Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 40.

Jodoh Rajawali Jilid 40:
Jodoh Rajawali Jilid - 40 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 40 Siang In tertawa, suara ketawanya merdu dan nyaring karena semua itu amat menyenangkan hatinya. Dia meng¬ulurkan tangan, memegang tangan pe¬muda itu dan menariknya bangun. “Sudah, kalau kelihatan orang lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara! Kita saling mencinta, dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia besar dalam batin kita, Kian Bu. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah bundamu.” “Benar, memang aku pun ingin mem¬bawamu pulang ke Pulau Es.” “Kalau begitu, mari kita pergi. Eh, apakah perutmu tidak lapar?” Ditanya begitu, Kian Bu terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, memang benar kata orang bahwa cinta membuat kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak kemarin perutku belum ke¬masukan apa-apa dan setelah sekarang kauperingatkan, baru terasa betapa lapar perutku!” “Aku lebih percaya kepada kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!” “Eh, mengapa begitu?” “Habis, cinta membuat hati menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa lapar dan apa pun yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena lebih sehat daripada pendapatmu tadi yang membuat kita kelaparan dan kecapaian. Kalau menurut pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh cinta lekas mati karena kurang makan dan kurang tidur, bukan?” Kian Bu tertawa. Kekasihnya ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian, baik budi dan jujur, juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala macam kebaikan wanita terdapat lengkap dalam diri kekasihnya ini, pikirnya bangga! “Kau memang hebat, Siang In. Hebat segala-galanya!” “Hi-hik, engkau belum merasakan ma¬sakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya masakanku, engkau akan ke¬habisan kata-kata untuk memujiku. Tung¬gu saja. Mari kita mencari bahan-bahan¬nya dulu dalam hutan itu.” Digandengnya lengan Kian Bu dan dua orang muda itu sambil tersenyum dan tertawa gembira, bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Dunia seakan-akan berubah dalam se¬kejap mata bagi mereka berdua. Penuh keindahan, penuh kegembiraan, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk. “Uhu-huuuuk-huuu....!” Dara itu menangis mengguguk sambil berlutut di depan kaki gurunya, memeluk kaki itu dan air matanya bercucuran. Hek-sin Touw-on terkejut bukan main menyaksikan keadaan muridnya ini. Datang-datang muridnya merangkul kakinya dan menangis sedih seperti itu, sungguh membuatnya bingung sekali. Berkali-kali dia menyuruh muridnya menceritakan apa yang begitu menyusah¬kan hatinya, namun Kang Swi Hwa atau Ang-siocia tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, hanya menangis mengguguk makin sedih sehingga akhirnya kakek itu maklum bahwa dia harus membiarkan muridnya menangis dulu sampai kedukaan yang menyesak di dada itu terlampiaskan¬ dalam tangisnya. Dari mana timbulnya duka? Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu de¬ngan jalan menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat membanjir keluar. Akan tetapi dari manakah timbulnya duka? Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewa¬an yang kemudian menciptakan rasa ne¬langsa dan iba kepada diri sendiri, men¬jadi duka. Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi ke¬nangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka, yang datang menyerang, kita ingin lari dari duka, kita ingin menghibur dan me¬lupakan hal yang mendukakan. Usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri! Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana ada¬nya mengamati duka dengan penuh ke¬waspadaan dan kesadaran, mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, be¬tapa kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah-ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri! Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewas¬padaan inilah maka akan timbul pengerti¬an yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya. Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri ter¬seret ke dalam arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka dan duka. Dan lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bah¬wa memang sudah demikian itulah hidup! Seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan. Akhirnya reda juga tangis Ang-siocia, tinggal terisak-isak jarang. Gurunya, kakek Hek-sin Touw-ong lalu mengang¬katnya bangun dan disuruhnya murid itu duduk di atas bangku di depannya. Mere¬ka berada di dalam sebuah kuil rusak dan mereka duduk di atas bangku-bangku batu yang kasar. Kuil itu berada dalam sebuah hutan di lereng bukit. “Swi Hwa, mengapa engkau menangis seperti ini? Sungguh memalukan sekali melihat muridku menangis seperti se¬orang perempuan lemah yang cengeng. Mana kegagahan yang kugemblengkan pada dirimu selama bertahun-tahun ini?” Kakek itu menarik napas panjang, agak¬nya dia melihat bahwa betapapun gagah¬nya, muridnya itu hanya seorang wanita, dan menurut kata pujangga kuno, wanita tidak dapat dipisahkan dari air mata! “Suhu, maafkan teecu....“ Gadis itu berkata di antara isaknya. “Hemmm, entah sudah berapa ratus kali selama menjadi muridku engkau minta maaf, dan sebanyak itu pula aku selalu memaafkanmu. Sekarang, ceritakan, mengapa kau menangis?” “Suhu.... teecu ingin mati saja....!” Gadis itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah antara jari tangannya nampak air matanya me¬netes. “Hehhh? Apa-apaan lagi ini? Mana bisa manusia minta mati kalau belum tiba saatnya? Kalau sudah tiba saatnya, tanpa diminta pun akan mati. Hayo bi¬lang, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata gila ini? Apa yang terjadi dengan dirimu?” Gadis itu menggeleng kepala, lalu menurunkan kedua tangan dari depan muka. Mukanya yang cantik itu agak pucat dan amat muram, basah oleh air matanya. Hati kakek itu terkejut dan kasihan juga melihat ini karena maklum¬lah dia bahwa muridnya ini mengalami pukulan batin yang parah juga. “Tidak terjadi apa-apa dengan diri teecu, akan tetapi telah terjadi hal yang hebat dengan diri.... dia....“ Gadis itu megap-megap seperti ikan di darat. “Dia? Dia siapa?” Hek-sin Touw-ong bertanya, memandang wajah muridnya penuh selidik karena dia khawatir kalau-kalau kesedihan membuat muridnya ini mengalami guncangan batin yang akan mengganggu ketenangan jiwanya. “Dia Pendekar Siluman Kecil....!” Alis kakek itu berkerut. Dia sudah mengerti bahwa muridnya ini tergila-gila kepada pendekar sakti itu. “Ada apa dengan dia?” desaknya. Siluman Kecil itu menurut muridnya dapat mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, berarti memiliki kesaktian setinggi langit yang sukar diukur lagi, maka apakah yang dapat menimpa seorang pendekar sakti seperti itu? Apakah pendekar itu terkena malapetaka maka muridnya men¬jadi berduka seperti ini? “Siluman Kecil? Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi?” “Dia.... dia.... mencinta wanita lain, Suhu.... uuuhhhu-hu-huuuhhh....!” Dara itu menangis lagi. Hek-sin Touw-ong mengerutkan alis¬nya dan memandang kepala yang menun¬duk dan pundak yang berguncang-guncang dalam tangisnya itu. Dia menarik napas panjang berkali-kali dan hatinya penuh rasa iba kepada muridnya ini. Terbayang¬lah semua peristiwa semenjak dia meng¬ambil anak itu sebagai murid. Dia tahu bahwa Kang Swi Hwa adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong yang dititipkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dilatih ilmu silat. Karena penasaran terhadap Sin-siauw Seng-jin, maka dia menculik anak itu untuk dilatihnya sendiri. Akan tetapi kemudian, maksud yang hanya ingin me¬nimpakan rasa penasaran itu kepada Sin¬-siauw Seng-jin, akhirnya berubah setelah dia mulai mencinta murid itu sebagai puterinya sendiri! Maka anak itu pun dididiknya terus sampai menjadi dewasa dan dia telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya, baik ilmu silat, ilmu ma¬ling dan ilmu menyamar kepada dara itu. Dia tahu bahwa muridnya ini adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong, seorang yang sudah dikenalnya dengan baik maka dia pun mendidik muridnya itu sekuat te¬naganya sehingga muridnya kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah hebat, hampir menyamai tingkatnya sendiri. Maka ketika dia mendengar betapa murid¬nya itu “dihina” secara tidak sengaja oleh murid Sai-cu Kai-ong, dia terkejut bukan main dan heran mengapa justeru murid dari kakek gadis ini yang bertemu dan “menghina” nya! Maka timbul pula niatnya untuk menjodohkan muridnya dengan pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, dengan demikian, selain untuk menebus kesalahannya terhadap Sai-cu Kai-ong, juga untuk menghapus aib yang telah di¬alami oleh Swi Hwa. Dia sengaja mengganti nama muridnya yang ketika itu masih kecil sekali sehingga tidak mung¬kin dapat mengingat apa-apa, mengganti namanya menjadi Kang Swi Hwa, bahkan dia telah menghapus tahi lalat di dagu anak itu agar tidak akan dikenal oleh Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin! Dan kini, ternyata muridnya itu mencinta Siluman Kecil dan merana, patah hati, karena Siluman Kecil mencinta gadis lain! Setelah sejenak membiarkan dara itu menangis lagi, dengan hati terharu Hek-sin Touw-ong lalu memegang kedua pun¬dak muridnya, dan berkata dengan suara menghibur, “Kalau begitu, masih jauh lebih baik bagimu, muridku....“ Mendengar ini, dara itu mengangkat mukanya yang basah air mata itu, me¬mandang gurunya dengan penasaran. “Lebih baik....? Apa.... apa maksud Suhu?” Dia sedih setengah mati, gurunya malah mengatakan lebih baik! Hati siapa tidak menjadi penasaran? “Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menarik napas panjang. “Jauh lebih baik gagal sebelum menikah, dari¬pada gagal setelah menjadi suami is¬teri.... seperti gurumu ini....“ Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak. Tak disangkanya gurunya akan berkata demikian. Gurunya tidak pernah bercerita tentang diri sendiri, bahkan tidak pernah bercerita tentang riwayat¬nya, tentang ayah bundanya. “Apakah Suhu pernah menikah?” tanyanya, hatinya tertarik karena seluruh perhatiannya tertarik akan keadaan suhunya, maka otomatis dia melupakan diri sendiri dan lenyaplah seketika rasa duka di hatinya. Memang, kedudukan bukan lain hanyalah permainan ingatan, permainan pikiran yang mengingat-ingat dan membayang-bayangkan, penuh dengan iba diri. Begitu pikiran meninggalkan semua itu, dituju¬kan kepada lain hal dengan penuh per¬hatian, maka duka pun lenyap tanpa bekas! Kakek itu mengangguk. “Aku pernah menikah, akan tetapi terdapat ketidak¬cocokan dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami hidup menderita, seperti dalam neraka karena percekcokan terjadi setiap hari. Akhirnya, setelah menikah selama tiga tahun tanpa ada keturunan, kami terpaksa berpisah, dan semenjak itu, aku tidak mau lagi menikah....“ Melihat wajah suhunya membayangkan penderitaan batin, seketika lupalah Swi Hwa akan kesusahan hatinya sendiri. Dia memandang kepada suhunya dengan hati penuh perasaan iba. Akan tetapi kakek itu lalu melanjutkan, “Karena itulah, Swi Hwa, kukatakan lebih baik gagal sebelum menikah seperti yang kualami ini. Ba¬yangkan saja kalau kegagalanmu ini ter¬jadi setelah engkau menikah dengan se¬orang suami yang tidak menaruh cinta kepadamu, tentu akan lebih pahit dan sengsara lagi.” Dara itu kini menunduk, dia mengerti akan maksud ucapan gurunya itu. “Jadi, dalam pernikahan Suhu itu hanya ter¬dapat cinta sepihak?” Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Ya, hanya dariku adanya cinta itu, tidak dari fihaknya. Maka, kalau Siluman Kecil tidak mencintamu dan mencinta orang lain, apa yang perlu disesalkan? Dunia tidak hanya setapak tangan lebarnya, dan masih terdapat banyak sekali pria yang cukup baik untuk menjadi calon jodohmu. Terutama sekali, kita harus mencari pemuda bernama Siauw Hong itu, karena menurut pandanganku, hanya dialah yang harus menjadi suamimu, karena dia yang pernah melihat tubuhmu!” Dara itu makin menunduk dan muka¬nya berubah merah mendengar ucapan ini, karena dia teringat akan peristiwa itu, ketika dia yang menyamar sebagai pria terbuka rahasianya oleh Siauw Hong, ketika Siauw Hong berusaha mengobati¬nya dan memeriksa dadanya! “Hanya ada dua pilihan terhadap pe¬muda itu. Membunuhnya atau menikah dengan dia! Kehormatan dan nama baik¬mu tergantung sepenuhnya kepada per¬soalan ini, muridku. Maka, marilah eng¬kau ikut bersamaku pergi mencari Sai-cu Kai-ong untuk membicarakan urusan muridnya itu.” “Tapi.... Suhu, teecu belum mem¬punyai ingatan untuk menguruskan persoalan jodoh sebelum.... sebelum teecu mendengar dari Suhu tentang keadaan keluarga teecu. Suhu selalu mengelak dan tidak mau memberi keterangan kepada teecu. Sekarang teecu mohon Suhu suka memberi penjelasan. Siapakah ayah bunda teecu? Apakah mereka masih hidup dan mengapa teecu sejak kecil ikut bersama Suhu?” Kakek itu menghela napas. “Dalam hal ini aku berdosa kepadamu, muridku. Ketahuilah, bahwa engkau adalah seperti cucu atau anak angkatku sendiri, di samping engkau muridku satu-satunya. Dan terus terang saja, aku tidak dapat men¬ceritakan tentang keluargamu karena memang aku tidak tahu. Hanya ada satu orang saja yang akan dapat menceritakan hal itu kepadamu.” “Siapa dia, Suhu?” “Dia adalah Sai-cu Kai-ong....“ “Apa....?” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak lebar. “Kakek sakti guru.... Siauw Hong itu....?” Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Mu¬ridku, agaknya sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang meliputi dirimu. Akulah yang bertanggung jawab akan semua itu. Maka, mari kau ikut bersamaku menemui Sai-cu Kai-ong, sekalian kita bicarakan urusan muridnya itu.” Dara itu mengangguk sambil menun¬dukkan mukanya. Dia akan selalu merasa canggung dan malu kalau bicara tentang pemuda yang menjadi pangeran pengemis itu, karena nama Siauw Hong selalu mengingatkan dia akan peristiwa yang dialaminya, ketika rahasia penyamarannya sebagai pria terbuka oleh pemuda itu. Berangkatlah guru dan murid itu me¬lanjutkan perjalanan, meninggalkan kuil tua itu. Seperti telah diceritakan di ba¬gian depan, Ang-siocia lari mengejar ketika melihat Siluman Kecil pergi, ke¬mudian di tengah perjalanan dia bertemu dengan Siang In. Mereka berpisah dan tanpa disengaja, kembali dia bertemu dengan Siang In yang sedang berkasih-kasihan dengan Siluman Kecil. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Kang Swi Hwa melihat betapa pria yang dikaguminya dan diam-diam dicintanya itu ternyata saling mencinta dengan se¬orang gadis lain. Maka dia lalu diam-diam meninggalkan tempat itu sambil menangis. Dia tidak tahu bahwa ketika dia lari meninggalkan benteng yang ter¬bakar, dari jauh gurunya selalu mem¬bayanginya dan melihat dara itu menangis, Hek-sin Touw-ong lalu mengejar, menyusulnya dan mengajaknya istirahat di kuil tua itu dan bertanya apa yang disusahkan oleh muridnya. Karena kakek ini membayangi muridnya dari jauh, ma¬ka dia tidak ikut menyaksikan apa yang menjadi sebab muridnya berduka, dia tidak melihat betapa Siluman Kecil se¬dang berkasih-kasihan dengan Siang In. Beberapa hari kemudian guru dan murid ini sudah tiba di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Dari le¬reng saja sudah nampak bangunan besar kuno yang dahulunya merupakan bangunan semacam istana megah dari raja penge¬mis, nenek moyang dari Sai-cu Kai-ong. Berbeda dengan nenek moyangnya, Sai¬cu Kai-ong kini tidak suka menonjolkan diri dan biarpun dia dijuluki Kai-ong dan pengaruhnya masih besar sekali, dianggap sebagai datuk kaum pengemis dan dipuja-puja oleh semua perkumpulan pengemis, namun dia tidak secara langsung me¬mimpin para pengemis itu. Dia lebih senang menyembunyikan diri di dalam bekas istana nenek moyangnya itu, hidup bersunyi di puncak Bukit Nelayan. Ketika guru dan murid itu telah ber¬diri di depan rumah kuno yang kelihatan kosong dan sunyi itu, Hek-sin Touw-ong lalu berseru sambil mengerahkan khi¬kangnya sehingga suaranya bergema sam¬pai terdengar dari tempat jauh. “Kai-ong, ini sahabatmu Touw-ong ingin berjumpa denganmu!” Memang kedengarannya lucu. Touw¬ong (Raja Maling) ingin bertemu dengan Kai-ong (Raja Pengemis)! Suara dari Hek-sian Touw-ong menimbulkan gema yang panjang dari dalam gedung besar itu, dan tak lama kemudian terdengar suara yang nyaring dari dalam gedung. “Selamat datang, Touw-ong! Pintu rumahku tidak tertutup, harap kau masuk saja!” Agaknya di antara kedua orang sakti itu terdapat jalinan persahabatan yang sudah akrab, maka mereka menggunakan kata-kata yang ramah dan kasar, tanpa banyak peraturan dan sopan santun yang biasa timbul antara orang-orang yang baru berkenalan. Hek-sin Touw-ong ter¬tawa bergelak, kemudian mengajak mu¬ridnya memasuki pintu gerbang besar dari rumah kuno itu. Hek-sin Touw-ong sendiri hidup se¬bagai seorang yang kaya, memiliki rumah besar yang terjaga oleh banyak pelayan, maka tentu saja guru dan murid ini tidak asing dengan rumah-rumah besar dan mewah. Akan tetapi, ketika memasuki istana tua ini, dara itu merasa serem juga, dan kagum melihat hiasan-hiasan kuno yang antik dan indah. Rumah kuno yang besar itu nampak sunyi menyeram¬kan karena kelihatan kosong tanpa ada seorang pun manusia yang menjaganya, kelihatan dingin karena kurangnya manu¬sia di situ. Berindap-indap dara ini berjalan di samping gurunya, memandang ke kanan kiri seperti memasuki sebuah gua yang penuh ancaman bahaya. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong yang dahulu sudah sering memasuki gedung ini, berjalan seenaknya dan dengan wajah gembira,sungguhpun terdapat ketegangan yang nampak dari kerutan di antara kedua alisnya. Kakek ini merasa gembira kare¬na dia akan mengejutkan dan mendatang¬kan kegembiraan besar kepada sahabat lamanya ini dengan mengembalikan cucu¬nya, akan tetapi juga dia merasa tegang karena merasa bersalah telah menculik cucu sahabatnya yang diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk menjadi murid Kakek Suling Sakti itu. Juga hatinya te¬gang mengingat bahwa pemuda yang pernah “menghina” muridnya adalah mu¬rid sahabatnya ini. Ketika mereka tiba di dalam sebuah ruangan, muncullah seorang kakek yang gagah perkasa, dan biarpun usianya sudah lebih dari enam puluh lima tahun, namun tubuhnya yang tinggi tegap itu masih nampak kokoh kuat, pakaiannya sederha¬na, pandang matanya tajam dan penuh kejujuran dan kegagahan. Kakek ini, meng¬gunakan sinar matanya menyapu wajah dua orang tamunya dan dia agaknya me¬rasa puas sekali melihat keadaan Hek-sin Touw-ong karena sahabat lamanya itu masih nampak sehat dan sederhana, de¬ngan mukanya yang hitam terbakar mata¬hari dan pakaiannya yang serba hitam pula. Dia tahu bahwa Si Raja Maling ini amat kaya raya, namun pakaian dan sikapnya jelas membuktikan bahwa kakek itu tidak membanggakan kekayaannya. Ketika Sai-cu Kai-ong, kakek tuan rumah itu, memandang wajah Ang-siocia, dia kelihatan tertarik sekali, bahkan seperti orang tertegun dan sinar matanya me¬lekat pada wajah dara itu. Kalau orang tidak mengenal bahwa kakek ini adalah seorang kakek sakti yang gagah perkasa, yang sudah tidak tertarik lagi oleh wa¬nita muda dan cantik, maka tentu orang akan menyangka dia mata keranjang dan terpesona oleh kecantikan Ang-siocia. Melihat tuan rumah seperti tertegun memandangnya, dengan sinar mata penuh selidik menjelajahi setiap bagian wajahnya, Ang-siocia mengerutkan alisnya dan diam-diam hatinya sudah merasa tidak senang, dan dia menyangka bahwa kakek itu tentu tergolong pria tua yang cabul dan mata keranjang! Akan tetapi tidak demikian dengan gurunya, Hek-sin Touw-ong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kai-ong, dia ini adalah muridku, mengapa engkau memandanginya seperti itu? Apakah engkau sudah mengenal mu¬ridku ini?” tanya Hek-sin Touw-ong sam¬bil tersenyum. Kalau memang dia terpesona oleh kecantikan gadis itu, tentu Sai-cu Kai-ong akan merasa canggung dan malu mendengar teguran itu, akan tetapi kare¬na memang dia sama sekali tidak ada pikiran yang tidak patut, teguran itu di¬terimanya secara sungguh-sungguh dan dia pun menjawab tanpa melepaskan pandang matanya dari Ang-siocia. “Serasa kukenal dia.... wajahnya serupa benar dengan.... mantuku yang telah menlnggal dunia.... akan tetapi....“ kini matanya meneliti ke arah dagu Ang¬siocia. “Ha-ha-ha, pengemis tua bangka, eng¬kau mencari-cari sebuah tahi lalat kecil di dagu?” Mendengar ini, secepat kilat kakek itu menoleh dan memandang kepada ta¬munya dengan sinar mata berkilat, wajah¬nya berubah pucat. “Engkau maling tua, hayo katakan yang sebenarnya, apa mak¬sudmu itu? Dari mana kau tahu tentang tahi lalat di dagu?” Tiba-tiba mata kakek itu terbelalak dan dia menoleh lagi kepada Ang-siocia, memandang wajah dara itu, kemudian dia menoleh lagi kepada Hek-sin Touw-ong, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Touw-ong, demi Tuhan! Siapakah dia ini? Benarkah dia ini....?” “Kai-ong, mari kita duduk yang baik dan akan kuceritakan sesuatu yang pasti akan mendatangkan kegembiraan besar bagimu.” Dengan mata masih memandang ke¬pada Ang-siocia, tuan rumah itu mem¬bawa dua orang tamunya ke sebuah ruangan dan mereka duduk berhadapan. Kemudian tuan rumah itu memandang wajah Si Raja Maling, dan dari sinar matanya dia mengajukan seribu satu ma¬cam pertanyaan. “Kai-ong, tak perlu kujelaskan lagi, engkau tentu mengenal baik Sin-siauw Seng-jin, bukan? Biarpun engkau belum pernah membongkar rahasia kakek suling sakti itu, namun aku dapat menduga bahwa antara engkau dan dia terdapat suatu ikatan yang amat mendalam. Be¬narkah demikian?” Urusan yang menyangkut Sin-siauw Seng-jin merupakan rahasia besar bagi Si Raja Pengemis, akan tetapi karena dia percaya bahwa Raja Maling ini merupakan seorang gagah yang dapat dipercaya, maka tanpa banyak cakap lagi dia meng¬angguk. “Nah, terus terang saja, aku pernah bentrok dengan kakek yang angkuh dan sombong itu dan aku telah kalah oleh¬nya. Memang dia lihai bukan main dan betapapun aku berusaha, aku tidak per¬nah dapat menangkan kakek yang penuh rahasia itu.” Sai-cu Kai-ong tersenyum. “Hal itu tidak aneh, Touw-ong. Aku sendiri pun tidak akan mampu menandinginya.” “Dan aku merasa penasaran, bukan main,....“ “Ahhh, orang-orang macam kita ini, tua bangka-tua bangka yang sudah ba¬nyak makan garam dunia, masa masih harus merasa penasaran kalau dikalahkan orang? Engkau tentu tahu bahwa tidak ada orang terpandai di dunia ini” cela Si Raja Pengemis. “Engkau benar. Akan tetapi entah bagaimana, aku merasa penasaran sekali. Lebih-lebih ketika aku mendengar betapa engkau mempercayakan seorang cucumu kepada kakek sombong itu untuk dididik! Kai-ong, engkau memang terlalu. Kalau hanya untuk mendidik cucumu saja, di dunia ini masih banyak sahabat-sahabat lainmu yang tidak sombong, dan ter¬masuk aku yang tentu akan bersedia untuk menurunkan seluruh ilmu tak ber¬harga yang ada padaku kepada cucumu. Akan tetapi, engkau justeru menyerahkan cucumu itu kepada kakek tekebur yang kubenci itu! Tentu saja aku menjadi makin penasaran saja.” Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau dapat berkata demi¬kian, Touw-ong? Urusan keluarga adalah urusan kami sendiri dan kalau aku menyerahkan cucuku kepada Sin-siauw Seng-jin, hal itu tentu terjadi dengan suatu sebab dan alasan yang kuat. Kalau tidak demikian, apa kaukira aku malas untuk mendidik cucuku sendiri?” Hek-sin Touw-ong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Agaknya engkau benar pula. Akan tetapi ketika itu aku dibikin buta oleh perasaan pena¬saranku terhadap si suling sombong itu, maka aku tidak dapat berpikir jernih. Untuk melampiaskan kemarahan dan rasa penasaranku, aku lalu memasuki rumahnya dan.... kuculik cucumu itu, kubawa pergi!” Terdengar teriakan nyaring dan Sai-cu Kai-ong sudah bangkit berdiri dari bangkunya, matanya melotot dan muka¬nya menjadi merah sekali. Mendengar teriakan nyaring tadi, Ang-siocia ter¬kejut bukan main karena dia merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan tentu dia sudah roboh kalau saja dia tidak cepat mengerahkan sinkangnya untuk melawan serangan suara yang luar biasa itu. Itulah Ilmu Sai-cu Ho-kang yang dikeluarkan oleh Sai-cu Kai-ong dalam kemarahannya. “Hemmm, jadi kiranya engkaukah yang menculik cucuku itu?” Suara Raja Pengemis itu terdengar penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan-tahan. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong masih bersikap tenang saja sungguhpun wajah¬nya berubah agak pucat. Dia mengangguk. “Benar, Kai-ong, akulah yang menculik¬nya, dan aku tidak menyesal karena aku menganggap anak itu seperti anakku atau cucuku sendiri, aku menurunkan seluruh ilmuku kepada muridku itu....“ “Suhu....!” Ang-siocia berteriak kaget mendengar ini. Sejak tadi dia mendengar¬kan saja tanpa mengerti apa yang di¬bicarakan oleh kedua orang kakek itu. Akan tetapi, ucapan terakhir suhunya itu membuka matanya. Kiranya dialah anak kecil yang dipercakapkan itu. Dialah cucu Raja Pengemis ini yang dititipkan kepada Sin-siauw Seng-jin kemudian di¬culik oleh suhunya! Pantas saja suhunya rnengatakan bahwa yang dapat menceri¬takan semua keluarganya adalah Sai-cu Kai-ong yang ternyata adalah kakeknya sendiri! “Dia.... dia ini Yu Hwim cucuku....? Tapi.... tapi....“ Sai-cu Kai-ong meman¬dang dengan mata terbelalak dan wajah¬nya pucat, suaranya gemetar karena keharuan yang mendalam. “Maksudmu tahi lalatnya? Tahi lalat di dagu itu telah kuhilangkan dengan obat, dan dia pun hanya mengenal nama¬nya sebagai Kang Swi Hwa, atau julukan¬nya Ang-siocia murid Si Raja Maling.” “Yu Hwi.... kau.... kau cucuku....“ Sai-cu Kai-ong berseru dan melangkah maju. Kang Swi Hwa atau lebih tepat lagi Yu Hwi juga memandang kakeknya itu, yang agaknya merupakan satu-satunya keluarganya, maka dia pun lalu menjatuh¬kan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Kong-kong....!” “Yu Hwi.... ah, Yu Hwi....!” Kakek itu mengangkat dara itu dengan meme¬gang kedua pundaknya, memandangi wajah itu. “Benar, benar...., engkaulah satu-satunya keturunan keluarga Yu kita.... wajah dan mulutmu serupa dengan mendiang ibumu, akan tetapi matamu.... ah, matamu adalah mata keturunan ke¬luarga Yu....!” Kakek itu merasa terharu sekali dan memeluk cucunya. Tak dapat menahan keharuan hatinya, Yu Hwi menangis. Hek-sin Touw-ong tertegun. Baru se¬karang dia merasa betapa dia telah me¬lakukan suatu kesalahan besar. Dia me¬lihat sekarang persamaan sinar mata kedua orang itu, dan dia merasa betapa dia telah membuat sahabatnya itu men¬derita hebat. Dia tidak mengira sama sekali bahwa sahabatnya itu pun baru belum lama ini mendengar tentang hi¬langnya Yu Hwi, baru setelah Sin-siauw Seng-jin menemuinya beberapa bulan yang lalu. Tadinya, Raja Pengemis itu mengira bahwa cucunya masih belajar pada Kakek Suling Sakti itu dalam keadaan sehat. “Kai-ong, aku telah melakukan ke¬salahan besar padamu....!” Dia berkata dengan suara penuh kedukaan, bukan duka karena menyesali kesalahannya, me¬lainkan duka melihat betapa muridnya yang dianggap sebagai keluarga sendiri itu kini benar-benar telah bertemu dengan keluarga aseli muridnya, dan baru terasa olehnya bahwa dia bukan apa-apa, bahwa dia adalah orang luar, tidak ber¬hak terhadap diri muridnya itu, bahkan dia orang luar yang telah melakukan ke¬salahan terhadap keluarga Yu! “Kau.... kau.... plakkk!” Tiba-tiba tangan kanan Sai-cu Kai-ong menampar pipi Hek-sin Touw-ong. Melihat ini, Yu Hwi terkejut bukan main. Akan tetapi yang ditampar masih berdiri dan me¬nundukkan mukanya. Pipi kirinya men¬jadi merah sekali oleh tamparan itu. Ke¬dua kakek itu saja yang tahu bahwa betapa¬pun marahnya Si Raja Pengemis, namun dia tadi menampar tanpa mengerahkan tenaga sinkang, karena kalau hal itu dilakukannya, tentu yang ditamparnya sudah roboh dengan tulang pipi remuk! Dan juga, yang ditampar tadi sama se¬kali tidak mengelak, bahkan sama sekali tidak mengerahkan sinkang untuk me¬lawan atau melindungi pipinya! “Aku sudah layak kau tampar, bahkan kalau engkau hendak membunuhku se¬kalipun, Kai-ong, aku tidak akan me¬lawan. Silakan!” “Engkau tua bangka keparat!” Sai-cu Kai-ong membentak dan tangannya sudah bergerak lagi. “Kong-kong, tahan....!” Tiba-tiba Yu Hwi berteriak dan dara ini sudah me¬loncat ke depan dan memegang lengan kakeknya. Kakeknya memutar tubuh dan menatap wajah cucunya dengan sinar mata penuh selidik. “Kong-kong, biarlah aku yang minta¬kan ampun untuk Suhu!” Dara itu men¬jatuhkan diri berlutut. “Setelah aku men¬dengar riwayat itu, aku tahu bahwa Suhu bersalah besar kepada keluarga kita, terutama telah membuat Kong-kong men¬derita duka. Akan tetapi, selama ini, semenjak aku kecil, Suhu telah menjadi guruku, sahabatku, dan juga menjadi pengganti orang tuaku. Kalau Kong-kong mau menghukumnya, biarlah aku yang mewakilinya sebagai pembalas semua budi kebaikannya yang telah dilimpahkan kepadaku selama ini.” Sai-cu Kai-ong berdiri tegak sambil menunduk, memandang kepala cucunya yang berlutut itu, dan Hek-sin Touw-ong juga berdiri dengan kepala tunduk, kelihatan terharu sekali. Hening sekali suasana di dalam ruangan itu setelah Yu Hwi menghentikan kata-katanya. Tiba-tiba meledak suara ketawa ber¬gelak yang memecahkan keheningan itu. Hek-sin Touw-ong mengangkat muka memandang, juga Yu Hwi memandang wajah kakeknya dengan penuh keheranan. Kakek itu tertawa bergelak, menghadap¬kan mukanya ke atas dan tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Kiranya Hek-sin Touw-ong tidak mencemarkan namanya dan tetap terbukti sebagai se¬orang laki-laki sejati yang pandai men¬didik. Touw-ong, aku mengucapkan teri¬ma kasih kepadamu. Engkau telah mendidik Yu Hwi sebagaimana mestinya se¬hingga dia tetap menjadi seorang dara yang gagah perkasa, berjiwa pendekar, sungguh tidak memalukan sebagai ke¬turunan terakhir keluarga Yu. Ha-ha-ha, kaumaafkanlah tamparanku sebagai ledakan kemarahanku tadi, Touw-ong!” Hek-sin Touw-ong kini juga tertawa, akan tetapi ketika dia tertawa, ada dua titik air mata meloncat keluar dari se¬pasang matanya, dua titik air mata yang hinggap di pipi dan cepat dihapusnya dengan punggung tangannya. “Ha-ha-ha, engkau Raja Pengemis, jembel tua bang¬ka yang menjemukan! Kau bilang me¬nampar, akan tetapi sesungguhnya engkau hanya mengelus pipiku saja. Kalau eng¬kau benar menampar, apakah mukaku yang buruk ini masih utuh sekarang? Ha-ha-ha, mengelabuhi anak sekalipun eng¬kau tidak becus, Raja Pengemis! Seka¬rang hutangku telah impas, cucumu telah kukembalikan. Dan tentang si sombong Sin-siauw Seng-jin, sampaikan kepadanya bahwa aku mentertawakan dia, katakan bahwa akulah yang dulu mencuri muridnya dan kalau dia tidak terima, dia bo¬leh mencariku. Rumahku tidak tersem¬bunyi seperti rumahnya! Dan katakan lagi bahwa sekumpulan kitab-kitab palsunya telah dicuri orang, dan pencurinya ada¬lah.... ha-ha-ha, cucumu inilah! Jangan heran, Kai-ong, cucumu ini adalah murid Hek-sin Touw-ong, maka jangankan hanya milik manusia macam Sin-siauw Seng¬jin, biar milik kaisar sekalipun dia sang¬gup untuk mencurinya tanpa diketahui sang pemilik! Dan kalau si suling som¬bong itu ingin mendapatkan kitab-kitab palsunya kembali, suruh dia mengambil di rumahku. Nah, aku sudah cukup bicara, dan di antara kita tidak ada hutang-pihutang lagi. Selamat tinggal, Kai-ong!” Setelah berkata demikian, Hek-sin Touw-ong membalikkan tubuh dan me¬langkah keluar dengan langkah lebar, tanpa menoleh kepada Yu Hwi lagi. “Suhu....!” Yu Hwi meloncat dan menghadang di depan suhunya. Kini tam¬pak olehnya betapa muka suhunya itu basah oleh air mata yang masih menetes-netes dari kedua mata itu dan mengalir di sepanjang kedua pipi yang keriput. “Suhu....!” Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut dan menangis di depan kaki suhunya, memegangi tangan suhunya de¬ngan perasaan penuh keharuan. Teringat¬lah dia akan semua kebaikan suhunya itu semenjak dia masih kecil sekali. Terasa benar olehnya kasih sayang gurunya ini kepadanya. Tahulah dia mengapa tadi suhunya pergi tanpa pamit, bahkan sama sekali tidak menoleh kepadanya. Kiranya suhunya merasa tidak kuat untuk berpamit padanya, dan suhunya hendak me¬nyembunyikan kedukaan hatinya karena harus berpisah darinya, bukan hanya ber¬pisah lahir, bahkan harus memutuskan hubungan karena kini dia sudah kembali kepada keluarganya, kepada kakeknya. “Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Suhu terhadap teecu, dan sampai mati teecu tidak akan melupakan budi kebaikan Suhu....“ “Swi Hwa, muridku, biarpun engkau adalah Yu Hwi cucu si Raja Pengemis, akan tetapi bagiku engkau tetap Kang Swi Hwa muridku. Engkau sekarang telah kembali kepada kakekmu, seorang gagah perkasa yang patut kaujunjung tinggi, patut kauhormati dan patut kautaati. Aku hanyalah seorang maling yang tidak berhak menjadi gurumu, dan aku telah melakukan kesalahan besar terhadap ke¬luargamu. Akan tetapi, biarpun aku tidak mengharapkan lagi untuk kauingat, aku minta kepadamu, Swi Hwa, agar engkau mempergunakan semua ilmu yang pernah kuajarkan kepadamu untuk membela ke¬benaran dan keadilan. Nah, sudahlah, muridku, kita berpisah dan jangan ingat aku lagi.” Sebelum muridnya sempat menjawab, kakek itu telah berkelebat dan lenyap dari situ, melarikan diri de¬ngan mengerahkan tenaga ginkangnya sehingga sebentar saja dia sudah jauh sekali. “Suhu....!” Yu Hwi memekik dan hen¬dak mengejar, akan tetapi sebuah tangan memegang pundaknya dengan lembut. “Yu Hwi, belum pernah keturunan keluarga Yu memperlihatkan kelemahan! Apakah yang kekal di dunia ini? Peng¬ikatan diri hanya merupakan sumber segala derita. Ada waktu berkumpul, pasti ada waktu berpisah.” Ucapan yang keluar dari mulut kakek Raja Pengemis itu terdengar sedemikian penuh wibawa dan semangat sehingga Yu Hwi atau Kang Swi Hwa atau Ang-siocia seketika berdiri tegak dengan muka agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. Dia dapat merasakan kegagahan yang terpancar keluar dari sikap, kata-kata dan pandang mata kakeknya itu dan dia me¬rasa bangga menjadi keturunan keluarga Yu. Kebanggaan makin membesar dalam diri dara itu ketika kakeknya mengajak¬nya berkeliling ke dalam istana kuno itu dan mendengar penuturan kakeknya ten¬tang kebesaran nama keluarga Yu, yaitu keluarga nenek moyangnya yang terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Kiranya dia bukanlah keturun¬an keluarga sembarangan, dan hatinya mengandung perasaan penasaran! Dia adalah keturunan keluarga Yu yang besar dan gagah perkasa, tidak kalah hebat dibandingkan dengan keluarga Pulau Es, keluarga dari Siluman Kecil! “Yu Hwi, setelah engkau dapat ku¬temukan, kita harus cepat-cepat pergi menemui keluarga calon suamimu.” Ucapan tenang dan lembut dari ka¬keknya itu mengejutkan hati Yu Hwi bukan kepalang. Namun dara ini dapat menekan perasaannya. Dia adalah ke¬turunan keluarga besar, maka dia pun harus berjiwa besar dan berwatak gagah, tidak boleh memperlihatkan perasaan hatinya! Kenyataan bahwa dia adalah keturunan keluarga besar ini seketika telah mengubah sedikit watak Yu Hwi, mendatangkan semacam keangkuhan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang merasa dirinya “besar”. Maka dengan kekuatan batinnya dia telah berhasil menindas perasaannya yang terkejut ke¬tika mendengar ucapan kakeknya itu dan dia hanya memandang tajam kepada kakeknya. Suaranya terdengar tenang saja ketika dia bertanya. “Calon suami? Apa yang kaumaksud¬kan, Kong-kong?” Sikap Sai-cu Kai-ong juga tenang sekali dan diam-diam dia merasa girang melihat sikap cucunya. Benar-benar Si Raja Maling tidak mengecewakan, telah mendidik cucunya ini menjadi seorang dara yang gagah perkasa. Dia tersenyum dan memandang cucunya dengan wajah berseri. “Yu Hwi, semenjak engkau masih bayi, engkau telah bertunangan. Dan jangan engkau khawatir atas keputusan yang diambil kakekmu ini. Tunanganmu itu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah keturunan dari keluarga yang jauh lebih besar dan gagah perkasa dari¬pada keluarga kita malah! Dia adalah keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, satu-satunya keturunan pendekar itu yang masih ada. Dan jangan kau khawatir, Kam-kongcu, calon suamimu itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki kepandaian silat yang amat tinggi karena dia me¬warisi kepandaian nenek moyangnya, yaitu, Pendekar Suling Emas.” Biarpun sikapnya masih tenang, namun sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut. Tentu saja dia sama sekali tidak tertarik mendengar seorang pemuda ber¬nama Kam-kongcu itu, biarpun kakeknya mengatakan betapa pemuda itu tampan dan gagah. “Kong-kong, mengapa kau mengikat perjodohanku ketika aku masih seorang bayi? Bukankah perjodohan adalah urusan dua orang yang berhak memilih sendiri calon jodohnya sesuai dengan perasaan¬nya?” Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek menarik napas panjang. “Boleh jadi benar anggapan¬mu, cucuku. Akan tetapi di antara kita keluarga Yu dan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam, terdapat ikatan yang amat erat semenjak nenek moyang kita dahulu. Kebetulan sekali keturunan keluarga kita yang terakhir terlahir se¬bagai seorang wanita, yaitu engkau, dan keluarga Kam yang terlahir sebagai se¬orang pria. Oleh karena itu, atas per¬setujuan bersama, engkau kutunangkan dengan Kam-kongcu, sehingga dengan demikian, keturunan Yu biarpun akan pu¬tus karena tidak ada lagi keturunan laki-laki, namun keturunanmu akan menjadi keturunan keluarga Kam dan berarti keluarga kita tidak putus melainkan menggabungkan dengan keluarga Kam. Sungguh penggabungan yang amat baik dan mengharukan.” Suara kakek itu agak gemetar ketika mengatakan kalimat ter¬akhir. Biarpun di dalam hatinya merasa tidak setuju dan tidak senang, namun sebagai keturunan keluarga “besar”, Yu Hwi hanya menunduk. Dia tahu bahwa janji seorang seperti kakeknya itu pasti tidak mungkin dapat ditarik kembali! Maka dia pun akan melihat dulu bagaimana keadaan tunangan itu, kalau kelak dia merasa tidak cocok, sampai bagai¬manapun juga dia tidak akan tunduk dan menyerah begitu saja! Sai-cu Kai-ong merasa girang bukan main ketika dia minta kepada cucunya untuk bersilat mempertunjukkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh cucunya itu dari Touw-ong. Dia merasa kagum me¬lihat kehebatan Kiam-to Sin-ciang, dan lebih kagum sekali melihat kecepatan gerakan tangan cucunya yang memperlihatkan kemahiran ilmunya mencopet, kemudian tertegun melihat cucunya dapat “pian-hoa” (mengubah diri) menjadi orang lain dalam ilmu penyamarannya yang hebat! “Ah, engkau telah menjadi seorang gadis yang lihai Yu Hwi. Dalam peng¬gemblenganku sendiri, belum tentu eng¬kau akan menjadi lihai seperti ini. Akan tetapi, engkau berhak untuk mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Yu kita, maka engkau harus menghafal semua ilmu itu untuk kemudian kau latih berlahan-lahan.” Tentu saja Yu Hwi merasa girang sekali dan selama tiga hari tiga malam kakeknya menurunkan ilmu yang amat hebat, yaitu ilmu warisan keluarga Yu yang mengangkat nama keluarga itu se¬lama puluhan, bahkan ratusan tahun, yaitu Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang, ilmu inti dari para raja pengemis per¬kumpulan Khong-sim Kai-pang! Setelah dara itu menghafal teori ilmu silat ini dengan baik, maka kakek itu lalu mengajaknya untuk pergi menemui tempat tinggal tunangannya! Yu Hwi tidak membantah, dan jan¬tungnya berdebar penuh ketegangan ke¬tika dia melakukan perjalanan dengan kakeknya menuju ke tempat tinggal ca¬lon suaminya, yang menurut kakeknya tinggal bersama Sin-siauw Seng-jin! Dia tidak pernah menyinggung nama tunangan¬nya itu, akan tetapi mendengar nama Sin-siauw Seng-jin, dia berkata, “Apakah Kong-kong lupa akan pesan suhu? Aku pernah mencuri kumpulan kitab-kitab dari kakek suling sakti itu. Kalau dia men¬dengar itu dan melihatku, apakah dia tidak akan marah?” Kakek itu tertawa. “Dia marah ke¬padamu? Ha-ha-ha, tidak mungkin cucu¬ku. Dan dia tentu malah akan tertawa girang melihat kelihaianmu, apalagi kitab-kitab yang kaucuri itu hanya kitab-kitab palsu. Sudahlah, jangan khawatir. Kita akan menemui keluarga yang paling he¬bat dalam dunia ini, dan Sin-siauw Seng¬jin itu hanya merupakan keturunan dari pelayan saja dari keluarga tunanganmu!” Diam-diam Yu Hwi terkejut sekali mendengar ini dan timbul keinginan hatinya untuk melihat seperti apakah gerang¬an macamnya orang yang menjadi calon suaminya itu sehingga kakek sakti Sin-siauw Seng-jin hanya merupakan keturun¬an pelayan dari keluarga pemuda itu! Hari telah sore dan cuaca mulai ge¬lap ketika akhirnya kakek dan cucu itu tiba di puncak sebuah bukit kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sin-siauw Seng-jin dan para pengikutnya. Di puncak itu terdapat sebuah bangunan sederhana namun cukup besar dan kelihatan sunyi saja. Di sekeliling bangunan terdapat tanaman bermacam-macam sayur dan bunga-bunga, suasananya hening dan ber¬sih sekali. Akan tetapi, ketika mereka tiba di depan rumah besar itu, tiba-tiba ber¬kelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri menghadang seorang kakek bertubuh tinggi kurus yang memegang tongkat butut. Yu Hwi kagum melihat gerakan kakek ini yang memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi sehingga dapat bergerak secepat itu. Sejenak kakek tinggi kurus itu memandang kepada Sai-cu Kai-ong dan Yu Hwi, akan tetapi segera sikapnya ber¬ubah ketika dia mengenal Sai-cu Kai-ong. Kalau tadinya dia bersikap galak dan angkuh, kini wajahnya tersenyum dan dia cepat membungkuk dengan hormat. “Ah, kiranya Kai-ong yang berkenan datang berkunjung. Harap maafkan bahwa guru kami tidak mengetahui sebelumnya sehingga tidak sempat menyambut.” “Ha-ha-ha, Gin-siauw Lo-jin, engkau makin tua makin gagah saja. Tak usah bersikap sungkan, lebih baik lekas beri¬tahukan gurumu bahwa aku datang dan minta menghadap kepadanya karena urus¬an keluarga yang amat penting,” kata Sai-cu Kai-ong. “Silakan Kai-ong masuk dan menanti di ruangan tamu, saya akan melaporkan kepada suhu, kata kakek itu sambil mem¬persilakan dua orang tamu itu masuk. Sai-cu Kai-ong mengangguk dan mengajak Yu Hwi masuk, kemudian mereka berdua duduk di sebuah ruangan yang lebar dan sederhana, sedangkan kakek bertongkat itu lalu mengangguk lagi dan meninggalkan mereka. “Siapakah kakek lihai itu, Kong-kong? Kalau tidak salah, ketika Sin-siauw Seng-jin bertanding melawan Pendekar Siluman Kecil, aku pernah melihatnya,” bisik Yu Hwi yang masih kagum melihat kakek itu. “Dia adalah Gin-siauw Lo-jin. Kau¬lihat, muridnya saja demikian lihai, apa¬lagi gurunya! Dan selihai itu pun masih belum dapat menguasai ilmu-ilmu Pende¬kar Suling Emas dengan sempurna. Yang dapat menguasainya kelak tentu hanya Kam-kongcu, tunanganmu itu,” kata kakek itu dengan bangga sehingga makin tertarik hati Yu Hwi untuk melihat ba¬gaimana tampangnya pemuda yang dipuji-puji kakeknya ini. Terdengar suara orang tertawa halus dari arah pintu dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang bukan lain adalah Sin-siauw Seng-jin sendiri. Kakek ini nampak tua sekali dan begitu melihat tamunya, dia cepat menjura dengan da¬lam ke arah Sai-cu Kai-ong sambil berkata, “Ah, sungguh girang sekali mendapat kunjungan Kai-ong yang terhormat. Mengapa tidak memberi kabar lebih dulu sehingga kami dapat mengadakan penyam¬butan meriah?” Sai-cu Kai-ong cepat bangkit dan membalas penghormatan sahabatnya itu, kemudian dia menjawab, “Kami datang secara tergesa-gesa, membawa berita yang amat penting dan tentu akan meng¬girangkan hati Seng-jin yang sudah tua.” Kakek berambut putih itu memandang kepada Yu Hwi, dan Si Raja Pengemis tahu betapa sinar mata kakek itu nam¬pak tertegun, kemudian sinar mata itu meneliti ke arah dagu cucunya, maka dia tertawa, “Ha-ha-ha, Seng-jin, engkau mencari tahi lalat di dagunya?” Dia teringat akan teguran Si Raja Maling ke¬padanya dan dia tertawa gembira. Wajah kakek berambut putih itu ber¬ubah. “Apa maksudmu, Kai-ong?” Kini dia memandang kepada kakek raja pe¬ngemis itu penuh keheranan. Memang tadi dia tertegun melihat Yu Hwi, akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan amat besar antara Yu Hwi belasan tahun yang lalu sebagai anak kecil dengan Yu Hwi sekarang yang telah menjadi seorang dara jelita yang sudah dewasa. Kalau dia tadi memandang tertegun, bukan karena dia melihat persamaan, seperti persama¬an antara Yu Hwi dan mendiang ibu kandungnya yang dapat dikenal oleh Sai-cu Kai-ong, melainkan karena dia merasa heran mengapa sahabatnya itu datang membawa seorang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenalnya. Maka, mendengar ucapan sahabatnya tentang tahi lalat di dagu, dia terkejut sekali. “Maksudku, Seng-jin, bahwa yang ber¬diri di depanmu ini adalah Yu Hwi, cucuku yang dulu kutitipkan kepadamu ke¬mudian hilang diculik orang.” Mendengar ini, kakek berambut putih itu terkejut bukan main dan dia melang¬kah maju ke depan, mendekati Yu Hwi dan memandang makin teliti. “Ahhhhh.... terima kasih kepada Thian bahwa engkau akhirnya dapat ditemukan dalam keadaan selamat, anak yang baik!” katanya. “Yu Hwi, lekas beri hormat kepada Sin-siauw Seng-jin, karena dia inilah sesungguhnya gurumu sebelum engkau di¬larikan oleh gurumu yang sekarang.” Biarpun hatinya meragu, apalagi meng¬ingat bahwa dia telah mencuri kitab-kitab milik kakek sakti ini, namun Yu Hwi tidak berani membantah perintah kakeknya dan dia lalu menjatuhkan diri¬nya berlutut di depan kakek itu. Sin-siauw Seng-jin tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk. Dengan sikap lembut jari-jari tangannya meraba baju di punggung dara itu dan membetotnya. Ada tenaga kuat yang memaksa Yu Hwi bangkit berdiri lagi. “Jangan banyak sungkan, Yu-siocia. Silakan duduk,” katanya lembut dan Yu Hwi merasa heran mendengar betapa di dalam suara itu terkandung penghormatan yang agak berlebihan, seolah-olah kakek itu merendahkan diri dengan menyebut¬nya Yu-siocia. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap dan duduk di atas bangku yang ditunjuk, yaitu di depan kakek rambut putih itu. “Kai-ong yang baik, mengapa engkau tidak cepat-cepat memberi kabar kepada¬ku bahwa engkau telah menemukan kem¬bali cucumu?” Sin-siauw Seng-jin me¬negur sahabatnya. “Ketahuilah, Seng-jin, bahwa aku sen¬diri pun baru beberapa hari saja bertemu dengan cucuku, dan setelah menurunkan ilmu-ilmu keluarga kami, aku cepat mengajaknya menghadapmu di sini.” “Ah, kalau begitu maafkan teguranku dan terima kasih atas perhatianmu, Kai-ong. Sekarang, coba kautolong beri tahu kepadaku, bagaimana engkau dapat me¬nemukan cucumu ini? Siapakah yang menculiknya?” Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Inilah jadinya kalau kita yang sudah tua-tua ini selalu tidak mau kalah meng¬adu ilmu dengan orang lain. Apakah eng¬kau ingat akan Hek-sin Touw-ong?” “Ah, Si Raja Maling dari pantai Po-hai yang lihai itu?” “Benar dia, dan pernahkah engkau bentrok dengan dia?” Sin-siauw Seng-jin mengangguk-angguk. “Ah, aku masih menyesal sekali dengan peristiwa itu. Kami sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah sehingga akhirnya dengan menyesal aku terpaksa melukainya.... apa hubungannya dia de¬ngan urusan ini?” “Bukan hanya jasmaninya yang ter¬luka, akan tetapi juga hatinya, Seng-jin. Karena merasa penasaran, apalagi ketika mendengar bahwa aku, sahabatnya yang akrab, menyerahkan cucuku untuk menjadi muridmu, hatinya menjadi panas sekali dan dialah yang menculik Yu Hwi, yang kemudian diangkat sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri dan dicintanya.” “Ahhh....!” Wajah kakek tua itu ber¬ubah merah, akan tetapi kemarahannya itu segera meluntur. “Salahku sendiri.... semua sebab tentu berakibat....!” “Engkau benar, tidak perlu kita me¬rasa penasaran karena Si Raja Maling itu tidak berniat buruk terhadap Yu Hwi. Bahkan semua kepandaiannya telah di¬turunkannya kepada Yu Hwi dan cucuku dicinta seperti anak sendiri. Dan kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku untuk disampaikan kepadamu? Bahkan kumpulan-kumpulan kitab palsumu telah dicuri orang, dan pencurinya adalah.... Yu Hwi sendiri!” “Ahhh....?” Sin-siauw Seng-jin ter¬belalak memandang kepada Yu Hwi dan dara itu cepat menundukkan mukanya. “Harap Locianpwe sudi memaafkan kekurangajaranku....“ Kakek tua renta itu tertawa pahit. “Aihhh, si maling itu sungguh tidak ke¬palang membalas sakit hatinya. Tidak, Yu-siocia, aku tidak marah dan sudah sepatutnya aku menerirna hajaran itu agar aku tidak lagi memandang rendah kepandaian orang lain.” “Seng-jin, kenapa urusan penting di¬lupakan dan kita bicara urusan sendiri saja? Mana dia Kam-kongcu? Peristiwa yang amat menggembirakan ini harus kita saksikan, ha-ha-ha! Ingin aku me¬lihat pertemuan antara dua orang calon pengantin yang amat cocok dan sama-sama elok, bukan? Lekas kau persilakan Kam-kongcu keluar!” Sin-siauw Seng-jin tersenyum gembira dan mengangguk-angguk. “Wah, aku sudah pikun, Kai-ong. Dia tadi sedang tekun melatih sinkang bagian terakhir. Anak itu dengan cepat dapat menguasai ilmu-ilmu yang paling sukar dan kini sudah me¬lampaui tingkatku. Semua ini berkat bimbinganmu, Kai-ong. Biar kupanggil dia.” Setelah berkata demikian, kakek itu menoleh ke kiri kemudian bibirnya ber¬gerak mengeluarkan suara lirih, akan tetapi suara lirih ini menggetarkan jan¬tung Yu Hwi yang merasa terkejut se¬tengah mati dan cepat dia pun mengerah¬kan sinkang untuk menahan jantungnya agar tidak terguncang hebat oleh penga¬ruh khikang suara itu. “Kam-kongcu, silakan keluar ke kamar tamu, di sini ada Suhumu dan tunanganmu!” Suara itu lirih saja, akan tetapi me¬ngandung getaran amat kuat dan agaknya getaran itu dapat menembus dinding. Hening sejenak setelah gema suara aneh itu lenyap, kemudian lapat-dapat ter¬dengar bisikan yang lirih pula akan te¬tapi terdengar jelas oleh Yu Hwi. “Aku datang, Locianpwe....!” Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang halus dari pintu sam¬ping ruangan tamu itu. Jantung di dalam dada Yu Hwi berdebar tegang. Kalau dia menurunkan bisikan hatinya yang biasa¬nya wajar, polos dan lincah, tentu dia akan memandang ke arah pintu itu untuk cepat melihat seperti apa gerangan Kam-kongcu yang dikatakan sebagai tunangan atau calon suaminya itu. Namun, meng¬ingat bahwa dia adalah keturunan keluar¬ga Yu yang “besar”, maka dia menekan perasaan hatinya dan hanya menundukkan mukanya tanpa menoleh. Terasa oleh dia betapa detak jantungnya seperti hendak memecahkan rongga dadanya! Bukan hanya Yu Hwi saja yang ter¬serang semacam “penyakit”, yaitu kehi¬langan kebebasan dan kewajaran begitu dia “menempel” kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih be¬sar daripada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpura-pura, hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun. Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia adalah keturunan ke¬luarga “besar”, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu dan merasa dirinya besar pula, dan be¬gitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat-sifat besar tersendiri pula! Bukan hanya Yu Hwi yang terserang penyakit itu, melain¬kan kita pada umumnya pun demikian! Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri, depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Be¬tapa kita hidup dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya karena ingin “menyesuaikan diri” dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau dilakukan dengan pura-pura, dengan pak¬saan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah? Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci? Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di seluruh du¬nia! Kita kehilangan kewajaran, kehilang¬an kebebasan, karena kita INGIN DI¬ANGGAP BAIK, kita ingin dianggap so¬pan, dianggap ramah, maka kita menge¬jar anggapan itu dengan menggunakan kedok palsu dari kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menye¬dihkan hal ini! Betapa munafik dan pal¬sunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati, bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi kita kalau kita ingir mengenal dan menyelidiki diri sendiri. Biarpun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Lang¬kah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesa-gesa, gerakan yang lembut. “Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghatur¬kan hormat kepada Suhu!” terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal suara itu dengan baik sekali. Akan tetapi “kesopanan” masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani menger¬ling ke arah pria yang kini berlutut tak jauh di sebelah kiri bangku yang diduduki¬nya itu. Dia hanya dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar. Biarpun hatinya meragu, apalagi meng¬ingat bahwa dia telah mencuri kitab-kitab milik kakek sakti ini, namun Yu Hwi tidak berani membantah perintah kakeknya dan dia lalu menjatuhkan diri¬nya berlutut di depan kakek itu. Sin-siauw Seng-jin tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk. Dengan sikap lembut jari-jari tangannya meraba baju di punggung dara itu dan membetotnya. Ada tenaga kuat yang memaksa Yu Hwi bangkit berdiri lagi. “Jangan banyak sungkan, Yu-siocia. Silakan duduk,” katanya lembut dan Yu Hwi merasa heran mendengar betapa di dalam suara itu terkandung penghormatan yang agak berlebihan, seolah-olah kakek itu merendahkan diri dengan menyebut¬nya Yu-siocia. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap dan duduk di atas bangku yang ditunjuk, yaitu di depan kakek rambut putih itu. “Kai-ong yang baik, mengapa engkau tidak cepat-cepat memberi kabar kepada¬ku bahwa engkau telah menemukan kem¬bali cucumu?” Sin-siauw Seng-jin me¬negur sahabatnya. “Ketahuilah, Seng-jin, bahwa aku sen¬diri pun baru beberapa hari saja bertemu dengan cucuku, dan setelah menurunkan ilmu-ilmu keluarga kami, aku cepat mengajaknya menghadapmu di sini.” “Ah, kalau begitu maafkan teguranku dan terima kasih atas perhatianmu, Kai-ong. Sekarang, coba kautolong beri tahu kepadaku, bagaimana engkau dapat me¬nemukan cucumu ini? Siapakah yang menculiknya?” Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Inilah jadinya kalau kita yang sudah tua-tua ini selalu tidak mau kalah meng¬adu ilmu dengan orang lain. Apakah eng¬kau ingat akan Hek-sin Touw-ong?” “Ah, Si Raja Maling dari pantai Po-hai yang lihai itu?” “Benar dia, dan pernahkah engkau bentrok dengan dia?” Sin-siauw Seng-jin mengangguk-angguk. “Ah, aku masih menyesal sekali dengan peristiwa itu. Kami sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah sehingga akhirnya dengan menyesal aku terpaksa melukainya.... apa hubungannya dia de¬ngan urusan ini?” “Bukan hanya jasmaninya yang ter¬luka, akan tetapi juga hatinya, Seng-jin. Karena merasa penasaran, apalagi ketika mendengar bahwa aku, sahabatnya yang akrab, menyerahkan cucuku untuk menjadi muridmu, hatinya menjadi panas sekali dan dialah yang menculik Yu Hwi, yang kemudian diangkat sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri dan dicintanya.” “Ahhh....!” Wajah kakek tua itu ber¬ubah merah, akan tetapi kemarahannya itu segera meluntur. “Salahku sendiri.... semua sebab tentu berakibat....!” “Engkau benar, tidak perlu kita me¬rasa penasaran karena Si Raja Maling itu tidak berniat buruk terhadap Yu Hwi. Bahkan semua kepandaiannya telah di¬turunkannya kepada Yu Hwi dan cucuku dicinta seperti anak sendiri. Dan kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku untuk disampaikan kepadamu? Bahkan kumpulan-kumpulan kitab palsumu telah dicuri orang, dan pencurinya adalah.... Yu Hwi sendiri!” “Ahhh....?” Sin-siauw Seng-jin ter¬belalak memandang kepada Yu Hwi dan dara itu cepat menundukkan mukanya. “Harap Locianpwe sudi memaafkan kekurangajaranku....“ Kakek tua renta itu tertawa pahit. “Aihhh, si maling itu sungguh tidak ke¬palang membalas sakit hatinya. Tidak, Yu-siocia, aku tidak marah dan sudah sepatutnya aku menerirna hajaran itu agar aku tidak lagi memandang rendah kepandaian orang lain.” “Seng-jin, kenapa urusan penting di¬lupakan dan kita bicara urusan sendiri saja? Mana dia Kam-kongcu? Peristiwa yang amat menggembirakan ini harus kita saksikan, ha-ha-ha! Ingin aku me¬lihat pertemuan antara dua orang calon pengantin yang amat cocok dan sama-sama elok, bukan? Lekas kau persilakan Kam-kongcu keluar!” Sin-siauw Seng-jin tersenyum gembira dan mengangguk-angguk. “Wah, aku sudah pikun, Kai-ong. Dia tadi sedang tekun melatih sinkang bagian terakhir. Anak itu dengan cepat dapat menguasai ilmu-ilmu yang paling sukar dan kini sudah me¬lampaui tingkatku. Semua ini berkat bimbinganmu, Kai-ong. Biar kupanggil dia.” Setelah berkata demikian, kakek itu menoleh ke kiri kemudian bibirnya ber¬gerak mengeluarkan suara lirih, akan tetapi suara lirih ini menggetarkan jan¬tung Yu Hwi yang merasa terkejut se¬tengah mati dan cepat dia pun mengerah¬kan sinkang untuk menahan jantungnya agar tidak terguncang hebat oleh penga¬ruh khikang suara itu. “Kam-kongcu, silakan keluar ke kamar tamu, di sini ada Suhumu dan tunanganmu!” Suara itu lirih saja, akan tetapi me¬ngandung getaran amat kuat dan agaknya getaran itu dapat menembus dinding. Hening sejenak setelah gema suara aneh itu lenyap, kemudian lapat-dapat ter¬dengar bisikan yang lirih pula akan te¬tapi terdengar jelas oleh Yu Hwi. “Aku datang, Locianpwe....!” Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang halus dari pintu sam¬ping ruangan tamu itu. Jantung di dalam dada Yu Hwi berdebar tegang. Kalau dia menurunkan bisikan hatinya yang biasa¬nya wajar, polos dan lincah, tentu dia akan memandang ke arah pintu itu untuk cepat melihat seperti apa gerangan Kam-kongcu yang dikatakan sebagai tunangan atau calon suaminya itu. Namun, meng¬ingat bahwa dia adalah keturunan keluar¬ga Yu yang “besar”, maka dia menekan perasaan hatinya dan hanya menundukkan mukanya tanpa menoleh. Terasa oleh dia betapa detak jantungnya seperti hendak memecahkan rongga dadanya! Bukan hanya Yu Hwi saja yang ter¬serang semacam “penyakit”, yaitu kehi¬langan kebebasan dan kewajaran begitu dia “menempel” kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih be¬sar daripada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpura-pura, hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun. Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia adalah keturunan ke¬luarga “besar”, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu dan merasa dirinya besar pula, dan be¬gitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat-sifat besar tersendiri pula! Bukan hanya Yu Hwi yang terserang penyakit itu, melain¬kan kita pada umumnya pun demikian! Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri, depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Be¬tapa kita hidup dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya karena ingin “menyesuaikan diri” dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau dilakukan dengan pura-pura, dengan pak¬saan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah? Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci? Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di seluruh du¬nia! Kita kehilangan kewajaran, kehilang¬an kebebasan, karena kita INGIN DI¬ANGGAP BAIK, kita ingin dianggap so¬pan, dianggap ramah, maka kita menge¬jar anggapan itu dengan menggunakan kedok palsu dari kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menye¬dihkan hal ini! Betapa munafik dan pal¬sunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati, bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi kita kalau kita ingir mengenal dan menyelidiki diri sendiri. Biarpun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Lang¬kah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesa-gesa, gerakan yang lembut. “Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghatur¬kan hormat kepada Suhu!” terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal suara itu dengan baik sekali. Akan tetapi “kesopanan” masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani menger¬ling ke arah pria yang kini berlutut tak jauh di sebelah kiri bangku yang diduduki¬nya itu. Dia hanya dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar. Pertanyaan ini mengganggu hati Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil. Pemuda ini merasa khawatir bukan main. Padahal dia telah mempergunakan ilmu ginkangnya yang membuat dia dapat berlari seperti ter¬bang cepatnya. Sudah dijelajahinya se¬luruh daerah itu, sudah dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil menemukan jejak dara yang telah meng¬gerakkan hatinya semenjak peristiwa pembukaan rahasia itu, dara yang ter¬nyata adalah tunangannya, calon isterinya sendiri! Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong. Diam-diam ada perasaan bahagia yang luar biasa oleh kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang dipilihkan oleh Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong, adalah justeru gadis yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu! Akan tetapi, perasaan bahagia ini mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil menyusul dan menemukan Yu Hwi. Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin rasanya dara itu dapat berlari se¬demikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa cemas sekali karena menduga tentu telah ter¬jadi sesuatu atas diri tunangannya itu. Maka, Kam Hong mengambil keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat me¬nemukan Yu Hwi dan tidak akan pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Seng-jin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi. Dan mengingat bahwa cerita ini ma¬sih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan Yu Hwi dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita tentang mereka akan dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga cabang dari cerita Jodoh Se¬pasang Rajawali ini. Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan se¬buah cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari keluarga Raja Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh utamanya. *** Tek Hoat rebah dengan kedua mata terpejam di atas pembaringan dalam kamar yang bersih dan indah itu. Orang yang sudah mengenalnya tentu akan ter¬kejut sekali kalau melihat wajahnya pada saat itu. Wajahnya pucat dan kurus se¬kali sehingga sepasang alisnya yang tebal itu nampak lebih hitam lagi. Kerut-merut di antara kedua alisnya membayangkan kedukaan besar yang agaknya menindih perasaan pemuda perkasa ini. Rambutnya yang dikuncir itu agak awut-awutan dan tubuhnya tertutup selimut tebal. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik duduk di atas lantai, di depan pembaringan. Mereka adalah pelayan-pelayan yang menjaga, bergiliran dengan pelayan-pelayan lain. Pemuda yang se¬dang menderita sakit ini selalu dijaga secara bergilir dan pada saat-saat ter¬tentu pelayan menyuapkan obat dan ma¬kanan ke dalam mulut pemuda itu yang menerima segala perawatan tanpa pernah bicara atau membantah, bahkan jarang membuka mata. Dia hanya rebahan se¬perti orang tidur, kadang-kadang ber¬bisik-bisik, kadang-kadang mengeluh bah¬kan tidak jarang ada pelayan melihat air mata berlinang dan menitik turun ke atas pipi yang pucat dan cekung itu. Sebetulnya semua luka-luka yang di¬derita oleh Tek Hoat akibat pertempuran menghadapi para pemberontak itu telah dapat disembuhkan sama sekali oleh ahli-ahli pengobatan Kerajaan Bhutan. Akan tetapi luka di hatinya yang sukar disem¬buhkan. Para tabib itu merasa khawatir juga. Pemuda itu kelihatan linglung ti¬dak pernah dapat sadar sama sekali dan selalu murung, seperti orang yang putus harapan. Para pelayan wanita itu, yang sebagi¬an besar merupakan bekas pelayan-pelayan dari Puteri Syanti Dewi, merasa terharu kalau mendengar betapa dalam igauannya, pemuda itu sering kali menyebut-nyebut nama Syanti Dewi. Mereka semua tahu belaka bahwa pemuda ini adalah bekas tunangan sang puteri dan betapa pemuda ini pernah terusir dari Bhutan tanpa salah, betapa kemudian sang puteri juga lolos dari istana untuk mencari pemuda kekasihnya ini. Mereka tahu bahwa ada hubungan cinta kasih men¬dalam antara pemuda perkasa ini dan sang puteri, dan bahwa pemuda ini jatuh sakit seperti orang linglung karena me¬nyangka bahwa sang puteri telah bermain gila dengan Mohinta, kemudian melihat sang puteri tewas tanpa mengetahuinya bahwa yang tewas dan bermain gila de¬ngan Mohinta itu bukanlah Syanti Dewi yang aseli! Tiba-tiba terdengar suara pengawal di luar pintu kamar dan dua orang pelayan itu cepat berlutut. Raja Bhutan sendiri dengan dua orang tabib dan dikawal beberapa orang pengawal, diiringkan pula oleh Panglima Jayin, memasuki kamar itu. Sang raja mendekati pembaringan, memandang wajah pemuda itu, lalu menarik napas panjang. “Kasihan....“ keluhnya, lalu dia me¬noleh kepada dua orang tabib tua itu. “Bagaimana harapannya?” Dua orang tabib itu saling pandang, kelihatan was-was, kemudian seorang di antara mereka berkata, “Hamba berdua telah berdaya sekuat tenaga, Sri baginda. Hamba telah membersihkan darahnya se¬hingga tidak membahayakan keselamatan tubuhnya, akan tetapi.... penyakitnya bukan menyerang badan, melainkan batin dan hal ini amat sukar diatasi dengan obat. Perasaan kecewa yang besar dan kedukaan yang hebat telah meracuni jantungnya.” “Hemmm....“ Sang raja mengusap jenggotnya. “Kalian maksudkan ada hu¬bungannya dengan sang puteri?” Tabib itu mengangguk. “Kiranya be¬gitulah. Melihat semua peristiwa yang terjadi atas diri wanita yang disangkanya sang puteri, terutama melihat wanita itu tewas, telah mendatangkan guncangan yang amat hebat.” Raja Bhutan mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali. Kini telah terbukti bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan setia, memang patut sekali menjadi mantunya, dan pe¬muda ini amat mencinta Syanti Dewi. Dia merasa menyesal pernah berusaha memisahkan dua orang muda itu dan sekarang akibatnya, Syanti Dewi masih belum dapat ditemukan dan pemuda ini yang sudah dua kali berjasa terhadap Bhutan, kini rebah dalam keadaan sakit hebat. “Bagaimana kalau dia diberi tahu bahwa Syanti Dewi masih hidup?” Akhirnya dia bertanya. “Memang, guncangan itu kiranya da¬pat disembuhkan dengan guncangan lain yang amat berpengaruh terhadap batin¬nya, Sri baginda. Akan tetapi hamba juga khawatir kalau-kalau guncangan lain itu bahkan akan mengakibatkan hal yaAg lebih parah lagi.” “Dapat menewaskannya....?” “Mungkin saja.” “Hemmm, kalau begitu amat berba¬haya. Biarlah saja dulu, tak usah diberi tahu sampai kita berhasil menemukan Syanti Dewi. Panglima Jayin, bagaimana dengan usahamu menyelidiki sang puteri?” Panglima Jayin memberi hormat. “Hamba sudah mengerahkan para penyeli¬dik yang terpandai. Ada kabar baik, Sri Baginda. Ada kabar bahwa Sang Puteri Syanti Dewi diberitakan berada di sebuah pulau pada beberapa tahun yang lalu, akan tetapi beliau sudah meninggalkan pulau itu. Para penyelidik sedang melan¬jutkan penyelidikannya. Setidaknya hasil penyelidikan itu membuktikan bahwa sang puteri memang masih dalam keadaan sehat.” Raja Bhutan itu mengangguk-angguk, lalu mengomel, “Itulah susahnya kalau wanita diberi pelajaran silat. Jayin, mu¬lai sekarang umumkan di seluruh Bhutan bahwa dilarang mengajarkan ilnmu silat kepada kaum wanita!” Panglima Jayin merasa geli oleh pe¬rintah ini, namun dengan wajah bersung¬guh-sungguh dia mengambil sikap tegak dan menjawab, “Baik, Sri baginda!” Setelah memandang sekali lagi wajah pemuda itu, Raja Bhutan lalu keluar dari dalam kamar, diiringkan oleh Panglima Jayin, para tabib dan para pengawal. Dua orang pelayan tadi masih duduk di dalam kamar, di depan pembaringan se¬telah menutupkan kembali pintu kamar. Tidak ada seorang pun yang melihat¬nya, juga Panglima Jayin yang lihai itu tidak dapat melihat betapa ada bayangan yang amat cepat berkelebat di atas gen¬teng kamar itu. Bayangan itu berkelebat seperti setan saja saking cepatnya, demi¬kian ringan seperti seekor kucing yang berlompatan di atas genteng. Setelah rombongan raja itu meninggalkan kamar, bayangan yang amat ringan dan cepat gerakannya itu melayang turun lalu me¬loncat ke depan pintu kamar Tek Hoat. Dengan amat hati-hati sebuah tangan dengan jari-jari runcing kecil dan halus kulitnya itu membuka pintu mengintai ke dalam, kemudian, daun pintu kamar itu dibukanya dan secepat kilat tubuhnya melayang ke dalam. Gerakannya itu se¬demikian ringannya sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apa-apa dan dua orang pelayan wanita yang duduk di atas lantai menghadapi pembaringan itu sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tidak menengok. Tiba-tiba mereka itu mengeluh dan roboh terguling, pingsan dan tidak sempat melihat siapa orangnya yang menyerang mereka, bahkan tidak tahu apa yang terjadi karena serangan dengan totokan kedua tangan ke arah tengkuk yang membuat mereka pingsan itu demikian luar biasa cepatnya. Bayangan itu bukan lain adalah Syanti Dewi! Seperti telah kita ketahui, puteri Bhutan yang cantik jetita ini telah me¬larikan diri dari Kim-coa-to karena jijik melihat kenyataan betapa gurunya, yaitu Ouw Yan Hui, dan Maya Dewi si nenek India ahli kecantikan itu melakukan per¬buatan-perbuatan mengerikan, yaitu suka berjina dengan sesama wanita. Sang pu¬teri melarikan diri dengan perahu dan kini dia telah berubah menjadi seorang wanita yang luar biasa cantiknya berkat ramuan obat yang diberikan oleh Maya Dewi. Di samping kecantikan yang luar biasa, bagaikan batu permata yang sudah digosok, dia pun kini memiliki kepandaian istimewa, terutama sekali ilmu ginkang yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya! Dengan kepandaiannya yang hebat itu, Syanti Dewi cepat menuju ke Bhutan. Dia sudah merasa rindu kepada kampung halaman, dan merasa berdosa telah me¬ninggalkan ayah bundanya di Kerajaan Bhutan. Apalagi ketika dia mendengar berita yang didapatnya di sepanjang ja¬lan bahwa di Bhutan terjadi pemberontak¬an dan bahwa hampir saja Raja Bhutan menjadi korban, dia mempercepat per¬jalanannya menuju ke Bhutan. Setelah tiba di daerah Bhutan, berita yang didapatnya lebih mengejutkan hatinya kare¬na berita ini menyatakan betapa dalam keadaan bahaya besar bagi ayahnya dan Kerajaan Bhutan itu, kernbali muncul Ang Tek Hoat sebagai pahlawan dan pe¬nolong! Akan tetapi, hatinya merasa ge¬lisah bukan main ketika mendengar bahwa pemuda itu luka-luka parah dan kini rebah di istana dalam keadaan menderita sakit berat. Syanti Dewi mendengar pula akan adanya wanita yang memalsu dirinya, dan betapa pemberontakan itu dipimpin oleh Mohinta yang telah tewas. Semua ini mendatangkan tanda tanya besar baginya dan dia tidak mau memasuki Bhutan secara terang-terangan, melainkan me¬masuki daerah istana itu setelah malam tiba. Bahkan dia bersembunyi di atas genteng ketika melihat rombongan ayah¬nya memasuki kamar Tek Hoat, dan men¬dengarkan percakapan mereka tanpa di¬ketahui seorang pun. Dengan kepandaian¬nya yang sekarang, hal ini dapat mudah dilakukannya karena semua gerakannya sedemikian ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun. Setelah ayahnya dan rombongan ayahnya meninggalkan kamar itu, sejenak dia berdiam dengan hati ter¬guncang hebat. Apa yang didengarnya antara percakapan ayahnya dengan Panglima Jayin dan tabib-tabib tadi benar-benar amat mengejutkan dan mengharu¬kan hatinya. Tek Hoat sakit parah dan mungkin takkan tertolong keselamatan¬nya! Tek Hoat bukan parah karena luka-lukanya, melainkan karena mengira dia telah mati, belum tahu bahwa yang mati adalah wanita yang mertyamar sebagai dia! “Tek Hoat....!” Setelah dia meluncur turun dan merobohkan dua orang pelayan sehingga mereka berdua itu roboh ping¬san tanpa mengenalnya, Syanti Dewi berlari menghampiri dipan di mana tubuh Tek Hoat terbujur terlentang di atasnya. “Tek Hoat....!” Dia berbisik, menubruk pemuda itu dan duduk di tepi pembaring¬an, memandang wajah yang kurus pucat itu dengan hati penuh keharuan. Dia merasa terharu karena betapapun juga, Tek Hoat telah membuktikan kesetiaan¬nya terhadap Bhutan dan cinta kasih yang mendalam kepada dirinya sendiri. Kekerasan hatinya yang pernah marah terhadap Tek Hoat yang meninggalkannya tanpa pamit itu melunak, akhirnya mencair bersama keluarnya air matanya dan bangkitlah rasa cintanya terhadap pe¬muda ini yang memang belum pernah padam. Perasaan duka dan iba memang me¬rupakan perasaan yang paling kuat untuk menggerakkan cinta kasih dalam batin seorang wanita! Betapa sering dan ba¬nyak terbukti bahwa seorang wanita yang menaruh iba dan merasa terharu, akan mudah sekali menyatakan cinta kasihnya. Agaknya Puteri Bhutan itu juga tidak terkecuali dan pada saat itu, keharuan dan iba hati mempengaruhi batinnya dengan amat kuatnya sehingga hatinya yang memang sejak dahulu mencinta Tek Hoat, kini bagaikan api berkobar lagi. “Tek Hoat, ahhh.... Tek Hoat....!” Dia meraba-raba pipi yang kurus itu, air matanya bertitik turun di sepanjang ke¬dua pipinya, semua keangkuhan terbang pergi meninggalkan batinnya dan sang puteri yang cantik jelita seperti bidadari kahyangan ini merangkul, menunduk dan mencium ujung mulut Tek Hoat dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya. Getaran perasaan yang memuncak itu agaknya terasa pula oleh Tek Hoat yang sedang rebah tidur atau dalam keadaan setengah sadar. Dia membuka matanya yang sayu. Pandang mata yang sayu itu bertemu dengan sepasang mata yang amat dekat, sepasang mata bening yang basah air mata, wajah yang cantik, yang begitu dekat sehingga dia merasakan hembusan napas yang hangat, wajah yang selama ini membuat dia seperti bosan hidup, wajah Syanti Dewi yang telah meninggal dunia! Tiba-tiba sepasang mata yang sayu itu terbelalak lebar, Tek Hoat tersentak kaget seperti melihat setan. Ada kekuatan gaib yang menibuat dia seperti kemasukan kilat, membuatnya bangkit duduk. “Syanti Dewi....!” dia menjerit, akan tetapi jeritannya itu hanya keluar seperti bisikan halus saja. “Tak mungkin....! Tak mungkin....! Engkau telah.... mati....!” Dengan sepasang mata tak pernah ber¬kedip, masih terbelalak, Tek Hoat ber¬kata dengan suara berbisik, dan dadanya bergelombang, napasnya terengah-engah. Sambil tersenyum dengan mata basah air nata, Syanti Dewi mengulur kedua tangannya, memegang lengan pemuda itu dengan lembut sambil berkata, “Tidak, Tek Hoat, tidak.... aku tidak mati....“ Sungguh mengharukan sekali wajah yang cantik itu, mulutnya tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang seperti mutiara, akan tetapi air ma¬tanya masih membasahi matanya dan menuruni pipinya. Akan tetapi, Tek Hoat masih dalam keadaan belum sehat benar lahir batin¬nya. Tiba-tiba saja dia mengibaskan ke¬dua tangan dara itu dari lengannya, sepasang matanya mengeluarkan sinar ke¬marahan dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya bersungut-sungut dan kedua tangannya dikepal! Dia seperti melihat lagi bayangan Syanti Dewi ber¬cumbu dengan Mohinta, mendengar kata-kata penuh rayuan dan kegenitan dari Syanti Dewi ketika bercumbu dalam ka¬mar bersama pemberontak itu. Makin dikenang, makin hebatlah kemarahannya dan akhirnya meledak dengan keras da¬lam bentuk kata-kata yang parau penuh kebencian. “Enyah kau, perempuan lacur! Perem¬puan hina dan rendah tak tahu malu! Engkau mengotorkan negaramu, engkau mengotorkan cinta kasih kita, engkau mengotorkan bumi dengan kecabulanmu. Pergi!” Syanti Dewi terhuyung ke belakang memegangi pipinya seolah-olah menerima tamparan keras dari Tek Hoat dengan kata-kata itu. Wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang wajah Tek Hoat dan air matanya makin deras bercucuran. Dia lalu memejamkan mata¬nya, menggigit bibirnya agar jangan men¬jerit. “Engkau telah berjina dengan Mohinta! Berani engkau menyentuhku setelah me¬lakukan perbuatan keji dan kotor itu?” Setiap kata yang keluar dari rnulut Tek Hoat seolah-olah menghujam di ulu hati Syanti Dewi, menimbulkan keperihan yang amat hebat sehingga dia menjadi berduka sekali, kemudian kemarahan menguasai dirinya. Tiba-tiba dia melon¬cat ke belakang, mukanya berubah merah matanya bersinar-sinar, dadanya bergelombang dan napasnya sesak, dengan kemarahan yang luar biasa dia menuding¬kan telunjuk kirinya ke arah muka Tek Hoat. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar