Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 34.

Jodoh Rajawali Jilid 34:
Jodoh Rajawali Jilid - 34 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 34 “Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunang¬an dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?” Ucapan dara itu sungguh amat me¬ngejutkan hati Tang Hun. Pemuda pe¬solek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut apalagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apalagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki ke¬dudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau berse¬kutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka di¬ingatkan demikian, dia termangu. “Mampuslah!” Tiba-tiba Hwee Li me¬loncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun. “Aihh....! Cringgg....!” Tang Hun terkejut bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datang¬nya tak tersangka-sangka, ketika Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi. “Desss!” Pahanya kena ditendang dan tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap, telah melarikan diri. Ter¬pincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerang¬nya. Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi-sembunyi jangan sam¬pai bertemu dengan para perajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut cerita¬nya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatir¬kan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan. Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat se¬orang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu ada¬lah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee! Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil ber¬pangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, “Mundur kalian semua!” Para pengeroyok itu berloncatan mun¬dur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah de¬ngan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung te¬naga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum. “Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya kini malah be¬rani mendatangi tempat ini. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!” Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat namun tidak melepaskan kewaspadaan. Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pe¬muda yang sudah siap ini cepat menge¬rahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis. Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum. “Bagus, tidak kecewa menjadi peng¬huni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!” Dan kakek itu su¬dah menerjang dengan dahsyatnya. Me¬mang hebat sekali kepandaian dari orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin me¬nyambar-nyambar, bukan hanya dari ke¬dua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya un¬tuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang. Namun, setiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dada¬nya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mujijat yang aneh! Dia makin terkejut, namuh dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan ter¬kepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini. “Lee-ko, kauserang bagian bawahhya!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan ada bayanganorang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu-tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu. “Aughhhhh....!” Twa-ok Su Lo Ti me¬ngeluarkan gerengan nyaring sampai se¬luruh tempat itu seperti tergetar, dan biarpun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan me¬nangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee. “Dukkk....! Desss....!” Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik be¬berapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga ga¬bungan Im dan Yang, yaitu tenaga mu¬jijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu. Twa-ok memandang dengan kaget. “Ah, kiranya engkau yang isebut Silu¬man Kecil? Hebat, hebat! Sungguh orang¬-orang muda yang hebat,” katanya halus akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar se¬perti gasing dan dari gerakan kedua ta¬ngannya menyambar tenaga yang amat kuatnya. Kian Bu dan Kian Lee cepat me¬nyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar-benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka mo¬nyet ini lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Sin-siauw Seng-jin, kakek yang menyimpan pusaka-pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi, maka kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok. Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bu¬kanlah hal yang mudah, dan mereka ber¬dua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bu¬kankah keselamatan mereka terancam bahaya? “Lee-ko, mari kita pergi!” kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini me¬nyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan de¬ngan beberapa loncatan lagi mereka te¬lah lenyap dari pandang mata. Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong me¬mandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya. “Hebat.... hebat....!” Dia masih ter¬tegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu. Sementara itu, Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri dan bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap. “Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali,” kata Kian Bu. “Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia.” “Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah.” Kian Lee mengangguk. “Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya?” “Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus men¬carinya sampai dapat. Mari!” Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing¬masing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee men¬duga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga men¬duga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu me¬rasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama ma¬sing-masing itu. Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok de¬ngan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran. Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang perajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biarpun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu. “Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang....“ Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-kata¬nya karena Hek-sin Touw-ong ke dua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para perajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong ke dua itu telah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong ke dua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para perajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rom¬bongan koksu! “Dia.... dia telah menyerang dan merobohkan komandan kami!” perajurit-perajurit itu berseru. “Kalian bicara apa? Sejak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!” jawab Touw-ong yang tentu saja menger¬ti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng. Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada ber¬samanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para perajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan. “Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong.” “Tapi.... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong....” “Cukup dan pergi! Atau kau lngin kupukul roboh juga?” bentak koksu dan para perajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa ben¬tengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata-mata musuh belum juga tertangkap. Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pe¬muda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pa¬ngeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng da melakukan pengacauan. Kalau hanya orang-orang muda itu yang me¬ngacau, masa seluruh pasukan tidak mam¬pu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi! “Tangkap mereka!” bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya., “Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!” “Akan tetapi, jangan sekali-kali me¬lukai atau membunuh Nona Hwee Li!” tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu ber¬kata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja. Namun kekacauan makin menghebat ketika para pengawal itu tiba-tiba me¬lihat Ang-siocia kembar! Saking bingung¬nya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di¬ timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong ke dua. “Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?” tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya. Ceng Ceng mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani me¬ngacau di tempat seperti ini? Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai be¬rambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?” Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau. Mata¬nya liar memandang ke kanan kiri dan tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia den Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap se¬bagai pembantu koksu yang lihai dan andaikata dia melihat seorang saja Ang¬-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mem¬punyai enci atau adik di situ, apalagi saudara kembar. “Heeiii!! Berhentii!” bentaknya. Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa ada¬nya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, “Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku? Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata?” Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. “Ang-siocia, engkau¬kah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?” Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng lngat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena keeogangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu. “Lihiap, serang!” bisiknya dan dia sudah menerjang maju. Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan meiarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-sim¬pang yang berteriak-teriak. Di sana-sini terjadi pertempuran, apa¬bila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, se¬telah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu tcr¬kepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga! Twa-ok dan Ji-ok sudah mendengar dari para anggauta Liong-sim-pang be¬tapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu ber¬temu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan meng¬hadang. Ceng Ceng terkejut bukan main melihat dua orang yang wajahnya mengeri¬kan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerlkan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena su¬aminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan (baca Kisah Sepasang Rajawali), dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga, apalagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di ma¬na kelihaian mereka. Akan tetapi, Ang¬siocia sudah menjadi pucat wajahnya dan dia berbisik, “Lihiap, celakalah kita se¬kali ini....“ Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajah¬nya itu menyeringai seperti seekor kera marah. “Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku su¬dah curiga kepadamu dan kepada gurumu, sekarang terbukti bahwa engkau menye¬lundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau.” “Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang ke dua ini,” kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan tiba-tiba telunjuknya me¬nuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wa¬jah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng. Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaian¬nya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain fihak, Ji-ok Kui-bin Nio-nio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu. “Eh, kau boleh juga!” dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya. “Tak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aselinya. Kalu kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang kaupakai itu.” “Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu.” “Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkorak¬nya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat?” “Baik, kaulakukanlah. Ingin aku me¬lihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng.” Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan te¬tapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu. “Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?” bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Pukulan ini ada¬lah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mujijat, tentu saja pukulan yang menggunakan Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya. “Aehhh....!” Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka cepat dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Desss....!” Tubuh Ceng Ceng ter¬lempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjung¬kir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguhpun napasnya agak memburu karena dadanya tergun¬cang hebat. Akan tetapi, sebaliknya ka¬kek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu! Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga se¬demikian kuatnya sehingga dalam per¬temuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung. “Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup?” Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang me¬lihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikan¬nya. “Siapakah engkau?” tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng. “Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!” bentak Ceng Ceng dengan angkuh. Twa-ok mengangguk-angguk. “Bagus, bagus! Kaukira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu? Nah, kausambut¬lah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu.” Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak me¬nangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki! Ceng Ceng makin kaget. Dari suami¬nya dia sudah mendengar akan adanya ilmu mujijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang se¬kali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan te¬naganya dan menggunakan kedua tangan¬nya untuk menyambut dua lengan pan¬jang itu dengan babatan tangan yang di¬miringkan. “Wut-wuttt.... plakkk!” Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua ta¬ngannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini me¬miliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali. Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, de¬ngan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, kini dia menggunakan pedang maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang ta¬jam itu. Dia terkejut dan melompat mun¬dur, ditertawakan oleh Ji-ok! Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, “Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran ber¬ada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari....!” Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh le¬ngan Ceng Ceng dan berbisik, “Kita per¬gi!” Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biarpun dia maklum akan kelihai¬an lawan, dia tidak takut dan ingin me¬lawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu. Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mere¬ka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan meng¬anggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena men¬dongkol inilah maka keduanya tadi mem¬biarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang. “Hemmm, lagaknya....!” Ji-ok meng¬omel. “Sam-te, memang sudah mabuk pang¬kat rupanya,” Twa-ok juga mengomel. “Jangan pedulikan dia, kalau muncul lagi akan kutempiling kepalanya!” Jik-ok makin marah. “Akan tetapi kita di sini untuk mem¬bantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya....“ Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka ketika melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri! “Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?” “Bagus, ya? Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala?” Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci! “Plak-plak!” Dua kali koksu menang¬kis dan dia mencelat ke belakang. “Eh, eh, apa-apaan ini? Siapa me¬nyebut kalian begitu?” Twa-ok memandang heran. “Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran?” “Siapa? Aku baru saja datang....“ “Tentu kau koksu yang palsu!” Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya. Koksu meloncat ke kanan kiri lalu meloncat ke belakang. “Tunggu, kau ke¬liru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu?” Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itu¬lah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya. “Wah, kalau begitu, ada orang yang main-main dan menyamar sebagal engkau, Sam-te,” kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang ke dua itu amat lihainya. Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia ke dua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelun¬dup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kaubawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka.” Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok lalu mengikuti koksu meninggalkan tempat itu. Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini mengapa tidak mun¬cul dalam keadaan kacau-balau itu? Se¬sungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau-balau itu untuk berusaha menyela¬matkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng me¬nyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, se¬dangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, dua orang sakti ini sudah berkele¬bat pergi menuju ke tempat di mana ta¬wanan berada. Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas men¬jaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu kurus yang tinggi¬nya due meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik ta¬ngan Kok Cu ke tempat gelap. “Penjaga¬an amat kuat,” bisik Bun Beng. “Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk dan Paman dapat melindungi para taawanan dan membawa mereka keluar.” Gak Bun Beng menggeleng kepala. “Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan.” “Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,” bisik Kok Cu. “Akan tetapi, biar¬lah saya menghadapi mereka.” “Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Akan tetapi, tujuan kita adalah menge¬luarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Kalau sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku me¬ngeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu....“ Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyi¬nya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu. “Paman Gak....!” “Sssttttt cepat ke sinilah....!” Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Ne¬pal, melainkan karena dia hendak me¬lindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biarpun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang di¬sebut sebagai pengacau-pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau-kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk Syanti Dewi. Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tem¬pat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi ke¬padanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal! Dalam keadaan bimbang inilah akhir¬nya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat un¬tuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyeli¬diki apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia terkejut bukan main. Tak di¬sangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam benteng! Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan per¬nah menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia me¬naruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng menyelinap ke dalam tempat gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin terkejut. Dia maklum akan ke¬lihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya se¬ayah berlainan ibu. “Engkau juga di sini?” Kao Kok Cu tersenyum. “Sama de¬ngan engkau.” “Tek Hoat, engkau harus membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluar¬ga Kao yang tertawan,” kata Bun Beng. Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia berkata dengan suara meragu, “Akan tetapi aku.... saya harus melindungi dia di sana....” “Aku tahu, Tek Hoat. Engkau me¬lindungi Syanti Dewi, akan tetapi bukan¬kah engkau juga tahu bahwa Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu? Syan¬ti Dewi tidak akan terganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nya¬wanya. Dan benteng ini telah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kaubantulah Kok Cu menyerang mereka yang menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar.” “Tapi Syanti....“ “Jangan khawatir, akulah yarsg me¬nanggung bahwa kalau benteng ini di¬bobolkan, dan kalau benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya.” Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada kok¬su dan semua pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya, Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka men¬dengar ucapan Gak Bun Beng, dia meng¬angguk. “Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!” kata Gak Bun Beng dengan girang. Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang. Dan waktu itu, te¬ngah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat, kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan. Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung me¬nyerang Ngo-ok yang tinggi itu sedang¬kan Kok Cu mernyerang Su-ok, adapun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang-orang yang paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biarpun mereka itu cepat menyambut, namun mereka terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang amat hebat sampai mereka itu terhuyung-huyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thiam-sin-ciang. Biarpun Si Jangkung itu sudah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia ter¬lempar sampai beberapa kaki jauhnya! Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalan-jalan darah yang pa¬ling berbahaya dari lawan. Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari an¬caman maut, tetap saja dia kena diten¬dang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok. Tek Hoat mengalami kesukaran ka¬rena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Akan tetapi tiba¬tiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tung¬gal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gita¬nanda yang memutar tongkatnya, ber¬temu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan. “Krakkk!” Tongkat itu patah dan Gita¬nanda meloncat ke belakang dengan mu¬ka pucat. Pendeta Nepal ini lalu ber¬kemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring, “Tiga orang jahat berlututlah kalian!” Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka biarpun jantung mereka tergetar oleh pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga marah dan tiba-tiba Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan tangan kanan menangkis. “Cusss.... aughhh....!” Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari ta¬ngan Tek Hoat dan lengan itu tertusuk jari seperti tertusuk pedang saja! Me¬mang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gita¬nanda tadi membuyar dan lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu. “Harap kalian suka menahan mereka!” Bun Beng berseru dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap orang pengawal yang berani meng¬halanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang ter¬kunci itu ambrol dan terbuka. Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi ber¬sama Kao Kok Cu untuk menolong ke¬luarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi. Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera ke dua dari Jederal Kao, segera menge¬nal Bun Beng. “Gak-taihiap....!” serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng. “Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah. ini perintah Jenderal Kao!” kata Bun Beng. Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gi¬tananda dan semua penjaga sudah me¬larikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat. Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari dan wajah¬nya berubah. “Mana Cin Liong....?” ta¬nyanya. Kok Tiong, adiknya, cepat berkata, “Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twa-ko.” “Ji-ok....!” Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok. Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih, “Maafkan bahwa aku tidak dapat mempertahankan puteramu, Twa-ko. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong.” Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng. “Pa¬man Gak, tolong Paman lindungi keluar¬ga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong.” Setelah berkata demikian dan melihat Bun Beng mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya. Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jen¬deral Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil me¬ngantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah. “Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syan¬ti Dewi! Sedapat mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat.” Gak Bun Beng mengangguk dan hen¬dak membuka mulut, akan tetapi di¬tahannya dan dia memandang tubuh pe¬muda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti De¬wi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diiberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu. De¬ngan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini timbul kembali se¬mangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apalagi ketika dia menge¬tahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarga¬nya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi. Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu sedang mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat 1ihai itu dikeroyok oleh im-kan Ngo-ok! Tadi¬nya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah kesela¬matan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega. Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang-orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayah¬nya dan Suma Kian Lee adalah seibu berlainan ayah. Mana mungkin dia men¬diamkannya saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok? Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apalagi kalau hal itu terde¬ngar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk sebagai seorang manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan! Teringat akan ini, dia lalu mengeluar¬kan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal. “Haiiiiittt....!” Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin. “Ehhh....?” Kakek botak itu terkejut bukan main. Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan diahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desak¬an, bahkan dengan pukulan-pukulan ga¬bungan tenaga Im-yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang pula. Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall. “Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat?” tanyanya sam¬bil tersenyum lebar. “Bagus, Tek Hoat!” Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang. Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu me¬nerjang dan menyerang Ji-ok yang me¬ngerikan itu sambil berkata, “Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!” Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mende¬ngar hal ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biarpun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki ke¬pandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih tinggi daripada ting¬kat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan mereka bertiga. “Mari kita masuk!” Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat dapat menangkap Pa¬ngeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak meng¬halangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang. Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar. “Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka.” Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan. Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati ketika mereka me¬nyerbu memasuki pintu kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaring¬an kamar yang amat indah itu, hati me¬reka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkangnya yang luar biasa. “Bu-te, hati-hati....!” Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup. Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika tiba-tiba pembaringan itu terjeblos ke bawah de¬ngan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melari¬kan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya. “Blarrr....!” Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya untuk meng¬injak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di bawahnya di¬pasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi men¬dapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam se¬buah kamar luas yang kuat sekali. Me¬lihat adanya sebuah pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya. “Brakkkkk....!” Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li! “Ahhh....!” Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka, maka Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li, sungguhpun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu “mengalah” dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia berlutut di dekat tubuh Siang In. Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakakanya itu benar-benar telah jatuh hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li men¬cinta kakaknya. Dia merasa kasihan ke¬pada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat daripada baja dan terkunci dari luar! Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Se¬telah mengurut tengkuk mereka, seben¬tar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li. “Mana si bedebah pangeran dan kok¬su? Biar kupatahkan batang lehernya!” bentaknya marah, apalagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Kembalikan anakku!” Dan terdengar suara hiruk-pikuk ketika pintu besar ter¬buka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu. “Ceng Ceng, tahan pintu itu!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak, namun terlam¬bat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik, mendorong dan menen¬dang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat. Mereka semua kini berkumpul di te¬ngah kamar besar itu. Ceng Ceng ber¬cerita betapa dia tadi berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana ini. “Ibuuuuu.... tolonggg....!” Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar. Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana ter¬buka, cepat menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain. “Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah?” Kian Lee bertanya kepada Siang In, tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggap¬nya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu. Akan tetapi yang ditanya sedang me¬natap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang. “Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya.” Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li. Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa amat sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In itu. “Kami berdua.... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pange¬ran Nepal yang main mundur dan akhir¬nya kami berdua kena dipancing ke da¬lam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu ma¬suk, mereka tidak dapat keluar kembali.” Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka. “Eh, bagaimana bisa begitu?” Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pe¬rasaan. “Koksu Nepal memang lihai bukan main,” Touw-ong bercerita. “Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah membe¬rontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang.... eh....“ Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu saling serang! “Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!” Hwee Li melanjutkan cepat. Touw-ong mengangguk. “Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar. Akan te¬tapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat meng¬hindarkan asap itu dan roboh pingsan.” Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan. “Ha-ha-ha, semua tikus yang menga¬cau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup, kalian mau ber¬kata apalagi sekarang?” Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yan terbuat daripada baja. “Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!” Ceng Ceng yang tidak kehilangan keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum. “Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku,” katanya. Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum. “Dan aku girang melihat engkau berdiri di fihak kami, bukan men¬jadi lawan kami, Tek Hoat.” Melihat kedua orang keponakannya itu, Kian Lee yang pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian ke¬pada Ceng Ceng, memegang tangan me¬reka dan berkata, “Dan aku girang se¬kali mempunyai dua orang keponakan seperti kallan. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian.” Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apalagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati “pamannya” itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu. Melihat adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee agaknya sama sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri jendela dari mana tadi ter¬dengar suara koksu dan dia membentak, “Eh, koksu botak menjemukan! Lekas kauberitahukan kepada Pangeran Liong Bian Cu bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!” Akan tetapi koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah lalu dia menjerit-jerit nyaring, “Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan tidak dapat diper¬caya lagl? Kau bilang mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan ditawan seperti ini? Kalau kau meng¬hinaku, mana aku sudi menjadi isterimu?” Tiba-tiba nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu di balik jendela. Suaranya halus ketika dia berkata, “Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan engkau? Adalah salahmu sendiri sampai engkau terjebak karena engkau telah terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau engkau mau bertobat, tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan.” Kian Lee dan Kian Bu memandang kepada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kekecewaan. Apakah puteri Hek-tiauw Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan terancam itu lalu timbul kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh pangeran? Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa selama ini Hwee Li benar-benar menen¬tang musuh, bahkan mati-matian mem¬bela fihak mereka yang memusuhi orang¬orang Nepal. “Pangeran, mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau ma¬suk ke sini? Masuklah dan jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan cinta, akan tetapi aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai sebagai ujian.” Mendengar ucapan ini, Siang In men¬dengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan Kian Lee saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak memancing pange¬ran itu masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah siap untuk turun tangan begitu melihat sang pange¬ran masuk ke dalam ruangan itu. Akan tetapi, dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal. “Ha-ha-ha. Nona Hwee Li, engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kaubujuk dan tipu begitu saja.” “Hwee Li, kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain jangan bergerak, dan setelah tiba di luar, aku tentu akan membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau ajukan akan kupertimbangkan.” Mendengar ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan. “Benarkah bahwa semua permintaanku kaupenuhi?” “Akan kupertimbangkan,” jawab pa¬ngeran. Tidak ada lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong, semua orang yang tertawan hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu. Kalau perlu, untuk menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia siap untuk mengorbankan diri! “Baiklah, aku akan keluar.” Dia lalu menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan berbisik, “Harap kalian jangan bergerak, aku akan mem¬bantu kalian, jangan khawatir.“ Kemudian dia melangkah menuju ke pintu ruangan itu. “Hwee Li, jangan mudah terbujuk musuh!” Ceng Ceng berkata, memperi¬ngatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran Nepal. Hwee Li me¬noleh dan tersenyum kepada nyonya mu¬da itu. “Harap Subo jangan khawatir, aku dapat menjaga diri,” katanya. Seluruh urat syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan mereka sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka. Akan tetapi ketika Hwee Li melangkah sampai di belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjeblos ke ba¬wah. Kiranya lantai di belakang pintu itu dipasangi alat dan begitu dara itu meng¬injaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa tubuh dara itu bersama¬nya. Semua pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup kembali dan tubuh Hwee Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ telah menanti Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Ne¬pal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi pangeran itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan. Hwee Li tak mungkin dapat melawan dua orang yang amat lihai itu dan di lain saat dia telah ter¬totok dan dipondong oleh Pangeran Liong Bian Cu. “Bunuh mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!” Sang pangeran berteriak dengan girang setelah dia bet¬hasil menangkap kekasihnya. Mereka yang tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung, kembali mereka berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, me¬meriksa dinding, jendela dan pintu, juga meloncat ke atas untuk mencoba me¬nerobos atap. Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan itu dibuat se¬cara khusus untuk menjebak lawan-lawan tangguh dan pembuatannya telah direnca¬nakan sendiri oleh Koksu Nepal. Dalam keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teri¬akan-teriakan nyaring disusul suara hiruk-pikuk, “Kebakaran! Kebakaran!” “Gudang ransum terbakar!” “Tolonggggg....! Lekas bantu padam¬kan. Ransum terbakar....!” Mereka yang terkurung di dalam ru¬angan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In tidak mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin Touw-ong tersenyum girang. “Ah, siasat Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!” kata Touw-ong dan dia lalu duduk bersandar tembok dengan wajah girang. “Ransum di sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu tentara kerajaan akan me¬nyerbu. Ah, kalau mereka yang jahat ini dapat dihancurkan, kematian kitapun tidak akan sia-sia!” kata Ang-siocia sam¬bil memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agak¬nya tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan rasa hatinya ter¬hadap Siluman Kecil. “Terutama sekali, aku rela mati bersama Taihiap,” katanya sambil memandang kepada pendekar itu. “Bukankah kita pernah melakukan per¬jalanan bersama yang amat menyenang¬kan? Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap, betapa bahagianya rasa hatiku!” Hek-sin Touw-ong mengerutkan alis¬nya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan untuk menjadi jodoh dari Siauw Hong, murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang menyamar pria. Akan tetapi dia tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka di samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia juga merasa terharu sekali. Kian Bu sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang penuh kemesraan kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini ternyata jatuh cinta kepada¬nya! Otomatis dia menoleh kepada Siang In dan makin terkejutlah dia ketika me¬lihat sinar mata Siang In penuh dengan api kemarahan. Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apalagi karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di an¬tara teriakan-teriakan orang yang kebingungan. “Darrr....! Blaaarrrrr....!” Ledakan-ledakan yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding seperti bergoyang dan akan runtuh rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu ter¬dengar sorak-sorai menggegap-gempita dan terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di sebelah luar. “Apa.... apa artinya itu?” Kian Lee bertanya heran. “Itu itu merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!” Ceng Ceng ber¬seru dengan wajah penuh ketegangan. Dan memang yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana siasatnya dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan pasukannya mengurung ben¬teng itu dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaran-pembakaran pada gudang-gudang ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di dalam gudang-gudang dan ketika saatnya tiba, Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan gapura terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu sehingga dalam beberapa waktu singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah membakar alat-alat bahan bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu. Kemudian, dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika dia mengatur pembangunan benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya di¬ketahuinya sendiri dan merupakan ren¬cananya semenjak semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang sudah ditanamnya di tempat-tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan pintu-pintu gerbang dan dinding-dinding. Melihat ini, Puteri Milana yang sudah siap siaga, cepat memerintahkan pasukan-pasukannya untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan ma¬lam dan di antara kabut pagi bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut-semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang sudah kacau-balau oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu. Dapat dibayangkan betapa gegernya keadaan di dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk penghuni benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang menyelundup ke dalam benteng, yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia yang berkhianat sehingga ter¬jadi banyak hal yang membingungkan, kemudian, menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudang-gudang ransum, hal yang amat mengejut¬kan, dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya, pintu-pintu gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih he¬bat lagi, kini pasukan kerajaan yang banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dinding-dinding yang runtuh, seperti air bah saja me¬nyerang dengan gegap-gempita. Koksu Nepal dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan mereka baru sadar bah¬wa Jenderal Kao Lianglah yang melaku¬kan semua itu. Mereka mengira bahwa semua itu terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang sudah mereka de¬ngar akan kepandaiannya mengatur pasu¬kan. Tentu saja mereka menjadi jerih dan Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong sedangkan Pangeran Liong Bian Cu memanggul tu¬buh Hwee Li. Mereka ingin memperguna¬kan dua orang tawanan ini sebagai san¬dera untuk dapat melarikan diri melalui pintu rahasia apabila keadaan memaksa dan memerlukan. “Bakar ruangan ini!” teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksana¬kan oleh para pengawalnya. Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang lain, juga para pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan tentara kerajaan. Api mulai berkobar membakar ruang¬an di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya mereka akan terbakar ha¬ngus kalau saja pada saat api sudah mu¬lai berkobar tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang dari luar. Beberapa orang pengawal roboh oleh terjangan se¬sosok tubuh yang gerakannya seperti seekor naga dan orang ini berhasil mem¬buka pintu ruangan. Para pendekar yang sudah mulai putus asa di sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berlon¬catan keluar dan ternyata yang menolong mereka itu adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Bersama Bun Beng, Kok Cu melaksa¬nakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari gudang-gudang ran¬sum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya dibawa oleh Ji-ok, dia menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan depan dibakar, maka dia segera dapat menduga bahwa tentu kawan-kawannya terkurung di da¬lam ruangan itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka pintu ruangan yang memang dipalang dari depan se¬hingga semua orang yang terkurung dapat diselamatkannya, termasuk isterinya sen¬diri. “Di mana Cin Liong?” tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya. “Dia.... dia tadi dibawa oleh koksu....” isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding ke depan. Dari lubang jendela dia tadi melihat ke mana putera¬nya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak ikut mengejar karena dia sudah lari menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di mana-mana dan banyak rumah-rumah yang terbakar. Ketika Tek Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti Dewi, jantungnya berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang terbakar! “Dewi....!” Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang terbakar itu. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat masuk dan tiba-tiba dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan dengan mudah dia mencengkeram tengkuk orang itu. “Hayo katakan, di mana Sang Puteri Bhutan?” bentaknya. Melihat wajah pe¬muda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar bengis, pengawal itu makin ketakutan. “Dia.... dia sudah sejak tadi.... di¬bawa pergi oleh panglima dari Bhutan dan orang-orangnya....“ “Mohinta....?” Orang itu mengangguk dan Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya. “Ke ma¬na dibawanya?” Orang itu menggeleng kepala. “Hamba tidak tahu....“ Tek Hoat melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia mengerti bahwa Mohinta tentu melarikan sang puteri keluar dari benteng dan ke mana lagi dibawanya kalau tidak kembali ke Bhutan? Dia lalu meloncat dan mencari-cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di mana terjadi perang campuh yang amat seru. Tiba-tiba dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama Pangeran Liong Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu mereka, tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu, Ceng Ceng, dan yang lain-lain mengejar mereka. Koksu dan kawan-kawannya itu cepat memasuki sebuah rumah besar yang ko¬song, dan para pengejarnya cepat me¬nyusul. Melihat ini, Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran Nepal dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi tertawan di tempat itu? Pula, dia maklum akan ke¬lihaian koksu dan para pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu membutuhkan bantuannya. “Tek Hoat, mari bantu, kami meram¬pas kembali puteraku!” teriak Ceng Ceng ketika dia melihat saudaranya itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke dalam rumah. Tidak ada perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri te¬gak, para pembantunya di belakang me¬reka dan kedua orang ini tersenyum. “Berhenti!” teriak koksu sambil meng¬angkat tubuh Cin Liong ke atas. “Melangkah maju berarti anak ini akan kami bunuh lebih dulu!” Tentu saja menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia mempunyai banyak pembantu, apalagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum bahwa biarpun mereka dapat mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi mereka, namun dia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara kerajaan yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, sedangkan pasukan-pasukannya sudah kehilangan pimpinan. “Hemmm, kalau sudah menderita ke¬kalahan lalu muncullah watak pengecut dan curang!” Kao Kok Cu mengejek. “Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi koksu dari Keraja¬an Nepal, juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil me¬nawan puteraku. Oleh karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku itu. Kalau aku ka¬lah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai sandera. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku itu dengan baik-baik kepadaku.” Ban Hwa Sengjin menyeringai. “Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami membutuhkan anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak ini kuserahkan kepadamu, lalu kau mengandalkan pasukan yang puluhan ribu banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri.” “Dengarlah, Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, meng¬apa kami harus mencegah kalian melari¬kan diri? Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau Cin Liong sudah kem¬bali kepadamu, kami tidak akan meng¬halangi engkau untuk melarikan diri.” Ban Hwa Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar seperti Kao Kok Cu ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia, karena halangan dari para pasu¬kan saja tentu tidak ada artinya baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan mencegah mereka lari. “Baiklah, kami percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kaubawa dulu anak ini, Twa-heng!” katanya dan dia melem¬parkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang menerimanya sambil tersenyum. Sebetulnya diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tan¬tangan itu karena kakek gorilla ini mak¬lum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau dia sendiri yang maju, baru¬lah lebih banyak harapan untuk menang. Akan tetapi yang ditantang oleh si le¬ngan buntung itu adalah koksu, maka kalau koksu mewakilkan kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal. Kini dua orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan lengan kirinya yang buntung, memperlihatkan lengan baju kosong itu kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba. Akan tetapi, di laln fihak Ban Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan ke¬angkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari perlindungan. Memang di dalam hatinya, kakek botak ini merasa terhadap pendekar lengan buntung yang sederhana ini karena dia sudah mendengar banyak hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya. “Ban Hwa Sengjin, majulah!” Kao Kok Cu berkata dengan tenang. Akan tetapi kakek botak itu tidak menjawab, melain¬kan diam saja, memandang tajam dan dia menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua telapak tangan Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan tenaganya yang luar biasa karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat tempat itu tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke de¬pan, lalu berpusing cepat sekali dan dia mulai menerjang ke arah Kok Cu! Na¬mun, Kok Cu juga sudah siap sedia. Be¬gitu diserang, dia langsung menggunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong itu mengeluarkan bunyi men¬cicit, menyambar ke depan menyambut pukulan lawan dan hendak menggulung tangan lawan! Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan tiba-tiba dia melayangkan kaki kanan¬nya dengan tendangan kilat yang men¬datangkan angin dahsyat sekali. Sepatu¬nya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh dan jangankan tubuh ma¬nusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau terkena hantaman kaki yang ber¬sepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung lawan. “Prakkk!” Ban Hwa Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia mengguna¬kan pertemuan tenaga sakti itu untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali dia menggerakkan tubuhnya ber¬pusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah per¬tandingan yang amat seru dan aneh di mana nampak tubuh kakek botak itu ber¬pusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah oleh se¬belah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main. Siluman Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada kepona¬kan ini yang agaknya kini telah berubah, tidak lagi mau membantu kaum pem¬berontak. Dia maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberon¬tak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, “Tek Hoat, tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?” Ang Tek Hoat terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang mata¬nya penuh selidik menatap wajah Siluman Kecil. “Tahukah engkau?” Dia balas ber¬tanya. Kian Bu mengangguk. “Secara ke¬betulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan kawan-kawannya dari Bhutan....“ “Keparat!” Tek Hoat berseru demi¬kian kerasnya sehingga mengejutkan se¬mua orang, akan tetapi dua orang yang sedang bertanding itu tidak mempeduli¬kan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian Bu mencerita¬kan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu. “Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!” Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan Kian Bu. “Paman, terima kasih!” Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari da¬lam benteng itu. Perkelahian antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih berlangsung de¬ngan hebatnya. Kedua fihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari putera¬nya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa yakin akan kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau flhak Im-kan Ngo-ok tidak akan memegang janjinya. Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agak¬nya puteranya tidak diganggunya. Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi se¬sak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu benar-benar amat luar biasa kuatnya. Hal ini tidaklah aneh karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga muji¬jat yang timbul karena penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan se¬belah. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar