Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 37.

Jodoh Rajawali Jilid 37:
Jodoh Rajawali Jilid - 37 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 37 “Suheng....!” Cui Yan menjerit dan menubruk suhengnya. Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin meng¬hibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa. “Tek Hwi, awas....! Cegah dia....!” Tiba-tiba Kim-mouw Nio-nio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata ter¬belalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari se¬jengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu men¬jadi lemas dan lunglai. “Sumoi....!” Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya. Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, “Balaskan Suheng....“ Kemudian tubuhnya lunglai dan matanya terpejam. “Sumoi....! Cui Yan.... ah, Cui Yan kekasihku....!” Liong Tek Hwi menangis dan berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. “Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subonya. “Tek Hwi, nanti dulu....!” subonya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan ma¬rahnya, tidak mempedulikan subonya se¬hingga terpaksa Kim-mouw Nio-nio meng¬ikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali. Ketika tiba di dusun itu, dengan mu¬dah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan kebetulan sesekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah ber¬hasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau sau¬dara misan sang pangeran, akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan me¬reka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta. Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, “Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah sumoiku!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit ber¬diri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat se¬orang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nio-nio, datuk luar tembok besar dari utara itu! Biarpun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengar¬nya dari suhunya, akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara mi¬sannya itu dengan tersenyum. “Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?” “Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memper¬kosa calon isteriku sampai dia membunuh diri.... ah, aku tidak ingin hidup ber¬samamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!” bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah mener¬jang dengan pukulan yang amat keras. Liong Bian Cu cepat mengelak de¬ngan loncatan ke belakang sambil ber¬kata, “Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik daripada sumoimu itu!” “Manusia iblis! Harus kauganti dengan nyawamu!” Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan. Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat daripada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misan¬nya ini masih lebih tinggi daripada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apalagi dia me¬lihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal! Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia pun kini mem¬pergunakan ilmu pukulan Im-yang Sin¬ciang, Dia tidak mau mengalah dan biarpun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, namun pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan dapat membujuknya maka terpaksa harus membunuhnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa ting¬kat kepandaian mereka memang ber¬imbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nio-nio tetap berdiri menon¬ton sambil bersiap-siap turun tangan kalau fihak lawan dibantu oleh guru ma¬sing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nio-nio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-gerik¬nya! Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih ber¬langsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali. “Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak menghabis¬kan saja urusan perempuan ini?” dia ber¬seru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua ter¬pental ke belakang. Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat. “Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku!” “Keparat!” Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru. Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersema¬ngat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, ber¬beda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan-serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu mem¬bunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya. “Suhu, harap bantu....!” Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ke tiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap¬ sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri. Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal sehingga melalui murid¬nya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apalagi sekarang dia me¬lihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini! Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatang¬kan kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan me¬reka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalah¬kan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat meng¬hibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu. Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkah¬langkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar. Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap keduduk¬an menimbulkan jegal-jegalan, permusuh¬an dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogok¬menyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap ke¬hormatan, kebersihan nama dan apa yang dinamakan kebaikan menimbulkan pen¬jilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apabila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu. Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai “pamrih baik”, “pamrih mulia” dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapapun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang menguntungkan atau menyenangkan diri kita, lahir maupun batin! Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih! Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan menjawab permintaanya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak. “Crotttt....!” Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenga sinkang amat kuat itu memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu. “Prakkk!” Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu! Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nio-nio amat men¬cinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini me¬miliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat keme¬nangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat ter¬akhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi ma¬rah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin! Ban Hwa Sengjin tertawa dan meng¬gerakkan lengan bajunya menangkis. Hati¬nya girang bahwa muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntung¬kan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya, ke dua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nio-nio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempur¬an itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah nenek tua ini. Dan untuk membung¬kam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh. Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw Nio-nio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nam¬pak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, me¬nyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing. Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai se¬orang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan ter¬kupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kem¬bali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai. “Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa. Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, me¬lainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan menge¬luarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuk¬nya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur, dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk meng¬hantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan. Kini nenek Kim-mouw Nio-nio men¬jadi kaget dan bingung. Sepasang senjata¬nya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya se¬hingga sukar pula di jadikan sasaran se¬rangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan. Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu-tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah! Dan sebelum dia mampu ber¬gerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin me¬nendang. Tendangan itu sedemikian kuat¬nya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nio-nio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hi¬dungnya mengalir darah, tubuhnya lung¬lai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi! Ban Hwa Sengjin tertawa puas me¬lihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, kemudian dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para pen¬duduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara pen¬duduk dusun.Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal. Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Ne¬pal, tentang kegagalan gerakan di Tiong¬kok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran. Andaikata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan ke¬empat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok. “Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?” Gadis cantik itu menundukkan muka¬nya dan biarpun dia berusaha untuk me¬nahannya, namun tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya. Kim Sim Nikouw menarik napas pan¬jang dan untuk sejenak lamanya dia ter¬menung, teringat akan pengalaman hidup¬nya sendiri ketika dia masih muda, ke¬tika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih me¬rupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika nama¬nya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pen¬dekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia me¬rana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat. Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, ¬betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan ka¬renanya tentu saja dapat berubah men¬jadi kesengsaraan karena pada hakekat¬nya, kesenangan yang dikejar-kejar ada¬lah muka ke dua dari kesusahan. Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan pen¬deritaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapat¬kan balasan dari Suma Han yang dicinta¬nya itu. “Cui Lan hentikan tangismu dan de¬ngarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kaurasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, se¬perti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan.” Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah ter¬belalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya. “Subo.... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid).... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu....“ dia berhenti sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo, bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?” “Anak yang baik,” kata pendeta wa¬nita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau kita benar-benar men¬cinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Akan tetapi tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta, sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?” “Subo....!” Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatnya, mengagumi¬nya dan teecu mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, akan tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya...., salahkah ini? Nikouw itu tersenyum haru. “Tidak ada yang menyalahkan atau membenar¬kan, Cui Lan. Pinni hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat ke¬nyataan. Cinta yang mengharapkan balas¬an pada hakekatnya adalah nafsu berahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anak¬ku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?” “Teecu akan tetap mencintanya....“ “Dengan hati hancur dan menderita?” Gadis itu mengangguk dan terisak. “Teecu mencintanya dan teecu tahu bah¬wa teecu tidak cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biarpun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu....“ Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti! “Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat ke¬nyataan dan menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan ke¬patahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang¬ lain?” Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan meng¬gigit bibir yang gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua mata¬nya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia lalu berkata, “Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo....“ Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut. “Duduk¬lah yang baik, mari kita bicara.” Se¬telah Phang Cui Lan duduk dan meng¬hapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata. “Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Me¬nurut pandangan pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijak¬sana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bah¬wa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu....“ “Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat....“ Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. “Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandal¬kan kekerasan, sungguhpun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan ka¬rena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya yang ber¬bakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.” Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhir¬nya dia menurut karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkat¬nya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu. Demikianlah beberapa hari kemudian Cui Lan diantar oleh Kim Sim Nikouw meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu, untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biarpun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, akan tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang. Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan ma¬kan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari. Pada hari ke tiga itu, mereka me¬masuki hutan besar dan di dalam hati¬nya, Kim Sim Nikouw sudah merasa khawatir sungguhpun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari penge¬jaran yang berwajib atau juga dari pe¬ngejaran para pendekar. Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu. Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwa¬i-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di¬ serbu pasukan pemerintah. Apalagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu tosu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-pang Ciok Gu To. Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kong¬cu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggauta Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk meng¬ambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu. Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biar¬pun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya. “Ada apakah, Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subo¬nya yang serius. “Sssttt....“ Kim Sim Nikouw berbisik pula. Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subonya melihat atau men¬dengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manu¬sia saja dan dara ini menjadi tenang kembali. “Ah, kalian enam orang gagah sung¬guh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan dengan wajah ber¬seri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!” Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu, tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. “Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami ada¬lah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus me¬nyerah untuk menjadi tawanan kami.” “Menjadi tawanan?” Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang me¬miliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di fihak yang benar. “Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?” Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. “Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!” Kim Sim Nikouw sudah maklum bah¬wa dia dan muridnya berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus, “Omitohud.... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mem¬punyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah per¬kasa tidak mengganggu kami.” Si jangkung itu membelalakkan mata¬nya. “Eh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kaukira kami ini perampok¬perampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?” Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu. Dia cepat menjura dan berkata, “Ah, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.” “Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh....!” Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali. Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk mengunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan su¬dah puluhan tahun dia tidak pernah ber¬kelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguhpun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Biarpun Cui Lan sendiri merasa tidak setuju mendengar gurunya membawa bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah menge¬nal ayah angkatnya dan menghormatnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, “Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Setelah bertemu dengan beliau, tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa....“ Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak diikuti oleh teman-temannya. “Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempu¬nyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaan¬mu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.” “Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya. “Bunuh juga lebih baik!” kata si jang¬kung dan tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah ke¬marahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subonya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu. “Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggauta-anggauta perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!” Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. “Ha-ha-ha, kawan-kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhu¬tan itu, dia ini masih tidak kalah!” Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, “Cui Lan, mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak kha¬watir nama baik Cu-wi akan ternoda?” Si jangkung membentak, “Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang ter¬kenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Akan tetapi kami tidak ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini meng¬hadap kongcu yang sedang kesepian, se¬dangkan engkau, kalau engkau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami beri¬kan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!” Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, ke¬mudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali. “Omitohud.... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?” “Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, diterta¬wakan oleh teman-temannya. Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sen¬diri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw! “Ihhhhh....!” Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan di¬gembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada meman¬dang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kem¬bali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu. Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok karena biarpun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan ketika golok menyambar. Dia men¬jadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu. Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya, “Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!” Empat orang kawannya cepat menge¬luarkan senjata masing-masing dan be¬ramai-ramai mereka berlima lalu menge¬royok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh me¬ngejutkan mereka karena biarpun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan-serangan mereka mengenai sasaran! Ne¬nek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini meman¬cing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi. Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan se¬rangan sekumpulan anak-anak yang cang¬gung dan kaku belaka dan dengan gin¬kangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu me¬lukai nenek ini dengan senjata mereka! Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan me¬reka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran-ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hati¬nya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya meng¬elak saja tanpa mau membalas. Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di an¬tara kilatan golok dan pedang anak buah¬nya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke de¬pan, menusukkan goloknya ke arah pung¬gung nenek itu. Kim Sim Nikouw meng¬elak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bah¬wa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja. Enam orang Liong-sim-pang itu ma¬kin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama se¬kali tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan mem¬buat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu meng¬anggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi kini mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang! Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan me¬reka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu me¬ngeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget ber¬turut-turut golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw. “Omitohud, kalian terlalu mendesak....!” Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil. Mendengar suara “pletak-ple¬tak” dan melihat betapa golok dan pe¬dang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, me¬miliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mere¬ka. “Apakah yang sedang terjadi di sini?” Legalah hati Jiu Koan dan anak buah¬nya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki¬-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih, pakaiannya serba baru dengan baju berkembang-kembang, sepatu¬nya mengkilap, seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biarpun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi se¬orang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah! “Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Sen¬jata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!” Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih ter¬senyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurangajaran dalam mata pe¬muda asing itu. “Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan. “Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wila¬yah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya....“ “Seorang gagah perkasa harus malu untuk berbohong!” tiba-tiba Cui Lan ber¬kata lantang. “Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami.” “Kongcu, nona itu adalah puteri ang¬kat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si jangkung berkata dan ber¬ubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan. “Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat.” Cui Lan mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang me¬nyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura. “Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tidak ada kesem¬patan untuk berkunjung.” “Siapakah Lo-suthai?” Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah. Memang sesung¬guhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini. “Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di lereng Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang me¬nuju ke sana untuk menghadap gubernur.” Nikouw itu menjelaskan sejujurnya. “Hemmm, Suthai adalah seorang pe¬muja Dewi Welas Asih, akan tetapi Su¬thai sendiri tidak memiliki welas asih dalam hati Suthai” “Maksud Kongcu?” Kim Sim Nikouw bertanya heran. “Kalau Suthai niemiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggal¬kan nona ini di sini dan Suthai boleh pergi.” “Kongcu, apa maksudmu?” “Suthai tentu maklum betapa tersiksa¬nya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Dan melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku de¬ngan persembahan berupa nona ini. Ka¬lau Suthai kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk me¬nyerahkan nona ini kepadaku, untuk meng¬hibur hatiku yang sedang kesepian....“ “Eh, Kongcu yang rendah budi!” Cui Lan berseru marah. “Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan pakaianmu, tentu engkau seorang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat menge¬luarkan kata-kata yang rendah itu?” Tang Hun tersenyum. “Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh ke¬beranian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati.” “Tapi.... tapi dia....“ Jiu Koan me¬mandang ke arah Kim Sim Nikouw de¬ngan sikap jerih. “Serahkan nikouw tua ini kepadaku!” Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba sekali Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju, tangan kanannya me¬nampar ke arah pelipis dan tangan kiri¬nya menghadang lalu mencengkeram lam¬bung. Serangan ini ganas bukan main! “Omitohud....!” Kim Sim Nikouw ber¬seru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua ta¬ngan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput! Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus me¬nyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemi¬kian hebat serangan pemuda pesolek itu sehingga biarpun Kim Sim Nikouw me¬miliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi se¬orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah ber¬bahaya baginya kalau dia hanya meng¬elak terus-menerus. Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan. Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apalagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkangnya untuk meng¬elak ke sana-sini. Sebetulnya yang mem¬buat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk mem¬bunuhnya. Hal ini tentu saja amat mem¬pengaruhi jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya me¬lakukan serangan balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan meng¬hujankan serangan maut untuk membunuh. Sementara itu, biarpun dia telah me¬ngerahkan ginkangnya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengan¬nya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan. Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu! “Subo....!” Phang Cui Lan berseru memanggil akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ. “Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!” Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera lari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tak mampu berkutik dalam pondong¬an Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira. Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau dia mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwa¬i-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah. Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan ce¬pat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang ter¬tawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pem¬besar itu mau membantu. Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, “Ibu....! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?” “Kian Bu....!” Kim Sim Nikouw girang bukan main ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang me¬negurnya itu adalah seorang pemuda¬ berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pen¬dekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang. “Eh, Ibu menangis?” Kian Bu ter¬kejut bukan main. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari me¬lakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggil¬nya. Kini melihat nikouw tua itu ber¬linang air mata, dia terkejut sekali. “Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!” Setelah berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat ber¬lari ke arah yang berlawanan dengan tadi. Terpaksa Kian Bu juga memperguna¬kan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ. “Dia siapakah, Ibu?” Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap ni¬kouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut. “Dia.... Phang Cui Lan,” jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mem¬percepat larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah. “Phang Cui Lan....? Siapa dia....?” Kian Bu bertanya lagi. “Dan apa yang telah terjadi dengan dia?” Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghenti¬kan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka dan leher¬nya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran, “Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!” Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. “Apa.... apa ¬maksud Ibu berkata demikian?” “Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sen¬diri, dan engkau.... namanya pun kau¬ lupakan! Betapa kejam engkau....!” “Ahhh....?” Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan dikenalnya. “Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lok¬yang?” “Ahhh....! Kiranya dia....!” Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya itu. Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, ke¬luarga ayahnya terbunuh semua, kemudi¬an dia menitipkan dara itu sebagai da¬yang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia ber¬tanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Da¬lam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencinta¬nya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah. “Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?” “Dia ditawan oleh ketua Liong-sim¬pang dan aku tidak berhasil menyelamat¬kannya, hayo kau cepat tolong dia!” Ni¬kouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya. “Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!” kata pemuda itu dan tanpa menanti jawaban, dia su¬dah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari se¬cepat angin. “Harap kautunjukkan jalan¬nya.” Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati penuh kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memon¬dongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han! Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan meng¬alihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang. Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buah¬nya di tengah hutan sebagai tempat ting¬gal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar-benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apalagi dikabarkan sebagai puteri angkat guber¬nur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar. Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagal¬an yang amat merugikan sehingga ter¬paksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus ke¬gagalannya itu! Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara can¬tik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi mantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andaikata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya, yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan pemerin¬tah, dan tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar! Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan. Dia mengambil keputusan untuk secara paksa men¬cemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan ke¬hilangan pula keangkuhannya dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis-gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatan¬nya akan menjadi jinak dan patah sema¬ngat. “Eh....?” Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu! Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepat¬nya. Akan tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangan¬nya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali tubruk¬annya luput! Dengan ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkang¬nya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat daripada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk mem¬bunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan mem¬benturkan kepalanya pada dinding kamar itu! “Hemmm.... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga....!” Tang Hun berkata memuji dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbul¬lah rasa sayang di dalam hatinya. “Nona, engkau adalah seoranvg dara yang cantik jelita, memiliki kepandaian lumayan dan engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba ke¬cukupan.” “Tidak sudi....! Tidak sudi....!” Cui Lan berseru dengan marah pula. “Nona, pikirlah baik-baik. Kalau eng¬kau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau dengan hor¬mat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau me¬nerima pinanganku, Nona....” “Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati daripada tunduk kepada¬ niat jahatmu!” Cui Lan mernbentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan ber¬usaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram. “Brettttt....!” Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak le¬ngan dan pundak yang berkulit putih mulus itu. Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeri¬ngai, matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur din¬ding. Maklumlah dara itu bahwa dia ti¬dak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, “Hemmm, bajing¬an kecil seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?” Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya ber¬seri penuh kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, “Taihiap....!” Dia mengenal suara itu, sampai di manapun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil! Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut men¬dengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, akan tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjuk¬kan bahwa orang itu tentu lihai, sung¬guhpun dia tidak merasa jerih karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jen¬dela pecah tertembus oleh senjata raha¬sia berbentuk uang logam yang dilontar¬kan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela. Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biarpun ilmu silat yang dipelajarinya dari Kim Sim Ni¬kouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat men¬duga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi me¬lihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apalagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran! Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa senjata-senjata¬nya itu menembus daun jendela dan me¬luncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriak¬an orang kesakitan? Dan andaikata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela. Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata ra¬hasianya itu lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia me¬rasa bergidik. Akan tetapi tangannya su¬dah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar. Baik Cui Lan dan Tang Hun kini me¬mandang ke arah daun jendela yang su¬dah penuh lubang ditembusi senjata¬senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan ber¬gerak, terbuka perlahan-lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata rahasia uang logam¬nya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, ke¬pala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil! Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti kita ke¬tahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu ce¬pat mempergunakan kepandaiannya me¬nyelinap dan tanpa diketahui siapapun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mu¬dah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangan¬nya sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik. Kini pendekar itu meloncat dan me¬masuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang kini me¬mandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggeng¬gam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu. Pendekar muda ini secara tidak pedulian meng¬gerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun! Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah se¬orang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan dipergunakannya se¬bagai sandera karena dia merasa jerih melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu. “Pengecut hina yang curang!” Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan! “Taihiap....!” Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh kebahagiaan, pe¬nuh cinta kasih. Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya me¬marahinya dan memakinya laki-laki ke¬jam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapapun sukanya ke¬pada gadis ini? Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian men¬cabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pu¬kulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elak¬an-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan. “Subo....!” Cui Lan menubruk guru¬nya. “Mari kita keluar dulu!” Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Ni¬kouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu. Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah. Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serang¬an yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggauta Liong-sim¬pang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangan¬nya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali. Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. “Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng! Kurung!” teriaknya dan anak buahnya, walaupun kini merasa jerih sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang me¬nubruk ke depan sambil menusukkan pe¬dang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng. Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu berkelebat lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tam¬paran yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun. Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepala¬nya retak oleh tamparan itu, kemudian secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu! Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya. “Suma-taihiap....!” Cui Lan berseru lirih dan menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke arah pemuda itu. Kian Bu menarik napas panjang, me¬mandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak dingin, “Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang....“ “Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoimu sendiri! Cui Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu,” kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan. Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan menjura kepada Kian Bu sambil berkata, “Suma-suheng, maafkan aku....“ “Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu.... eh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana sam¬pai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?” Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok Thian Ki, akan tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liong¬sim-pang sampai akhirnya Cui Lan ter¬tawan. “Karena pinni tidak dapat mengalah¬kan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau meni¬dengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu.” “Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap eh, Suheng, entah bagaimana saya akan da¬pat membalasnya,” terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin meng¬hambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya. Baik Kim Sim Ni¬kouw maupun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, maka nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak. “Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, su¬dah selayaknya menjadl seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka aku mengucapkan selamat dan sebaiknya ka¬lau Sumoi melanjutkan perjalanan ber¬sama Ibu, dan aku akan mengawal sam¬pai engkau tiba di rumah kediaman Gu¬bernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana.” “Akan tetapi aku.... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat....” “Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri....“ “Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana...., aku.... aku....“ Gadis itu memejamkan mata dan air matanya ber¬linang-linang. Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demi¬kian parah tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. “Phang-sumoi, memang dalam kehidupan banyak terjadi hal-hal yang jauh daripada yang kita harapkan. Segala telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksa¬kan kehendak kita, betapapun kita men¬jadi berduka dan menderita batin karena¬nya. Maafkan aku, Sumoi, sungguh.... percayalah, bukan maksudku untuk me¬nyakitkan hatimu, akan tetapi.... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kaumaafkanlah Suhengmu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu, ma¬afkan, aku pergi dulu!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua ta¬ngan dan air matanya bercucuran me¬lalui celah-celah jari tangannya, sedang¬kan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang. Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, “Cui Lan, apa yang di¬katakan suhengmu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu ber¬pura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu men¬dorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan berbahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah ang¬katmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.” Dara itu hanya mengangguk, kemudi¬an mengikuti gurunya melanjutkan per¬jalanan, menahan tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergo¬yang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya. Adakah yang lebih panas daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih daripada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta! Kalau ha¬nya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa de¬ngan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, ber¬main cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh. Hal ini, amat menjijikkan hati¬nya, apalagi ketika mendengar pembicara¬an dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan peng¬gulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh men¬jijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Dia mengambil keputusan untuk men¬cegah persekutuan busuk itu dan mem¬bela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan. Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena benci¬nya yang mendalam kepada Mohinta. Ma¬hinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat men¬jijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandung¬nya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera pang¬lima tua atau panglima pertama dari Bhutan! Akan tetapi ketika dia tiba di Bhu¬tan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu lapor¬an itu akan menimbulkan kegegeran be¬sar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya cerita¬nya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk meng¬gulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal! Dia sendiri, andaikata tidak men¬dengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang peng¬khianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu! Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun dia sedang di¬mabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono. Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kera¬jaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk berkele¬bat dan memasuki kerajaan tanpa diketa¬hui seorang pun penjaga, tentu saja se¬telah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari se¬buah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah men¬jadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian. Malam hari itu, Panglima Jayin se¬dang duduk termenung dalam kamar ker¬janya. Panglima yang usianya sudah ham¬pir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya. Panglima Jayin merupakan panglima tua yang ke dua di Bhutan, di bawah kedudukan pang¬lima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Ang Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantar¬nya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunang¬kan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berke¬pandaian tinggi, sungguhpun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya kare¬na membantu pemberontak. Ketika hati¬nya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi! Mengenangkan keadaan rajanya, Pang¬lima Jayin merasa prihatin sekali. Apa¬lagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara fihak yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak yang menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hati¬nya adalah karena sikap Sangita, pang¬lima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu disebabkan terutama sekali kare¬na gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar. “Selamat malam, Panglima!” Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh pang¬lima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan. “Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi menge¬nalku sebagai seorang sahabat, Panglima?” tanya Tek Hoat, di dalam suaranya ter¬kandung penyesalan dan kepahitan. “Eh.... ohhh.... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang....?” tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran. Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya. “Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,” keluhnya. Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir. “Minumlah, Taihiap, kemudian cerita¬kan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin.” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar