bersamadhi itu. Suara itu demikian halus namun jelas sekali, seperti diucapkan di dekat telinganya saja, maka tahulah dia bahwa kakek itu telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) untuk membantunya. Karena dia merasa yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang amat sakti, maka dengan membuta dia lalu mengikuti petunjuknya dan tiba-tiba dia menerjang dengan se¬rangan hebat ke arah lambung kiri Silu¬man Kucing. “Ihhh....!” Siluman Kucing menjerit kaget karena pada saat itu memang lam¬bung kirinya “terbuka” dan merupakan bagian yang paling lemah dari kedudukan¬nya. Dia masih dapat melempar dirinya ke kanan sehingga terjangan Hwee Li itu luput sungguhpun dia sudah rnerasakan hawa pukulan menyerempet lambungnya. Kalau saja Hwee Li tadi tidak terheran dan sedikit terlambat, tentu serangannya sudah mengenai sasaran. Siluman Kucing tidak tahu bahwa lawannya diberi petunjuk oleh kakek itu. Dia mengira bahwa serangan Hwee Li tadi hanya kebetulan saja, maka bangkit¬lah kemarahannya karena dia nyaris cela¬ka. Sambil mengeluarkan lengking pan¬jang pedangnya menusuk dan membacok kembali dengan bertubi-tubi dan kini Hwee Li terdesak lagi seperti tadi. Hwee Li terpaksa mengelak ke sana-sini de¬ngan kakinya yang pincang. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia agak terlam¬bat sehingga petunjuk kakek itu tidak dipergunakan sebaiknya. Kalau dia tidak agak meragu, dia yakin bahwwa serangan tadi pasti mengenai sasaran. “Tendang lutut kiri dan hantam pundak kanan!” kembali terdengar bisikan dan sekali ini Hwee Li bergerak secara otomatis menurutkan petunjuk itu tanpa mempedulikan hal lain. Dia mentaati secara membuta dan secara cepat sekali dan hasilnya luar biasa! Terdengar Silu¬man Kucing menjerit dan biarpun dia berusaha melempar tubuh ke belakang, namun hantaman ke arah pundaknya itu tetap saja mengenai sasaran. “Plakkk....! Aduhhhhh....!” Pedang di tangan Siluman Kucing terlepas karena begitu pundaknya kena dihantam, lengan kanannya seperti lumpuh. Tadi dia terkejut melihat tendangan tiba-tiba dari Hwee Li yang ditujukan kepada lutut kirinya. Tendangan itu memang tepat dan berbahaya sekali karena pada saat itu, kuda-kudanya dititikberatkan kepada kaki kirinya yang berada di depan. Maka dia cepat menarik kaki kirinya agar lututnya yang dalam keadaan “terbuka” itu jangan kena tendang, akan tetapi siapa kira, gerakannya ini seperti telah dapat diduga terlebih dulu oleh dara itu yang sudah mengirim pukulan ke arah pundak kanan¬nya pada saat pundak itu dalam keadaan tak terjaga. Siluman Kucing terhuyung ke belakang dan merasa jerih. Lama dia tidak ber¬temu dengan murid keponakannya ini dan kiranya sekarang telah memiliki kepandai¬an yang demikian lihai! Melawan Hwee Li saja dia kewalahan dan hampir roboh, apalagi kalau kakek itu turun tangan membantu! Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang seperti seekor kucing yang terpijak ekornya, dan tubuhnya sudah meloncat jauh ke belakang dan sebentar saja Siluman Kucing telah le¬nyap. Hwee Li cepat mengambil pedang yang ditinggalkan oleh bekas bibi gurunya itu, dan dia menoleh ke arah Dewa Bong¬kok. Kakek itu masih duduk bersila di atas tanah, memejamkan kedua matanya. Hwee Li menarik napas panjang. Benar dugaannya. Kakek ini lihai bukan main akan tetapi berada dalam keadaan ter¬luka parah. Kalau saja kakek aneh itu tidak membantunya dengan dua kali bisik¬an dan petunjuk, agaknya tidak mungkin dia dapat menangkan Mauw Siauw Mo-li yang lihai, apalagi karena pahanya telah terluka. Hwee Li menghampiri kakek itu, se¬jenak memandang kakek yang masih ber¬samadhi dengan tekunnya. Dia tidak mau mengganggu, teringat bahwa kakek itu terluka parah dan sedang mengobati luka sendiri. Hwee Li lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memeriksa pahanya yang terluka dan menaruhkan obat bubuk kepada lukanya. Dia menyeringai. Perih sekali obat itu, akan tetapi dengan cepat dapat menutup luka dan menghenti¬kan keluarnya darah. Dengan saputangan yang bersih dibalutnya paha yang terluka itu, kemudian dia pun duduk bersila tak jauh dari kakek itu. Dia mengambil ke¬putusan untuk menjaga dan melindungi kakek itu sampai kakek itu sembuh dan dapat membela diri sendiri. Demikianlah, kini di tempat sunyi itu nampak dua orang duduk bersila dalam samadhi! Setelah memulihkan tenaganya dan rasa nyeri di pahanya yang terluka berkurang, Hwee Li membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Dia merasa lapar sekali. Kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi, napasnya panjang-panjang dan sebagai seorang muda yang terlatih, Hwee Li maklum pula bahwa kakek itu memang benar sedang berdaya untuk mengobati dirinya sendiri. Maka dia pun tidak berani mengganggu, dan hanya ingin menunggu sampai kakek itu selesai mengobati luka di dalam tubuhnya. Pergilah Hwee Li untuk mencari makanan pengisi perutnya yang lapar. Akan tetapi karena dia tidak berani meninggalkan kakek itu terlampau jauh, dia hanya mencari di sekitar tempat itu dan akhirnya dia hanya bisa mendapatkan akar-akaran yang dapat di¬makan! Tidak ada pohon-pohon buah di hutan dekat situ dan dia tidak melihat binatang hutan pula. Akan tetapi, akar-akaran itu cukup enak kalau dibakar. Maka dia lalu membuat api dan mulai memanggang akar-akaran itu. Dimakannya sebagian dari makanan itu dan sebagian lagi disisihkannya untuk kakek itu kalau sudah sadar dari samadhinya nanti. Bukan menjadi kebiasaan Hwee Li untuk mencampuri urusan orang. Akan tetapi dia tidak suka kepada Mauw Siauw Mo-li yang dia tahu merupakan seorang iblis betina yang selain kejam dan curang, juga cabul itu. Maka, melihat bekas bibi gurunya itu tadi hendak membunuh kakek ini, dia lalu turun tangan menentang. Kemudian dia mendengar bahwa kakek ini telah membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia merasa tertarik sekali. Hek-tiauw Lo-mo adalah musuh besarnya, yang telah merusak kehidupan ibu kandungnya, bahkan hampir saja menjerumuskan dia ke dalam lembah kehinaan dengan “menjualnya” kepada Pangeran Liong Bian Cu. Maka, men¬dengar bekas ayahnya dan juga musuh besarnya itu terbunuh oleh kakek ini, dia merasa tertarik sekali untuk bicara de¬ngan kakek ini. Di samping itu, juga dia tidak ingin melihat kakek ini terancam bahaya dan terbunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, maka dia lalu menjaganya dan menanti sampai kakek itu selesai meng¬obati dirinya sendiri. Akan tetapi, sehari penuh dia menanti dan hari telah berganti malam, namun kakek itu masih belum juga bangun dari samadhinya! Hati Hwee Li mulai menjadi kesal. Dia bukan seorang gadis yang penyabar. Akan tetapi melihat betapa nyamuk-nyamuk mulai merubung tubuh kakek itu dan tentu merupakan gangguan bagi samadhinya, timbul rasa kasihan di hatinya. Dibuatnya api unggun dan diusir¬nya nyamuk-nyamuk itu. Setelah kehangatan api unggun mengusir dingin dan nyamuk, barulah dia duduk di dekat api unggun dan menoleh kepada kakek itu sambil mengomel. “Kalau sampai besok pagi engkau belum juga terbangun, jangan salahkan aku kalau terpaksa aku meninggalkanmu, Kek. Aku masih harus melakukan perjalanan jauh, mencari orang yang entah ke mana perginya!” Dia menarik napas panjang, lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering yang dikumpulkannya di tempat itu, rebah miring menghadapi api dan termenung ke dalam nyala api yang menjilat-jilat. Malam itu Hwee Li hanya dapat tidur ayam, yaitu antara tidur dan sadar, ter¬kantuk-kantuk di dekat api unggun. Biar¬pun kadang-kadang dia tertidur, namun kesadarannya masih selalu waspada se¬hingga sedikit suara saja akan cukup untuk membangunkannya, juga dia selalu tahu kalau api unggun padam atau me¬ngecil sehingga cepat dia bangun dan menambah kayu bakar. Berkali-kali, kalau terbangun, dia menengok kepada kakek itu dan ternyata kakek itu masih saja duduk bersila dan tenggelam dalam sa¬madhi seperti siang tadi! Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari menerangi tanah, Hwee Li me¬manggang lagi beberapa potong akar-akaran untuk dimakan dan sebagian dia letakkan di depan kakek itu bersama pedang yang ditinggalkan oleh Mauw Siauw Mo-li kemarin. “Kek, terpaksa aku harus meninggal¬kanmu. Ini ubi bakar untukmu, dan ini pedang untuk menjaga diri kalau ada penjahat hendak mengganggumu. Maafkan aku, Kek, aku tidak bisa menjagamu di sini selamanya!” Hwee Li menatap wajah itu dan tiba-tiba sepasang mata itu terbuka. “Ihhhhh....!” Hwee Li terkejut dan terlompat mundur. Sepasang mata kakek itu benar-benar mempunyai cahaya yang mengejutkan, mencorong seperti mata harimau di tempat gelap! Akan tetapi kagetnya segera lenyap ketika dia me¬lihat hetapa sepasang mata itu biarpun mencorong aneh, namun memandang ke¬padanya dengan lembut dan mulut tua itu mengulum senyum. Dia mendekat lagi, duduk di dekat kakek itu sambil memandang wajahnya yang agak pucat. “Thian Yang Maha Kuasa....“ ter¬dengar kakek itu berkata halus, “Kalau belum berkenan mencabut nyawa seorang tua seperti aku, ada saja yang menyela¬matkan. Agaknya masih belum cukup hukumanku maka aku masih diberi usia panjang....“ Mendengar keluhan ini, Hwee Li ter¬senyum geli. “Kek, orang lain minta umur panjang, mengapa engkau sebalik¬nya mengomel diberi umur panjang? Dan tentang menolong tadi, aku tidak tahu siapa menolong siapa. Kalau tidak ada engkau yang membisiki dua jurus serangan kemarin, mungkin aku yang tidak bisa berumur panjang!” Sepasang mata itu berseri dan pan¬dang matanya memperhatikan Hwee Li penuh selidik. “Namamu Hwee Li?” “Benar, Kek.” “Siapa nama keturunanmu?” Hwee Li membuang muka, merasa sebal. “Uhhh, tak perlu menyebut nama keturunanku, Kek, hanya mendatangkan sial saja kepadaku. Namaku Hwee Li, cukuplah.” Karena membuang muka, Hwee Li tidak melihat betapa pandang mata ka¬kek itu makin berseri, karena sikap dara ini amat menarik hatinya dan menimbul¬kan rasa suka di hatinya. “Hwee Li, ketika aku diserang oleh wanita itu, mengapa engkau membelaku? Bukankah wanita itu bibi gurumu? Meng¬apa engkau berani melawan bibi guru sendiri?” “Huh, bibi guru macam apa dia? Ja¬ngankan bibi guru, biar ayah sendiri, kalau jahat, tentu akan kutentang!” ja¬wab Hwee Li marah. Kakek itu makin tertarik. Gadis ini benar-benar luar biasa. Jarang menemu¬kan seorang gadis yang begini keras na¬mun tegas dan wajar, penuh kepolosan dan keberanian. Mirip watak mantunya, isteri dari muridnya! “Bukankah engkau sudah mendengar dari bibi gurumu bahwa ayahmu tewas karena aku? Bukankah Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungmu?” “Sama sekali bukan!” Hwee Li makin gemas karena dia diingatkan akan ke¬adaan keluarganya yang hanya mendatang¬kan kesialan baginya. “Dia adalah mu¬suh besarku!” “Hemmm.... bagaimana pula ini?” Kakek itu bertanya dan tersenyum. “Sebenarnya aku tidak suka bicara tentang ini, Kek, akan tetapi agar eng¬kau tidak menjadi penasaran dan bingung, biarlah kuceritakan kepadamu. Memang aku dan semua orang tadinya menganggap Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandung¬ku. Akan tetapi kini telah terbuka kedoknya. Dia sama sekali bukan ayah kan¬dungku, bahkan dia musuh besarku yang dulu menculik ibuku dan menjadi sebab kematian ibuku. Ah, andaikata dia itu ayahku sendiri sekalipun, tetap saja ku¬tentang karena dia jahat.” Kakek itu memandang dengan penuh perhatian. “Kau akan menentang ayah kandung sendiri?” “Tentu!” Hwee Li berkata gemas dan mengepal kedua tinju tangannya, lalu bangkit berdiri dan berdongak meman¬dang ke udara. “Apa artinya ayah kan¬dung kalau dia jahat? Dia hanya akan melumuri aku dengan kekotoran namanya! Nama busuk seorang ayah akan diwarisi anaknya yang tidak bersalah, mendatang¬kan kesialan, membuat aku dibenci orang, hanya karena orang tua....!” Dan tiba-tiba Hwee Li menangis dan membanting-banting kakinya. Sepasang mata kakek itu terbelalak. Dia membiarkan gadis itu menangis se¬sunggukan sambil menutupi muka dengan kedua tangan. Akan tetapi tidak lama Hwee Li menangis. Dia tadi menangis karena mendapat kesempatan menumpah¬kan rasa penyesalan dan penasaran hati¬nya, teringat betapa Kian Lee menyia-nyiakan dan meninggalkannya hanya kare¬na dia keturunan pemberontak! Kekerasan hatinya membuat tangisnya itu hanya sebentar lalu mereda. Melihat ini, Dewa Bongkok menarik napas panjang. “Hwee Li, apakah orang tuamu sendiri, ayah kandungmu, juga seorang jahat seperti Hek-tiauw Lo-mo?” Hwee Li menggeleng kepala. Dia tidak mengenal kakek ini. Dan karena kakek ini orang asing, orang asing yang kebetulan saja kini terlibat menjadi orang yang menjadi tempat pencurahan semua rasa penasaran hatinya, maka dia tidak ragu-ragu untuk bicara tentang dirinya sendiri. “Aku sendiri tidak pernah me¬lihat ayah kandungku, Kek. Entah dia orang baik atau jahat aku pun tidak tahu. Hanya karena dia dikenal sebagai seorang pemberontak, maka orang lalu menghinaku, bahkan orang yang paling baik.... yang paling kucinta.... telah meninggalkanku. Kek, apa sih salahnya orang yang menjadi anak pemberontak? Ayah kandungku memberontak ketika aku masih bayi, aku tidak tahu mengapa dan untuk apa dia memberontak. Akan tetapi mengapa semua orang benci kepadaku?” Kakek itu menarik napas panjang dan menengadah seolah-olah dia bicara ke¬pada awan yang berarak di langit, bukan kepada Hwee Li, “Begitulah memang pendapat umum, watak masyarakat yang sudah membudaya! Manusia dinilai dari keturunannya, dari agamanya, dari ke¬dudukannya, dari harta bendanya, dari pengetahuannya. Betapa menyedihkan ini. Dan karena penilaian didasarkan atas semua itu, maka manusia lalu mempe¬rebutkan semua itu yang dianggap se¬bagai syarat untuk dapat hidup mulia! Manusia dianggap seperti pohon-pohon, pohon yang buahnya masam pasti meng¬hasilkan bibit yang masam pula. Manusia yang dianggap jahat pasti menurunkan anak yang jahat pula! Betapa menyedih¬kan anggapan ini! Dan betapa banyaknya anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban nama buruk orang tuanya. Me¬mang tidak adil! Bahkan menilai sese¬orang sebagai jahat pun tidak adil. Kehidupan ini selalu berubah. Manusia pun selalu mengalami perubahan, ada kalanya dia dianggap jahat, ada kalanya dia di¬anggap baik. Anggapan itu hanya penilai¬an belaka, tergantung kepada kepentingan si penilai. Aih, Hwee Li, kalau orang menganggap engkau rendah dan hina, maka yang jelas dia itulah yang rendah dan hina, karena anggapan seperti itu sudah rendah namanya. Mengapa engkau hiraukan benar? Jangankan hanya beberapa orang yang menganggapmu jahat, kalau engkau meneliti diri sendiri dan mendapat kenyataan bahwa engkau tidak jahat, peduli apa? Biarlah semua orang menilaimu jahat. Hidup bukan tergantung daripada penilaian orang lain. Yang pen¬ting adalah mengamati diri sendiri. Biar tidak ada seorang pun manusia lain me¬ngetahuinya, akan tetapi kalau dalam pengamatanmu itu engkau melihat diri¬mu kotor, haruslah segera dibersihkan! Jadi, yang penting bukan penilaian orang lain, melainkan pengamatan diri sendiri terhadap diri sendiri. Mengertikah eng¬kau, Hwee Li?” Ucapan kakek yang dilakukan dengan suara halus itu meresap ke dalam hati sanubari Hwee Li dan gadis itu merasa bangkit kembali semangatnya, “Engkau benar, Kek! Terima kasih. Akan tetapi, aku pun tidak akan peduli penilaian orang lain, biar orang sedunia sekalipun, hanya.... karena mereka berdua itulah yang membuat hatiku terasa perih...., penilai¬an mereka berdua yang kini menjauhiku membuat hatiku merana.” “Hemmm, mereka berdua itu siapa¬kah? Mengapa justeru mereka berdua yang kauhiraukan?” “Dia.... dia.... pacarku, Kek. Dan yang seorang guruku....“ Diam-diam kakek itu terharu juga. Dara ini sungguh amat jujur, tidak se¬perti orang lain yang malu-malu kucing dan menyembunyikan perasaannya. Dara ini berterus terang, apa adanya, dan amat menarik hatinya. “Hemmm, mereka itu tidak bijaksana. Tidak mengherankan kalau pacarmu me¬miliki pandangan umum seperti itu kare¬na tentu dia masih muda dan hijau. Akan tetapi gurumu, mengapa dia sepicik itu pula?” “Guruku pun masih muda, Kek, tidak banyak selisihnya usianya dengan pacar¬ku. Dia pantas menjadi enciku. Aku amat sayang kepadanya dan dia pun tadinya amat cinta kepadaku, akan tetapi setelah dia tahu bahwa aku keturunan pemberon¬tak.... dia memutuskan hubungan....“ Hwee Li memejamkan mata menahan air matanya yang sudah membikin panas kedua matanya lagi. “Hemmm, gurumu masih begitu muda? Dan kau sudah selihai itu? Tentu gurumu lihai sekali.” “Tentu saja dia lihai! Suaminya lebih lihai lagi, Kek. Suaminya adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir!” Karena kakek itu menundukkan muka¬nya, Hwee Li tidak melihat keheranan yang membayang di kedua mata kakek itu. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran. Kiranya gadis yang amat menarik hatinya ini adalah murid dari Ceng Ceng, isteri muridnya sendiri! Dia memang pernah mendengar bahwa isteri muridnya itu mempunyai seorang murid yang se¬lama beberapa bulan pernah pula ikut ke Istana Gurun Pasir, akan tetapi dia tidak pernah tahu siapa namanya dan tidak pernah pula saling bertemu. Memang selama itu dia hanya bertapa saja, me¬nyendiri di kamar rahasia dalam istana itu. Dan tadi ketika melawan Mauw Siauw Mo-li, Hwee Li juga tidak pernah meng¬gunakan jurus dari aliran Dewa Bongkok maka dia tidak mengenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa sesungguhnya gadis ini menjadi murid Ceng Ceng hanya dalam hal penggunaan racun dan pukulan-pukul¬an beracun saja, dan mendapat bimbingan untuk mematangkan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya, yaitu yang dipelajarinya dari Hek-tiauw Lo-mo. Sebaliknya, Hwee Li tentu saja tahu bahwa suami dari guru¬nya adalah murid seorang manusia dewa yang berjuluk Si Dewa Bongkok atau Go-bi Bu Beng Lojin, akan tetapi karena belum pernah jumpa, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kakek yang ditolongnya ini adalah kakek gurunya itu! Apalagi dia membayangkan kakek guru itu sebagai dewa yang tidak pernah mem¬perlihatkan diri kepada manusia lain. Hening sampai lama semenjak Hwee Li menyebut nama Naga Sakti Gurun Pasir tadi. Berbagai pikiran memenuhi kepala Dewa Bongkok dan dia sudah mengambil keputusan mengenai gadis ini. “Hwee Li, maukah engkau menjadi ahli waris ilmu silat yang akan membuat engkau tidak mudah dikalahkan orang, apalagi kalau hanya oleh orang seperti wanita tadi? Maukah engkau mempelajari ilmu simpananku yang belum lama ku¬ciptakan?! Tiba-tiba kakek itu bertanya. “Dan menjadi muridmu, Kek?” Hwee Li mengangkat muka memandang. Dia merasa pernah melihat sepasang mata mencorong seperti itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana. Dia lupa bahwa yang memiliki mata mencorong seperti itu adalah suami gurunya, Si Naga Sakti Gurun Pasir! “Akan tetapi, aku belum mengenalmu.” “Hemmm, tidak perlu mengenal. Eng¬kau sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lo¬mo dan Hek-hwa Lo-kwi tewas karena mereka itu menyerangku dan aku men¬derita luka parah. Biarpun aku telah menyembuhkan luka itu, namun aku perlu beristirahat dan mengingat usiaku sudah amat tua, kalau tidak sekarang kuturun¬kan kepada seseorang, tentu aku tidak akan sempat lagi mewariskan kepada orang lain. Kau cocok untuk menjadi ahli warisku, Hwee Li.” “Kalau begitu aku tidak perlu menjadi muridmu?”. “Murid atau bukan hanya sebutan saja. Aku percaya bahwa di tanganmu, ilmuku tidak akan sia-sia.” “Baiklah, Kek. Akan tetapi, aku harus melakukan perjalanan jauh menyusul dia....!” “Pacarmu?” “Benar. Aku masih penasaran. Dia tidak boleh membawa-bawa aku ke dalam keburukan nama ayah kandung yang sama sekali tak pernah kukenal itu. Dia tidak adil dan aku harus menegurnya!” “Baaus! Memang engkau benar, dan pacarmu itu picik. Dia tentu seorang pemuda bodoh, mengapa engkau memilih pacar macam dia?” “Uwah! Kakek terlalu memandang rendah dia! Engkau tidak tahu siapa dia, Kek, dia adalah Suma Kian Lee, putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!” Kembali kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak mem¬bayangkan sesuatu. “Ah, kiranya begitu? Sungguh kebetulan sekali aku memilihmu sebagai ahli waris ilmuku karena dengan ilmu itu engkau harus dapat melindungi Pendekar Super Sakti.” “Eh, apa maksudmu, Kek?” “Menurut pengakuan Hek-hwa Lo-kwi sebelum dia tewas oleh ulahnya sendiri, di gurun pasir di dataran Bukit Chang-pai-san akan diadakan pertemuan yang pasti akan menjadi pertandingan mati-¬matian antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok, maka mereka ini tentu mendatangkan jagoan-jagoan untuk mem¬bantu mereka mengeroyok Pendekar Su¬per Sakti. Kalau aku tidak sedang terluka, tentu aku akan dapat mendamaikan mereka dan melindungi Majikan Pulau Es itu, akan tetapi aku terluka, maka aku sengaja memilihmu untuk mewarisi ilmu¬ku dan mewakili aku melindungi pen¬dekar sakti itu.” “Jadi untuk itukah maka engkau hen¬dak menurunkan ilmu itu kepadaku, Kek?” “Sebagian, yang terutama, untuk itu. Akan tetapi juga karena aku suka me¬lihatmu, Hwee Li.” “Biarpun aku keturunan pemberontak?” “Hemmm, mereka yang menghinamu karena keturunanmu akan kutegur kalau aku sempat bertemu dengan mereka. Me¬reka itu tolol dan picik!” Besarlah hati Hwee Li mendengar ini. Kakek ini adalah orang pertama yang bukan saja tidak merendahkan keturunan¬nya, bahkan hendak membelanya dan lebih dari itu, hendak menurunkan ilmu¬nya kepadanya. Dan mengingat betapa kakek ini dapat merobohkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apalagi sudah dapat dia buktikan kesaktiannya ketika memberi petunjuk dia menghadapi Mauw Siauw Mo-li, dia yakin bahwa ilmu yang akan diturunkan itu tentu hebat bukan main. “Nah, sekarang bersiaplah, Hwee Li. Engkau harus menghafal kauw-koat (teori silat) lebih dulu, baru kuberi petunjuk tentang gerakan-gerakannya, yaitu gerak¬an dasar dan gerakan pokok. Kita hanya memiliki waktu sebulan lebih lagi, yaitu pada malam bulan purnama bulan depan.” “Mana mungkin menghafal ilmu yang hebat hanya dalam waktu sesingkat itu?” tanya Hwee Li. “Ilmu itu hanya terdiri dari delapan jurus, Hwee Li.” “Delapan jurus? Kalau hanya sedemi¬kian pendeknya, mana bisa disebut he¬bat?” “Ah, engkau tidak tahu. Aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk merangkai ilmu yang kunamakan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Menge¬jar Arwah) ini. Dan biarpun kauw-koat¬nya dapat kauhafalkan dalam waktu sing¬kat setelah kuberi kunci-kuncinya, namun untuk mematangkan ilmu ini, biar sampai lima puluh tahun sekalipun masih dapat terus ditingkatkan, Hwee Li. Dasar dan pokok gerakan ilmu yang hanya dela¬pan jurus ini telah mencakup semua da¬sar ilmu silat dan dapat kaupergunakan untuk menghadapi ilmu yang bagaimana lihai pun dari lawan.” Hwee Li menjulurkan lidahnya karena kaget, kagum dan juga girang. Dia lalu mulai mempelajari Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang dengan penuh ketekunan dan kakek itu merasa girang karena gadis ini memang cerdas sekali, dengan mudah dapat mengerti ketika dia memberi penjelasan tentang kunci rahasia ilmu itu, kemudian menghafal teorinya. Semua ini mereka lakukan sambil melanjutkan perjalanan perlahan-lahan karena kakek itu harus sering beristira¬hat untuk menghimpun tenaganya. Siang malam Hwee Li menghafal dan melatih gerakan-gerakan pokok dan dasar dari ilmu silat baru itu, dan dengan girang sekali dia memperoleh kenyataan betapa baru melatih beberapa hari saja, sinkang¬nya bertambah kuat. Apalagi ketika kakek itu memberi petunjuk kepadanya cara mengumpulkan hawa murni dan mempergunakan tenaga dari pusarnya, dia memperoleh kemajuan hebat dalam waktu beberapa hari saja! *** “Syanti Dewi....!” Dia terhuyung, hampir jatuh, akan tetapi bangun lagi dan terus berlari sambil terhuyung-huyung. “Dewi.... kauampunkan aku, Dewi....!” Tek Hoat terus memasuki hutan yang lebat itu, berlari sambil mengeluh dan bersambat, menyebut-nyebut nama Syanti Dewi seperti orang gila. Pemuda ini setelah ditolong oleh Panglima Jayin dan pasukannya, dibawa kembali ke dalam istana. Akan tetapi baru dua hari dia dirawat, begitu siuman dia sudah me¬loloskan diri lagi, malam-malam dia me¬larikan diri meninggalkan istana untuk mengejar dan mencari Syanti Dewi. Akhirnya, kegelapan malam membuat dia roboh tersungkur menabrak batang pohon dalam hutan yang gelap itu. Dia merangkak bangun, lalu duduk dan meng¬gunakan kedua tangan memegangi kepala¬nya yang terasa pening berdenyut-denyut. Dia belum sembuh benar, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya masih pening. “Syanti.... kalau engkau tidak mau mengampunkan aku, lebih baik kaubunuh saja aku....“ keluhnya. Pikirannya melayang-layang ke masa lampau ketika dia merasa betapa seng¬saranya rasa hatinya, ditinggalkan oleh Syanti Dewi yang marah kepadanya. Syanti Dewi tentu benci kepadanya! Ah, semua ini tentu merupakan hukuman baginya, hukuman atas semua penyelewengannya, atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lampau. Terbayang kembali semua perbuatan¬nya, yang baru sekarang nampak olehnya betapa kejam, jahat dan terkutuknya. Dia telah melakukan pembunuhan-pembunuhan, perjinaan-perjinaan, perbuatan yang ke¬jam dan jahat sekali di masa lampau (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kalau dia membayangkan semua perbuatannya itu, di waktu dia masih muda remaja, maka amatlah tidak patut kalau dia kini dicinta seorang wanita seperti Syanti Dewi! Hal ini merupakan kenyataan yang luar biasa, terlampau baik baginya. Syanti Dewi adalah seorang puteri raja yang demikian cantik jelita, demikian berbudi dan mulia. Sedangkan dia? Hanya seorang bekas penjahat yang terkutuk! Dan dia masih tidak menerima kebahagiaan ini. Dia menghancurkan sendiri kebahagiaan yang tidak patut dimilikinya itu. Dia bahkan berani memaki, berani menghina sang puteri yang demikian mulia, yang terlalu mulia baginya. Menjadi pelayan puteri itu saja masih terlalu mulia bagi¬nya. Dia sebenarnya amat tidak berharga, bahkan untuk menggosok sepatu puteri itu saja dia masih terlalu kotor. Namun dia terangkat sebagai kekasih, sebagai calon suami puteri itu! Dan puteri itu mencintanya dengan suci. Puteri itu te¬lah rela hidup sengsara demi untuk dia! Dan dia.... dia malah memaki dan menghina puteri itu! Dituduhnya berjina, pada¬hal dialah sendiri tukang berjina di wak¬tu remaja. Dituduhnya memberontak, padahal dialah yang pernah membantu pemberontak! Dituduhnya keji dan hina, padahal dialah yang jelas seorang ma¬nusia keji dan hina! “Syanti....!” hatinya menjerit dan dia menjambak-jambak rambutnya sendiri. “Kau layak mampus! Kau layak seng¬sara!” Dia berteriak-teriak dan menjam¬bak rambutnya, lalu menghempas-hempas¬kan dirinya, membentur-benturkan kepala¬nya ke batang pohon itu sampai kulit dahinya luka-luka dan pecah-pecah ber¬darah dan akhirnya dia roboh pula tak sadarkan diri di bawah batang pohon itu. Malam itu sunyi sekali, sunyi dan gelap, dan tubuh Tek Hoat membujur di bawah pohon, pingsan. Dia bermimpi. Dia terjerumus ke dalam lumpur. Betapapun dia mengerah¬kan tenaga untuk melepaskan diri, selalu tidak berhasil. Lumpur itu menyedot kedua kakinya, makin dia berusaha lolos, makin dalam dia tersedot sampai akhirnya tubuhnya tersedot sebatas pinggang. Dia meronta, kedua tangannya mencakar sana-sini dengan sia-sia. Kemudian mun¬cul Dewi Kwan Im yang berwajah Syanti Dewi, dengan ringannya sang dewi melangkah di atas lumpur tanpa mengotor¬kan sepatunya yang bersih, lalu sang dewi mengulurkan tangan, hendak me¬nariknya keluar dari dalam lumpur. Akan tetapi pada saat itu dia teringat akan hal yang tak pernah dilupakannya sama sekali itu, ialah ketika Syanti Dewi ber¬cumbu dengan Mohinta, kemudian betapa Syanti Dewi telah berusaha membunuh Raja Bhutan, ayahnya sendiri. Teringat akan ini semua, tangan yang terulur ke¬padanya untuk menariknya keluar dari dalam lumpur itu malah diludahinya! Sang dewi menangis dan melarikan diri sambil terisak-isak. Tek Hoat yang di¬tinggalkan di dalam lumpur itu tersedot makin dalam. Lumpur mencapai lehernya, bahkan masih terus saja tubuhnya ter¬sedot ke bawah, kini lumpur mencapai dagunya. Barulah dia, teringat kepada Syanti Dewi, betapa dia mencinta dara itu dan dengan napas terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, dia me¬manggil-manggil nama Syanti Dewi. “Syanti Dewi....! Syanti Dewi....!” Tek Hoat terbangun dengan napas terengah-engah. Dia membuka matanya dengan penuh kegelisahan dan menjadi semakin bingung ketika dia menemukan dirinya sendiri telah rebah di atas pem¬baringan dalam sebuah kamar yang indah, kamarnya di istana Bhutan! Dan terdengar suara yang tenang dan penuh perasaan iba. “Tenanglah, Taihiap. Harap engkau suka menguatkan batinmu.” Tek Hoat menoleh dan ternyata yang bicara itu adalah Panglima Jayin. Dia bangkit duduk dan memegang tangan panglima itu yang dijulurkan kepadanya. “Panglima apakah yang terjadi dengan Syanti Dewi?” Panglima itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan beliau, Taihiap.” “Akan tetapi.... dia.... dia telah mati dan aku.... aku masih bertemu dengannya....“ Panglima Jayin itu tersenyum sedih dan mengira bahwa pemuda ini tentu mengigau. “Taihiap terlalu mendalam memikirkan beliau. Beliau belum mening¬gal dunia, dan atas perkenan sri baginda raja saya akan menceritakan semua ke¬padamu, Taihiap. Wanita yang kausangka sang puteri itu, yang datang bersama pengkhianat Mohinta, kemudian berusaha membunuh sri baginda dan akhirnya te¬was, sebenarnya bukanlah Sang Puteri Syanti Dewi, melainkan seorang wanita lain yang memalsukan beliau. Sang Puteri Syanti Dewi adalah seorang wanita budi¬man dan mulia, tidak mungkin melakukan hal rendah seperti itu.” Tek Hoat meloncat berdiri, wajahnya berseri biarpun masih amat pucat. “Ah, sudah kuduga demikian, hanya hati yang lemah ini, otak yang tolol ini masih saja meragukan kesuciannya! Aku harus pergi mencarinya!” Panglima Jayin memegang lengannya dan dengan lembut menyuruh pemuda itu duduk kembali. “Ketika engkau menderita luka-luka parah dan rebah tak berdaya, kami tidak berani menceritakan tentang beliau kepadamu. Kemudian, kemarin kami tidak melihatmu di dalam kamar dan setelah kami mencari-cari, kami menemukan Taihiap rebah pingsan di dalam hutan, lalu kami bawa kembali ke sini. Agaknya Taihiap mengigau atau mimpi....“ Tidak, tidak....! Aku tidak mimpi, aku benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Ah, aku harus segera mencarinya sebelum dia pergi jauh!” “Engkau masih lemah, Taihiap.” “Tidak, biarkan aku menghadap sri baginda, mohon perkenannya. Akan kucari sang puteri sampai dapat!” Raja Bhutan merasa girang melihat betapa Tek Hoat kelihatan sembuh dan dia pun tidak berkeberatan mendengar permohonan Tek Hoat. “Memang hanya engkaulah yang kira¬nya akan mampu menemukan kembali anakku itu, Tek Hoat. Engkau carilah dia, bawa bekal secukupnya, kalau perlu bawa pasukan sebanyaknya, dan jangan kembali ke sini kalau belum bersama anakku.” Demikian antara lain Raja Bhu¬tan berpesan kepada pemuda yang telah diakuinya sebagai panglima muda dan juga sebagai calon mantunya itu. Demikianlah, untuk kedua kalinya Tek Hoat meninggalkan Bhutan. Akan tetapi sehali ini kepergiannya jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sekali ini dia pergi dengan doa restu dari Raja Bhutan dan membawa perbekalan secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau mem¬bawa pasukan dan pergi seorang diri saja. Dia melakukan pengejaran dan men¬cari jejak Syanti Dewi yang diketahui penuh keyakinan telah datang menjenguknya, akan tetapi karena ketololannya kembali dia menyakitkan hati puteri itu, sungguhpun tidak seorang pun di Bhutan percaya bahwa sang puteri benar-benar telah pulang untuk waktu singkat sekali itu. Penderitaan batin yang timbul akibat cinta asmara memang amatlah berat penanggungannya, karena orang akan merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada arti¬nya, lenyaplah semua gairah hidup, le¬nyap semua kegembiraan, yang terasa hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena perasaan iba diri yang amat mendalam. Tek Hoat melakukan perjalanan seper¬ti boneka hidup, seorang manusia yang kehilangan semangat dan kegembiraan¬nya. Hanya ada satu saja yang masih membuat dia kuat mempertahankan se¬mua itu, ialah semangat mencari Syanti Dewi sampai dapat! Dia melakukan perjalanan yang susah payah, tak pernah berhenti, hanya makan kalau perutnya sudah tidak kuat menahan lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tak dapat dibuka, dan hanya beristirahat kalau kedua kakinya sudah mogok jalan. Ber¬hari-hari dia menjelajahi seluruh hutan di mana dia mengejar Syanti Dewi, kemudi¬an dia melanjutkan perjalanan ke timur, karena dia merasa yakin bahwa kekasih¬nya itu tentu pergi ke timur. Ke mana lagi kalau tidak ke sana? Dan dia akan terus mencari, sampai ke ujung dunia sekali pun! Tanpa diketahuinya, Tek Hoat menuju ke arah tempat di mana Su-ok dan anak buahnya, yaitu para orang cebol itu, berkumpul dan menimbulkan kekacauan di dusun. Pagi itu dia berjalan seenaknya memasuki daerah itu, tidak tahu bahwa gerak-geriknya sudah diintai oleh banyak mata, karena dianggap sebagai hasil pan¬cingan orang-orang pendek yang memper¬gunakan Yan Hui sebagai umpan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yan Hui yang lihai itu dikeroyok oleh anak buah Su-ok dan akhirnya tertawan, dibelenggu di belakang kuil sebagai um¬pan karena Su-ok merasa yakin bahwa wanita lihai itu pasti datang bersama teman-temannya. Dan pagi hari itu, mun¬cul seorang pemuda yang dari jauh saja sudah dikenal oleh Su-ok! Seperti dike¬tahui, Tek Hoat pernah membantu para pendekar ketika terjadi pertandingan di dalam benteng para pemberontak, dan Su-ok mengenal pemuda ini sebagai Si Jari Maut! Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan terhitung musuh karena bukankah kemudian ter¬nyata bahwa pemuda ini membantu fihak pendekar yang ikut menyerbu benteng? Maka diam-diam Su-ok sudah memper¬siapkan lima orang sutenya yang lihai itu, mengikuti gerak-gerik Tek Hoat. Dan tepat seperti yang dia duga, pemuda itu menuju ke kuil, tentu saja untuk me¬nolong wanita tawanan mereka itu! Pada¬hal, Tek Hoat sendiri tidak pernah men¬duga bahwa di belakang kuil itu ada seorang wanita tertawan, dan kalau dia menuju ke kuil itu adalah karena kakinya telah merasa lelah dan dia hendak ber¬istirahat di dalam kuil itu. Dan karena pikirannya banyak termenung, kewaspada¬annya banyak berkurang dan dia tidak tahu bahwa ada beberapa orang meng¬intai gerak-geriknya. Maka terkejutlah Tek Hoat ketika tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon, semak-semak dan batu-batu berlompatan keluar lima orang cebol yang dengan buasnya serta-merta menerjang dan menyerangnya tanpa banyak cakap lagi! “Eh, eh, eh, mau apa kalian ini?” bentaknya sambil mengelak ke kanan kiri. “Ha-ha-ha, Si Jari Maut, kenapa ke¬lihatan gugup? Hayo kaucoba pecahkan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, ha-ha-ha!” Mendengar suara orang itu dari atas, Tek Hoat menengok dan segera dia me¬ngenal Su-ok Siauw-siang-cu, orang ke empat dari Ngo-ok yang lihai. Terkejut¬lah dia dan tahulah dia bahwa dia telah bertemu orang jahat, musuh yang tak mungkin dapat diajak bicara lagi. Maka dia pun lalu mencurahkan perhatiannya untuk membela diri. Kini, dia melihat betapa lima orang cebol itu mengurung¬nya, melangkah lambat-lambat mengitari¬nya, wajah mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh itu kelihatan menyeramkan, mata mereka terbelalak dan seperti mata binatang haus darah. Agaknya gerakan mereka itu dipimpin oleh kakek cebol yang brewok, karena empat yang lain selalu melirik ke arah si brewok ini. Maka Tek Hoat yang berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran itu juga mem¬perhatikan cebol brewok itu. Dan dugaan¬nya itu memang tepat. Si brewok ini memang merupakan pimpinan dari Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, yaitu barisan lima orang yang amat lihai dan yang kemarin telah merobohkan Ouw Yan Hui itu. Tiba-tiba, seperti merupakan aba-aba, si brewok itu mengeluarkan bentak¬an yang parau seperti suara singa ke¬laparan dan tubuhnya yang pendek itu sudah bergerak. Serangan si brewok cebol itu amat dahsyat, tubuhnya melayang ke atas dan kedua tangannya mencengkeram ke arah mata dan leher Tek Hoat. Na¬mun, dengan tenang Tek Hoat sudah memutar tubuhnya mengelak dan tangan¬nya sudah siap untuk merobohkan lawan ini dengan pukulan dari bawah. Akan tetapi, pada saat itu, dari empat penjuru, empat orang cebol lainnya telah menyerbu dengan gerakan berbareng, dan terpaksa Tek Hoat harus menghadapi mereka semua itu dengan mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak karena masing-masing lawan yang bertubuh kecil pendek itu ternyata melaku¬kan serangan yang cukup ampuh dan berbahaya. Tubuh Tek Hoat masih belum sembuh betul dari kelemahan yang menyerangnya selama berbulan-bulan, dan selama itu, dia tidak pernah berlatih silat sehingga otot-ototnya kaku. Akan tetapi, begitu menghadapi bahaya, secara otomatis semua syaraf dan otot tubuhnya bekerja dan mulailah dia menggerakkan tubuhnya dengan penuh tenaga sinkang dan kini dia mulai membalas dengan tamparan, pu¬kulan maupun tendangan. Dan setiap tamparannya yang ditangkis lawan tentu membuat lawan itu terdorong, bahkan angin pukulannya yang kuat membuat beberapa orang cebol mengeluarkan te¬riakan kaget. Tak mereka sangka bahwa lawan ini ternyata lebih lihai daripada wanita cantik itu! Tek Hoat sama sekali tidak meman¬dang rendah lawan, sungguhpun lima orang cebol yang mengeroyoknya itu seolah-olah hanya merupakan lima orang anak kecil yang nakal. Dengan hadirnya Su-ok di situ, dia dapat menduga bahwa tentu lima orang cebol ini pun berkepandaian tinggi. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan seluruh kepandaian untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Melihat betapa lima orang itu setiap kali menyerang tentu meng¬arah nyawanya, Tek Hoat menjadi marah dan dia pun mengerahkan ilmunya yang ampuh, yaitu Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), ilmu pukulan dengan jari yang membuat dia dikenal gebagai Si Jari Maut. Jari-jari tangan ini bukan hanya menotok jalan darah, akan tetapi sekali mengenai lawan akan langsung mencabut nyawa lawan. Jari-jari itu dapat memutus otot dan tulang, merusak jalan darah, bahkan dapat menusuk kepala! Perkelahian yang terjadi ini amat hebat. Gerakan Tek Hoat, tidak begitu cepat karena dia yang cerdik, maklum bahwa tidak mungkin dia dapat meng¬andalkan kecepatan melawan lima orang yang memiliki gerakan teratur dan kerja sama yang amat baik seolah-olah dikemudikan oleh satu kepala saja itu. Dia bersilat dengan tenang, lambat namun gerakannya kuat sekali dan setiap bagian tubuhnya selalu terjaga dan terlindung. Lima orang itu pun mengeluarkan semua kepandaian mereka. Gerakan mereka teratur dan saling membantu, saling me¬lindungi, dengan serangan-serangan yang bertubi dan bergiliran secara teratur sekali, dan serangan mereka itu berubah-ubah dengan tenaga yang berubah-ubah pula sesuai dengan sifat Ngo-heng. Na¬mun, Tek Hoat yang bersikap tenang itu tidak menjadi gugup. Dia bersilat dengan ilmu silat gabungan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, dan dia selalu menge¬rahkan tenaga Inti Bumi yang amat he¬bat sehingga setiap kali beradu lengan dengan seorang lawan, tentu lawan itu terpelanting. Namun begitu terpelanting, empat orang saudaranya telah melindungi¬nya secara otomatis! Seratus jurus telah lewat dan barisan Ngo-heng-tin itu belum mampu meroboh¬kan Tek Hoat. Kalau tadinya Tek Hoat masih bersilat dengan lambat berhubung¬an dengan kekuatannya yang belum pulih, kini nampak dia mulai bersemangat, ge¬rakan-gerakannya lebih dahsyat. Hal ini adalah karena Tek Hoat mulai “hidup” lagi semangatnya bertanding. Mengingat bahwa Su-ok merupakan seorang di an¬tara mereka yang berusaha menawan Syanti Dewi dan mengganti kekasihnya itu dengan wanita palsu, semangatnya bangkit dan kemarahannya meluap. “Ba¬gus, kalian semua sudah bosan hidup agaknya!” dia membentak dan kini dari kedua tangan dengan jari-jari terbuka itu keluar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan mengerikan! Begitu dia memutar tubuh dan kedua lengannya dikembangkan, lima orang lawan itu terkejut, ada yang meloncat mundur, akan tetapi dua di antara mere¬ka memberanikan hati menangkis. “Dukkk! Dukkkkk!” Dua orang itu terpelanting dan mereka berloncatan bangun dengan muka pucat. Lengan mereka terluka, kulitnya robek berdarah! Memang luka-luka itu tidak berat, akan tetapi setidaknya mem¬buat mereka terkejut dan jerih sekali terhadap pemuda yang amat lihai ini. Melihat itu, Su-ok marah bukan main. “Sute semua jangan takut, biar aku membantu kalian merobohkan bocah som¬bong ini!” Tubuh yang pendek kecil itu menyam¬bar turun langsung saja menerkam Tek Hoat dengan dahsyatnya. Namun Tek Hoat sudah siap siaga, dengan cepat dia meloncat mundur, kemudian mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh Su-ok. Lima orang cebol menjadi besar hati dan timbul kembali keberanian me¬reka ketika mereka melihat suheng me¬reka ikut maju mengeroyok, dan mereka kini menyerang dan menghujani Tek Hoat dengan pukulan-pukulan yang dibantu pula oleh berbagai macam senjata! Tek Hoat mengamuk terus. Akan tetapi kini dia menghadapi lawan yang amat berat. Su-ok Siauw-siang-cu adalah seorang datuk kaum sesat yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sukar dicari bandingannya. Me¬lawan kakek cebol ini sendirian saja masih amat sukar bagi Tek Hoat untuk menang, apalagi kini Su-ok dibantu oleh lima orang sutenya, dan dia sendiri baru saja sembuh dari sakit sehingga betapa¬pun juga, dia belum dapat menguasai kembali seluruh kelincahan dan tenaga¬nya. Betapapun juga, Tek Hoat tidak merasa gentar dan dia terus mengamuk, biarpun kini dia harus lebih banyak ber¬loncatan dan mengerahkan dan untuk menangkis. Dia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi untuk membalas serang¬an. Tiba-tiba Su-ok meloncat ke depan, tubuhnya berjongkok rendah, kedua ta¬ngannya digerak-gerakkan secara aneh dan lima orang sutenya meloncat Ke kanan kiri menjauh! Tiba-tiba Su-ok men¬dorongkan kedua tangannya ke arah Tek Hoat dan terdengar dari perutnya keluar bunyi berkokok beberapa kali. Angin dah¬syat menyambar dibarengi bau yang amis ke arah Tek Hoat. Pemuda ini terkejut bukan main, mengenal ilmu pukulan yang dahsyat dan amat berbahaya, maka dia sudah meloncat jauh ke kanan di mana dia disambut dan dikurung oleh lima orang kakek cebol lairinya. Su-ok mengeluarkan pukulan Katak Buduk ini sebagai selingan dan selalu Tek Hoat meloncat jauh, tidak berani menghadapi pukulan ini dengan langsung, tidak berani menangkis, karena dari sambaran anginnya saja dia tahu bahwa pukulan itu mengandung ha¬wa beracun yang amat berbahaya. Dia sendiri pun sudah memiliki tenaga ampuh, dan pukulan-pukulan beracun setelah dia mempelajari kitab-kitab peninggalan para tokoh Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi karena dia kalah tingkat dan kalah latihan, maka dia tahu bahwa menghadapi pukulan itu secara langsung amatlah ber¬bahaya. Maka, dia lalu mengamuk dan makin mendesak lima orang sute dari Su-ok itu saja, dan begitu Su-ok datang menyerangnya, dia meloncat menjauhkan diri. Sementara itu, setelah melihat bahwa penjaganya, Su-ok yang mengerikan itu, telah pergi dan agaknya ada suara per¬kelahian di sebelah depan kuil, Ouw Yan Hui berusaha untuk melepaskan belenggu kedua tangannya, Namun usahanya itu tidak berhasil. Belenggu dari rantai besi yang kokoh itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak berhasil mematahkan¬nya, bahkan kedua pergelangan tangannya lecet-lecet dan terasa nyeri sekali. Hati¬nya mulai khawatir. Dia tidak tahu siapa yang datang dan bertanding dengan para orang cebol itu. Melihat betapa sampai lama orang itu dapat mempertahankan diri, jelas bahwa yang datang adalah orang yang pandai. Betapa inginnya un¬tuk dapat bebas dan membantu orang itu, siapapun juga orangnya, untuk meng¬hajar orang-orang cebol yang kurang ajar itu. “Hui-ci...., sssttttt....!” Yan Hui terkejut, menoleh dan wajah¬nya berseri melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya akan muncul di tempat itu. Kiranya yang muncul adalah Syanti Dewi! “Syanti! Cepat.... belengguku ini....” bisiknya kembali. Syanti Dewi meloncat ke belakang pilar, menggunakan pedangnya untuk mematahkan belenggu yang mengikat kedua tangan Ouw Yan Hui. Setelah bebas, Ouw Yan Hui menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya, memandang kepada Syanti Dewi dengan muka merah. “Syanti.... ah, ternyata engkau malah yang rnenolongku! Mari kita bantu orang itu!” Tanpa menanti jawaban lagi, tubuh Yan Hui mencelat keluar kuil, diikuti oleh Syanti Dewi. Seperti telah kita ke¬tahui, dalam perjalanannya, Syanti Dewi melihat penduduk dusun diganggu sekum¬pulan orang cebol yang sakti menurut penuturan para perajurit Bhutan yang mengenalnya. Dia menyuruh para pera¬jurit minta bantuan ke Kota Raja, Bhu¬tan, sedangkan dia sendiri lalu melakukan penyelidikan pada pagi hari itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia tiba di kuil itu dari belakang, dia me¬lihat Ouw Yan Hui terbelenggu pada pilar besar, sedangkan di bagian depan kuil itu terjadi perkelahian yang belum dia ketahui siapa orangnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menolong gurunya, kemudian mengikuti Ouw Yan Hui ketika gurunya itu meloncat keluar kuil untuk membantu orang menghadapi para orang cebol yang sakti. Ketika dua orang wanita cantik ini tiba di depan kuil, pertempuran antara Tek Hoat yang dikeroyok enam masih berlangsung seru, biarpun kini Tek Hoat hanya mengelak dan menangkis saja, sama sekali tidak mampu lagi membalas serangan. Pemuda itu sungguh hebat, masih dapat mempertahankan diri dan belum dapat dirobohkan. “Manusia-manusia cebol terkutuk!” tiba-tiba Ouw Yan Hui membentak nya¬ring dan tubuhnya melesat ke depan, terjun ke dalam medan pertempuran. Semua orang cebol kaget, terutama se¬kali si brewok yang langsung menerima serangan Ouw Yan Hui. Datangnya se¬rangan demikian tiba-tiba dan pada saat itu, tubuhnya masih terhuyung oleh tang¬kisan Tek Hoat. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tendangan Ouw Yan tepat mengenai lambungnya. Si brewok berte¬riak dan tubuhnya terlempar, perutnya mendadak menjadi mulas dan dia meng¬aduh-aduh. Su-ok adalah seorang yang cerdik, juga licik. Dia tahu bahwa Tek Hoat Si Jari Maut amat berbahaya, bahkan se¬telah dibantu oleh lima orang sutenya, sampai ratusan jurus dia dan para sute¬nya belum mampu mengalahkan pemuda ini. Dan sekarang muncul wanita yang memiliki ginkang amat luar biasa itu. Munculnya wanita yang terbelenggu itu membuktikan bahwa tentu ada orang sakti lain yang membebaskannya, maka tentu akan muncul orang-orang sakti lain. Keadaan menjadi berbahaya dan tidak menguntungkan bagi fihaknya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan sebagai isyarat dan cepat dia meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para sutenya, si brewok paling belakang karena dia harus berlari sambil memegangi perutnya yang masih mulas! Tek Hoat berdiri dengan kepala te¬rasa pening, berdenyut-denyut. Dia baru saja sembuh, akan tetapi tadi dia telah terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga kepalanya kini menjadi pening, dan dia tidak mengejar mereka yang melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah dibantu orang pandai, maka biarpun, pan¬dang matanya menjadi agak kabur karena kepeningan kepalanya, dia menengok dan memandang orang yang telah membantu¬nya sehingga musuh melarikan diri. Dia melihat seorang wanita cantik jelita dan seorang wanita lain agak jauh di bela¬kangnya. “Dewi....! Ah, Syanti Dewi....!” Dia berseru dan seperti orang mabuk dia ter¬huyung ke depan, menghampiri Syanti Dewi yang sejak tadi berdiri bengong ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang bertanding dikeroyok banyak orang cebol dan dibantu oleh gurunya itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! “Ahhh, engkau....!” Dia terisak lalu sekali meloncat dia telah melarikan diri. “Syanti....! Syanti Dewi....! Jangan tinggalkan aku....!” Tek Hoat meloncat dan mengejar akan tetapi kepalanya te¬rasa makin pening dan dia tersandung, jatuh terguling. “Syanti, tunggu dulu!” Ouw Yan Hui yang menyaksikan semua itu menjadi bingung, akan tetapi dia lalu mengejar Syanti Dewi. Syanti Dewi tidak mau berhenti sehingga Ouw Yan Hui terpaksa terus mengejar sambil mengerahkan te¬naganya karena muridnya itu telah me¬miliki ilmu berlari cepat yang hebat dan tidak jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri. Suara panggilan dari mulut Tek Hoat sudah tidak terdengar lagi ketika akhirnya dia berhasil menyusul Syanti Dewi. “Syanti, tunggulah aku ingin bicara denganmu!” kata Ouw Yan Hui. Syanti Dewi akhirnya berhenti dan mengusap beberapa butir air matanya. Sejenak Ouw Yan Hui berdiri tertegun di depan muridnya itu. Dia adalah se¬orang wanita yang sudah banyak pengala¬man, dan dia pernah mendengar penutur¬an Puteri Bhutan ini tentang riwayatnya. “Syanti, apakah dia itu tadi yang ber¬nama Ang Tek Hoat itu?” Syanti Dewi masih menunduk, dan dia hanya mengangguk. “Aih, Syanti, bagaimana engkau ini? Bukankah engkau dahulu mencari-carinya? Bukankah engkau menderita karena per¬pisahanmu dengan dia? Sekarang, setelah bertemu, mengapa engkau malah men¬jauhkan dirimu darinya?” Diam-diam Ouw Yan Hui harus mengakui bahwa pria yang dicinta oleh muridnya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan memiliki ke¬pandaian tinggi, seorang yang patut men¬jadi jodoh puteri yang cantik jelita ini. Akan tetapi Syanti Dewi hanya me¬nangis. Syanti Dewi teringat akan nasib¬nya yang dianggapnya amat buruk. Ha¬rapannya yang mulai timbul kembali hancur berantakan. Kehidupannya yang penuh damai di Pulau Ular di sisi guru¬nya ini dihancurkan oleh kenyataan keji, oleh kebiasaan gurunya yang menjijikkan dan membuatnya lari ketakutan. Kemudi¬an, pertemuannya dengan Tek Hoat yang menghidupkan kembali harapan dan cinta kasihnya, dihancurkan oleh kenyataan ketika Tek Hoat memakinya. Kini dia tidak tahu lagi ke mana harus pergi, dan apa yang harus diperbuat! Melihat ini, Ouw Yan Hui merasa kasihan kepada Syanti Dewi dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak Syanti Dewi. Akan tetapi, begitu pundak itu tersentuh, puteri itu tersentak kaget dan meloncat ke belakang, mengelak dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak, mata yang amat indah, akan tetapi kini terbuka lebar seperti mata seekor kelinci yang ketakutan. “Tidak....! Tidak.... jangan sentuh aku....!” Melihat sikap muridnya ini, Ouw Yan Hui memandang dengan muka pucat, kemudian dia menjatuhkan diri di atas rumput, menutupi mukanya dan menarik napas panjang berkali-kali. “Ahhh, sekarang aku mengerti mengapa engkau melarikan diri dari pulau.... maafkan aku, Syanti, bukan maksudku untuk mem¬buat engkau terkejut dan ketakutan. Maafkan aku.... wanita yang kesepian dan sengsara ini....“ Dan Ouw Yan Hui, wa¬nita yang angkuh dan bersikap dingin itu kini menangis tersedu-sedu! Syanti Dewi tertegun. Sejenak dia berdiri seperti patung memandang kepada gurunya, kemudian timbul rasa iba di hatinya. Betapapun juga, dia telah ber¬hutang banyak budi kepada gurunya ini, dan harus diakuinya bahwa gurunya ini merupakan sahabat yang amat baik, yang telah banyak melakukan kebaikan kepada¬nya, banyak menghiburnya, banyak pula mendidiknya, bahkan telah menyelamat¬kan nyawanya ketika Ouw Yan Hui mem¬bawanya lari dari dalam benteng yang terbakar. Akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di samping gurunya dan memegang lengan gurunya. “Enci.... akulah yang harus minta maaf, telah pergi tan¬pa pamit.” Ouw Yan Hui menurunkan kedua ta¬ngannya dan memandang melalui air matanya yang memenuhi kelopak mata¬nya, dan dia mencoba untuk tersenyum, senyum pahit sekali. “Tidak, Syanti, eng¬kau tidak bersalah. Tentu engkau jijik dan ngeri menyaksikan apa yang kulaku¬kan itu bersama bibi Maya Dewi....“ Dia menarik napas panjang dan mengusap air matanya. “Tapi.... kenapa engkau lakukan per¬buatan seperti itu, Enci Hui?” “Ahhh, engkau tentu tidak mengerti, Syanti. Aku adalah wanita yang telah mengalami kehancuran hati karena pria, maka, anehkah kalau aku mencari hiburan antara sesama wanita? Memang aku lemah.... ah, akan tetapi.... sungguh mati aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kebiasaan buruk itu. Aku sayang kepadamu, Syanti, seperti kepada adik sendiri. Aku merasa terkejut dan berduka sekali ketika engkau pergi, aku mencari-carimu untuk minta maaf. Dan siapa duga, engkau malah yang tadi telah me¬nyelamatkan aku....” “Tidak ada artinya, Enci. Engkau pun pernah menyelamatkan aku, bahkan telah melimpahkan banyak sekali kebaikan.” “Syanti, kalau eengkau memang men¬cinta pemuda itu, yang kulihat amat baik dan gagah perkasa, mengapa engkau lari meninggalkannya? Kulihat dia masih amat mencintamu, bahkan agaknya menderita karenamu....” “Tidak! Dia keji, dia menyakitkan hati, biar dia menderita sekarang!” Tiba-tiba Syanti Dewi mengepal tinju dan wajahnya membayangkan kemarahan, biarpun kembali air matanya mengalir keluar. Kemudian dia pun menceritakan semua yang telah dialaminya dengan Tek Hoat, betapa dia dituduh yang bukan-bukan oleh Tek Hoat setelah segala pe¬ngorbanan yang dilakukannya demi cinta¬nya kepada pemuda itu. Ouw Yan Hui mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya dia pun mengangguk-angguk. “Ah, pantas engkau merasa sakit hati. Memang sesungguhnya prialah mahluk berhati lemah, bukan wanita! Pria yang suka menyeleweng, yang tidak mempunyai keteguhan hati, tidak mempunyai ke¬setiaan, mudah tergoda oleh kesenangan! Memang sepatutnya kalau engkau mem¬beri pelajaran kepadanya, Syanti. Mari engkau ikut saja bersamaku ke pulau, bersembunyi di sana dan kita hidup ba¬hagia di sana, jauh dari godaan kaum pria yang mata keranjang dan berhati palsu.” “Terima kasih, Enci. Memang aku se¬nang sekali tinggal di sana, hanya....“ “Harap kau jangan ulangi lagi hal itu. Kasihanilah aku, Syanti. Aku merasa malu dan menyesal sekali telah mem¬buatmu ketakutan. Aku berjanji bahwa engkau tidak akan melihat lagi hal se¬perti itu terjadi di pulau....“ “Akan tetapi.... bibi Maya....“ “Jangan khawatir, dia telah pergi dan tidak akan pernah datang lagi ke pulau.” Syanti Dewi merasa girang dan hati¬nya terasa lapang. “Aku girang sekali, Enci, akan tetapi aku hanya.... meng¬ganggu kesenanganmu saja....“ “Tidak, kesenangan terkutuk itu me¬mang harus dihentikan. Andaikata aku menghendaki, aku masih dapat melakukan¬nya di luar pulau, di luar pengetahuan¬mu. Sudahlah, Syanti Dewi, mari kita pergi menikmati hidup berdua di sana.” “Terima kasih, Enci. Aku pun berjanji tidak akan meninggalkan pulau lagi sam¬pai datang.... dia yang minta-minta ampun kepadaku.” “Aku mengerti, dan aku akan mem¬bantumu, adikku yang manis.” Maka pergilah kedua orang wanita itu dengan perjalanan cepat sekali, menuju ke Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) dan karena memang ada rasa sayang di an¬tara keduanya, sebentar saja mereka telah akur dan akrab kembali. Di sepan¬jang perjalanan, semua orang, terutama yang pria, tentu memandang mereka dengan sinar mata penuh kagum karena mereka merupakan dua orang wanita yang luar biasa cantiknya, dengan pakai¬an yang mewah pula dan Ouw Yan Hui amat royal mengeluarkan uang di sepan¬jang perjalanan. Seperti dua orang puteri istana saja yang sedang melakukan ta¬masya tanpa pengawalan! Sejauh mata memandang yang nam¬pak hanya pasir dan pasir. Itulah per¬mulaan gurun pasir di luar Tembok Besar. Jarang ada manusia lewat di tem¬pat yang sunyi dan liar ini, kecuali pada waktu-waktu tertentu, di musim tenang karena hanya kalau tidak banyak angin bertiup dan panas matahari tidak begitu menyengat saja maka tempat ini sering dilalui rombongan pedagang yang mem¬bawa barang-barang dagangan ke utara, dan pulangnya membawa kulit-kulit bina¬tang yang berharga dan hasil-hasil lain untuk dibawa pulang ke selatan. Hanya keledai-keledai saja yang kuat menyebe¬rangkan manusia melalui padang pasir, kecuali tentu saja binatang onta. Di musim yang banyak mengandung angin besar, bahkan kadang-kadang angin pu¬yuh, tidak ada orang berani lewat di daerah ini. Padang pasir itu berubah menjadi lautan pasir, bergelombang, membuat orang tak mampu membuka mata, dan kalau angin besar menyerang, ter¬jadilah “banjir” pasir yang kadang-kadang menimbun apa saja sampai puluhan kaki tingginya! Akan tetapi di dataran Chang-pai-san, pasirnya tidak begitu tebal, bahkan di sana-sini. nampak batu-batu menonjol keluar dan ada pula tanah yang berpadas. Daerah ini pun sunyi sekali, akan tetapi pada pagi hari itu nampak dua orang berjalan menyeberangi padang pasir me¬nuju ke Bukit Chang-pai-san yang nam¬pak menjulang tinggi di depan. Melihat ada dua orang berada di tempat sunyi ini saja sudah merupakan suatu kejanggalan, apalagi kalau melihat mereka, karena mereka itu sama sekali bukan orang-orang yang pantas melakukan perjalanan jauh sampai ke daerah tandus dan sunyi liar ini. Yang seorang adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, sukar di¬taksir berapa usianya, tubuhnya bongkok sekali biarpun agak gemuk, jalannya lam¬bat-lambat malas-malasan dan kepalanya botak sampai licin mengkilap. Sudah tua renta, punggungnya bongkok pula, masih ditambah lengan kirinya buntung! Sungguh merupakan gambaran seorang tua yang patut dikasihani, yang kelihatan cacat dan lemah, maka amatlah mengherankan melihat seorang tua renta cacat ini melakukan perjalanan di tempat seliar itu. Dan temannya? Juga tidak patut me¬nemani seorang tua renta lemah seperti itu karena orang ke dua ini adalah seorang dara yang masih amat muda, cantik jelita dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit leher dan ta¬ngannya yang nampak menjadi semakin halus dan putih. Memang merupakan pasangan yang aneh dan juga janggal karena mereka berdua adalah orang-orang lemah nam¬paknya. Akan tetapi kalau orang menge¬nal siapa adanya mereka, tentu orang tidak akan merasa heran lagi. Kakek tua renta yang lengan kirinya buntung dan punggungnya bongkok itu bukan lain ada¬lah Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok, penghuni atau majikan dari Istana Gurun Pasir! Seorang datuk besar dalam dunia persilatan dan namanya dihubungkan dengan dongeng-dongeng aneh karena kakek ini lebih dikenal da¬lam dongeng daripada dalam kenyataan yang jarang dijumpai manusia. Sedangkan dara remaja itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat terkenal, baik oleh golongan pendekar maupun golongan hitam. Dia adalah Kim Hwee Li, yang pernah dikenal sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka! Nama dara ini bahkan tidak kalah tenarnya diban¬dingkan nama Hek-tiauw Lo-mo sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan gagah berani Hwee Li telah menolong Dewa Bongkok dari ba¬haya maut ketika kakek yang telah men¬derita luka parah itu nyaris dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li. Hwee Li sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek yang ditolongnya dan yang kemudian menurunkan ilmu-ilmunya yang aneh ke¬padanya itu sebenarnya adalah kakek gurunya sendiri. Kakek ini adalah guru dari Kao Kok Cu, suami dari subonya! Memang selamanya, biarpun pernah da¬tang ke Istana Gurun Pasir, Hwee Li belum pernah bertemu dengan kakek sakti ini. Setelah menolong kakek itu, Hwee Li lalu diajak ke dataran Chang-pai-san oleh Dewa Bongkok yang ingin menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan kelima Ngo-ok yang lihai, juga kakek ini ingin bicara dengan Pendekar Super Sakti tentang putera pendekar itu yang telah menyusahkan hati Hwee Li! Di sepanjang perjalanan itu, Hwee Li menerima ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu baru ciptaan kakek itu yang diberi nama Cui-beng Pat-ciang oleh kakek itu. Sebutan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Arwah) ini dipergunakan oleh Dewa Bongkok bukan untuk memberi kesan menyeram¬kan seperti yang biasa dilakukan oleh tokoh-tokoh dunia hitam, melainkan un¬tuk memperingatkan muridnya bahwa delapan jurus pukulan sakti itu sungguh amat ampuh dan sekali dipergunakan, amat berbahaya bagi lawan yang bagai¬mana lihai pun sehingga agar muridnya yang baru ini tidak sembarangan mempergunakannya untuk memukul orang, melainkan lebih condong mempergunakan untuk menjaga diri. Selain, menurunkan Pat-ciang ini, juga Bu Beng Lojin menyempurnakan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasai dara itu dengan menyuruh Hwee Li berlatih silat dan memberi petunjuk-petunjuk dan per¬baikan-perbaikan sehingga dalam ilmu-ilmu ini Hwee Li memperoleh kemajuan amat hebat, menutupi kelemahan-kelemahan dan menambah daya-daya serangan dalam setiap jurus. Dasar anak ini ber¬otak tajam dan Si Dewa Bongkok mem¬beri petunjuk secara langsung, maka dalam waktu beberapa bulan saja dalam perjalanan, Hwee Li telah menguasai semua petunjuk, bahkan telah menguasai pula Cui-beng Pat-ciang dengan baik, tinggal mematangkan saja dalam latihan. Selain itu, yang amat mengharukan hati Hwee Li dan membuat dara ini amat menyayang kakek itu adalah ketika pada suatu malam, kakek tua renta ini memindahkan tenaga sinkang dari tubuhnya ke dalam tubuh Hwee Li! Hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesaktian setingkat dengan kakek bong¬kok ini. Dewa Bongkok mempergunakan ilmu yang disebut Hoan-khi-khai-hiat (Memindahkan Hawa Sakti Membuka Jalan Darah). Tentu saja perbuatan ini amat merugikan dirinya sendiri, mengu¬rangi banyak sekali tenaga saktinya, akan tetapi di lain fihak amat menguntungkan Hwee Li karena dara ini mendapat tam¬bahan tenaga sakti yang berlipat ganda. Pada pagi hari itu tibalah mereka di tempat yang dituju, yaitu di dataran Chang-pai-san. Dari jauh mereka sudah melihat seorang pria yang bertubuh kurus jangkung, rambutnya putih semua seperti perak, berkibar-kibar tertiup angin, kaki kirinya buntung sebatas paha, berdiri dengan satu kaki ditunjang tongkat butut¬nya, tak bergerak seperti patung. Biarpun kakek itu hanya berkaki satu dan menim¬bulkan belas kasihan, namun dalam ke¬adaan berdiri tegak seperti patung itu, terdapat sesuatu yang membuat orang merasa jerih dan kagum. Melihat orang itu dari jauh, Hwee Li merasa bulu teng¬kuknya meremang dan dia bertanya ke¬pada Dewa Bongkok dalam bisikan, “Lo¬cianpwe....” dia tidak menyebut suhu atau kakek kepada Dewa Bongkok setelah dia menerima ilmu-ilmu itu, melainkan menyebutnya locianpwe, “Siapakah orang di sana itu....?” Biarpun mulutnya bertanya, namun batinnya menduga hah¬wa orang itu, pastilah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, ayah dari Kian Lee! Ketika masih kecil, nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es merupakan nama dongeng yang menakutkan baginya, seperti juga bagi semua penghuni Pulau Neraka, bahkan ayahnya sendiri, atau ayah angkat, Hek-tiauw Lo-mo, merasa takut sekali mendengar nama itu. Dan sekarang, orang itu di sana, begitu menyeramkan, tentu saja hatinya menjadi gentar sekali. Go-bi Bu Beng Lojin adalah seorang tua renta yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, maka melihat sikap Hwee Li yang jerih itu dia pun sudah dapat menduganya. Tentu anak ini me¬rasa geiisah bertemu dengan ayah dari kekasihnya, dan tentu anak ini sudah dapat menduga siapa adanya orang itu karena memang amat mudah mengenal Pendekar Super Sakti, melihat kaki buntung dan rambut putih seperti benang-benang perak itu. Dia sendiri memandang kagum ketika dia melangkah mendekati dan diikuti oleh Hwee Li yang agak ketinggalan karena gadis ini merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan kedua kakinya gemetar! Bahkan dia lalu ber¬henti, membiarkan kakek bongkok itu seorang diri menghampiri kakek berkaki tunggal. Dari jauh Hwee Li melihat be¬tapa kakek berambut putih itu memutar tubuhnya yang hanya berkaki satu, meng¬hadapi kakek bongkok dan keduanya lalu saling memberi hormat dengan meng¬angkat kedua tangan depan dada, entah apa yang mereka ucapkan karena Hwee Li berada terlalu jauh untuk dapat men¬dengar kata-kata mereka. Akan tetapi, melihat betapa sikap kedua orang itu amat bersahabat, kelihatan saling be¬ramah-tamah dan saling menghormat, timbul keberanian di dalam hatinya dan dia pun mendekati sampai dapat men¬dengar percakapan mereka, dia berhenti lagi, merasa sungkan untuk makin men¬dekat dan dia mendengar kakek bongkok berkata dengan suara halus. “Pertama-tama, aku telah mendengar bahwa Ngo-ok menantangmu untuk meng¬adakan pertemuan di sini, Taihiap. Aku merasa khawatir karena orang-orang sesat seperti mereka itu dapat melakukan segala macam kecurangan, oleh karena itu aku datang untuk menjadi saksi.” Pendekar Super Sakti menjura dengan hormat, “Banyak terima kasih atas per¬hatian Locianpwe, akan tetapi sungguh tidak enak kalau sampai menyeret Locianpwe ke dalam urusan pribadi ini, padahal Locianpwe berada dalam keadaan terluka begitu parah. Biarkanlah saya mengobati Locianpwe....“ “Terima kasih, Taihiap, tidak perlu lagi, sudah terlambat. Memang aku tidak akan dapat membantumu menghadapi mereka, akan tetapi setidaknya, dengan memandang mukaku, mereka tidak akan berani sembarangan melakukan kecurang¬an. Dan urusan ke dua lebih penting lagi, Taihiap. Aku sengaja menemuimu untuk membicarakan keadaan puteramu yang bernama Suma Kian Lee.” Pendekar Super Sakti Suma Han nam¬pak terkejut mendengar disebutnya nama Kian Lee. “Ah, ada apakah dengan dia, Locianpwe?” Kakek itu menarik napas panjang. “Sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, juga tidak semestinya kalau aku mencampuri, akan tetapi mengingat pemuda itu adalah puteramu, putera seorang pendekar yang sudah lama amat kukagumi, perlu kiranya aku membicara¬kannya denganmu, Taihiap. Suma Kian Lee puteramu itu saling mencinta dengan seorang gadis, akan tetapi akhirnya meninggalkan gadis ini setelah mendengar bahwa gadis itu adalah puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata anak tunggal dari mendiang Kim Bouw Sin yang telah memberontak....“ “Ah, sungguh terlalu dia, mau saja terpikat oleh seorang perempuan rendah! Ada berita yang sampai kepada saya tentang hal itu, Locianpwe, dan saya pun memang hendak mencari dan menegurnya. Bagaimanapun juga, saya tidak akan mem¬biarkan dia merendahkan diri sedemikian rupa berdekatan dengan anak seorang penjahat keji seperti Hek-tiauw Lo-mo, apalagi kalau perempuan itu ternyata anak kandung seorang pemberontak se¬perti Kim Bouw Sin! Tindakannya itu benar kalau dia meninggalkan perempuan itu.” Pendekar Super Sakti bicara penuh perasaan marah dan penasaran, dan hal ini tidak aneh karena memang semenjak dia mendengar dari Ngo-ok tentang pu¬teranya yang tergila-gila kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo, hatinya sudah penuh dengan kemarahan terhadap puteranya. Maka, begitu mendengar kakek itu me¬nyebut tentang puteranya yang berhu¬bungan cinta dengan gadis itu, kemarah¬annya berkobar sehingga dia agak lupa diri dan mengeluarkan kata-kata keras. Si Dewa Bongkok sendiri yang tidak ke¬bagian waktu bicara dan sudah didahului oleh kemarahan Pendekar Super Sakti sampai melongo dan hanya memandang wajah pendekar itu dengan alis berkerut. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Pendekar Super Sakti, Hwee Li mendadak menjadi pucat mukanya, dia merasa se¬olah-olah jantungnya ditusuk pisau ber¬karat. Dia mengeluh dan membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri sambil merintih panjang. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari penglihatan Suma Han dan juga Dewa Bongkok. Keduanya memandang dan se¬lagi Dewa Bongkok hendak memanggil gadis itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek, “Seorang pendekar besar tidak mampu mengurus puteranya sendiri, sungguh amat menggelikan!” Suma Han dan Dewa Bongkok me¬noleh dan melihat munculnya empat orang di antara Ngo-ok. Yang pertama adalah Ji-ok (Si Jahat Nomor Dua) Kui-bin Nio-nio, wanita yang mukanya selalu tertutup oleh topeng tengkorak tulen yang me¬ngerikan itu, tubuhnya kecil ramping seperti tubuh seorang gadis muda, dari balik mata tengkorak yang berlubang itu mengintai sepasang mata yang amat me¬nyeramkan, mata yang terbelalak lebar, jernih seperti mata kanak-kanak akan tetapi tajam bukan main dan selalu ber¬gerak-gerak bola matanya, sedangkan rambutnya sudah putih semua. Di sebelah kanannya berjalan Twa-ok (Si Jahat No¬mor Satu) Su Lo Ti, kakek tinggi besar yang mukanya seperti gorilla itu, pakaiannya sederhana, gerak-geriknya tenang dan halus. Di belakang dua orang ini berjalan Su-ok (Si Jahat Nomor Empat) Siauw-siang-cu yang berkepala gundul seperti hwesio, juga jubahnya seperti jubah hwesio, tubuhnya cebol dan wajah¬nya selalu menyeringai, bersama Ngo-ok (Si Jahat Nomor Lima) Toat-beng Sian-su, si jangkung kurus yang jubahnya seperti tosu, juga gelung rambutnya. Ha¬nya Sam-ok (Si Jahat Nomor Tiga) Ban Hwa Seng-jin atau Koksu Nepal saja yang tidak nampak. Akan tetapi Pendekar Super Sakti tidak memandang rendah, karena dia dapat menduga bahwa belum tentu kalau hanya empat orang ini saja yang datang, dan kemungkinan besar teman-teman mereka masih bersembunyi. Maka dengan tenang dia lalu menyambut mereka dengan sikap angkuh. “Im-kan Ngo-ok datang tepat pada waktunya akan tetapi belum lengkap!” Ucapan Suma Han ini sekaligus me¬muji dan juga menantang, seolah-olah dia merasa kecewa mengapa musuh-musuhnya tidak datang lengkap! Twa-ok tertawa halus mendengar ini dan dia pun menjura lalu berkata, suaranya ramah-tamah se¬perti orang yang manis budi bahasanya, “Ah, Pendekar Super Sakti memang ga¬gah perkasa, memenuhi undangan kami. Akan tetapi agaknya keberanian Majikan Pulau Es yang disohorkan orang itu. ter¬lalu berlebihan, karena sekarang dia mem¬bawa-bawa seorang teman yang tidak kepalang tanggung. Bukankah Locianpwe ini Si Dewa Bongkok, majikan Istana Gurun Pasir?” Kembali Twa-ok menjura ke arah Dewa Bongkok sambil tersenyum mengejek. Memang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini pandai sekali berpura-pura, padahal sejak muncul tadi, hatinya sudah gentar bukan main ketika melihat Dewa Bongkok berada di situ bersama Pendekar Super Sakti. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan kakek sakti itu, akan tetapi dia dapat menduganya me¬lihat keadaan kakek itu dan mendengar Pendekar Super Sakti tadi menyebut Lo¬cianpwe kepadanya. Betapapun juga, se¬bagai seorang ahli yang pandai dia pun dapat melihat bahwa kakek sakti yang amat ditakuti orang ini sedang berada dalam keadaan luka hebat sekali, hal yang membuatnya diam-diam merasa heran akan tetapi juga girang. Hilang kekhawatirannya karena dia maklum bahwa kakek sakti ini tidak mungkin ikut maju membantu Pendekar Super Sakti. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar