Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 41.

Jodoh Rajawali Jilid 41:
Jodoh Rajawali Jilid - 41 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 41 “Tutup mulutmu yang kotor, Tek Hoat! Engkau laki-laki tolol, keji dan jahat! Aku.... aku.... muak perutku melihat mukamu! Uhhhhh....!” Syanti Dewi menutupi mukanya menahan tangis, lalu sekali berkelebat dia sudah meloncat keluar kamar itu. Sejenak Tek Hoat berdiri seperti pa¬tung. Mukanya sudah berubah pucat lagi, seperti mayat hidup. Baru dia sadar be¬tapa dia sudah menghina puteri itu, me¬maki puteri itu, puteri yang selama ini tak pernah dilupakannya, yang agaknya merupakan bayangan satu-satunya yang masih mampu menahan sehingga nyawa¬nya masih enggan meninggalkan tubuh¬nya. Betapa dia mencinta wanita itu! Dan betapa dia telah menghinanya de¬ngan kata-kata keji dan maki-makian! Semua itu kini nampak nyata. “Syanti Dewi....!” Dia berteriak lan¬tang dan cepat meloncat, terhuyung dan keluar dari kamar itu melalui jendela, melakukan pengejaran secepat mungkin, tidak lagi mempedulikan kepeningan yang mengganggu kepalanya dan yang mem¬buat pandang matanya kabur. “Dewi....! Syanti Dewi...., jangan tinggalkan aku....!” Berulang-ulang Tek Hoat berteriak sekuatnya ketika akhirnya dia dapat melihat bayangan wanita itu. Setengah malam suntuk dia telah melaku¬kan pengejaran, sampai bayangan wanita itu jauh meninggalkan Kota Raja Bhutan, naik turun bukit dan fajar telah menying¬sing ketika akhirnya dia dapat melihat Syanti Dewi masih berjalan cepat di sebelah depan. “Syanti Dewi...., jangan tinggalkan aku....!” Dia berteriak sambil mengeluh dan terus berlari secepatnya. Syanti Dewi yang tahu betapa Tek Hoat mengejarnya sejak semalam dan sengaja dia tidak mau berhenti, sambil menangis terus berjalan cepat, kini tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, berdiri di tengah jalan hutan yang kecil itu, berdiri tegak, bahkan bertolak ping¬gang menanti datangnya pemuda itu. “Ah, Dewi...., kau tunggu....!” Tek Hoat berkata lemah dan terhuyung-huyung sampai juga di depan dara itu. “Siapa yang lari meninggalkan siapa? Tek Hoat, lupakah engkau betapa dulu engkau telah lari dari Bhutan tanpa pa¬mit, meninggalkan aku begitu saja? Tidak tahukah engkau, atau pura-pura tidak tahu, betapa sampai mati-matian aku bersusah payah mencari-carimu, menem¬puh banyak bahaya dan penderitaan, se¬mua kulakukan untuk dapat mencari dan menyusulmu? Beribu macam kesengsaraan kuderita demi untukmu seorang! Dan sekarang, setelah kita saling bertemu, apa yang kudapatkan? Hanya fitnah dari mulutmu yang keji, makian-makian dan kata-kata kotor! Aku muak! Aku tak sudi!” Syanti Dewi lalu menangis dan menutupi mukanya, terisak-isak dengan hati terasa perih sekali. Tek Hoat berdiri bingung, tubuhnya bergoyang-goyang, kepalanya masih pe¬ning, akan tetapi pikirannya mulai ber¬jalan, mulai sadar. Inilah Syanti Dewi yang aseli, dan kalau Syanti Dewi ini masih hidup, jelas bahwa yang mati itu bukanlah Syanti Dewi! Dan kalau yang mati bukan Syanti Dewi, berarti yang berjina dengan Mohinta tentu juga bukan Syanti Dewi. Dan yang mencoba mem¬bunuh Raja Bhutan tentu bukan yang berdiri di depannya ini pula! “Syanti.... Dewiku.... aku.... aku bingung...., aku melihat engkau berjina dengan Mohinta, aku melihat engkau menyerang dan hendak membunuh Raja Bhutan ayahandamu sendiri, kemudian aku melihat engkau.... engkau mati....!” “Itulah karena matamu telah buta! Buta oleh cemburu! Tidak sadar bahwa engkau sendiri yang mengkhianati ikatan cinta kita, engkau pergi meninggalkan aku begitu saja! Engkau tidak tahu bah¬wa wanita itu adalah wanita lain yang dipergunakan oleh Mohinta untuk me¬malsu aku! Dan engkau telah memaki aku dengan kata-kata kotor, menghinaku seperti belum pernah ada manusia berani menghinaku selama hidupku ini....“ Kem¬bali Syanti Dewi menangis. Mulai teranglah kini bagi Tek Hoat terhadap semua kenangan dan gambaran yang amat membingungkan hatinya itu dan makin jelaslah baginya betapa dia telah melakukan hal yang amat keji dan menyakitkan hati kekasihnya itu. “Dewi .... ah, Dewi.... aku telah bersalah besar, aku berdosa padamu, kaumaafkanlah aku, Dewi, kauampunkan aku....“ “Apa? Maaf? Ampun? Setelah apa yang kuderita selama setahun lebih, se¬telah apa yang kaukatakan dengan kata-kata keji terhadap diriku? Tidak! Aku tidak sudi merendah lagi, aku sudah cu¬kup merangkak-rangkak dengan mencari-carimu selama ini! Aku tidak mau menyembah-nyembah lagi, aku tidak mau mendambakan cintamu dengan mengemis! Tidak, kini sudah tiba masanya, tiba saatnya bahwa engkau yang harus benar¬benar menunjukkan cintamu kepadaku. Engkau yang harus menyembah-nyembah, harus menderita kalau mau mendapatkan cintaku! Nah, dengar kau, Tek Hoat. Aku muak melihatmu, aku.... ah, aku....“ Dia menutupi mukanya dan menangis makin keras sampai sesenggukan. Wajah Tek Hoat menjadi pucat sekali, tubuhnya gemetar, kedua kakinya meng¬gigil. Dia tahu akan kesalahannya. Kata-katanya memang terlampau keji, padahal, kalau dia mengingatkan betapa wanita ini telah menderita hebat demi untuk men¬carinya setelah dia meninggalkannya begitu saja! Ah, betapa besar dosanya. ”Syanti Dewi.... Puteri.... ampunkan hamba....!” Dia menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Syanti Dewi, menyembah-nyembahnya dengan muka pucat dan air mata ber¬cucuran. Syanti Dewi terbelalak memandang kepada pemuda yang berlutut dan me¬nyembah itu, mukanya membayangkan kekagetan hebat, menjadi pucat kemudian merah dan dia menjadi semakin marah. Dengan gemas dia membanting-banting kakinya. “Uhhhhh! Laki-laki macam apakah engkau? Laki-laki lemah, laki-laki cang¬gung, laki-laki cengeng! Uh, mual perut¬ku melihatmu!” Dia terisak dan membalik, terus lari secepat kijang melompat. “Syanti Dewi....!” Tek Hoat meng¬angkat muka, terbelalak memandang gadis itu yang lari. Dia pun cepat me¬loncat dan lari mengejar, akan tetapi terhuyung dan terguling roboh karena matanya gelap. Dia merangkak, bangkit lagi dan berlari lagi terhuyung mengejar Syanti Dewi yang sudah lari jauh di depan. “Dewiiiii....! Tungguuuuu....., jangan tinggalkan aku....!” Akan tetapi wanita itu tidak mau peduli, berlari makin cepat dan karena kini dia telah memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, sebentar saja Tek Hoat tertinggal jauh dan akhirnya dia lenyap dari pandang mata pemuda itu yang masih terus lari mengejar dengan terhuyung-huyung dan akhirnya Tek Hoat merasa matanya gelap sehingga dia me¬nabrak sebatang pohon dan terpelanting, pingsan! Sunyi sekali di tempat itu setelah Syanti Dewi pergi dan Tek Hoat roboh pingsan. Sinar matahari pagi me¬nimpa wajah pucat dari pemuda yang menggeletak terlentang tak sadarkan diri itu. Burung-burung berkicau saling ber¬sahutan sambil berloncatan di atas dahan-dahan pohon. Mereka itu bernyanyi me¬nyambut datangnya matahari ataukah mereka sedang membicarakan persoalan manusia yang hidupnya selalu penuh de¬ngan duka dan sengsara itu? Matahari telah naik semakin tinggi dan burung-burung telah meninggalkan pohon-pohon di hutan itu untuk bertebar¬an ke empat penjuru mengikuti jalan sendiri-sendiri untuk mulai mencari ma¬kan ketika serombongan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panglima Jayin memasuki hutan itu dan menemukan Tek Hoat yang masih menggeletak pingsan. Panglima Jayin terharu dan girang da¬pat menemukan pemuda ini, lalu digotong¬lah pemuda itu dengan hati-hati, kembali ke istana di Kota Raja Bhutan. Panglima ini telah dengan cepat memimpin pasu¬kan untuk mengikuti jejak Tek Hoat dan mencarinya setelah ada dayang yang menjenguk kamar sang pendekar dan melihat dua orang pelayan masih roboh tak bergerak karena tertotok dan pen¬dekar itu lenyap dari atas pembaringan. Tidak ada seorang pun yang pernah me¬lihat Syanti Dewi, maka mereka semua, termasuk Panglima Jayin, menyangka bahwa Tek Hoat, dalam keadaan bingung dan belum sadar benar, telah menotok dua orang pelayan itu dan melarikan diri dari dalam kanmarnya. Ketika siuman dari pingsannya setelah dirawat oleh para tabib, Tek Hoat geli¬sah dan mulutnya memanggil-manggil Syanti Dewi. Melihat keadaan pemuda ini, sri baginda lalu mendesak kepada Panglima Jayin untuk menggiatkan kem¬bali pencarian terhadap puterinya sampai dapat. Guncangan batin yang hebat diderita oleh Tek Hoat sehingga untuk kedua kalinya dia rebah dan sakit, kadang-kadang berteriak-teriak memanggil Syanti Dewi seperti orang gila, kadang-kadang merenung dan menangis, seorang diri se¬perti anak kecil. Dalam penderitaan ini, teringatlah dia akan semua perbuatannya sebelum dia berjumpa dengan Syanti Dewi dan dia merasa menyesal sekali. Agaknya dosa-dosa yang pernah dilakukan¬nya di masa lalu itulah yang kini berbuah dengan kesengsaraan batin yang amat hebat sebagai hukuman baginya. *** Dia menjatuhkan dirinya yang sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa hati¬nya. Syanti Dewi menangis sampai meng¬guguk dan memijit-mijit betis kakinya yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmunya berlari cepat, berlari terus sam¬pai dia tidak kuat lagi dan akhirnya terpaksa menjatuhkan diri di situ. “Tek Hoat....!” Nama ini keluar dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya terasa perih dan nyeri. Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat me¬nyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar seperti dia itu adalah dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan. Namun, pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya karena sambutan Tek Hoat itu sungguh menyakitkan hati. Dia telah bertahun-tahun menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri dalam usahanya mencari kekasihnya. Dia telah berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati siapa tidak akan menjadi panas karenanya? Makin diingat¬nya peristiwa tadi ketika Tek Hoat me¬makinya, makin marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu melakukannya bukan tanpa sebab. Marah, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya dirugikan, lahir maupun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, akan tetapi sering kali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada bedanya dengan si aku karena di dalam semua itu bersembunyi si aku yang me¬nyamakan dirinya. Si aku ini selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah dia. Dari pengalaman, atau pelajaran ke¬budayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan. Oleh karena ini maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau setidaknya menekannya dan mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk bersabar. Apakah “belajar sabar” ini dapat mem¬bebaskan kita daripada kemarahan? Kira¬nya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja. Belajar sabar berarti penekanan terhadap kemarahan dan biar¬pun kadang kala nampaknya berhasil, namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja. Api kemarahan itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi pengetahu¬an bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum padam, ha¬nya nampaknya saja padam karena ter¬tutup oleh kesabaran, seperti api dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di sebelah dalam masih mem¬bara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali! Belajar sabar menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya sehar-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang padam, melainkan api semangat kita sen¬diri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau sinis! Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi di luar, lahir, kita sabar. Setelah melihat kenyataan ini semua, tindakan apa yang harus kita ambil da¬lam menanggulangi kemarahan dalam batin? Bagaimana kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul apa¬bila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin? Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri daripada ke¬marahan. Kemarahan tidak dapat dile¬nyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu marah. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan dan hal ini hanya dapat terjadi apabila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin meng¬ubah, tanpa ingin menekan atau me¬lenyapkan! Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka merah dan mata mendelik, kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan meng¬amati saja penuh perhatian, penuh ke¬waspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyap¬kan. Kalau kita memandang dan meng¬amati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan mus¬nah tanpa kita hilangkan atau tekan. Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari! Dan kalau kemarahan sudah lenyap sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan ditutup sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi kemarahan, apa perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang dinamakan kesabaran itu. Kemarahan dalam hati Syanti Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa hidupnya sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia. “Ah, betapa buruk nasibnya....“ dia mengeluh di antara tangisnya. “Betapa jauh dari kebahagiaan....“ Gadis ini menghapus air matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, ter¬menung dengan hati sayu dan sepi. Mu¬lailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan hidup! Apakah yang dapat mendatangkan ke¬bahagiaan? Harta bendakah? Dia adalah seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang diinginkan¬nya dalam bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap tidak berbahagia. Jelas bukan dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam kedudukan dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja, kedudukannya tinggi dan terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada harta benda, mendatangkan kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup? Juga tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan hampa. Ataukah dalam cinta? Dia saling men¬cinta dengan Tek Hoat, akan tetapi se¬lama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari cintanya ini daripada sukanya. Memang kasihan sekali dara jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang biasa¬nya bening, jeli dan tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang nampak oleh sepasang mata itu buruk dan mem¬bosankan belaka, seolah-olah matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia ter¬benam dalam lautan duka yang makin mendahsyat oleh gelombang iba diri. Memang kasihanlah Puteri Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber kesenangan menjadi sua¬tu hal yang harus menjadi pemuas ke¬inginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta, sudah pasti pada suatu waktu akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan ter¬nyata tidaklah seperti yang diharapkan semula. Setiap bentuk kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa ta¬kut kehilangan, kekecewaan dan keduka¬an, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut ke¬hilangan, kekecewaan dan kedukaan, ma¬ka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa hal itu berarti bahwa cinta kasih juga me¬rupakan sumber kekecewaan dan kedukaan! Kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan. Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan? Benar¬kah anggapan sementara orang bahwa cinta kasih adalah pemuasan berahi bela¬ka? Tepatkah kalau cinta kasih men¬datangkan cemburu, kemarahan, kebenci¬an, dan kedukaan? Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau mendatangkan duka! Dan pementing¬an mendatangkan duka, pengejaran ke¬senangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih! Yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Yang masih dicengke¬ram suka-duka tak mungkin mengenal bahagia Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka! Merasa betapa dirinya amat celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri. Semenjak menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari tokoh wanita majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya. Tidak, pikirnya sam¬bil mengepal tinju. Aku tidak akan mem¬biarkan diri merendah lebih lama lagi! Dia tidak akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya kepada pemuda itu. Sudah tiba saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja! Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima giliran, bersusah payah mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut kepadanya, mem¬buktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya! Syanti Dewi terbangun dengan kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan mem¬belalakkan mata, memandang ke kanan kiri namun sunyi saja. Kiranya dia mim¬pi! Tanpa disadari, ketika melamun de¬ngan hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia tertidur saking lelahnya. Dan kini matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai remang-remang. Perutnya terasa lapar bukan main. Syanti Dewi meneliti keadaan di seke¬liling tempat itu. Hutan yang sunyi, bah¬kan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu biasanya burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula bahwa di tempat itu tidak terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perut¬nya amat lapar. Di hutan itu tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun terdekat. Agaknya dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam itu! “Hemmm, pada hari dan malam per¬tama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!” Dia menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas. Kalau tidak ada Tek Hoat yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya, melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap dengan gembira, menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang di¬sukainya. Dia berjalan menyusup lebih dalam ke hutan itu, dengan harapan akan melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa mendapatkan makanan, baik, secara meminta, mem¬beli, atau mencuri sekalipun! Akan tetapi ternyata hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di padang rumput yang luas! Sialan, pikirnya memandang ke depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja ditiup dan per¬mukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan kare¬na bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di saat itu, akan tetapi keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena dia sedang merasa jengkel dan duka, apalagi rasa lapar di perutnya amat menyiksa. Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebaha¬giaan itu SUDAH ADA di manapun dan kapanpun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apabila batin kita penuh dengan masalah-masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, ke¬putusasaan, kemarahan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka. Je¬laslah bahwa keindahan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pam¬rih, bebas dari segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, ma¬ka akan nampaklah segala keindahan yang terbentang di hadapan kita, di ma¬napun dan bilamanapun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta kasih! Hal-hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri. Makin besar penderitaannya, makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat. Makin be¬sar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk membiarkan Tek Hoat menderita sebelum dia mau “mengalah”. Dia sudah membuktikan cintanya terhadap Tek Hoat, maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara untuknya! Aihhh, betapa sudah gilanya orang yang ter¬cengkeram oleh cinta! Cinta yang se¬sungguhnya bukan lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain! Tiba-tiba Syanti Dewi mendengar suara gaduh dan dari depan nampak se¬rombongan orang berlari-lari ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul. Ah, ada orang! Hati puteri itu menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan! Akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan ketakut¬an dan dari pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang dusun. Anehnya, di antara mereka terdapat pula orang-orang yang agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat dan gerak-gerik me¬reka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun! Ketika orang-orang itu melihat Syan¬ti Dewi di tepi hutan, mereka meman¬dang dengan terheran-heran karena sung¬guh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara sedemikian cantiknya, lebih mirip bidadari daripada manusia, sendiri¬an saja di tepi hutan pada waktu senja seperti itu! Orang-orang yang memang sedang panik dan ketakutan ini, makin menjadi takut, mengira bahwa Syaoti Dewi sudah pasti bukan manusia, kareka kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian saja di senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak tahu lagi harus lari ke mana. Akan tetapi, beberapa orang yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan kaget, ke¬mudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan diri di depan kaki dara bangsawan itu. “Sang Puteri.... tak disangka hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini...., mari hamba antarkan pulang dengan se¬gera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!” Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan karena dae¬rah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan. “Siapakah kalian dan mengapa kalian berlari-lari seperti ini?” tanyanya tenang. “Hamba berlima adalah pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Ja¬yin untuk mencari jejak Paduka. Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika hamba se¬kalian tiba di dusun di luar padang rum¬put ini, hamba melihat serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun. Sebagai perajurit-perajurit Bhu¬tan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan menentang gerombolan itu, akan tetapi Sungguh celaka, Sang Pu¬teri....“ Melihat orang yang bercerita itu kelihatan berduka dan empat orang peraju¬rit lainnya kelihatannya takut-takut dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak, “Mengapa? Apa yang terjadi selanjutnya?” Sementara, itu, orang-orang dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga memiliki kepandaian tinggi, maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini se¬cara aneh di tepi hutan, apalagi melihat lima orang yang lihai itu demikian meng¬hormatinya, mereka pun menjadi girang dan timbul harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa. “Sungguh celaka, Sang Puteri, gerom¬bolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian dipukul mun¬dur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima tentu akan tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan. Hamba hendak melapor ke kota raja.” “Hemmm, siapakah mereka itu? Dan apa yang mereka lakukan di dusun?” Syanti Dewi bertanya dengan marah. “Hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula-mula yang muncul hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun itu. Akan tetapi, munculnya kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama sekali dikuasainya. Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata dusun itu mereka jadikan semacam tempat per¬temuan besar antara orang-orang cebol. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan setiap hari untuk mereka, dan selain mereka menuntut makanan yang mahal-mahal, juga mereka mulai mengganggu wanita....!” “Keparat!” Syanti Dewi mengepal tinju dengan marah. “Penduduk dusun tidak ada yang be¬rani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di dusun itu dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka, hamba lalu menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan orang-orang cebol itu meng¬amuk, membunuhi orang-orang dusun karena menuduh penduduk dusun sengaja melapor kepada perajurit-perajurit kera¬jaan.” “Hemmm, kalau begitu kalian boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sen¬diri akan menghadapi mereka.” “Akan tetapi, mereka itu lihai bukan main....“ perajurit itu berkata dengan khawatir. “Aku tidak takut. Besok pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun, dan kalian seka¬rang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.” Lima orang perajurit itu memberi hormat dan segera melanjutkan perjalan¬an mereka ke kota raja, sedangkan Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil mendengarkan penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada mereka me¬masakkan makanan sekedarnya dari per¬bekalan mereka. Biarpun masakan yang dihidangkan dari perbekalan mereka itu adalah masakan sederhana sekali dari para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum pernah dia ma¬kan selezat itu selama ini! Sambil men¬dengarkan penuturan orang-orang dusun sebangsanya itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh kagum dan hormat dari puluhan pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu. Siapakah sebenarnya gerombolan orang cebol yang telah mengacau dalam dusun itu? Kakek cebol pertama yang memasuki dusun itu bukan lain adalah Su-ok Siauw¬siang-cu, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akherat)! Seperti telah kita ketahui, Twa-ok, Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti dan mereka berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan tantangan kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir yang berada di dataran Bukit Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh Pendekar Super Sakti! Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat mengadakan persiapan untuk keluar sebagai pemenang dalam pertemuan itu, karena mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah me¬ngalahkan mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat me¬nebus kekalahan dengan persiapan sebaik mungkin. Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol yang tingginya hanya satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi ke barat untuk min¬ta bantuan dari saudara-saudaranya, yaitu sekumpulan orang cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan Himalaya, di sebelah timur batas Keraja¬an Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat ini dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga semua bertubuh cebol katai seperti dia! Seperti juga Su-ok Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang menjadi saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk go¬longan orang baik-baik. Maka ketika mereka berkumpul di dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan hanya memaksa penduduk untuk memasak¬kan daging dan mencari arak untuk me¬reka berpesta-pora, akan tetapi bahkan mereka tidak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk menemani mereka dan melayani mereka! Daerah Pegunungan Himalaya memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak bagian dari daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan amat luas, juga terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar sekali didaki. Menurut dongeng, banyak daerah rahasia yang tersembunyi dan tidak per¬nah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat rahasia ini tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat manusia-manusia salju yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada pula manusia-manusia mo¬nyet, yaitu monyet-monyet besar yang bertubuh manusia atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di Himalaya ini pula tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang aneh-aneh lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan masing-masing pula. Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh pula yang bertempat tinggal di sebuah lereng Pegunungan Himalaya dan yang menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudara-saudara pula dan hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan) dari Su-ok, maka dapat dibayangkan be¬tapa lihainya mereka itu setelah kini berkumpul menjadi satu di dusun itu! Pertemuan ini selain dimaksudkan oleh Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupa¬kan pertemuan gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya, orang-orang cebol itu yang hidup dalam keadaan miskin sederhana di lereng mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun yang lemah un¬tuk melayani mereka. Karena khawatir kalau-kalau tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka Su-ok ber¬tugas untuk minta bantuan saudara-sau¬daranya, juga sekalian mengundang Sam-ok atau Koksu Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di mana dia berkumpul dengan saudara-saudaranya ini. Sungguh patut dikasihani para pen¬duduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biarpun jumlah mereka hanya ada belasan orang, dan rata-rata ber¬tubuh kecil pendek pula, namun setiap orang penduduk dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja roboh muntah darah! Maka, ketika mereka itu menculik beberapa orang wanita muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga mereka, hanya mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal me¬reka hanya dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam rumah-rumah terbesar di dusun itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para orang cebol. Su-ok sendiri bersama lima orang sutenya berpesta-pora dalam kuil, dilayani oleh lima orang gadis tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh lima orang sutenya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi suka mengganggu wanita, dan hanya membiar¬kan lima orang sutenya dan para saudara lain untuk memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu menjerit dan menangis, takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai yang buas itu. Akan tetapi, melihat betapa semua laki-laki di dalam dusun itu tidak ada yang berani menentang, akhirnya wanita-wanita yang dipilih oleh gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis. Juga lima orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sutenya makan minum di dalam kuil, tidak lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram durja, dengan pakaian dan rambut kusut, muka pucat dan air mata sudah mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka diraba, mereka itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau tersenyum. Keadaan lima orang sute dari Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu sendiri. Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang su¬dah berusia sedikitnya empat puluh ta¬hun, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berwajah menyeramkan, sungguhpun tidak ada pula yang dapat disebut tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek kecil, mereka itu nampak seperti anak-anak yang sudah tua! Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu daripada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka demikian buas, terutama sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak-kanak lagi, maka para wanita itu merasa jijik dan juga takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil, namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke kamar masing-masing, mereka buas melebihi binatang liar! Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang gadis itu kelihat¬an jinak, akan tetapi sebetulnya mereka itu bukan jinak, melainkan sudah patah semangat mereka untuk melawan, pen¬deritaan mereka sudah melampaui batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang ber¬wajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka me¬nurut saja apa yang diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti mayat-mayat hidup. “Eh, Suheng, apakah engkau sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari wanita?” “Ha-ha-ha, Suheng agaknya hendak menjadi dewa, maka tidak mau men¬jamah wanita!” Mendengar kelakar para sutenya itu, Su-ok tertawa bergelak. “Siapa mau men¬jadi pertapa atau dewa? Ha-ha-ha, aku masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku bosan dengan perempuan, kecuali kalau.... eh, kalau ada seorang perawan yang benar-benar cantik molek. Katakanlah.... eh, puteri istana. Nah, kalau ada perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala macam perawan du¬sun? Huh, menghambur-hamburkan sum¬ber tenaga saja! Padahal kita akan meng¬hadapi lawan tangguh.” Lima orang sutenya menyeringai dan tangan kiri mereka segera meraih ping¬gang ramping dari tawanan masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di atas pang¬kuan lima orang cebol itu. Sambil meng¬gunakan tangan kiri menggerayangi tubuh-tubuh wanita itu yang hanya memejam¬kan mata dan menggeliat sedikit, lima orang cebol itu melanjutkan makan mi¬num. “Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini men¬jadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih beratnya? Biarpun lawan itu mempunyai nama men¬julang setinggi langit seperti.... apa yang kaukatakan tadi, Pendekar Super Sakti? Biarpun namanya setinggi langit, meng¬hadapi ilmu kami berlima yang baru kami ciptakan, tanggung dia akan ter¬jungkal!” “Benar, Suheng, tidak perlu khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri, bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan barisan berlima dan kami namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang lawan mempunyai kepandaian seperti dewa se¬kalipun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!” Mendengar ucapan para sutenya itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bah¬wa masing-masing sutenya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah daripada tingkat¬nya sendiri, dan mungkin setingkat de¬ngan kepandaian Ngo-ok, maka kalau mereka berlima ini berhasil menciptakan barisan seperti itu, agaknya tentu amat lihai. Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sutenya ini berhasil menga¬lahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para sutenya, ke¬dudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik! “Tapi engkau hanya mau kalau men¬dapatkan perawan istana, wah, wah, jang¬kauanmu terlalu tinggi, Suheng! Puteri istana? Ha-ha-ha, untuk itu engkau harus lebih dulu menghadapi bala tentara kera¬jaan yang laksaan orang jumlahnya. Mana mungkin?” Su-ok hanya tersenyum lebar karena pada saat itu dia memang tidak ber¬selera untuk main-main dengan wanita. Mereka melanjutkan makan minum dan lima orang sute dari Su-ok itu mulai mabuk, mereka tertawa-tawa dan mereka makin buas mempermainkan wanita ta¬wanan masing-masing secara terbuka se¬hingga lima orang wanita itu makin ter¬siksa, akan tetapi rintihan dan keluhan mereka hanya lirih saja karena mereka sudah tahu betapa tangis dan jerit tidak akan menolong keadaan mereka. Malam makin larut dan tiba-tiba pin¬tu ruangan kuil itu terbuka dari luar dan muncullah seorang cebol yang masuk de¬ngan muka pucat. “Twako....., celaka.... ada seorang musuh menyerbu!” katanya sambil memandang kepada Su-ok. Su-ok bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Hemmm, hanya ada seorang musuh saja, mengapa engkau begitu ribut?” “Tapi.... dia..... dia itu lihai bukan main.... beberapa orang dari kami telah roboh....“ “Keparat! Siapa dia?” Su-ok marah sekali mendengar di antara saudaranya ada yang roboh. “Entahlah.... dia seorang wanita cantik.... dan dia merobohkan A-chui yang berada dalam kamar seorang wanita.... dan dua orang saudara kami lagi roboh ketika mengeroyoknya. Dia kini sedang dikepung, akan tetapi dia lihai sekali maka aku pergi mencari Twako....“ “Biarkan kami pergi, Suheng!” kata lima orang cebol itu yang sudah berdiri dan melepaskan wanita tawanan masing-masing. Su-ok mengangguk dan dengan cepat lima orang cebol itu meloncat keluar, diikuti oleh Su-ok. Kagetlah hati Su-ok dan lima orang sutenya ketika mereka tiba di tengah dusun, di pekarangan rumah kepala dusun yang diterangi oleh beberapa buah lampu gantung besar sehingga keadaan di situ cukup terang. Mereka melihat belasan orang saudara mereka mengeroyok se¬orang wanita cantik dan gerakan wanita itu sungguh membuat mereka terkejut setengah mati karena gerakan itu amat cepatnya seolah-olah tubuh wanita itu seperti seekor burung terbang saja! Dan sudah ada tiga orang saudara mereka yang roboh dan merintih kesakitan, tak mampu bangun lagi. “Tahan....!” bentak seorang di antara lima orang sute dari Su-ok dengan suara nyaring. Dia ini adalah pimpinan dari lima orang itu, tubuhnya juga kate seperti saudara-saudaranya, namun muka¬nya penuh brewok, rambutnya juga tebal panjang, tidak seperti yang lain-lain ka¬rena sebagian besar dari orang-orang cebol itu seperti Su-ok, miskin rambut dan banyak yang botak! Melihat munculnya Su-ok dan lima orang sutenya, para orang cebol yang sudah kewalahan itu menjadi girang dan mereka mundur, membiarkan enam orang tokoh jagoan mereka turun tangan. Akan tetapi Su-ok yang ingin sekali menyaksi¬kan kehebatan lima orang sutenya dan yang kini mendapatkan kesempatan untuk menguji mereka sudah meloncat ke sam¬ping dan memberi isyarat kepada mereka semua untuk mundur sehingga kini lima orang sutenya yang mengurung wanita cantik itu. Dia memperhatikan dan me¬rasa heran karena wanita ini belum per¬nah dilihatnya, akan tetapi wanita ini benar-benar amat cantik jelita dan ang¬gun. Sebagai seorang yang bermata tajam dan banyak pengalaman, dia tahu bahwa wanita ini bukan seorang muda lagi sung¬guhpun amat cantik dan kelihatan muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun nampaknya, dan jelaslah bahwa wanita ini bukan seorang perawan. Akan tetapi dia merasa kagum karena tadi dia telah melihat gerakan ginkang yang amat luar biasa, dan dapat menduga bahwa wanita ini tentu seorang ahli ginkang yang lihai sekali. Selain cantik jelita, juga wanita itu memakai pakaian yang indah gemerlapan, dari sutera mahal, rambutnya digelung tinggi ke atas dan dihias dengan taburan permata. Seperti seorang puteri bangsawan saja! Dugaan Su-ok tidaklah benar, sung¬guhpun wanita itu memang patut men¬jadi seorang puteri atau ratu istana! Dia itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, majikan dari Pulau Ular Emas! Tidaklah mengherankan kalau gerakannya amat cepat luar biasa, karena dia berjuluk Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) dan dia telah mewarisi ilmu ginkang yang amat hebat dari Kim Sim Nikouw. Seperti telah kita ketahui, wanita ini hidup sebagai ratu di Kim-coa-to dan telah diceritakan pula bahwa selama beberapa bulan lamanya Puteri Bhutan Syanti Dewi tinggal di pulau itu dan menjadi murid wanita cantik ini dan Syanti Dewi akhirnya melarikan diri ka¬rena tidak tahan melihat kebiasaan aneh yang dianggapnya mengerikan dan men¬jijikkan dari gurunya dan juga Maya De¬wi, nenek cantik yang memiliki ilmu mempercantik diri dan membikin wanita awet muda itu. Apalagi ketika dia pun mulai terancam oleh mereka itu untuk diajak melakukan perbuatan yang diang¬gap mengerikan itu, yaitu permainan cinta antara wanita dengan wanita, maka Syanti Dewi lalu melarikan diri. Ketika mengetahui bahwa puteri itu melarikan diri, Ouw Yan Hui terkejut bukan main, karena dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada muridnya itu. Dia merasa menyesal telah membikin takut muridnya, dan dia merasa bahwa kalau dia harus berpisah dari Syanti Dewi, dia tentu akan merasa berduka selalu, maka wanita ini lalu melakukan pengejaran dan mencari-cari. Karena dia menduga bahwa muridnya itu tentu kembali ke Bhutan, maka dia pun tidak ragu-ragu melakukan perjalanan jauh sampai ke tapal batas negara Bhutan dan pada sore hari itu tibalah dia di dusun, di mana gerombolan orang cebol sedang membikin kekacauan. Ketika mendengar jerit tangis wanita dari sebuah rumah, Ouw Yan Hui cepat menyerbu rumah itu dan melihat seorang laki-laki cebol sedang memperkosa se¬orang wanita, kemarahannya memuncak. Seperti kita ketahui, Ouw Yan Hui ada¬lah seorang wanita yang membenci pria karena dia pernah dibikin patah hati oleh pria. Karena inilah maka dia lebih men¬dekati wanita dan melakukan praktek-praktek perjinaan antara sesama wanita. Maka, begitu melihat seorang wanita muda menjerit-jerit dan meronta-ronta dalam terkaman seorang laki-laki cebol yang buas itu, dia segera menerjang maju dan sekali tangkap dan renggut, dia dapat melepaskan laki-laki cebol itu dari wanita yang diperkosanya, kemudian melemparkan laki-laki cebol itu keluar. Sebelum laki-laki itu sempat bangkit, Ouw Yan Hui yang bergerak ringan se¬perti burung terbang telah berada di sampingnya dan dengan penuh kebencian wanita ini lalu mengejar laki-laki cebol yang telanjang bulat itu dengan tendang¬an-tendangan kakinya. Laki-laki itu berusaha mengelak dan menangkis karena dia bukanlah orang lemah, namun setiap kali hendak bangkit, dia roboh lagi oleh tendangan-tendangan yang amat tepat dan amat keras datangnya. Akhirnya, laki-laki itu roboh pingsan setelah mun¬tah darah dan seluruh tubuhnya luka¬luka oleh tendangan-tendangan yang di¬lakukan dengan penuh kemarahan itu. Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan besar. Dua orang cebol yang mendengar suara gaduh itu memburu keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati mereka melihat seorang wanita cantik sedang menyiksa seorang kawan mereka dengan tendangan-tendangan keras yang membuat kawan mereka itu terguling-guling tanpa mampu melawan sama sekali, bahkan kawan mereka itu terkulai seperti mati. “Dari mana datangnya siluman be¬tina?” bentak seorang di antara mereka. “A-khui, bunuh saja dia!” bentak orang ke dua. Dua orang cebol itu sudah menyerang Ouw Yan Hui dari kanan kiri dan wanita ini maklum bahwa orang-orang cebol di situ ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Si cebol yang disiksanya tadi pun amat kuat sehingga tendangan-tendangan¬nya akhirnya hanya membuat dia pingsan setelah muntah darah, tanda bahwa orang itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Kini, serangan dua orang cebol ini amat hebat pula, biarpun mereka itu bertubuh kecil pendek, namun gerakan mereka gesit dan pukulan-pukulan mereka me¬ngandung kekuatan besar. Dia cepat mengelak dan begitu dia mengerahkan ginkangnya, dua orang cebol itu berseru kaget karena mereka kehilangan bayang¬an lawan. Selagi mereka bingung, tiba¬tiba seorang dari mereka memekik keras dan terpelanting karena tengkuknya telah kena dihantam dengan tangan miring oleh Ouw Yan Hui sehingga dia terbanting dan pingsan seketika. Orang ke dua me¬nubruk, akan tetapi dengan lincahnya Ouw Yan Hui sudah mengelak dan lenyap lagi saking cepatnya gerakan tubuh wa¬nita ini. Untuk kedua kalinya, wanita ini merobohkan lawan dengan pukulan dari belakang pada saat lawan bingung mencarinya. Akan tetapi, kini datanglah belasan orang cebol mengeroyoknya! Ouw Yan Hui terkejut. Tak disangkanya di tempat itu demikian banyak terdapat orang-orang cebol yang lihai. Dia tidak takut, akan tetapi juga tidak berani memandang ri¬ngan, maka dengan mengandalkan ginkang¬nya dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil membalas setiap kali terbuka kesempatan. Dia dikeroyok ba¬nyak orang yang lihai, namun karena menang cepat, dia bahkan berhasil meng¬obrak-abrik mereka dan mendesak para pengeroyok yang menjadi kebingungan karena sebentar-sebentar wanita di te¬ngah-tengah mereka itu lenyap! Dan pada saat itulah muncul Su-ok dan lima orang sutenya. Kini lima orang sute dari Su-ok itu telah mengepung Ouw Yan Hui. Melihat sikap mereka, Ouw Yan Hui dapat menduga bahwa tentu mereka ini merupakan pimpinan-pimpinan dari orang-orang cebol itu, maka dia bersikap waspada, melihat betapa lima orang itu mengambil kedudukan di lima penjuru angin. Si brewok yang mengepalai Khai-lo-sin Ngo-heng-tin itu menghadapi Ouw Yan Hui, memandang dengan penuh selidik diam-diam kagum akan kecantikan wanita yang telah matang ini, yang se¬lain memiliki wajah yang cantik dan kulit muka yang halus, juga memiliki bentuk tubuh yang padat mengairahkan di balik pakaian indah itu. Dia lalu berkata dengan suara angker, “Siapakah nama Toanio dan mengapa Toanio merobohkan tiga orang saudara kami?” Pertanyaan ini biasa dilakukan apabila dua orang atau dua fihak kang-ouw sa¬ling jumpa dan sebelum memulai pertan¬dingan. Akan tetapi Ouw Yan Hui ter¬senyum mengejek karena dia masih ma¬rah dan jijik melihat si cebol memper¬kosa wanita tadi, maka tentu saja dia tidak sudi berkenalan dengan orang-orang ini. “Siapakah namaku tidak perlu kalian ketahui dan aku pun tidak butuh menge¬nal nama kalian. Aku merobohkan orang bukan tanpa sebab. Si cebol jahanam itu memperkosa wanita, masih baik aku be¬lum keburu bikin mampus binatang itu! Dan dua orang cebol lain roboh karena mereka menyerangku. Kalian sekarang mau apa?” Bukan main marahnya lima orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu. Mere¬ka memang tidak ternama, tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun suheng mereka adalah seorang di antara Im-kan Ngo-ok yang menurut suheng mereka merupa¬kan datuk-datuk kaum sesat paling ter¬kenal di dunia, dan wanita ini sama se¬kali tidak memandang mata kepada me¬reka! “Perempuan sombong! Hayo lekas kau berlutut minta ampun, kemudian me¬layani kami berlima sampai kami puas, baru engkau masih ada harapan untuk hidup terus!” bentak si brewok yang mem¬punyai watak paling mata keranjang di antara mereka berlima. Ouw Yan Hui memang pembenci pria, akan tetapi yang paling dibencinya ada¬lah laki-laki mata keranjang yang suka menghina wanita. Kini mendengar ucapan itu, kedua pipinya yang putih halus itu sudah menjadi merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berkilat dan kedua tangannya dikepal. Tiba-tiba dia menge¬luarkan suara melengking nyaring dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berkelebat dan dia sudah menyerang si brewok dengan pukulan maut! Cepat bukan main gerakan Ouw Yan Hui ini, sampai si brewok menjadi ter¬kejut dan tidak melihat gerakan wanita itu, tahu-tahu tangan wanita itu sudah menusuk ke arah ulu hatinya. Serangan maut! Si brewok berteriak kaget dan cepat melempar tubuhnya ke belakang karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari cengke¬raman maut itu. Dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan dan empat orang saudaranya sudah menyerbu dan menyerang Ouw Yan Hui sehingga wanita ini tidak mampu untuk terus mendesak si brewok yang sudah berloncatan bangun kembali dengan muka pucat dan keringat dingin bercucuran. Nyaris nyawanya melayang dalam gebrakan pertama itu! Kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan Ouw Yan Hui memang cepat bukan main, akan tetapi kini dia menghadapi lima orang yang bergerak secara teratur dan terlatih baik sehingga seolah-olah dia menghadapi seorang la¬wan saja yang memiliki lima pasang tangan dan kaki, yang tentu saja dapat mengimbangi kecepatannya, bahkan meng¬atasinya! Betapapun dia mengerahkan ginkangnya, namun karena gerakan lima orang lawan itu seperti otomatis, terarah dan senada, payah juga wanita itu meng¬hadapi penyerangan yang tiada hentinya, susul-menyusul dan sifatnya berubah-ubah itu. Memang itulah kehebatan Ngo-heng-tin dari lima orang ini. Selain dapat bekerja sama dengan amat baiknya, sa¬ling membantu dan saling melindungi seperti dikemudikan oleh satu otak saja, juga mereka menggunakan tenaga yang berubah-ubah sesuai dengan sifat lima unsur (ngo-heng) dan karena mereka itu rata-rata telah memiliki sinkang yang amat kuat, maka mereka merupakan ke¬satuan lima tenaga yang amat hebat! Kalau melawan satu demi satu, jelas bahwa mereka berlima ini bukan tanding¬an Ouw Yan Hui yang lihai. Andaikata mau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Ouw Yan Hui itu kurang lebih setingkat dengan kepandaian tiga di antara penge¬royoknya disatukan! Jadi, kalau dia dikeroyok tiga, barulah seimbang. Dan andaikata lima orang itu tidak memiliki Khai-lo-sin Ngo-heng-tin yang membuat mereka bergerak seolah-olah dikendalikan oleh satu otak, kiranya juga tidak mung¬kin dapat mengalahkan Ouw Yan Hui. Akan tetapi, lima orang itu bergerak sedemikian rupa sehingga seolah-olah lima orang menjadi satu, dan ini terlalu kuat bagi Ouw Yan Hui. Dalam mengadu te¬naga, lima orang itu selalu menyatukan tenaga sehingga kembali Ouw Yan ke¬walahan. Betapapun juga, berkat ginkangnya yang memang luar biasa sekali, berkali-kali wanita itu dapat menghindarkan diri dari ancaman bahaya dan baru setelah lewat dua ratus jurus, akhirnya kakinya kena ditendang oleh si brewok, tepat mengenai sambungan lutut dan wanita itu jatuh berlutut dengan satu kaki dan se¬belum dia mampu meloncat, lima orang itu telah menubruknya dan menotoknya, kemudian menelikungnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi! Lima orang itu tertawa dan si brewok berkata gemas, “Hemmm, mari kita ker¬jakan dia beramai-ramai, kita berpesta dan biar dia yang liar ini menjadi jinak. Ha-ha-ha, ingin aku melihat sikapnya kalau dia sudah kita paksa melayani kita berlima!” Empat orang saudaranya pun tertawa-tawa dan mereka hendak me¬nyeret tubuh Ouw Yan Hui yang sudah tak mampu bergerak itu ke dalam kuil. “Tahan, Sute!” Tiba-tiba Su-ok berseru dan dia meloncat dekat. Lima orang sutenya memandang ke¬padanya dan si brewok tertawa bergerak. “Ha-ha-ha, engkau tertarik kepadanya, Suheng? Bagus, dia ini agaknya memang puteri istana yang kaurindukan!” Akan tetapi Su-ok menggeleng kepala. “Tidak, biarpun dia cukup cantik jelita dan pantas menjadi puteri istana, namun dia sudah terlalu tua dan dia bukan pe¬rawan seperti yang kuidamkan. Tidak, aku minta kepada kalian agar jangan mengganggunya lebih dulu. Kita perguna¬kan dia sebagai umpan.” “Sebagai umpan? Apa maksudmu, Su¬heng?” Lima orang itu bertanya. “Orang seperti dia yang demikian cantik dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu tidak datang sendiri. Biar kita tahan dia di kuil dan biarkan teman¬temannya datang agar tidak kepalang kita membasmi mereka.” Lima orang cebol itu tidak memban¬tah, apalagi karena mereka juga telah mempunyai wanita tawanan mereka yang lebih muda, biarpun tentu saja tidak ada yang mampu menandingi kecantikan Ouw Yan Hui yang luar biasa itu. Maka me¬reka menyerahkan wanita itu kepada Su-ok yang mengempitnya dan membawanya ke kuil, sedangkan para orang cebol lain¬nya segera merawat teman-teman mere¬ka yang terluka oleh wanita cantik yang lihai itu. Lima orang sute dari Su-ok kembali ke kamar masing-masing, sedang¬kan Su-ok sendiri lalu membawa Ouw Yan Hui ke dalam kuil, kemudian dia mengikat kedua tangan wanita itu kepada sebuah pilar besar di bagian belakang kuil, mempergunakan rantai yang amat besar dan kokoh kuat. Jangankan dalam keadaan lemas tertotok seperti itu, an¬daikata dalam keadaan sehat sekalipun, tidak mungkin bagi Ouw Yan Hui untuk dapat melepaskan dirinya dari belenggu. Kedua lengannya ditarik ke belakang, melingkari pilar besar dan kedua per¬gelangan tangannya dibelenggu rantai besi yang kokoh kuat. Dan tak jauh dari situ bersembunyi Su-ok pula yang mengintai dan menunggu kalau-kalau ada da¬tang kawan-kawan dari wanita cantik ini seperti yang disangkanya. Andaikata Ouw Yan Hui melakukan usaha untuk mem¬bebaskan diri sekalipun, sebelum berhasil tentu telah diketahui oleh Su-ok. Ouw Yan Hui maklum bahwa dia berada dalam bahaya yang mengerikan. Namun, sebagai seorang wanita gagah, dia memandang bahaya dan kematian sebagai hal yang biasa saja dalam ke¬hidupan, maka sedikit pun dia tidak me¬rasa cemas atau takut. Dia menanti da¬tangnya maut dengan mata terbuka, dan melihat bahwa dia dibelenggu di situ, dia masih melihat harapan untuk dapat lolos. Sebelum maut merenggut nyawanya, dia tidak akan putus asa, sungguhpun pada saat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya melepaskan diri dan apa yang dapat dilakukannya hanya berdiri tegak dan diam, mencoba untuk mengumpulkan hawa murni lewat hidung¬nya untuk berusaha membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas itu. Kakek itu melangkah satu-satu di daerah tandus itu, tubuhnya yang bongkok nampak semakin bongkok karena mukanya menunduk, seolah-olah dia me¬neliti setiap batu yang dilalui kakinya, atau seolah-olah dia menghitung setiap langkahnya. Keadaan kakek itu sungguh menyedihkan, dan janggallah melihat dia melakukan perjalanan di tempat yang liar dan sukar ini. Melihat wajahnya, mudah diduga bahwa kakek ini sudah tua renta, dan keadaan tubuhnya yang tua itu cacat, punggungnya bongkok dan lengan kirinya buntung sebatas pundak! Pantasnya se¬orang tua renta yang cacat seperti itu tinggal di rumah saja, dilayani cucu-cucu¬nya. Akan tetapi, kakek ini berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, melang¬kah satu-satu dengan tubuh bongkok dan tangan tunggalnya, hanya yang kanan saja itu memegang sebatang tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk membantu menopang tubuhnya yang bong¬kok. Seorang kakek yang cacat dan le¬mah. Kakek lemah? Orang akan kaget dan kecelik kalau tahu siapa adanya kakek ini. Sama sekali bukan kakek lemah sungguhpun nampaknya demikian, karena ka¬kek ini bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin (Kakek Tanpa Nama Dari Go-bi), yaitu Si Dewa Bongkok! Dewa Bongkok sama sekali bukanlah seorang kakek le¬mah, sebaliknya malah. Dia adalah peng¬huni dari Istana Gurun Pasir, dan kesaktiannya sedemikian luar biasa sehingga dia dijuluki dewa! Namanya amat ter¬kenal, dan di daerah utara yang liar itu tidak ada seorang pun raja suku bangsa liar yang berani mengganggunya. Sedang¬kan di selatan, namanya terkenal sebagai seorang tokoh dongeng karena memang tidak sembarang orang dapat mengunjungi istana di gurun pasir itu. Namanya se¬jajar dengan nama majikan Pulau Es yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dongeng. Akan tetapi, nama Go-bi Bu Beng Lojin masih jauh lebih dulu dikenal dalam dongeng daripada nama majikan Pulau Es, karena memang Dewa Bongkok ini jauh lebih tua. Tentu orang akan merasa heran meng¬apa kakek sakti yang dikenal sebagai tokoh dongeng dan tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai itu kini me¬lakukan perjalanan seorang diri? Apalagi orang lain, bahkan kakek itu sendiri pun merasa heran! Hal ini terbukti dari ge¬rutunya di sepanjang perjalanan di pagi hari itu. “Hemmm, mana mungkin manusia hidup sendiri? Mana mungkin melepaskan diri dari segala sesuatu di dunia ini? Membebaskan diri dari pikirannya sendiri saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apalagi membebaskan diri dari segala sesuatu yang nampak. Uhhhhh, betapa lemahnya manusia.... hemmm, sudah setua ini, setelah puluhan tahun tidak lagi menaruh khawatir sedikit pun juga atas diri sendiri lahir batin, sekarang mengkhawatirkan orang lain. Huhhh.... memang manusia tidak mungkin bisa hidup sendirian saja. Manusia adalah bagian dari dunia dan kehidupan ini, tidak mungkin melarikan diri....“ Tidaklah aneh kalau kakek itu meng¬gerutu. Selama puluhan tahun lamanya dia hidup di Istana Gurun Pasir, menjauhi kehidupan ramai dan tidak pernah memikirkan tentang persoalan hidup lahiriah. Akan tetapi, semua itu berubah setelah dia mempunyai cucu! Yaitu, setelah mu¬ridnya, murid tunggal yang bernama Kao Kok Cu, yang berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir, bersama isterinya, mempunyai seorang anak. Anak dari muridnya itulah yang membuat kakek ini merasa terikat! Timbul rasa kasih sayang yang tidak se¬wajarnya dan dia merasa lemah. Apalagi ketika cucunya itu yang diberi nama Kao Cin Liong, diculik orang. Dia ikut me¬rasa khawatir. Sudah berbulan-bulan mu¬ridnya pergi meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencari Cin Liong yang lenyap diculik orang dan sampai sekarang tiada kabar beritanya. Akhirnya tidak dapat kakek ini menahan diri lagi dan pergilah dia meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi menyusul dan ikut mencari cucunya yang hilang! Hanya kebetulan saja pada saat itu kalau ada orang melihat Dewa Bongkok berjalan seperti seorang kakek tua renta yang tapadaksa, berjalan melangkah satu-satu dengan lambat sekali. Akan tetapi ada kalanya dia berlari seperti terbang cepatnya sehingga tidak lagi dapat di¬ikuti oleh pandang mata! Memang bukan merupakan hal yang wajar kalau manusia ingin mengasingkan diri dan hidup sendirian saja di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam gua, menjauhi manusia lain dan tidak mempe¬dulikan hal-hal yang terjadi di dunia! Ini hanya merupakan suatu pelarian saja, suatu pemaksaan diri yang berbahaya dan juga tidak ada gunanya sama sekali. Kita tidak mungkin mengatasi dan menang¬gulangi sesuatu dengan jalan melarikan diri dari sesuatu itu. Memang kehidupan ini kejam, kadang-kadang membosankan, dan lebih banyak deritanya daripada suka¬nya. Namun, kita tidak mungkin dapat mengakhiri semua itu dengan jalan me¬larikan diri ke tempat sunyi! Pelarian diri itu bukan lain hanyalah suatu bentuk pengejaran kesenangan juga!. Mungkin kalimat terakhir itu menge¬jutkan dan akan ditentang, maka sebaik¬nya mari kita membuka mata dan me¬nyelidiki hal itu dengan seksama, jauh dari pendapat pribadi atau golongan, melainkan memandang keadaannya se¬bagaimana adanya. Kalau kita mengata¬kan bahwa kita pergi “bertapa” ke gu¬nung atau ke gua karena kita sudah ti¬dak menginginkan apa-apa di dunia ini, bahwa kita sudah terbebas dari nafsu keinginan, benarkah perkataan kita itu? Kalau memang kita sudah tidak meng¬hendaki apa-apa, lalu mengapa kita ber¬tapa di tempat sunyi? Bukankah pergi bertapa ke tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala keramaian dan manusia lain, itu sudah merupakan suatu tindakan yang menunjukkan bahwa kita MENGHENDAKI SESUATU? Bahkan kita bosan dengan du¬nia ramai dan kita INGIN TENTERAM? Bukankah ini merupakan suatu keinginan pula, keinginan untuk ketenteraman diri pribadi, untuk kedamaian diri pribadi, yang bukan lain hanyalah merupakan wajah lain daripada keinginan untuk KE¬SENANGAN diri pribadi? Bukankah ka¬rena kita membayangkan bahwa tempat sepi, jauh dari manusia lain, itu akan menjauhkan kita dari kepusingan, jadi berarti mendekatkan kita kepada keten¬teraman dan kedamaian yang kita ANG¬GAP MENYENANGKAN maka kita me¬lakukan pertapaan itu? Karena pada ha¬kekatnya hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, biarpun diberi nama yang lebih agung seperti kesempurnaan, kedamaian, ketenteraman dan sebagainya, maka pada akhirnya, para pengejar ke¬damaian melalui tempat-tempat sunyi itu akan KECEWA! Di sanapun, di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam gua, di tepi pantai, mereka akan ditelan ke¬hampaan! Mengapa demikian? Karena jelas bahwa SEGALA PENGEJARAN KE¬INGINAN itu akan menuntun kita kepada KEHAMPAAN dan kekecewaan, kepada perbandingan dan selalu akan membuka mata kita bahwa apa yang kita bayang-bayangkan selagi mencari itu ternyata tidaklah seindah seperti yang dibayang¬kan! Akan timbul kebosanan, akan tim¬bul keinginan untuk mencari dengan cara lain, yang dianggap lebih unggul, lebih agung, lebih mendalam dan seterusnya. Mempelajari tentang hidup tidaklah mungkin tanpa kita terjun ke dalamnya! Dan hidup adalah hubungan antar manu¬sia, hubungan antara manusia dengan benda-benda, antara manusia dengan pikiran-pikirannya. Segala persoalan yang kita namakan mengandung suka atau duka, bukanlah keluar dari si peristiwa itu sendiri, melainkan timbul dari pikir¬an. Pikiranlah yang membanding-banding¬kan, pikiranlah yang menilai, lalu pikiran yang mengambil kesimpulan, memutuskan bahwa peristiwa ini merugikan lahir atau batin, karenanya mendatangkan duka, dan peristiwa itu menguntungkan lahir atau batin, karena mendatangkan suka. Karena semua kesengsaraan timbul dari pikiran kita sendiri, maka benarkah itu kalau kita mencoba membebaskan diri dari keadaan lahiriah dengan jalan mengasing¬kan diri? Bukankah batin kita yang men¬jadi sumber segalanya? Selama hati dan pikiran (yaitu batin) kita masih sibuk dengan seribu satu macam persoalan, biar kita sembunyi di puncak gunung tertinggi sekalipun, kita masih akan mem¬punyai persoalan-persoalan, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Sebaliknya, kalau kita sudah bebas dari pikiran yang menjadi sumber suka-duka, biarpun kita berada di tengah-tengah keramaian dunia, kita akan mengalami keadaan hidup yang lain sama sekali. Dewa Bongkok adalah seorang pertapa semenjak dia masih muda. Dia sudah terbiasa dengan tempat sunyi. Akan te¬tapi, begitu dia mempunyai seorang cucu, demi sang cucu inilah maka dia kini meninggalkan tempat pertapaannya dan berkelana di dunia ramai untuk mencari cucunya. Dan kegelisahan mulai meng¬gerogoti hatinya yang sudah tua. Manusia memang amat lemah, selalu mengikatkan diri dengan apa yang disenanginya. Kita mengingatkan diri dengan isteri, anak, keluarga, harta benda, kedudukan, kepan¬daian dan sebagainya. Karena mengikat¬kan diri, karena kita merasa MEMILIKI secara batiniah, maka yang kita senangi dan miliki itu melekat dalam batin, ber¬akar. Dan karena berakar inilah maka setiap kali yang melekat itu diambil, baik melalui kematian, kehilangan atau pertentangan, batin kita menjadi sakit, dicabutnya sesuatu yang sudah berakar dalam batin kita itu mendatangkan luka berdarah! Dapatkah kita hidup tanpa ikatan apa-apa? Dapatkah kita mempunyai, baik keluarga, harta benda dan sebagainya, dalam arti kata mempunyai secara lahiri¬ah saja, tanpa memilikinya secara batini¬ah? Bukan berarti bahwa kita lalu men¬jadi tak acuh, bukan berarti kita harus tidak peduli. Sebaliknya malah. Cinta kasih bukan lagi cinta kasih kalau di¬dasari nafsu ingin memiliki, ingin me¬nguasai. Cinta kasih adalah kebebasan! Dewa Bongkok melangkah satu-satu sambil termenung. Akan tetapi, ilmu kepandaian yang amat tinggi sudah men¬darah daging pada diri kakek ini, bahkan dia telah memiliki kepekaan yang luar biasa, semacam indera ke enam yang dimiliki oleh setiap orang ahli apa pun di bidang masing-masing sehingga dia seper¬ti melihat atau mendengar segala ke¬tidakwajaran yang terjadi di sekeliling¬nya. Memang setiap orang yang sudah ahli memiliki indera ke enam ini. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, indera ke enam ini berupa kewaspadaan ter¬hadap segala macam bahaya yang meng¬ancam, dari manapun datangnya, sehingga indera ke enam ini dapat menjaganya di waktu dia tidur sekalipun! Bagi seorang pelukis, mungkin dengan indera ke enam itu dia melihat bentuk-bentuk, garis-garis, sifat-sifat dan perpaduan-perpaduan yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, yang lalu dituangkannya di atas kanvas. Bagi seorang pengarang, mungkin dengan indera ke enam itu dia dapat menangkap segala sesuatu tentang lika-liku kehidup¬an manusia dan alam yang kemudian di¬tuangkannya dalam karangannya. Tiba-tiba Dewa Bongkok nampak se¬perti orang terkejut, mukanya yang tadi¬nya menunduk itu digerakkan menoleh ke kiri dan sekelebatan nampaklah olehnya bayangan orang amat cepatnya. Dan pada saat itu juga, Dewa Bongkok menggerak¬kan kedua kakinya dan tubuhnya melesat seperti menghilang saja! Siapakah bayangan orang yang berkelebat cepat itu? Dia ini juga seorang kakek, dan sungguhpun tidak setua Dewa Bongkok, namun usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Gerakannya gesit se¬perti terbang. Kakek ini berwajah me¬nyeramkan, kurus seperti tengkorak, mu¬kanya putih seperti kapur, tubuhnya ting¬gi kurus. Biarpun kini dia tidak lagi me¬makai pakaian hitam karena dia sedang menjadi buronan pemerintah seperti yang lain, namun orang-orang kang-ouw tentu akan mengenal siapa adanya kakek ini yang bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi! Dialah ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, sarangnya yang ke¬mudian dijadikan benteng para pemberon¬tak yang dipimpin oleh Pangeran Liong Bian Cu itu. Setelah benteng itu dihan¬curkan oleh fihak pemerintah, dan semua tokohnya melarikan diri, Hek-hwa Lo-kwi juga ikut melarikan diri dan dia berganti pakaiannya yang biasanya ber¬warna hitam karena tidak ingin dikenal oleh orang-orang pemerintah yang dia tahu disebar untuk mencarinya. Hek-hwa Lo-kwi berada di tempat itu, karena dia sudah berjanji dengan Hek-tiauw Lo-mo untuk saling bertemu di tempat itu untuk kemudian bersama-sama pergi ke gurun pasir. Mereka telah me¬nerima undangan Twa-ok untuk mem¬bantu Im-kan Ngo-ok menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Super Sak¬ti. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di tempat itu, dia akan bertemu dengan Dewa Bongkok! Seperti pernah diceritakan di bagian depan, Hek-hwa Lo-kwi ini dahulunya adalah seorang pelayan yang terkasih dari Dewa Bongkok, dan ketika itu dia bernama Thio Sek. Karena terbujuk oleh Hek-tiauw Lo-mo, juga karena dia ingin sekali memperoleh kitab rahasia dari majikannya yang akan menambah tingkat kepadaiannya, Thio Sek ini lalu melarikan diri bersama Hek-hwa Lo-mo, setelah mereka berdua berhasil mencuri sebuah kitab yang akhirnya mereka perebutkan dan seorang memperoleh separuh. Inilah sebabnya maka begitu dia me¬lihat Dewa Bongkok, dia menjadi terkejut setengah mati. Biarpun kakek bongkok itu berada di tempat jauh, namun me¬lihat bekas majikannya itu, Hek-hwa Lo-kwi cepat melarikan diri. Kalau ada manusia di dunia ini yang ditakutinya, dan padahal dia tidak takut kepada setan sekalipun, maka manusia itu adalah Dewa Bongkok. Hatinya agak lega ketika dia melari¬kan diri jauh sekali dan tiba di tepi sebuah hutan. Dia menghentikan larinya, menarik napas panjang dan menghapus keringat dingin yang membasahi muka dan lehernya. “Mau apa iblis tua itu di sini....?” tanyanya kepada diri sendiri. Untung dia belum ketahuan dan dia dapat cepat melarikan diri! Kalau sampai berjumpa, hemmm.... dia bergidik ketakutan. Hutan di depan adalah tempat di mana dia sudah berjanji untuk bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Maka dia me¬ngibaskan lengan bajunya dan mulai me¬langkah maju ke depan. Tiba-tiba dia berhenti dan mukanya yang putih seperti kapur itu menjadi makin pucat sampai kehijauan, matanya terbelalak memandang ke depan dan kedua kakinya meng¬gigil. Dewa Bongkok sudah berdiri di depannya, agak jauh di depannya, seolah-olah menantinya dengan muka menunduk! Bagaimana mungkin ini? Bukankah tadi dia telah lari secepatnya dan jelas me¬ninggalkan kakek itu sebelum kakek itu sempat melihatnya? Akan tetapi dia tidak mau membuang waktu dengan berheran-heran, cepat dia sudah meloncat ke belakang, jauh dan lari dari kakek yang mendatangkan rasa takut hebat dalam hatinya itu. Akan tetapi, begitu dia turun, dia melihat Dewa Bongkok sudah menanti di depan¬nya! Dia cepat menoleh dan ternyata kakek yang tadi berdiri di tepi hutan sudah tidak ada, entah kapan kakek itu bergerak! Hek-hwa Lo-kwi makin ke¬takutan dan kembali dia membalikkan tubuh dan lari ke dalam hutan. Akan tetapi, kembali dia melihat Dewa Bong¬kok bersandar pada tongkatnya di dalam hutan, hanya kurang lebih dua puluh meter di depannya, tanpa memandangnya dan hanya menundukkan muka! Mau rasanya Hek-hwa Lo-kwi men¬jerit dan menangis ketakutan. Tubuhnya sudah penuh dengan peluh. Dia akan lebih suka berjumpa dengan raja setan sendiri daripada dengan bekas majikannya ini! Dengan menahan napas dia lalu me¬loncat ke atas pohon, dan berloncatan dari pohon ke pohon. Akan tetapi, se¬telah melewati lima batang pohon, ter¬paksa dia berhenti lagi karena di pohon sebelah depan telah menanti Dewa Bong¬kok yang duduk di atas cabang pohon di depannya itu. Hek-hwa Lo-kwi menjadi makin panik, dan pada saat itu dia melihat bayangan rekannya, Hek-tiauw Lo-mo, bersembunyi di balik sebatang pohon. Melihat ini, timbul harapannya. Ada kawan di sini dan hal ini agak membesarkan hatinya. Dia cepat melayang turun ke arah te¬mannya itu. Akan tetapi baru saja kaki¬nya menyentuh bumi di dekat pohon di mana Hek-tiauw Lo-mo bersembunyi, dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Dewa Bongkok sudah berdiri tepat di depannya. “Thio Sek, apakah engkau masih hendak lari lagi? Tiba-tiba Dewa Bongkok menegur dengan suara halus namun mengandung nada keren yang membuat jantung Hek-hwa Lo-kwi tergetar hebat. Kedua kakinya menjadi lemas dan manu¬sia iblis yang biasanya amat ditakuti orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri ber¬lutut di depan kaki Dewa Bongkok! “Loya.... ampunkan hamba....“ Hek-hwa Lo-kwi berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Memang sungguh aneh sekali kalau ada orang kang-ouw melihat keadaan manusia iblis ini. Seper¬ti tidak masuk akal kalau orang seperti Hek-hwa Lo-kwi masih bisa ketakutan seperti itu! Dewa Bongkok tersenyum dan biarpun wajah yang tua itu membayangkan kelembutan, namun sinar matanya yang mencorong seperti mata naga sakti itu sungguh penuh wibawa dan menyeramkan. “Thio Sek, tidak perlu bicara tentang pengampunan. Di mana adanya kitab yang kaucuri itu?” terdengar Dewa Bong¬kok berkata dengar suara penuh teguran. “Hamba.... hamba.... membagi dua kitab itu dengan Hek-tiauw Lo-mo....“ “Hemmm, lalu di mana sekarang kitab itu?” “Bagian hamba.... sudah hamba bakar karena hamba khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang lain. Sedangkan bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo.... hamba tidak tahu....“ Hek-hwa Lo-kwi mengangkat mukanya dan dia melihat betapa Hek-tiauw Lo-mo yang bersembuhyi di balik batang pohon itu memberi isyarat kepadanya. Dia dapat menangkap isyarat itu. Hek-tiauw Lo-mo mengajak dia menyerang Dewa Bong¬kok secara tiba-tiba dan bersama-sama pula. Jantungnya berdebar dan memang itulah satu-satunya jalan untuk menyela¬matkan diri! “Harap Loya sudi mengampuni hamba.... hamba mengaku salah.... hamba telah mata gelap karena ingin memiliki kitab pelajaran yang tinggi....” Dewa Bongkok adalah seorang manu¬sia yang waspada, maka dia dapat me¬lihat pula sikap tidak wajar dari bekas pelayannya itu, seperti ada sesuatu yang disembunyikan, maka dia membentak, “Hayo kauceritakan semua apa yang akan kaulakukan dan mengapa pula kau berada di sini! Hukumanmu mencuri kitab itu tergantung dari kejujuranmu dalam men¬jawab pertanyaanku ini.” Suara kakek bongkok itu angker dan benar-benar menggetarkan perasaan Hek-hwa Lo-kwi yang memang sudah merasa jerih sekali. Dia merangkak maju lebih dekat, lalu membenturkan dahinya di atas tanah. Perbuatan ini seolah-olah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan minta ampun, padahal dia melakukannya untuk dapat lebih men¬dekati kakek bongkok itu. “Hamba.... hamba memenuhi undang¬an Im-kan Ngo-ok....“ Dia berhenti, ter¬kejut karena dalam rasa takutnya dia sampai membuka rahasia rencana Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi dia sudah ter¬lanjur bicara dan apalagi mengingat akan isyarat Hek-tiauw Lo-mo tadi. Bukankah semua ini hanya untuk memancing per¬hatian Dewa Bongkok agar lebih mudah bagi mereka berdua untuk melancarkan serangan mendadak? Dan Dewa Bongkok memang tertarik ketika mendengar disebutnya nama Im-kan Ngo-ok itu. “Im-kan Ngo-ok mengundangmu? Ada perlu apakah?” “Im-kan Ngo-ok mengadakan perjanji¬an dengan Pendekar Super Sakti untuk bertemu dan mengadu kepandaian di gurun pasir yang terletak di daratan Gunung Chang-pai-san. Im-kan Ngo-ok minta bantuan hamba untuk menghadapi lawan tangguh itu....“ Sekali ini Dewa Bongkok benar-benar terkejut. “Hemmm, kapankah diadakannya pertemuan itu?” “Pada bulan purnama bulan depan....” “Dan kau bermaksud membantu me¬reka menghadapi Pendekar Super Sakti?” bentak Dewa Bongkok. Pada saat Dewa Bongkok membentak ini, Hek-tiauw Lo-mo dengan langkah hati-hati telah keluar dari balik batang pohon dan mendekati kakek bongkok itu. Betapapun tinggi kepandaian seseorang, dan betapapun tajam perasaannya, namun seorang manusia tidak mampu membagi¬bagi kesibukan batinnya. Selagi dia bicara dengan marah, tentu saja kewaspadaan Dewa Bongkok berkurang, semua perhatian ditujukan kepada bekas pelayan¬nya, dan juga ketajaman pendengarannya penuh oleh suara dari kata-katanya sen¬diri sehingga dia tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Hek-hwa Lo-kwi melihat ini dan dia mengangkat kedua tangannya menyoja, berkata dengan suara menyesal, “Ampunkan hamba, Loya.... hamba sebetulnya tidak berani akan tetapi....“ Dan pada saat itu, diam-diam Hek-hwa Lo-kwi mengumpulkan tenaganya untuk mengerah¬kan ilmunya yang dahsyat, yaitu Pek-hiat-hoat-lek! Kemudian, kedua tangan yang menyoja itu secepat kilat meluncur ke atas dan menghantam ke arah dada Dewa Bongkok! Pada saat yang sama, Hek-tiauw Lo-mo juga sudah menggerak¬kan tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka dia melancarkan hantam¬an dengan pengerahan tenaga Hek-coa¬tok-ciang. “Blukkk! Desss....!” Dua pukulan itu dengan tepatnya mengenai dada dan punggung Dewa Bong¬kok yang tidak sempat mengelak lagi karena datangnya pukulan dari depan dan belakang itu sama sekali tidak disangkanya sehingga kakek tua renta ini hanya mampu mengerahkan sinkangnya untuk menerima kedua pukulan itu. Akan tetapi, demikian hebatnya tenaga sinkang dari penghuni Istana Gurun Pasir ini sehingga begitu kedua pukulan itu mengenai punggung dan dadanya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terpental mundur, terjengkang dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata mereka membalik dan dari semua lubang di te¬linga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Ternyata bahwa pukulan mereka itu terbentur kepada hawa sinkang amat kuat sehingga tenaga mereka terpental, membalik dan menghantam mereka sen¬diri mengakibatkan mereka tewas seketika! Dewa Bongkok masih kelihatan berdiri tegak di tempat yang tadi, sama sekali tidak bergerak seolah-olah dua pukulan itu tidak terasa olehnya. Akan tetapi, kalau orang melihat mukanya, akan tahu¬lah dia bahwa Dewa Bongkok menderita luka hebat. Muka yang tua itu pucat se¬kali dan di ujung kanan mulutnya nampak darah mengalir bertetes-tetes. Ternyata kakek sakti ini telah muntah darah! Pu¬kulan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang dilakukan dari jarak dekat itu terlampau dahsyat dan tidak terduga da¬tangnya. Kalau bukan Dewa Bongkok yang terkena hantaman seperti itu, be¬tapapun lihainya, tentu akan tewas se¬ketika. Setelah berdiri sejenak seperti arca dengan kedua mata terpejam, mengumpul¬kan hawa murni untuk memperkuat diri, akhirnya Dewa Bongkok membuka kedua matanya, menarik napas panjang dan menoleh ke arah mayat dua orang itu. Dengan gerakan perlahan dan menahan nyeri pada dadanya, kakek ini lalu me¬ngumpulkan dahan-dahan yang cukup banyak, meletakkan dua buah mayat itu di atas dahan-dahan dan menutupinya dengan banyak dahan dan daun kering, kemudian membakarnya. Dia maklum bahwa ranting-ranting itu cukup banyak dan akan dapat membakar dua jenazah itu sampai habis. Setelah memandang sejenak, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, jalannya agak ter¬saruk-saruk dibantu oleh tongkatnya. *** Luka yang diderita oleh Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok memang amat parah. Apalagi ditambah dengan usianya yang sudah amat tua sehingga tentu saja daya tahan tubuh sudah tidak begitu kuat lagi, maka akibatnya dua pukulan dahsyat itu membuat kakek ini benar-benar menderita hebat. Setelah berjalan perlahan-lahan sam¬pai setengah hari meninggalkan hutan itu dan tiba di pegunungan yang penuh batu-batu dan sukar dijalani, kakek ini merasa tidak dapat menahan lagi dan duduklah dia bersila di atas batu besar untuk menghimpun kekuatan dan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya guna mengobati luka yang dideritanya. Dengan merasakan keadaan lukanya, kakek ini maklum bah¬wa sedikitnya dia harus beristirahat satu bulan untuk dapat memulihkan kembali kekuatannya, dan paling tidak selama tiga hari tiga malam dia harus duduk bersamadhi untuk menyelamatkan nyawa¬nya. Dengan penghimpunan hawa murni selama tiga hari tiga malam terus-menerus, barulah ada harapan luka di dalam dadanya itu dapat disembuhkan sehingga dia hanya tinggal menanti pulih¬nya kekuatannya saja. Kebetulan sekali tempat itu amat baik, sunyi dan bersih, hawanya murni sehingga tepat untuk dipakai menjadi tempat bersamadhi. Dua hari dua malam sudah kakek ini duduk bersila di atas batu tanpa pernah bergerak. Dia seolah-olah sudah mati, atau sudah berubah menjadi arca batu, menjadi satu dengan batu besar yang didudukinya. Hanya ujung pakaiannya saja, jenggotnya atau sedikit rambut di sekeliling kepalanya yang kadang-kadang bergerak kalau ada angin kencang bertiup. Pada hari ke tiga itu, Dewa Bongkok sudah merasa betapa luka-luka di dalam dadanya telah banyak mendingan. Rasa nyeri di bagian kiri yang tadinya terasa paling hebat telah lenyap dan tinggal sedikit rasa nyeri di bagian kanan. Da¬lam sehari semalam ini tentu lukanya ini pun akan lenyap dan dia tinggal beristi¬rahat saja untuk memulihkan kekuatannya selama sedikitnya sebulan. Akan tetapi, pagi hari itu terjadi hal di luar perhitungan kakek sakti ini. Keti¬ka dia masih tenggelam ke dalam sama¬dhi, tiba-tiba muncul seorang wanita cantik yang memiliki gerakan ringan dan wanita ini telah sejak tadi memperhati¬kan Dewa Bongkok yang sedang bersa¬madhi. Wanita ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Silu¬man Kucing yang cabul dan lihai itu! Seperti juga suhengnya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo, dia pun menerima undangan dari Im-kan Ngo-ok untuk membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti dan dia pun berjanji dengan suhengnya untuk bertemu di dalam hutan itu. Akan tetapi, dasar Siluman Kucing ini tidak pernah dapat sembuh dari penyakitnya, yaitu gila laki-laki, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang amat menarik hatinya. Dia lalu merayu pemuda ini dan memuaskan nafsu¬nya sehingga dia lupa akan janjinya dan setelah dia, seperti biasanya, merasa bosan dan meninggalkan pemuda yang telah dibunuhnya pula itu, dia tiba di dalam hutan yang dijanjikan dalam ke¬adaan terlambat dua hari! Dan di dalam hutan itu dia menemukan dua jenazah yang sudah menjadi abu, tinggal beberapa potong tulang saja yang tidak sempat terbakar habis. Dan di situ dia menemu¬kan senjata-senjata dari suhengnya, di antara abu mayat dan arang. Tahulah dia bahwa suhengnya telah tewas dan telah dibakar menjadi abu, bersama seorang lain lagi yang diduganya tentu Hek-hwa Lo-kwi karena suhengnya berjanji akan bertemu dengannya di hutan itu bersama Hek-hwa Lo-kwi. Siluman Kucing merasa kaget dan juga terheran-heran. Siapakah orangnya yang demikian lihainya, mampu mem¬bunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Dia bergidik, dan juga penasaran. Betapapun juga, Hek-tiauw Lo-mo adalah suhengnya, dan setelah orang itu tewas, dia teringat akan hubungan mereka an¬tara kakak dan adik seperguruan, maka timbul rasa penasaran dan marah dalam hatinya terhadap pembunuh suhengnya. Setelah mencari-cari di sekitar hutan itu, akhirnya dia menemukan Dewa Bong¬kok yang tengah bersamadhi seorang diri di atas batu besar! Melihat kakek ini, Siluman Kucing memandang dari jauh penuh perhatian. Dia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi dia dapat men¬duga bahwa kakek itu tengah duduk ber¬samadhi dan melihat pernapasannya yang teratur dan panjang-panjang, dia pun dapat menduga bahwa kakek itu sedang menghimpun hawa murni. Orang yang melakukan hal seperti itu hanyalah orang yang sedang mengobati luka di dalam tubuhnya. Mengingat bahwa di dalam hutan tak jauh dari tempat ini suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi tewas dan kakek aneh ini duduk bersamadhi mengobati luka dalam mudahlah bagi Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui untuk menarik kesimpulan. Sudah hampir boleh dipasti¬kan bahwa suhengnya dan Hek-hwa lo-kwi tentu telah bertanding melawan ka¬kek ini dengan akibat tewasnya suheng¬nya dan Hek-hwa Lo-kwi, dan kakek ini pun menderita luka parah dalam pertan¬dingan itu! Maka mulailah sepasang mata yang genit itu mengeluarkan sinar berapi. Inilah orangnya yang telah membunuh suhengnya! Akan tetapi, Lauw Hong Kui bukanlah seorang yang bodoh. Sebaliknya malah, dia amat cerdik. Orang yang sudah mam¬pu menewaskan suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi, tentu bukan orang sembarangan dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Akan tetapi sebaliknya, betapapun saktinya orang ini, kalau sedang menderita luka dalam yang parah, tentu dia akan mampu merobohkannya tanpa banyak kesukaran. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati dan tidak menurunkan nafsu amarah untuk langsung menyerang kakek yang duduk diam seperti arca itu. “Locianpwe yang terhormat, kalau boleh saya bertanya, siapakah nama Lo¬cianpwe?” Siluman Kucing bertanya sam¬bil menjura ke arah kakek tua renta yang duduk bersila dengan kedua mata terpejam itu. Tentu saja kehadiran wanita itu sudah diketahui oleh Dewa Bongkok. Akan te¬tapi mendengar pertanyaan itu, Dewa Bongkok sama sekali tidak mau men¬jawab, bergerak pun tidak. Dia tidak pernah mau memperkenalkan diri kepada siapapun, apalagi kepada seorang wanita yang gerak-geriknya penuh kecabulan dan kejahatan itu. Maka dia diam saja, dan juga dia memang tidak ingin berurusan dengan siapapun di saat itu. Mauw Siauw Mo-li mengerutkan alis¬nya. Kakek itu sama sekali tidak mau menjawab, dan dia menduga bahwa kakek ini tentu seorang tokoh berilmu tinggi yang menyembunyikan diri. Akan tetapi, dia cerdik sekali dan dia tahu bagaimana caranya untuk memaksa kakek itu membuka suara! Dia tahu bahwa kelemahan dari pada locianpwe adalah keangkuhan! Kalau disentuh keangkuhannya, para Lo¬cianpwe biasanya lalu melakukan tang¬gapan. “Locianpwe, di dalam hutan saya melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas terbunuh orang. Si¬apakah yang telah membunuh mereka?” Kembali tidak ada jawaban dari kakek itu. Dan suara Mauw Siauw Mo-li yang sengaja dikeluarkan dengan pengerahan khikang itu bergema di dalam hutan di bawah lereng itu. Setelah gema itu me¬ngaung, sunyi kembali keadaan di situ. Siluman Kucing mengerutkan alisnya dan mencari akal. “Saya tadinya men¬duga bahwa Locianpwe yang membunuh mereka, akan tetapi melihat Locianpwe diam saja, saya menjadi ragu-ragu. Se¬orang seperti Locianpwe, kalau melaku¬kan sesuatu, tentu berani mengaku dan mempertanggungjawabkannya, berbeda dengan para siauw-jin (orang hina) yang berwatak pengecut tidak berani meng¬akui perbuatannya!” Memang cerdik sekali Siluman Kucing. Dewa Bongkok bukan termasuk tokoh yang suka mengangkat diri atau berwatak angkuh, sebaliknya malah dia selalu menyembunyikan dirinya. Akan tetapi ucapan wanita itu tentu saja menggugah watak gagah yang selalu di junjung tinggi oleh semua kaum pendekar di dunia kang-ouw. Lebih baik mati daripada disebut pengecut hina! Seorang pendekar tentu akan selalu berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya dan berani meng¬hadapi semua akibat daripada perbuatan¬nya! Maka, mendengar ucapan itu, se¬pasang mata itu terbuka memandang ke arah Mauw Siauw Mo-li. “Ihhhhh....!” Mauw Siauw Mo-li undur dua langkah. Dia terkejut dan merasa ngeri melihat betapa sepasang mata itu mencorong dan seolah-olah mengeluarkan sinar kilat yang menyambar ke arahnya. Belum pernah dia melihat mata yang mencorong seperti itu, seperti bukan mata manusia! “Aku tidak membunuh mereka, adalah mereka yang memukulku sehingga mereka tewas karena tenaga mereka sendiri!” Setelah berkata demikian, Dewa Bongkok kembali memejamkan matanya dan tidak mau berkata apa-apa lagi. Baginya sudah cukup pengakuan ini dan dia tidak mau membicarakan hal itu dengan wanita ini. Mendengar ucapan itu, tahulah kini Siluman Kucing bahwa dugaannya tidak keliru. Kakek ini telah bertanding me¬lawan suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi sehingga kedua orang itu tewas dan ka¬kek ini sendiri mengalami luka parah. Dalam keadaan terluka parah dan sedang mengobati lukanya itu, tentu kakek yang amat sakti ini berkurang banyak kelihai¬annya. Namun, Mauw Siauw Mo-li tetap bersikap hati-hati dan tidak mau ceroboh yang akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dia tidak mau langsung menyerang kakek itu. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar