Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 26.

Jodoh Rajawali Jilid 26.
Jodoh Rajawali Jilid - 26 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 26 “Nyesssss....!” Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang kem¬bali ke gua karena takut bertemu lawan yang kuat! Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu de¬ngan sempurna, maka dia dapat menyim¬pan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik. Maka dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mem¬pergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini. Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabung¬annya yang amat hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabung¬an itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkangnya menjadi Swat-im Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam. “Bagus....!” Hek-hwa Lo-kwi berseru girang dan seperti juga tadi, dia telah menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat di¬dahului sinar putih bergulung-gulung me¬nyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek. Kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara. “Cesssss....!” Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang dipergunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi ter¬huyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang. Mendadak Kian Bu berteriak, “Celaka....!” dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat. Memang itulah kelihaian Pek-hiat¬-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu mengguna¬kan Hwi-yang Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mujijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa¬-apa, akan tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil! Memang dalam hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tangan saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa be¬racun itu terbakar oleh panasnya Hwi¬-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah me¬lukai kawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulan¬pukulan itu yang dilakukan dengan ber¬tubi-tubi. Memang hebat sekali ilmu mujijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuh¬nya seperti kilat menyambar-nyambar saja, mencelat ke sana-sini sampai tak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingun, namun dia terus mengejar. Kian Bu tidak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan maut¬nya, yaitu penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah ter¬luka dan terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan ber¬usaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguhpun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung. “Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo ce¬pat bantu aku. Sialan kau!” Hek-hwa Lo¬-kwi berteriak-teriak. Hek-tiauw Lo-mo tentu saja melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa gi¬rang dan kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan di¬ desaknya itu. Hwee Li tidak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan. “Dukkk!” Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, akan tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah “senjata” tanah dan pasir yang telah ber¬ubah menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek¬-tiauw Lo-mo menubruknya sambil ter¬tawa dan kelihatan lengah. Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki ke¬pandaian yang amat tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan baju¬nya yang lebar itu bergerak seperti ben¬dera berkibar dari mana menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri. Sebelum Hwee Li dapat mengelak, dia telah kena ditendang lututnya dan jatuh terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya me¬maki-maki kalang-kabut, “Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!” Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan ka¬nan dan jala hitam itu dikepalnya di ta¬ngan kiri. Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu. Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biarpun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun mere¬ka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebat¬an terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali sehingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasar¬kan ginkang sempurna itu. Akan tetapi, setelah kini dikeroyok dua, tipislah ha¬rapannya untuk dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini. Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apa¬lagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakan¬nya! Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau mem¬bagi perhatiannya. Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho-coan-in, de¬ngan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekalipun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu mencari kesem¬patan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ secepat¬nya. Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh besar yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik. “Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!” kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya. Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tidak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih! Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lo¬mo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangan¬nya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapapun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu. Kian Bu menjadi makin khawatir. Ka¬lau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekangnya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah! Tiba-tiba terdengar suara parau, “Be¬narkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?” Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis, “Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya dengan baik.” Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik. Dia melihat se¬orang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin itu! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bah¬wa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sesungguhnya bukan lain ada¬lah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung! “Hemmm, aneh....!” kata kakek ber¬muka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang ber¬nama Kang Swi Hwa itu. “Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tidak akan mam¬pu memukulnya roboh. Hebat bukan main, akan tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?” Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan heran. Dia melihat gerakan pe¬muda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas me¬nyerang, padahal kalau pemuda itu meng¬gunakan lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak tahu bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya. “Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu.... ah, dia agaknya terluka, tidak mampu bergerak.... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau.” Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li. “Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!” gurunya memperingatkan karena dia me¬rasa curiga. Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan me¬lihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu. “Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?” tanya Hwee Li de¬ngan suara lantang. Kakek itu mengerutkan alisnya dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, “Kau ini bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Me¬ngatakan orang pengecut dan jahat! Ma¬nusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!” “Swi Hwa, jangan sembrono dan ja¬ngan layani orang!” gurunya memperingat¬kan, karena dia masih kagum sekali ter¬hadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu. “Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hen¬dak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja ber¬arti kalian membantu dua iblis jahat itu!” Hwee Li berkata lagi. “Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin menonton¬nya!” Kang Swi Hwa balas membentak. “Wah, kau perempuan cabul....!” Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong, “Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?” “Apa? Mereka itu adalah....“ “Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua dari Kui-liong-pang di lembah. Dialah Hek¬-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis ber¬pakaian hitam galak itu bukan lain ada¬lah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?” kata Kang Swi Hwa. Seperti kita ketahui, ketika diada¬kan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga hadir me¬wakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir. “Aihhh, kiranya engkau si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling-maling besar dan kecil, tentu cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!” Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang meng¬hadiri pertemuan di lembah, tentu mere¬ka ini juga menjadi anak buah dari pa¬ngeran pula! Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mung¬kin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, kalau gadis itu benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang main¬kan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayah¬nya sendiri, apalagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu. Jadi, tentu pemuda rambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang me¬notok dan hendak memperkosanya, baru¬lah benar dan masuk di akal. Akan te¬tapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja? “Ha, apakah Lote ini Hek-sin Touw¬-ong?” Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran karena dia dan Hek¬-tiauw Lo-mo sampai sekarang belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata. “Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang berani melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!” “Tunangan pangeran....?” Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, lalu dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya dia telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!” “Cocok hidungmu!” Hwee Li mem¬bentak dan matanya melotot. “Boleh kau¬gantikan saja kalau kau sudah ingin se¬kali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!” Kang Swi Hwa tidak menjawab. Se¬perti juga gurunya, dia bingung meng¬hadapi keadaan yang serba runyam dan bertentangan itu. Gadis itu tunangan pa¬ngeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya. Melihat betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu seperti orang¬-orang tolol, Hwee Li menjadi mendong¬kol sekali. Melihat betapa kakek bermuka hitam itu tidak melayani ajakan Hek-¬hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring, “Hek-sin Touw-ong, biarpun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ke¬tahuilah bahwa aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan te¬tapi dikejar dan.... entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas ku¬sebut locianpwe, harap kau suka mem¬bantunya. Lekaslah, Locianpwe!” “Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Si¬luman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi. “Swi Hwa, kaubebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah mem¬bantu Siluman Kecil. Dia cepat meng¬gerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak: “Srattt!” Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam! “Ahhh....!” Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Kiranya maling tua ini me¬miliki ilmu pukulan yang demikian hebat¬nya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah men¬demonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Kalau murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, kini si raja maling ini menggunakan tangan se¬perti pedang! Dia balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat me¬robohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya meng¬hadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung. Dia seperti seekor biruang besar yang meng¬hadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hltam¬nya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu mengulurkan tangan dan me¬notok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo. “Dukkk....!” Tubuh Hek-tiauw Lo¬mo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totok¬an lagi dan robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mam¬pu bergerak lagi! Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, akan tetapi ten¬tang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu¬-ragu. Jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. De¬ngan hati-hati sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkar¬an asap dan paku-paku itu hanya me¬misahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkangnya dan me¬lompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar. Hwee Li melihat itu semua dan ter¬senyum. Mampuslah, pikirnya! Akan te¬tapi dia, diam saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek¬-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguhpun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-¬mo. Apalagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak-watak Ceng Ceng dan suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang-kadang, timbul ke¬ganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apalagi kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang meng¬gemaskan hatinya. Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. “Bocah galak, akhirnya toh engkau mem¬butuhkan pertolonganku....“ kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah. Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah. “Huh, siapa membutuhkan per¬tolonganmu? Kaulihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, me¬lainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!” Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah memerin¬tahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tak dapat bergerak. Dia tidak berani mem¬bangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ter¬nyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia me¬ngiri juga. “Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?” dia ber¬sungut-sungut akan tetapi kembali ke¬palanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li. “Nanti dulu!” kata Hwee Li. “Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu mem¬buyarkannya? Hayo kautotok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!” Sikap dan kata-kata Hwee Li benar¬-benar membuat Swi Hwa menjadi men¬dongkol bukan main. Bocah ini benar¬benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena dia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekangnya ke arah jalan darah in-thai-hiat di pung¬gung Hwee Li. “Dukkk....!” Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa menge¬luh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan! Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-¬urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek. Tiba-tiba ter¬dengar seruan Hek-sin Touw-ong, “Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?” Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, “Touw-ong, jangan me¬loncat ke sini! Dia juga keracunan se¬telah meloncat ke sini, biar aku mem¬bawanya keluar!” Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan Hek¬-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa per¬tempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung de¬ngan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sin¬ciang membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulan¬nya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh. Sebaliknya, Hek-hwa Lo-¬kwi juga mengeluarkan ilmunya yang mujijat itu, Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mem¬pergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan. Mendengar ucapan Hwee Li, Hek¬-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu. “Harap turut saja kata-katanya, Locian¬pwe, dia memang ahli dalam hal racun,” kata Kian Bu dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa mur¬ni dan melawan hawa beracun yang me¬lukai dadanya. Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan saputangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan sapu¬tangan di depan muka gadis itu, kemudi¬an dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia me¬lihat Kian Bu duduk bersila sambil me¬mejamkan kedua matanya, Hwee Li ter¬kejut dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah dan tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu. “Kian Bu, kau.... kau kenapa? Apakah kau terluka?” Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan penuh ke¬khawatiran. Kian Bu membuka matanya, terse¬nyum. “Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pu¬kulan aneh, tanpa kuketahui lebih dulu terkena hawa beracun dari pukulannya...., akan tetapi perlahan-lahan dapat kuusir dengan sinkang....“ “Ahhh? Kau terkena Pek-hiat-hoat-¬lek! Aku tahu macam apa pukulan iblis¬nya itu! Dan kau bilang perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat ces-pleng (manjur) sekali!” Gadis itu segera menge¬luarkan buntalan besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat. Kemudian dia mengelu¬arkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu. “Kautelan ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!” katanya. Kian Bu maklum akan kelihaian dara ini tentang segala racun, maka dia per¬caya, menerima dua butir obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan te¬tapi mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkum¬pul di situ. Kian Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kam¬bing itu benar-benar hebat sekali, maka dia lalu menggunakan sinkangnya, per¬lahan-lahan mendorong hawa panas itu ke arah dadanya. Benar saja, hawa panas yang terdorong sinkangnya itu seolah¬-olah seperti api yang membakar hawa beracun yang menyesakkan dadanya. Ha¬wa beracun itu menjadi asap dan mem¬bubung naik melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercam¬pur bau harum obat tadi. Kian Bu ada¬lah seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang yang amat hebat. An¬daikata dia tidak diberi obat sekalipun dengan sinkangnya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati me¬ngerahkan sinkangnya. Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek. “Taihiap...., Lihiap...., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali. Hek-¬sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia me¬rasa khawatir bukan main. Sudah dicoba¬nya dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usaha¬nya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu. Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan meng¬hampiri Swi Hwa. “Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!” “Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas sembuhkan dia!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut. “Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada encinya!” Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali men¬dengar ucapan mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, “Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan melupakan kebaikanmu ini.” Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulut¬nya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar-sinar penuh kebanggaan. Biarpun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kang-¬ouw yang amat terkenal, namanya men¬julang tinggi di seluruh perbatasan Ho-¬nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biarpun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga se¬kali! “Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cair¬an itu kalau mengenai kulit akan mem¬buat kulit daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka me¬makai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah.... eh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagi¬ku. Kaulihat!” Dia lalu menghampiri paku¬-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua tangan¬nya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkan¬nya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu sebentar saja! Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. “Bukan main! Ah, Nona yang baik, tolonglah muridku ini....“ “Tapi dia tadi bicara kasar kepada¬ku....“ Hwee Li berlagak jual mahal! “Hwee.... eh, Enci Hwee Li! Cepat kauobati dia!” Kian Bu berkata dengan suara keras. Hwee Li mengerling kepadanya. “Hem, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila kepada seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm....!” “Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, mengapa kau main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!” Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja un¬tuk turun tangan mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang su¬dah berpengalaman itu segera dapat me¬ngenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata, “Nona, aku berjanji akan menegur murid¬ku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu.” Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan berkata, “Kalau muridku telah ber¬laku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!” Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu di¬manja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat ka¬kek itu begitu menghormat kepadanya, dia Cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali, “Aihhh, Touw¬-ong.... jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kaumaafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu se¬karang juga.” Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam ke¬adaan pingsan itu. Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tu¬tup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu menge¬luarkan suara mendesis dan asap me¬ngepul dari dalam cangkir tutup guci. Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh per¬hatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyak¬sikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat atau se¬orang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti. “Haaa.... cinggggg....!” Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari cangkir¬nya. Terdengar suara clegak-cleguk kare¬na Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh kepara Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum. “Dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,” kata¬nya seenaknya, lalu menoleh dan me¬mandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka. “Eh, akan tetapi.... mengapa dia belum sadar, Nona?” Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya masih khawatir. Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, “Dia belum kentut, sih!” Eh, apa....?” Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara ber¬pakaian hitam itu masih marah. “Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut, itu tanda¬nya dia sembuh benar-benar dan sadar....“ Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo. “Enci, benarkah kata-katamu itu?” tanya Kian Bu sambil mengikutinya, kha¬watir kalau gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu. “Puiiittttt....!” Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main! “Suhu....!” ”Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia....“ Se¬lanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengar¬kan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li. Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepa¬sang mata terbelalak dan berapi-api, ke¬mudian dia mengambil golok gergaji mi¬lik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo. “Singgggg.... trakkk....!” Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan da¬rah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan me¬noleh kepada Kian Bu dengan mata ber¬api karena marahnya. “Kau.... kau malah membantu dia?” bentaknya marah, kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri ter¬buka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-¬im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), dan menghadapi Kian Bu dengan sikap marah! Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan men¬campurinya dan akan membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kalipun! Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh ka¬kek itu, dan betapa kakek itu amat me¬nyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia mem¬biarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li dan bahkan diam-diam mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan men¬jadi jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah meng¬halangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo. “Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!” Kian Bu menegur, suaranya tegas dan berwibawa. Hwee Li membalikkan tubuhnya meng¬hadap Hek-tiauw Lo-mo dengan meng¬ubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kaki¬nya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk me¬nyerang, semua gerakannya dilakukan dengan gerak silat sehingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api. “Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?” Akhirnya dia berkata lantang. “Kau tahu apa tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kan¬dungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?” Kian Bu menarik napas panjang. “Sa¬ma sekali bukan hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!” “Eihhh....?” Saking heran dan pena¬saran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangan¬nya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali). “Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya, lebih heran daripada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya. “Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang kebaikan....” “Bayar kebaikan!” sambung Hwee Li melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya. “Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang, bukan¬kah itu berarti bahwa engkau hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus mem¬bayar hutang kebaikan itu dengan kebaik¬an, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?” Hwee Li tertegun dan melongo, bi¬ngung. Akhirnya dia berkata ragu, “Akan tetapi dia telah membunuh ibuku....“ “Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!” terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biarpun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga. “Tutup mulutmu yang busuk!” Hwee Li memaki. “Engkau memaksa dia, biar¬pun tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?” “Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang kaubalas kemati¬an ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya ter¬hadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu mem¬balas kebaikannya, lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan mem¬bunuhnya, juga belum terlambat.” Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja mengguna¬kan kepandaian untuk mencegah pem¬bunuhan itu, namun hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja. “Benar sekali, Adik Hwee Li. Omong¬annya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak mem¬balas budi kebaikan orang!” Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa. Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia men¬dengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Ke¬mudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu atau yang dikenal¬nya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut me¬rasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut “enci” oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senang¬nya terhadap Hwee Li. Tadinya dia me¬ngira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil. Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu lalu melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan te¬tapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bi¬ngung dan ragu-ragu. “Kalau begitu, apa kauminta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Dia telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?” Dia makin penasaran. Kian Bu tertawa. “Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?” “Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!” Hwee Li berkata dengan alis berkerut. “Kalau begitu, apakah kita harus mem¬bebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya per¬jalanan?” Karena jengkel Hwee Li me¬ngeluarkan kata-kata yang berlebihan itu. Swi Hwa adalah seorang yang ter¬didik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona berpakaian hitam itu betapapun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, “Adik Hwee Li, kalau aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka ter¬totok, bagaimana kalau mereka itu di¬kubur hidup-hidup di tempat ini?” “Wah, cocok!” Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menen¬tang Kian Bu,. dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. “Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa meng¬hadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?” Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia melihat dara berpakaian merah itu berkedip ke¬padanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, “Terserah, asal kalian tidak membunuhnya.” “Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kau mem¬bebaskan dia dari kematian, itu berarti sudah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-¬hidup asal jangan sampai mereka mati.” “Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?” tanya Hwee Li bingung. “Kita kubur tubuhnya saja biar ke¬palanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saat¬nya terbebas dari totokan, tentu orang-¬orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian eng¬kau telah melaksanakan dua macam pem¬balasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk.” Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil men¬dapatkan mainan baru yang menarik. “Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kaubantulah aku.” Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus. Akan tetapi ja¬ngan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung tenaga Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali se¬buah lubang. Kini keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo¬kwi, melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka! Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jerih dan tentu akan dapat mempertahan¬kan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis remaja! “Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing¬-cacing sebelum mereka dapat membebas¬kan diri!” kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan. Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong men¬diamkan saja kedua orang gadis itu. Me¬reka maklum akan akal Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadap¬an di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa, “Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kau¬maafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.” Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata, “Akulah yang telah bersikap kasar. Kaumaafkan aku, Enci yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih kepadamu.” Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka lalu bersuit panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya, daripada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepada¬nya. Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, “Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuh¬kan bantuanmu.” Garuda itu mengeluar¬kan suara nguk-nguk seperti seekor an¬jing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu. Kian Bu, menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong. “Se¬karang, kami berdua harus kembali ke sana untuk mencoba menyelamatkan ke¬luarga Kao dan Puteri Bhutan.” Dia me¬nutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar pe¬nuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biarpun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi me¬nolong puteri itu! “Suhu, mari kita ikut membantu me¬reka ini!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun meng¬angguk-angguk tanda setuju biarpun alis¬nya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah Kui-¬liong-pang. Akan tetapi sebelum kakek itu mengeluarkan, ¬Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan ketidaksenangan hatinya, “Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, ka¬rena.... karena.... hemmm....“ Kian Bu merasa tidak enak untuk melanjutkan kata-katanya. Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Urusan itu pun belum diselesai¬kan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tidak ada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai fihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak enak kalau harus mengemukakan hal itu. Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin¬-siauw Seng-jin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan karena memang dia murid Raja Maling! Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-paut¬nya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia memenangkan per¬tandingan melawan Sin-siauw Seng-jin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula? “Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau me¬nolak? Enci ini.... eh, siapa namamu tadi, Enci?” Swi Hwa tersenyum. “Namaku Swi Hwa, she Kang....“ katanya sambil me¬ngerling ke arah Siluman Kecil. Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Ketika itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan “Ang” itu bukan she, melainkan berarti merah dan tentu ka¬rena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah. “Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu ter¬dapat banyak sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan mengun¬tungkan bagi kita. Kenapa engkau me¬nolak?” “Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi....“ dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pen¬dekar itu. Swi Hwa tersenyum dan menjura ke¬pada Kian Bu, katanya halus, “Ah, tentu Taihiap masih mendendam karena uang¬nya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, leng¬kap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesar¬nya!” Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu. “Tidak ada satu sen pun berkurang, Tai¬hiap!” Kian Bu mengenal pundi-pundi uang¬nya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata, “Te¬rima kasih, Nona. Memang ini pundi-¬pundi uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi....“ Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, “Tai¬hiap, muridku yang jahat ini pernah ber¬cerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Seng¬-jin mendahului Taihiap, tentu hal itu yang membuat Taihiap meragu, bukan?” Hati Kian Bu terasa tidak enak, akan tetapi dia mengangguk. “Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.” Kian Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia. “Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab-kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap....“ Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat meng¬angkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang¬-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu. “Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa kita se¬karang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.” “Aku ada rencana yang baik sekali!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. “Kalau rencanaku di¬jalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam ru¬mah sendiri, akan tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!” Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini. “Bagaimana rencanamu itu, Enci?” “Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bu¬kankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?” “Ahhh....!” Kian Bu sampai menge¬luarkan seruan saking kaget dan heran¬nya. Dia, memandang gadis pakaian me¬rah itu dengan alis berkerut. Sudah gila¬kah gadis ini, pikirnya. Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa. “Enci, jangan main-main....!” Swi Hwa tertawa geli. “Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mem¬punyai cara yang lebih baik daripada itu? Bayangkan saja. Dua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan menghalangi mereka di dalam ben¬teng?” “Tapi.... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau meng¬usulkan agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka me¬nangkap kami berdua?” Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan. Akan tetapi jawaban Swi Hwa mengu¬sir kemarahannya dan membuat dia ma¬kin terheran-heran, demikian pula Kian Bu. “Siapa suruh kau membebaskan me¬reka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila menyuruh kau membebaskan dia.” “Eh, bagaimana kau ini? Tadi kau¬katakan....“ Swi Hwa lalu mendekati dan merang¬kul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepala¬nya saja di atas tanah itu dan yang me¬mandang ke arah mereka dengan mata melotot. “....aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng....“ Kian Bu terkejut. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat me¬nyamar sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu? “Ah, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,” katanya. Juga Hwee Li tidak dapat menerima rencana itu. “Enci Swi Hwa, harap ja¬ngan kau main-main. Kita bukan meng¬hadapi sekumpulan anak-anak kecil yang mudah kaupermainkan dengan penyamar¬an. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara....“ “Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?” Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan kelihatan marah. Gurunya lalu menyentuh lengan¬nya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kem¬bali dan membuang sikapnya yang marah. “Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat melaku¬kan penyamaran itu sebaik-baiknya.” “Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita ber¬sembunyi di sana sebentar, Suhu.” Gadis berpakaian merah itu lalu menarik ta¬ngan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan ti¬dak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali. Tempat guru dan murid itu menyeli¬nap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya, “Se¬patuuuuu.... sepatu rumpuuuuut....! Ba¬rang baik harga murah lekas.... beliiiii....!” “Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?” tanya Hwee Li dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang ter¬bongkok-bongkok membawa beberapa buah sepatu rumput. Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah. “Dia....? Dia.... adalah nenek itu....!” Teringatlah dia akan nenek penjual se¬patu rumput di daerah Ho-nan itu. Jan¬tungnya berdebar. Nenek ini yang di¬tuduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia! “Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia....?” Hwee Li bertanya. Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu me¬mandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak! Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li ma¬kin heran. “Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?” Akan tetapi yang di¬tanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian me¬rah itukah kiranya yang menyamar se¬bagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, na¬mun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamaran¬nya, juga hebat ilmu copetnya! “Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!” Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon sebelah kanan, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu. “Eh, kau di sini, Kang-kongcu....?” kata Kian Bu. Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi. “Tunggu, Kang-kongcu....!” Kian Bu hendak menghampiri dan tiba-tiba dia tersentak kaget bukan main ketika teringat akan nama itu. Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ah, pantas saja tadi ketika Ang-siocia mem¬perkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ter¬nyata telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menya¬mar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula! Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama “pemuda” itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa “pemuda” itu ada¬lah Ang-siocia pula yang menyamar. Pan¬tas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, “pemuda” itu tidak mau tidur sekamar dengan dia! Hwee Li masih bingung. “Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu mun¬cul dan melihatmu, mereka terus pergi.” Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu! “Me¬reka.... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu....“ “Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?” Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara tertawa. Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan ter¬belalak memandang kakek raksasa yang berdiri di depannya. “Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sa¬yang, marilah engkau ikut ayahmu kem¬bali ke Pulau Neraka....!” “Tidak, tidak....! Engkau bukan ayah¬ku! Engkau.... heeeee?” Hwee Li ter¬ingat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi, akan tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia men¬jerit, “Kau iblis tua bangka! Kau setan....!” Dan dia bergerak hendak menyerang. Akan tetapi, Kian Bu memegang tangan¬nya dan menahannya. “Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baik-baik siapa dia....“ “Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!” Dan kini raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanan¬nya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis. “Sudah kulihat, dia memang iblis tua itu!” Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di depannya. “Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak mem¬buang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tang¬kap mereka!” Hwee Li terkejut memandang kakek bermuka tengkorak yang baru muncul. Hek-hwi Lo-kwi! Tidak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini mampu membebaskan diri sedangkan ke¬palanya masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat me¬mandang dengan mata terbelalak seperti melihat setan di tengahari! “Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepada¬nya. Ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo ber¬kata lagi. Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata, “Ke¬pandaian menyamar dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa kagum dan takluk!” Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur. ka¬rena jerih. “Hi-hik, Adik Hwee Li, apakah seka¬rang engkau merasa takut kepadaku? Si¬kapmu ini amat menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Encimu ini dan Suhu?” “Kau.... kau.... Enci Swi Hwa....!” Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu. Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis can¬tik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah meng¬ubah diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itu¬pun sama. Tubuhnya tinggi besar pun se¬rupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguhpun aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini men¬jadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak dibelinya. “Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?” Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepasnya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepada¬nya. “Bagus sekali, Enci. Sayang ada satu perbedaan menyolok.” “Tanganku terlalu kecil?” “Bukan itu saja, terutama sekali.... baunya!” “Baunya?” “Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, se¬ingatku bau iblis tua itu amat apek!” “Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu menjadi harum! Hati-hati, lebih baik kauhilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!” Terdengar Hek-hwa Lo-kwi ber¬kata. Hwee Li bergidik. Kakek ini me¬mang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura. “Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!” Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri. ”Nah, se¬telah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kali¬an ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah un¬tuk mengelabuhi mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang ditawan,” kata Hek-sin Touw-ong. “Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran....“ Kian Bu kini memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu. “Jadi kalau begitu nenek pen¬jual sepatu itu....“ “Akulah yang menyamar, Taihiap. Ma¬afkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?” kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo ber¬sikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu. “Dan.... Kang-kongcu itu....?” “Hi-hik, maaf bahwa aku telah mem¬permainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi aku memang sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar tentang sayembara itu aku ingin me¬masuki dan meluaskan pengetahuan.” “Akan tetapi.... kau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah se¬orang pengkhianat yang agaknya ber¬sekutu dengan Pangeran Nepal?” Hek-tiauw Lo-mo palsu itu meng¬angguk-angguk. “Tadinya aku tidak tahu apa-apa. Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak.” Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega. “Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat.” “Akan tetapi tidak mungkin menung¬gang garuda kalau berempat,” kata Hwee Li. “Terlalu berat bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung em¬pat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau-kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.” Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggil¬nya turun, kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat itu. *** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tan¬pa pamit dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia men¬duga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepan¬daiannya. Karena telah melakukan pe¬nyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu. Belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tibat-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur, se¬cara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian. Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata isti¬mewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetul¬nya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apalagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu. Dara itu cantik jelita dan manis bu¬kan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk leng¬kungnya yang menonjol dan menggairah¬kan. Tubuh yang amat menarik dari se¬orang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wa¬jahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya ta¬jam dan aneh, hidungnya kecil dan mu¬lutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, keduakakinya kadang¬kadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi fihak lawan. Adapun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebalik¬nya malah ilmu kepandaian mereka ting¬gi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang mata¬nya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Adapun laki-laki yang menge¬royok itu jelas bukanlah orang Han aseli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan wajahnya membayang¬kan kehalusan budi. Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok-gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mujijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya. “Sumoi, jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pu¬kulannya yang mujijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak mem¬perbolehkan sumoinya menurunkan ta¬ngan maut terhadap dara cantik ber¬payung itu. “Hi-hik, kalian ini pembohong-pem¬bohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nona¬mu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nya¬ring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan. Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengero¬yoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu! Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Ti¬dak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, akan tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir! Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mujijat, biarpun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apabila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak menge¬nal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hiatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya. Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus ter¬tawa-tawa dan kelihatan bingung men¬dapat serangan hebat oleh dara ber¬payung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung-huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja me¬reka tertawa terpingkal-pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu. Dengan pengerahan sinkangnya, Kian Lee mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh-kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu. “Siluman jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biarpun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya men¬jadi rusak dan dia terpaksa harus me¬loncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tu¬buhnya, sedang kaki kanannya sudah me¬nyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Namun orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Seketika dara ber¬payung itu kini terdesak hebat! Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pem¬baca sudah dapat mengenalnya. Dia me¬mang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berke¬liaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Gua Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu. Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel me¬lihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya. “Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona....!” Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut ta¬mu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal! “Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana....” Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak me¬lanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan me¬langkah menghampirinya. Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkan¬nya di atas meja kasir. “Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!” Setelah berkata demikian, Siang In membalikkan tubuh dan kembali duduk di¬ bangkunya, akan tetapi sekarang dia me¬milih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat un¬tuk mencongkelnya keluar! Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga me¬miliki tenaga mujijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu de¬ngan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya se¬patah kata pun. Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang anak laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu. “Kenapa belum juga sampai?” ter¬dengar anak itu bertanya dengan suara merengek. Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah. “Sssttt, kita makan dulu....“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In. Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu me¬ngejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil se¬pasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari-nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajah¬nya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit me¬nari! Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya. NEXT>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar