Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 30.

Jodoh Rajawali Jilid 30.
Jodoh Rajawali Jilid - 30 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 30 “Su-ko, mulutnya terlalu manis!” Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela. Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Ke Empat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya be¬ramah-tamah itu! “Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai se¬kali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang me¬lihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!” Si Raja Maling. mengerutkan alisnya. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.” “Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia berkata sing¬kat, “Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menye¬rah untuk kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau dan muridmu mengacau malam tadi!” Hek-sin Touw-ong tidak terkejut men¬dengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Koksu Nepal adalah orang ke tiga dari, Im-kan Ngo-ok! “Kami tidak akan menyerah kepada siapapun juga!” Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gen¬tar sama sekali sungguhpun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu me¬rupakan orang-orang lihai dan lawan¬lawan tangguh. “Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji. “Siapa dapat mengira bahwa kalian ber¬dua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo¬kwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mam¬pu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!” Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai mereka, sungguhpun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lutut¬nya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyam¬bung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah. “Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, ke¬pandaian kalian amat hebat dan menga¬gumkan hati Pangeran Nepal. Oleh ka¬rena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, mari kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam. “Ji-wi tidak perlu pura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapapun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu me¬rupakan undangan maupun paksaan.” Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan. “Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap me¬reka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Sian-su sambil menubruk ke arah Swi Hwa. “Ngo-te, awas, jangan lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol ber¬seru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong! Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat kedua tangan panjang yang mengancam¬nya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk ling¬karan yang berhawa tajam sekali karena dara ini memainkan pedang dengan pe¬ngerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari gurunya. Biarpun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali ta¬ngan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ke¬tika beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ke¬tika pedangnya bertemu dengan jari ta¬ngan itu, seolah-olah tangan itu terbuat daripada baja yang amat kuat! Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebat melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan murid¬nya terancam bahaya maut, telah me¬ngeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkangnya untuk berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukum¬an berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu. Bunyi angin bersuitan dan mendesis-¬desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lan¬cang menerima pukulan itu dengan tu¬buhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuh¬nya yang pendek itu menjadi makin pen¬dek ketika dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mujijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara “kok-kok-kok!” dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Ka¬tak Buduk! Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu me¬nyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangan¬nya yang pendek ke depan. Angin pukul¬an dahsyat menyambar dari kedua ta¬ngannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang, tubuh Hek-sin Touw-ong ter¬jengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat me¬loncat ke kiri dan terhindar dari dorong¬an hawa dahsyat yang mendorong pukul¬annya tadi membalik itu! Bukan main kagetnya hati Si Raja Maling! Dan kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melaku¬kan serangan dari atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touw¬ong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, se¬lalu kakek pendek itu menggunakan pu¬kulan sakti Katak Buduk membuat Kiam¬to Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong kembali! Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tidak berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok juga merasa jengkel menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu me¬nusuknya, dia menggunakan jari-jari ta¬ngannya menangkis dan terus menceng¬keram dan pedang itu sudah kena di¬cengkeramnya! “Krek-krekkk!” Pedang itu diceng¬keram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat mengelak, tengkuknya sudah di¬cengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas! Swi Hwa hampir pingsan ketika me¬rasa betapa jari-jari tangan yang pan¬jang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tak terasa lagi dia men¬jerit. Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak ce¬pat meloncat tinggi sekali sambil mem¬bawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung ting¬gi itu. “Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok. “Eh, kau mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok. “Tolol kau, Ngo-te. Kalau kau meng¬ganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twa-ko dan Ji-ci juga marah dan kalau mereka semua marah, apa kaukira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku akan menggempurmu sendiri!” “Huh, menyebalkan!” Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya me¬notok dan seketika tubuh Swi Hwa men¬jadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat ber¬gerak lagi. Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah ter¬bebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menye¬rang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi hampir saja meng hina muridnya. “Cusss-cusssss.... wuuut-wuuuttt.... brettt....!” Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan lupa untuk meng¬elak, melainkan menangkis sehingga biar¬pun dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke bela¬kang. Si jangkung mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas lalu secara aneh sekali tubuh yang mem¬balik ini sudah menyerang kalang-kabut kepada Hek-sin Touw-ong! Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena ke¬dua tangan yang panjang itu menyerang¬nya dari bawah dan begitu dia meng¬gunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan tengkuknya! “Jangan bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!” bentak Su-ok dan bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah ubun-ubun itu mengubah gerakan me¬notok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk. “Dukkk! Tubuh Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totok¬an ujung kaki yang amat tepat dan amat kuat itu. “Bagus! Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa membunuh mereka. Hebat, aku kagum sekali!” kata Su-ok sambil tertawa. Tosu jangkung itu memandang kepada Su-ok, lalu menyeringai dan meludah ke samping kiri. “Cuhhh!” dan dia hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata penuh gairah dan kekecewaan ka¬rena kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu! “Mari kita cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita itu menjadi dingin. Nah, kaupanggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!” kata Su-ok yang tahu bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengem¬pitnya sambil berkelebat cepat pergi dari tempat itu. Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, me¬nyambarnya dengan tangan kiri, memang¬gulnya dan dia pun berlari cepat me¬nyusul Su-ok menuju ke benteng di lem¬bah Huang-ho. Pangeran Liong Bian Cu merasa gi¬rang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan kembali. Sejenak dia memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang di¬lemparkan ke atas lantai, lalu sang pa¬ngeran itu menarik napas panjang dan berkata, “Aih, sayang sekali bahwa yang ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan.....“ Ban Hwa Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, “Harap Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai harus pula mem¬pergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan me¬rupakan tugas yang terlalu berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twa-ko dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan belas tahun, ber¬pakaian serba hitam, suka bermain de¬ngan ular-ular beracun, anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang, jenaka dan agak.... agak liar. Dan dara yang ke dua adalah seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Si¬luman, Majikan Pulau Es.” “Ahhh....!” Hampir berbareng kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan terakhir itu. “Ya, benar, Twa-ko dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh kesempatan un¬tuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat mencari dan membawa kem¬bali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya.” “Tentu saja!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. “Pertolong¬an Ji-wi Locianpwe amat berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.” Kakek gorilla itu saling pandang de¬ngan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata dengan sua¬ranya yang tenang dan lembut, “Ji-moi, mari kita pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orang¬nya sudah lenyap! Nenek muka tengkorak memandang kepada koksu dan berkata, “Sam-te, tu¬gas kami berat namun menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau, Su-te dan Ngo-te tidak akan mem¬biarkan kami penasaran.” “Jangan khawatir, Ji-ci!” kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah lenyap pula dari tem¬pat itu! Hek-sin Touw-ong yang tadinya ping¬san, sudah sejak tadi siuman, akan tetapi kakek ini pura-pura masih pingsan, dan diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua percakapan. Dia terkejut bukan main melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara, tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok! Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan muridnya. Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi me¬rupakan suatu hal yang terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda itu! Dan terbayanglah di de¬pan mata kakek ini semua yang telah ter¬jadi atas diri anak itu dan dia merasa berdosa sekali! Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua ke¬luarganya! Semua itu dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan kemarah¬annya, dan setelah dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia, dan anak itu tidak boleh mati karena men¬jadi muridnya! “Ahhh....!” Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bang¬kit duduk dan memandang ke kanan kiri. “Ahhh.... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat per¬mainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan murid?” Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal. “Celaka! Kenapa kami dibawa ke sini?” Ban Hwa Sengjin memandang dengan muka keren. “Hek-sin Touw-ong, apa yang telah kaulakukan bersama muridmu ke¬tika menyamar sebagai Hek-tiauw Lo¬mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam benteng?” bentaknya. Pada saat itu, Swi Hwa sudah ber¬gerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat menarik tangannya, diajak berlutut, “Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang mulia!” Swi Hwa heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam ben¬teng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak mem¬bantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan mukanya. “Koksu yang mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah maklum mengapa orang-orang se¬perti kita melakukan suatu tindakan. Se¬suai dengan kebijaksanaan golongan kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan juga atas tekanan dari Pen¬dekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan kami, sama sekali kami tidak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi keadaan kami.” Dengan ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tidak berniat me¬musuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang diberi¬kannya, jadi dasarnya hanya “pekerjaan” saja, bukan permusuhan pribadi. Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja ma¬ling, tentu saja merupakan tokoh hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tidak merasa benci. Hanya karena ke¬dudukannya sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau ben¬teng maka dia harus bertindak. “Tak perlu banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Silu¬man Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula adanya Puteri Syanti Dewi?” Pertanyaan terakhir itu mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak ber¬daya dan bahwa agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan ”kepandaiannya” bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban kepada suhu¬nya. “Kami telah gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Si¬luman Kecil, jawab Touw-ong dengan tenang. “Setelah kegagalan itu, maka kami berpencar, saya melarikan diri ber¬sama murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai...” dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi, “.... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil me¬larikan diri bersama Nona Hwee Li. Se¬telah itu, kami berdua tidak lagi ber¬temu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan, sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Pang¬lima Bhutan....“ Penuturan ini memang cocok dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya Siluman Kecil yang memiliki ke¬pandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedang¬kan Touw-ong bersama muridnya ini ten¬tu hanya memiliki kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok. “Pangeran, saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya Sang Pu¬teri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap me¬reka?” Pangeran itu mengerutkan alisnya. “Dia telah mengacau benteng, melakukan pembakaran, dan bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” Ucapan pa¬ngeran itu seperti bertanya kepada se¬mua orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau meng¬ingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah menyebabkan hilangnya Syanti De¬wi, sungguhpun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua ini datang mengacau dengan penyamaran mereka. “Serahkan saja mereka kepada kami berdua!” tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo ber¬kata dengan marah. “Bunuh saja mereka!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi. “Siksa mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!” kata Mohinta. “Saya yakin bahwa dia yang menyerang saya dan melarikan sang pu¬teri, tentu seorang kawan dari mereka ini!” “Koksu, harap serahkan gadis ini ke¬padaku sebagai pengganti yang tempo hari!” tiba-tiba Ngo-ok berkata dan me¬noleh kepada Swi Hwa. Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong tertawa. “Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekalipun, tidak ada harimau makan ha¬rimau dan srigala makan srigala! Kalau golongan hitam tidak saling membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid me¬mang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat ba¬nyak orang-orang segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa takut mati? Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan ka¬wan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan kami dan mem¬beri kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk keuntungan Paduka!” Pangeran Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepan¬daian guru dan murid ini. Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan ka¬kek bermuka hitam itu, dia berkata, “Orang berdosa, apalagi yang hendak kausampaikan kepada kami? Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?” “Pangeran, harap jangan percaya ke¬pada omongannya!” Lo-mo berkata marah. “Lo-mo, jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!” Ban Hwa Sengin menegur dan Hek-tiauw Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi. “Pangeran, saya masih heran men¬dengar akan lenyapnya sang puteri. Se¬dangkan saya bersama murid saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mam¬pu melarikan sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kepandaian Siluman Kecil.” Semua orang tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam dia memperhatikan karena dugaan yang di¬ajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya! “Jangan ngawur!” bentaknya. “Siapa¬kah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa pula dia melarikan sang puteri?” Hek-sin Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk menge¬mukakan dugaan-dugaan yang dapat di¬terima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman hukuman mati. “Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu de¬mikian banyaknya, Siluman Kecil lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan karena kami ketahuan. Da1am keributan itu, ter¬nyata sang puteri benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai ta¬hanan, maka siapa lagi orang yang lebih lihai daripada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pa¬sir?” “Ahhh....! Benar juga dugaannya!” tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan! Liok Tek Hwi juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu, “Kiranya duga¬annya itu tidak salah. Tadi pun aku su¬dah menduga bahwa tentu dia yang da¬tang melarikan sang puteri.” Ban Hwa Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut. “Si Naga Sakti Gu¬run Pasir?” Dia sudah mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri melainkan karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenar¬nya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang? “Ah, kalau benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?” Terdengar Kim Cui Yan membantah. “Benar juga pendapatmu itu, Sumoi.” “Kita harus menyelidiki hal ini,” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Kita harus dapat menyelidiki tentang putera sulung Jenderal Kao itu, mencari keterangan dari keluarganya.” “Akan tetapi mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si Naga Sak¬ti?” Ban Hwa Sengjin meragu. “Kalau Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!” tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat kesempatan baik terbuka itu segera berkata. “Tentu mereka akan membuka se¬mua rahasia tentang putera sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa hubungan mereka dengan jenderal itu.” Pangeran dan koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetuju¬an dengan anggukan kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya mem¬bunuh kedua orang guru dan murid ini, dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepan¬daian mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pu¬la, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan mereka semalam di ben¬teng itu hanya terdorong oleh pekerjaan mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan me¬reka! Demikianlah, setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu, Si Raja Maling lalu menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia sudah percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai daripada sang guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, juga Raja Maling ini hendak menonjolkan jasa mu¬ridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali! Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jende¬ral Kao Liang! Bahkan isteri sang jen¬deral sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lo¬losnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa se¬bagai Jenderal Kao menyatakan dugaan¬nya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu. Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa men¬dengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ke tiga, yaitu Kao Kok Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao. Semua yang diketahuinya dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu menerima mereka berdua se¬bagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya. Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua ini¬lah, maka pangeran dan koksu memaaf¬kan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai pembantu dan sekutu! *** “Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?” Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu. “Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum. Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak pa¬nah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap ber¬warna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia me¬lontarkan anak panah itu ke udara. Nam¬pak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat. “Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil meman¬dang ke barat. Syanti Dewi juga ikut memandang dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang di¬dayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita-wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas sehingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita. “Tocu telah pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau). Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh empat orang wanita itu menuju ke kapal besar. Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah. “Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.” Semua orang yang masih berlutut itu memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut “Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali. Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul dan dia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu. Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situpun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka sibuk melayani sang tocu, me¬nyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan. Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah daripada yang dipakainya tadi, dan se¬habis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali me¬ngagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakai¬an yang serba baru! Pakaian itu adalah, pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas. Kemudian Sang Puteri Bhutan diper¬silakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangan¬nya juga serba mewah, tidak kalah oleh masakan di restoran-restoran besar. Tahu¬lah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, jua amat kaya raya! Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan te¬tapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus ber¬layar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur. Syanti Dewi merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidur¬nya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur! Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya begitu dia duduk, datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air un¬tuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?” “Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk. “Sudah siap di kamar mandi, Siocia.” “Ke manakah perginya.... Tocu?” “Tocu sudah menanti di geladak ka¬pal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.” Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan. Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan dia amat bagusnya, dia berseru, “Ah, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?” “Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pe¬layan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini. Syanti Dewi cepat mengenakan pakai¬an indah itu, dibantu oleh pelayan. Se¬telah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberl hormat. “Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sam¬butan.” Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mem¬punyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main. Kiranya kapal itu telah berlabuh di pan¬tai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng saja! Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang me¬nari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Me¬reka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakai¬an pelayan, berpakaian penjaga atau perajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong. “Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini, enak makan di sini mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nya¬nyian!” Syanti Dewi menengok dan dia me¬lihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi. “Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu. Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui. “Enci, apakah setiap kali kau bepergi¬an, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya. Wanita cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam be¬berapa tahun ini aku tidak pernah me¬ninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.” “Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?” Wanita itu mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong, tidak ada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular be¬racun, bahkan di sini terdapat ular be¬racun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah le¬wat belasan tahun, kaulihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang me¬nyenangkan sekali, dan aku hidup ber¬sama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.” “Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu eng¬kau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan.... menurut ceritamu, kau pernah bersuami.... eh, apakah kalian dahulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini ti¬dak ada tetangga.... ataukah kaumaksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?” Ouw Yan Hui tersenyum geli. “Ah, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku men¬jadi buronan dan aku melarikan diri de¬ngan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!” “Tapi.... tapi kau tadi bilang bah¬wa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun....” Ouw Yan Hui mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.” Syanti Dewi terbelalak. “Mana mung¬kin? Tentu ketika itu engkau baru ber¬usia paling banyak delapan tahun, Enci....” “Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun.” “Ahhh....! Tapi.... tapi....“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. “Kaukira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.” ”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, hampir tertawa. “Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apalagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.” “Siapakah Bibi Maya?” “Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.” Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti De¬wi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia men¬jadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to. Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar un¬tuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui ber¬sama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon-pohon buah. Ter¬dapat belasan pondok-pondok yang men¬jadi tempat tinggal para anak buah ma¬jikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak ter¬latu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat se¬buah taman yang indah sekali, merupa¬kan inti dari pulau yang sudah merupa¬kan taman besar itu. Benar saja seperti yang telah diduga¬nya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ter¬nyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh ¬tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang me¬ngerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman. Hanya satu hal yang membuat Syan¬ti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh ta¬hun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, su¬dah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, pernah pula mengan¬dung dan melahirkan! Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih gin¬kang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti per¬mainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu-kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia di¬latih untuk bersamadhi, mengatur per¬napasan, dan bagaimana dia harus me¬ngerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu. Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali me¬ngejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar-ngejar¬nya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah Syanti Dewi memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, dia dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat me¬nangkap lima ekor kupu-kupu hanya de¬ngan beberapa kali loncatan saja! Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang! “Aih, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak bersayap seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan. “Kaulihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah po¬hon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Akan kutangkap burung-burung itu!” Tiba-tiba tubuhnya lenyap, ber¬kelebat ke atas dan dengan mata ter¬belalak Syanti Dewi melihat, bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok ba¬yangan berkelebat turun dan tahu-tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beter¬bangan di antara daun-daun pohon itu! “Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru. “Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!” Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia meng¬gunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menang¬kap kupu-kupu, akan tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan bu¬rung yang jauh lebih gesit dan cepat itu! Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih samadhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di da¬lam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung ter¬bang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia da¬pat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu! “Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasir-dasar ilmu silat tinggi dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai bela¬jar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.” Mulailah Syanti Dewi berlatih di ba¬wah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena me¬mang di tengah laut itu sunyi sekali, seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi! Tanpa disadarinya sendiri, Syanti De¬wi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biarpun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberi¬kan wanita itu dalam berlatih ilmu, ma¬ka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi! Puteri Bhutan itu kini makin can¬tik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditular¬kan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju! Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak ter¬hitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di ternpat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang di¬namakan Pulau Es! Jarang ada tokoh kang-ouw yang per¬nah melihat pulau ini, karena selain su¬kar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal daripada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pen¬dekar Super Sakti atau Pendekar Siluman. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan. Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat men¬cinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat berbahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suanni dan madu mereka. Akan tetapi, sungguh merupakan ke¬nyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung daripada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sen¬diri! Betapapun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya! Oleh karena itu, bukan ha¬nya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena ke¬bisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguh¬pun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga ter¬hadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari pe¬nanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi. Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya ter¬gantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan se¬telah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran. Demikian pula halnya dengan Pende¬kar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isteri¬nya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai maupun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada pu¬luhan tahun yang lalu. Akan tetapi, ke¬saktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es amat sunyi itu, tetap saja bu¬kan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka su¬dah mulai tua itu. Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang! Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meningalkan Pulau Es ber¬sama adiknya itu (baca cerita Sepasang Rajawali), akan tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Kini, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah. Apalagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang is¬terinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang sudah enam tahun tidak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, akan tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada sua¬mi mereka dengan wajah muram. Ketika pada suatu malam, kedua is¬terinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping. “Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan den¬dam di dalam hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena me¬mang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam ter¬hadap kedua orang isterinya itu. Setelah melihat sikap halus dari sua¬mi mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan. “Kami besok hendak pergi meninggal¬kan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang. “Kami harus pergi menyusul dan men¬cari anak-anak kita,” Puteri Nirahai me¬nerangkan dengan tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai mantu.” “Hemmm...., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran. “Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Men¬diamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata. Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, kalian tidak perlu mogok makan untuk itu, membahayakan kesehatan sendiri.” Dua orang isterinya itu saling pan¬dang, timbul harapan mereka bahwa se¬kali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu. Setelah selesai makan dan dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja ber¬sama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pem¬bantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggal¬kan Pulau Es, sehingga dia tinggal ber¬tiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasing¬kan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan. Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia! Dan untuk memper¬juangkan kebahagiaan anak-anaknya, ma¬ka dia maupun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih ter¬ikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke darat¬an besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, ter¬utama sekali Lulu, dan tentu akan ter¬jadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak harus membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri! Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin memper¬gunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenang¬an bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, kemudian kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendek¬nya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak kita yang dapat kita bang¬gakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan! Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah mem¬bentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodoh¬an kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita me¬lempar anak-anak kita ke dalam kehidup¬an yang penuh dengan konflik dan ke¬sengsaraan tiada hentinya. Karena pe¬rumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya men¬datangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak da¬pat tiada mendatangkan penderitaan ba¬tin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka. Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak-anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali tidak akan membiarkan anak-anak kita berperang! Saling bersaing, dalam sekolah, saling berebutan dalam mencari nafkah, saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita meng¬ajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita! Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, de¬ngan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesat¬an agar mereka tidak sampai memasuki¬nya, dan menuntun mereka, bukan me¬maksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak! Semalam suntuk Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka. “Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa, kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sen¬diri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk me¬milih calon jodoh mereka masing-masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.” “Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan me¬nurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ah, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa dengan dia.” “Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak di¬cintanya,” Lulu juga membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai seka¬rang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biarpun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak penga¬laman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.” “Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil ke¬putusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mem¬punyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat ke¬adaan di dunia ramai. Aku akan mem¬bawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.” Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isteri¬nya, Suma Han memandang kepada bu¬rung itu dengan terharu. “Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini engkau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” katanya sambil menepuk¬nepuk punggung burung itu yang menge¬luarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia. “Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai. “Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu. Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya me¬megang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan se¬kali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas pung¬gung burung rajawali. “Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.” Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan. Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringat¬lah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depon matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, meng¬asingkan diri dari dunia ramai? Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah ti¬dak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam per¬kelahian, dia sudah bosan harus bertan¬ding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan ber¬gerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pen¬dekar-pendekar muda menggantikan tem¬patnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pende¬kar-pendekar muda seperti dua orang puteranya itu. Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu terengah-engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun dan beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai da¬ratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan. Pada suatu hari, ketika burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika dia melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu ke¬lihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan pe¬nyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, lalu dia me¬loncat jauh ke depan sehingga dia meng¬hadang rombongan penduduk dusun itu. Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tong¬kat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan te¬tapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang erat-erat. “Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak geme¬tar karena terharu. Baru sekarang se¬menjak bertahun-tahun lamanya dia ber¬temu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa be¬gitu bertemu dia sudah melihat manusia yang hendak bertempur agaknya, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan. “Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu. “Nenek siluman yang mana? Aku ti¬dak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran. “Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan mem¬bunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!” kata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusun. Kami hen¬dak membunuh nenek siluman!” “Nanti dulu, sabarlah. Mana ada silu¬man di dunia ini, dan andaikata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah ter¬jadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalahpahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan mem¬bunuh orang. Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang aneh itu, kepala dusun dan orang-orangnya agaknya jerih juga. Kakek ber¬kaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wa¬jahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang? Karena jerih, kepala dusun lalu bercerita, “Seorang anak du¬sun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangan¬nya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek silu¬man itu.” Diam-diam Pendekar Super Sakti ter¬kejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Muka¬nya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amat¬lah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya. “Di manakah nenek itu?” tanyanya. “Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan. “Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuh¬nya seperti lembu-lembu itu!” Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jerih mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani ka¬rena semangat mereka dibakar oleh ke¬pala dusun yang merasa marah. karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pe¬milik lembu-lembu itu. Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka meng¬ikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu. Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak aseli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, meman¬dang dengan muka pucat dan mata ter¬belalak penuh kengerian. Dengan sikap tenang, Suma Han me¬langkah dan menghampir tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai dela¬pan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguhpun belum hancur seperti yang seekor itu. Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andaikata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah ber¬diri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter. Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, akan tetapi agaknya nenek itu tidak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi-gigi di depan tengkorak itu kelihat¬an berlepotan darah dan otak, dan kem¬bali Suma Han menjadi muak. Sudah ter¬lalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak. Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakan¬nya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersan¬dar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia me¬rasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak aseli, seolah-olah hen¬dak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seper¬ti itu? Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatang¬kan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak aseli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu ter¬kandung obat penguat bagi nenek tua ini. Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai mem¬perhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan ber¬gerak dari atas ke bawah, terutama se¬kali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggu¬mu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang ti¬dak bersalah apa-apa ini?” Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudi¬an terdengar suaranya nyaring meleng¬king dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh, “Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!” Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh! “Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus. “Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek bun¬tung, dibunuh pun tidak ada harganya!” Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tidak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya! “Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?” “Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, akan tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu mem¬bayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biar¬lah kaulewatkan dalam siksaan dan pen¬deritaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!” Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempu¬nyai watak yang luar biasa jahatnya. “Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?” “Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebut¬an Ji-ok Kui-bin Nio-nio, ha-ha-ha!” Suma Han mengangguk-angguk. Kira¬nya nenek ini adalah orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ah, hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sen¬diri itu kini turun ke dunia ramai! “Hai, kau siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jerih kepadanya. “Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa-apanya yang patut diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin men¬cari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melain¬kan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu! “Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk ka¬nannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung. Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu. “Cusss....!” Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pu¬kulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu! Tentu saja setelah dia sendiri di¬serang, Suma Han tidak dapat lagi me¬nyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu. “Wirrrrr....!” Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk ke¬dua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar ber¬api. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar-benar telah mampu me¬nangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang! “Siapakah engkau?” bentaknya. Suma Han menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kaki¬nya buntung,” jawabnya tenang. “Kau.... rambutmu putih, kaki kirimu buntung kau.... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....?” Ji-ok berseru kaget bukan main. “Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?” Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap me¬mandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang se¬perti nenek ini yang suka bertindak cu¬rang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri. terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok. Nama lima orang manu¬sia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi ten¬tulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Per¬tama, dapat dikenal dari cara dia me¬manggil nenek itu dengan Ji-moi (adik ke Dua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik ke dua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Te¬gang juga rasa hati Suma Han. Orang ke dua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apalagi orang yang pertama! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar