Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 25.

Jodoh Rajawali Jilid 25.
Jodoh Rajawali Jilid - 25 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 25 Tiba-tiba sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini, Kian Bu menjadi heran dan tertarik. “Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memper¬oleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini.” Dia berhenti sebentar dan menyambung, “Dia seperti orang dari.... Bhutan. Benarkah?” Memang keadaan pakaian wanita itu¬lah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu. Akan tetapi Giam Hok menggeleng kepala. “Saya tidak tahu.... hanya dia.... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani ehhh....“ Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan. “Orang she Giam!” Kian Bu memben¬tak tak sabar lagi. “Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?” Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat, “Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepala.” Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia men¬dengar tentang Pangeran Nepal yang da¬yangnya tadi ditawan dan diperkosa sam¬pai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetang¬ga di sebelah barat, di Pegunungan Hi¬malaya. “Hei, bagaimana kalian bisa memper¬oleh seorang dayang Pangeran Nepal?” tanyanya, tertarik. Giam Hok menarik napas panjang dan berkata, “Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua.” Lalu dia bercerita dengan suara sedih, “Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang-orang kang¬-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu me¬ngumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia me¬mandang rendah dan kami diberi peker¬jaan mengepalai orang-orang yang meng¬gali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa pena¬saran akan tetapi tidak berani memban¬tah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami men¬dapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih cela¬ka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untung kami masih dapat melarikan diri ke da¬lam hutan, berlindung di kegelapan ma¬lam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibat¬nya.... beginilah....” Kian Bu tertarik sekali mendengar akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apa¬lagi ketika dia mendapat kenyataan bah¬wa gubernur itu memang bermaksud bu¬ruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan. Suma Kian Bu ada¬lah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di da¬lam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya. Melihat wajah Siluman Kecil itu ke¬lihatan tertarik sekali, maka Giam Hok lalu melanjutkan, “Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pa¬ngeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari....“ “Ahhh....!” Kian Bu benar-benar ter¬tarik. Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan¬-jangan di sana menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Me¬mang tempat itu baik sekali, di perbatas¬an antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya! “Taihiap.... ahhh....!” Giam Hok me¬longo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya! *** Lembah Huang-ho yang menjadi ben¬teng pertahanan Kui-liong-pang itu benar¬-benar amat hebat! Jenderal Kao Liang benar-benar telah memenuhi janjinya ter¬hadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu oleh musuh. Benteng itu terletak di Lmbah sungai yang mengalir di belakang benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air. Selain ber¬bahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum musuh dapat mendekati, tentu fihak penjaga benteng sudah dapat meng¬hujankan anak panah ke perahu-perahu itu. Di kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di ben¬teng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing curam. Pa¬sukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas. Akan tetapi, biarpun tidak dapat di¬sangkal pula bahwa tempat itu merupa¬kan tempat berbahaya dan sukar ditem¬bus oleh pasukan, namun tidaklah me¬rupakan tempat yang tak mungkin di¬datangi oleh seorang pendekar yang ber¬kepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para pen¬jaga untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmunya meringankan tubuh. yang mem¬buat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu! Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apalagi karena di situ ter¬dapat orang-orang yang amat sakti se¬perti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja ringan¬nya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula¬-mula melalui pohon, sampai ke puncak pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia da¬pat berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapapun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya. Akan tetapi, begitu kakinya menyen¬tuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kaki¬nya. Kiranya, di atas tembok itu terben¬tang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apalagi di wak¬tu malam, bahkan andaikata dia melon¬cat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tem¬bok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang hebat sekali perlengkapan yang dipasang sebagai penjagaan kesela¬matan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang. Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan ber¬sambung-sambung, tidak terlalu keras sehingga tidak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng! Kian Bu menjadi bi¬ngung. Dia masih berada di atas tembok, dan kini dia sudah ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah da¬lam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwung¬an tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sibuk dan banyak sekali pasukan-pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan. Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasu¬kan terlatih! Padahal, tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang memben¬tuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui¬-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Belum ada ren¬cana Gubernur Ho-nan untuk menempat¬kan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu. Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang¬ orang. Dia makin terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek¬-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap. Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya ser¬ba hitam, dan muka tengkorak yang pu¬tih seperti kapur itu kelihatan jelas se¬kali di atas pakaiannya yang hitam. Itu¬lah Hek-hwa Lo-kwi! Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya juga amat he¬bat sehingga Kian Bu menjadi makin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia bersembunyi, dan mereka bercakap¬-cakap, maka dia lalu mengerahkan pen¬dengarannya untuk menangkap percakap¬an mereka. “Jangan membolehkan para perjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!” ter¬dengar kakek bersorban berkata dengan suaranya yang kaku. “Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas persoalannya.” “Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benar-benar tidak becus!” berkata Hek-tiauw Lo-mo. Hek-hwa Lo-kwi memandang marah. “Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya sehingga kelene¬ngan berbunyi. Jangan lancang mengata¬kan anak buahku yang tidak becus, Lo¬mo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!” “Ataukah panik karena ketakutan?” Hek-tiauw Lo-mo mengejek. “Kau berani menghina anak buahku?” Hek-hwa Lo-kwi menghardik dengan alis berkerut. Melihat dua orang kakek ini yang memang seringkali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan ber¬kata, “Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andaikata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil pekerjaan Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuk¬tikan kesigapan mereka sehingga mem¬buktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya ja¬ngan sampai hal ini didengar oleh pange¬ran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan menerima teguran keras.” “Kucing atau tikus yang melanggar¬nya, kita tidak boleh lengah. Andaikata ada orang pandai masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba me¬larikan tawanan.” kata Hek-hwa Lo-kwi. “Ah, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku me¬ngawasi anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan keluar Kao di sana,” kata Hek-tiauw Lo-mo. Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Kok¬su Nepal, mengangguk dan tiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan¬-tawanan dan di antaranya adalah keluar¬ga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buat¬an Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuh¬nya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-¬mo yang menyebut-nyebut tentang “pu¬teri” dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi? “Besar kemungkinannya demikian,” pikirnya. Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi telah meninggalkan Bhutan dan kini diculik dan dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!” Setelah berpikir demikian, dia lalu de¬ngan hati-hati berlari menuju ke arah larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu keluar dari benteng ini! Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agak¬nya sudah meloncat turun. Dia bersem¬bunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai te¬nang, agaknya mereka itu pun mengang¬gap bahwa yang melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja. Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat ba¬yangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata kepada para pasu¬kan, “Malam ini tidak ada istirahat! Se¬mua harus berjaga secara bergiliran sam¬pai pagi! Baik kucing maupun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!” Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguhpun dia hampir tidak per¬caya. Jenderal Kao kini memimpin pasu¬kan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini sekarang menjadi pembantu atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-¬nan yang akan memberontak? Sungguh tak masuk di akal dan sukar sekali un¬tuk dapat dipercaya. Padahal nama Jen¬deral Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada kerajaan! Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang me¬nyinggung adanya keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki ta¬ngan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sung¬guhpun pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu ke¬luarga jenderal itu ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh agar jen¬deral itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya. Diam-diam Kian Bu merasa khawatir sekali, Kalau keluarga jenderal itu men¬jadi tawanan, dan juga Syanti Dewi se¬perti yang diduganya, maka tidak akan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami kesukar¬an dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biarpun berkepandaian tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istime¬wa, kiranya akan sukar memasuki ben¬teng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula? “Aku harus menolong Syanti Dewi,” pikirnya dengan hati bulat. “Apapun yang terjadi, aku harus menyelamatkan dia.” Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu membangkit¬kan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pe¬karangan belakang gedung itu, maka dia lalu melayang turun dengan maksud un¬tuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara se¬dikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba ter¬dengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya. “Hei, berhenti! Siapa di situ?” Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya me¬nyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu maka dia men¬duga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dengan ke¬cepatan kilat. Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki bebera¬pa orang di bawah dan terdengar suara orang mengomel, “A-ban, siapa yang kautegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!” “Ah, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?” Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Maling hina, menyerahlah!” Dan sebuah lengan yang panjang besar, dengan tangan berbentuk cakar, dan kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram pundaknya dari belakang. Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan. Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dia langsung saja menerkam. Akan tetapi, Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkamannya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya. “Hendak lari ke mana kau?” bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat. Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terde¬ngar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul bentakan kasar yang parau dan keras, sekali, “Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-ha¬ha!” Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu me¬ngenalnya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh lamanya! Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun, terpentalnya tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ. “Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin! Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa suara ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya! Tentu saja Kian Bu tidak merasa jerih menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, melainkan untuk membebaskan Syanti Dewi. Kalau dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan. Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, tiba-tiba muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa dia lalu mempergunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu membalikkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas. Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, kalau perlu minta bantuan kakaknya atau teman-teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu. Dia mengerahkan ginkangnya dan mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, kedua kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah yang terang benderang itu. “Kraaakkkkk....!” Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia. “Pyarrrrr....!” Sebelum tubuhnya turun ke atas lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, akan tetapi kesunyian tempat itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi! Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar gerakan-gerakan di sekeliling tempat itu dan kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung! Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap menge¬pung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia! Kian Bu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, muka agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, namun mendatangkan perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya mata di balik tirai rambut putih itu saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, sikapnya tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Melihat pemuda berambut putih ini, sekarang jelas sekali karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu. “Siluman Kecil....!” Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia bahwa para perajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biarpun jarang di antara mereka ada yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang aneh menyeramkan. “Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?” Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tam¬pan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata, tubuhnya tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, namun juga penuh dengan wibawa. Agak¬nya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya. Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama-tama dia mengenal Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Semenjak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja. Namun, sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula. Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian dan yang tidak dikenalnya. Memang banyaklah yang datang mengepung “maling” itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para anggauta Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Juga hadir pula Hoa-gu-ji, yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini bergabung dan bersekutu de¬ngan Pangeran Nepal. Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, dan mereka ini adalah para pem¬bantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu. Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oieh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya. Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pa¬ngeran Nepal ini agaknya juga bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Akan tetapi perhatiannya sebagian ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dan sikapnya gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya! Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga melihat sepasang mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasaan. Hebat orang ini, pikirnya, kalau saja aku dapat menaklukkannya! “Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?” tanya Kian Bu de¬ngan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir. Semua orang terkejut dan pangeran itu juga tercengang, akan tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya kehilangan kebengisan¬nya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung. “Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat.” Jelaslah bagi Kian Bu. Memang sudah diduganya demikian. Suruh dia membantu seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan se¬orang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan pengkhianat itu. “Pangeran, saya datang bukan se¬bagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya untuk menyinggung Paduka, akan tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pembecontak.“ “Uhhh....“ Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di an¬tara para pasukan. Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, “Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?” Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus. “Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tidak semestinya itu.” “Hemmm, Sicu mendengar apakah?” “Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!” katanya dengan suara tegas. “Ahhh....! terdengar suara bentakan marah dan sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula. Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, “Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.” Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. “Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kausebutkan tadi?” tanya Mohinta dengan marah. “Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan....“ jawab Kian Bu. “Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini se¬bagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk mengurus¬kan diri beliau?” Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah. “Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri denganku.” “Keparat! Kaukira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?” Mohinta mendamprat dan dia sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil. Pe¬muda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis. “Krekkk!” “Aughhh....!” Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pa¬ngeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur. “Aku tahu orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti engkau manusia rendah yang sombong!” Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri. “Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.” Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil. Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi. “Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kauketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang men¬dorong kedatanganmu ini?” “Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar ke¬luarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!” Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Akan tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh, “Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasuhan istana yang memusuhi mereka.” “Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!” “Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu.” Begitu mendengar ucapan sang pange¬ran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu, “Siluman Kecil, harap kau ja¬ngan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!” Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para pera¬jurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali. Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Betapapun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya mempunyai hak penuh untuk menolak permintaannya. Mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata, “Ahhh.... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja....” Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagau seorang tamu yang terhormat.” Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan fihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara? Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, “Tangkap dia....!” “Eh, mau apa kau?” Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru, “Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!” Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan mukanya yang tampan nampak. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenal wajah ini dan dia pun terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil! “Benar-benar dia putera Majikan Pu¬lau Es!” teriaknya sambil menerjang ke depan. “Tangkap mata-mata musuh!” Mendengar ini, Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Kalau benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main! “Tangkap dia!” perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman. Sementara itu, Hwee Li sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya? Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu, “.... kau tangkaplah aku....!” “Wuuuttttt....!” Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mujijat yang mengandung racun berbahaya sekali. Namun Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Akan tetapi, ke manapun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang dan para pembantu Mohinta, sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapapun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu. Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apalagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali sehingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat! Tiba-tiba Hwee Li menubruknya. “Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!” bentaknya dan kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali, “.... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera....!” Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Akan tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya. “Desss....!” Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu. “Ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala. Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas. “Ayah...., tolong....“ Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu. “Keparat, lepaskan anakku!” Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju. “Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li. Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang maju dengan goloknya. “Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!” Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya. Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesal akan akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa. “Locianpwe, tahan dulu!” Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia mem¬bahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tidak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li! Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, lalu berkata dengan gagap, “Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia.” Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, “Lekas...., lekas.... Pangeran.... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini....? Lekas.... ahhhhh....“ Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi gi¬rang. Memang Hwee Li merupakan se¬orang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Kalau Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing menikirkan hal itu. “Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta di¬bebaskan pula,” katanya. “Tentu saja! Kaulepaskanlah tunangan¬ku itu, dan kami akan membebaskanmu.” “Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah ka¬lau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.” “Kau.... kau tidak percaya kepada omonganku?” Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, “Lacianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.” Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu di¬tariknya terlepas. Memang jala itu me¬rupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya. Kian Bu bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata, “Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah tiba di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran.” Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan seperti terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo¬-kwi, akan tetapi pangeran itu mengang¬kat tangan mencegah mereka, lalu ber¬kata lirih, “Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!” “Ah, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?” Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan alis berkerut. “Kita harus membayangi dia!” Hek¬-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk. Sang pangeran menjadi bingung, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan kini kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang-¬orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang amat lihai. “Kenapa tidak menggunakan garuda saja....?” Tiba-tiba Gitananda berkata. “Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri. “Kenapa aku melupakan garuda itu?” Dia mencela diri sendiri. “Lo-kwi, hayo kaubantu aku menghadapi Siluman Kecil!” Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-¬tiauw Lo-mo, maka kini mendengar ajak¬an itu, dia membuang muka. “Urusan anakmu sendiri, kenapa kau hendak me¬repotkan orang lain? Katakan saja eng¬kau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!” “Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekalipun, aku tidak takut!” Hek¬-tiauw Lo-mo menghardik. Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata, “Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menye¬lamatkan Adinda Hwee Li.” Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu lalu me¬merintahkan kakek Gitananda untuk me¬mimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselun¬dupi musuh lagi. Dengan pengerahan tenaga dan kepan¬daiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari ben¬teng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Para penjaganya yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari ce¬pat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap. Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri. Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia me¬rasa ngeri juga. Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan to¬tokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, dan menurunkannya dari pon¬dongan. Kemudian dia menjura kepada dara itu sambil berkata, “Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan obat untuk kakakku, kini engkau malah me¬nolong aku dan membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku me¬ngucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu.” ”Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih ke¬padamu,” kata Hwee Li. “Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu.” “Hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?” Kian Bu gelagapan, akan tetapi me¬mang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali watak¬nya itu. “Ah, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat balk. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hu¬tangmu itu.” “Hemmm....” Hwee Li lalu duduk di atas rumput. Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput ber¬campur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paru¬nya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang. “Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?” “Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kaulepaskan kepadaku itu.” “Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?” “Benar, pasti akan kupenuhi perminta¬anmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.” “Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku.” “Ehhh....?” Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaan¬nya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan. “Lalu.... menyebut apa?” tanyanya, ragu. “Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan).” “Hehhh....? Tapi.... tapi aku lebih tua daripada engkau....! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau pa¬ling banyak delapan belas....“ “Tujuh belas!” potong Hwee Li dengan cepat. “Nah, baru tujuh belas malah!” “Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Kata¬kan saja engkau tidak mau! Apalagi un¬tuk membayar hutang nyawa segala....!” Hwee Li bersungut-sungut dan memaling¬kan muka dari pemuda itu. “Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso (kakak ipar)....?” “Ihhh! Tak tahu malu!” Hwee Li mem¬bentak dan mukanya berubah merah se¬kali, akan tetapi karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara. Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau meng¬goda lagi. Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri! “Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi....“ Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot. “Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?” “Eh, oh.... tidak...., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali me¬nolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima ka¬sih, bukankah itu artinya mengejekku?” “Huh, kau tidak tahu. Apakah kaukira aku begitu ceroboh dan usil untuk mem¬pertaruhkan nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?” “Maksudmu....?” “Bukan aku yang menolongmu, melain¬kan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku ada¬lah seorang tawanan pula di sana, me¬ngertikah engkau?” Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan dari Pa¬ngeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan. “Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek¬-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi ta¬wanan?” “Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, me¬lainkan musuh besarku!” “Ehhhhh....?” Kan Bu memandang dengan mata terbelalak. “Dia.... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku....“ Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan riwayatnya itu. “Ahhh....! Kalau begitu kionghi (sela¬mat) kepadamu, Enci!” Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil mem¬bungkuk di depan dara itu. Hwee Li meloncat berdiri. “Engkau.... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!” Dan tiba-tiba dara itu telah me¬nerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung! “Eh.... plakkk! Ohhh.... plekkk!” Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sin¬kangnya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. De¬ngan penasaran dan marah karena se¬rangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti seekor naga me¬ngamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak. “Eh, nanti dulu.... wah, Enci.... eh, Ciciku yang baik.... tahan dulu....!” Melihat Hwee Li terus menyerang, tiba¬-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap! Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut, “Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!” “Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li....“ Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya! Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas, tanda takluk dan tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi, “Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, me¬lainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lo¬mo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau....“ “Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!” “Lhoh, kenapa lagi?” “Engkau memuji-muji kecantikan ci¬cimu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?” Kian Bu tersenyum. “Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kauanggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah ter¬bunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu mem¬balaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu...., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?” Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menun¬duk. Keadaan menjadi sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapapun can¬tiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Di lain fihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya me¬nyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu Siluman Kecil ini adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya. Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bah¬wa dara itu teringat akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. “Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau.... eh, engkau adalah tunangan pangeran itu!” “Tidak sudi! Dia memaksa aku men¬jadi tunangannya, dia dan iblis tua bang¬ka itu dan para pembantunya. Akan te¬tapi, siapa sudi menjadi isterinya?” “Eh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?” “Tampan? Dia me.... memuakkan....!” Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar. “Terutama.... hi¬dungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu.... ihhh, menjijikkan!” Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu. Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya. Memang be¬nar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata menolongnya, melainkan juga hendak menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Dan memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena “membiar¬kan” dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biarpun tokoh-¬tokoh lain tidak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan ke¬selamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li. “Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana se¬telah berhasil lolos bersamaku?” Akhirnya Kian Bu bertanya. “Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi.... aku terpaksa harus kembali ke sana.” “Ehhh? Engkau memang aneh, Enci.” Kian Bu memandang heran. “Setelah ber¬hasil lolos, mengapa hendak kembali lagi ke sana? Katanya engkau membenci sang pangeran?” “Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus ber¬hasil membalaskan sakit hati ibuku ter¬hadap ibliss tua bangka dari Pulau Neraka itu.“ “Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekai!.” “Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kaukira aku tidak mampu membekuk batang lehernya?” “Aku....? Ah, akan tetapi.... belum tentu aku akan kembali ke sana.” Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua ta¬ngan menekan pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan ma¬rah. “Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana ber¬samaku, membantu aku!” Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa saja lagaknya sudah be¬gini memerintah dan memaksa. Bagal¬mana kalau kelak benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini! “Bagaimana kalau aku tidak.... sang¬gup?” Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akah marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi. Betapapun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya mencarikan jamur mujijat itu, kemudian telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi. “Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!” jawab Hwee Li. “Tanpa ku¬minta sekalipun engkau pasti akan kem¬bali ke sana!” “Eh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci....?” Kian Bu terheran. “Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawan¬an di tempat itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan men¬coba untuk menolong mereka.” Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan jenderal yang dulu amat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak keti¬ka dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apalagi melihat kenyataan kemudian betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara! Maka dia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao....“ “Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!” Hwee Li ber¬kata dan kini dia telah duduk kembali. “Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau mem¬bangun benteng itu.” “Huh, laki-laki macam apa itu? Se¬orang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk me¬nyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilaku¬kan oleh orang yang lemah dan pengecut.” “Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan kaucoba selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!” “Bibi....? Kau menyebutnya bibi?” Kian Bu bertanya heran. “Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?” “Dia usianya tidak berselisih ba¬nyak denganmu.” “Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andaikata dia lebih muda daripada aku sekalipun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?” Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah seorang keponakannya, puteri dari men¬diang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semesti¬nya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau ka¬kaknya sampai berjodoh dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mere¬ka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu! “Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti....“ Kian Bu menggeleng kepala. “Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhu¬tan, dan di sana terdapat Panglima Bhu¬tan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai tamu....“ “Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, eh, kiranya hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi ta¬wanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo’on itu....” “Eh, kok ada pangeran blo'on segala?” “Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka ber¬janji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Ke¬rajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta di¬janjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi.... Coba, apa kau rela?” “Ahhh....!” Kian Bu meloncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman Kecil ini marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia! Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba se¬pasang matanya memandang sayu. “Kian Bu.... dia.... dia.... Bibi Syanti Dewi....“ Dia tidak melanjutkan kata-katanya ke¬tika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti Dewi ter¬dapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercaya¬an, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cinta¬nya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat melanjut¬kan kata-katanya. “Dia kenapa....?” Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar. “Dia.... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal.” “Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tak tahu malu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas. Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! “Tutup mulutmu yang berbau busuk, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!” Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas. “Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?” Hek¬-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian Bu. “Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!” “Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?” Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai penuh kebencian. Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biarpun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang menggempar¬kan namanya di sepanjang lembah Huang-¬ho, namun dia tidak merasa takut. Per¬nah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apalagi kini ada Hek-¬hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mujijat itu. “He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!” tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri. Bocah ini memaki ayahnya de¬ngan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biarpun Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biarpun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, na¬mun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tidak enak didengar. “Kalian jangan me¬nuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan ber¬sikap khianat? Dia telah memegang jan¬jinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?” Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang se¬orang kasar yang sama sekali tidak mem¬punyai perasaan halus, maka makian-¬makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak mem¬bekas. Dia hanya tertawa bergelak. Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tidak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak, “Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke benteng!” Setelah berkata demikian, Hek¬-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok ke¬dua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di Lmbah bersama para peng¬ikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu men¬jadi ketua Lembah Bunga Hitam (baca Kisah Sepasang Rajawali). Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu pukulan yang me¬ngandung hawa mujijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tem¬purung, diikuti oleh para anak buah be¬kas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang di¬capai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini. “Biar kauhajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang tunjuk¬kanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!” Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan te¬tapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan ba¬nyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sen¬diri sudah maju menubruk Hwee Li. Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang per¬nah menjadi ayahnya ini. Orang ini ada¬lah musuh besarnya, yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam¬-diam dia telah mempersiapkan dirinya. Selama beberapa tahun dia sedikit ba¬nyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri dan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya. Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya. Di dalam ke¬palan tangannya, tanah dan pasir itu ber¬ubah menjadi hitam dan telah mengan¬dung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid men¬diang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Se¬laksa Racun! Dan memang dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mem¬pelajari tentang racun seperti telah di¬janjikan oleh gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tu¬gasnya jauh lebih ringan daripada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak mem¬biarkan dulu Hek-hwa Lo-kwi setengah mati menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja menangkap be¬kas anaknya ini yang dianggapnya me¬rupakan pekerjaan mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah be¬nar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan mem¬bantunya. “Heh-heh, bocah kurang ajar, kaukira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan memper¬mainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!” Hampir Hwee Li menjerit saking ma¬rah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan kemarahan¬nya, dia menggerakkan kaki berputar¬-putar dan mundur-mundur menjauhi la¬wan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan “senjata” istimewa di dalam geng¬gaman kedua tangannya itu. Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah ber¬gerak ke depan, kedua tangannya menge¬luarkan suara seperti angin puyuh me¬ngamuk, dan dari kedua telapak tangan¬nya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih. Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, akan tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengan¬dung racun berbahaya. Namun, dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang. Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mung¬kin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-¬satunya jalan bagi lawan hanyalah me¬nangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke kiri menghadapi pe¬muda itu dan menggerakkan kedua ta¬ngannya ke depan untuk menyambut pu¬kulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak, bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar