Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 24.

Jodoh Rajawali Jilid 24.
Jodoh Rajawali Jilid - 24 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 24 Makin berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu ter¬senyum. “Ahhh, Tek Hoat, jangan mem¬permainkan aku....! Aku lebih tua dari¬mu, aku sudah tua sekali, sudah hampir nenek-nenek....“ Tek Hoat juga tersenyum. Dalam per¬cakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji, melainkan se¬orang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian beri¬kutnya! “Usia tidak penting, yang nyata eng¬kau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua puluh tahun usianya....“ Rangkulan kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat. “Benarkah itu? Tek Hoat...., ah, benarkah bahwa akhir¬nya ada pula rasa sayang dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa engkau juga.... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan....“ Tek Hoat tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya ter¬hadap Syanti Dewi! Tiap kali dia ber¬hadapan dengan kekasihnya itu dan ber¬cakap-cakap, terus saja timbul sifat ro¬mantisnya, timbul pula keinginannya un¬tuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya mempergunakan kata-kata yang indah-¬indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk! “Mo-li, terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang can¬tik sekali.” Tangan kanan wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra dan manja. “Aku masih belum, percaya benar.... apanya yang cantik pada diriku yang tua ini....?” Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi! “Wajahmu, alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan.... hemmm, bentuk tubuh¬mu juga amat indah menggairahkan....“ “Hi-hik....!” Mauw Siauw Mo-li me¬loncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari. “Engkau menduga¬-duga saja, untuk menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang manapun!” Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu (baca Kisah Sepasang Rajawali). “Tidak, aku tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo¬-li.” “Dan tubuhku?” “Hemmm.... dan tubuhmu.” “Menggairahkan katamu?” Wajah Tek Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk. “Ya, menggairah¬kan.” Mauw Siauw Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, memperlihatkan sekilas pandang giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan. “Hi-hik! Eng¬kau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagai¬mana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?” Wajah Tek Hoat makin menjadi me¬rah. “Mudah dilihat dan diduga....” Dia menjawab juga. Mauw Siauw Mo-li melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu me¬rangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sam¬pai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap kepalanya, “Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihat¬nya sendiri bentuk tubuhku. Kaubuka¬lah....“ Akan tetapi Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana roman¬tis yang ditimbulkan oleh sikap dan kata-¬kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguhpun dia masih tersenyum. “Hi-hik, kau malu-malu? Engkau me¬mang seorang pemuda hebat. Keras, ang¬kuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-¬kadang amat lembut seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ah, betapa hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku.” Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pe¬muda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pe¬muda ini memandang dan jantungnya ber¬debar tegang. Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-¬sifat pria pada umumnya dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat. Dengan gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak men¬jemukan, mulailah wanita ini melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu seperti seorang perawan yang baru pertama kali¬nya berhadapan dengan pria. Tek Hoat benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantung¬nya berdebar tidak karuan ketika dia melihat pakaian itu tanggal satu demi satu dengan cara penanggalannya demi¬kian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan bergoyang¬-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding. “Ihhh.... hi-hik, matamu seperti me¬ngeluarkan api, Tek Hoat....“ bisiknya halus dan wanita ini lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk membereskan rambut kepala yang awut-awutan. Gerak¬an ini benar-benar merupakan gerakan khas wanita di bagian manapun di dunia ini dan pengangkatan kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tu¬buhnya makin polos, dan terbuka. Tek Hoat adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali. “Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?” Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di atas pangkuan pemuda itu, me¬rangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat me¬rasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut. Belum pernah selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam. Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-¬li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya. Ke¬tika Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara se¬perti seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringat¬lah dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk dan men¬ciumnya, sungguhpun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak pernah bersikap ”menyerang” sehebat itu dalam pencurahan kasih sa¬yang. Pernah dia mencium kekasihnya itu, namun sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas! Erangan seperti suara kucing itu me¬nyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua ta¬ngannya membalas pelukan dan dia mem¬biarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam se¬hingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja. Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Mo¬li. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik. “Nanti dulu.... Mo-li, nanti dulu....“ “Tek Hoat....“ Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tidak melanjutkan kata-kata¬nya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini. “Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hen¬dak.... hendak ke belakang dulu....“ katanya. “Ehhh....? Hi-hik.... baiklah, tapi jangan lama-lama, kekasih....“ Kedua tangannya melepaskan pelukan. Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telan¬jang. Tidak ingat lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjangi¬nya itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li rengerang. “Tek Ho¬at.... katakan dulu.... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?” “Ya, aku tidak berbohong.” “Dan kau suka kepadaku?” “Aku suka sekali....” “Kalau begitu, coba kaucium aku....“ Di dalam gelap, Tek Hoat tersenyum, lalu dia menghampiri pembaringan dan membungkuk, menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pun¬dak wanita itu, dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra. Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li meng¬erang dan merangkul, hendak menarik lagi Tek Hoat ke atas pembaringan. “Nanti dulu, sebentar, aku takkan lama, Mo-li....“ Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu, meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke ka¬mar kecil! Terlalu lama bagi Mauw Siauw Mo-¬li menanti di dalam kamar, akan tetapi membayangkan penyerahan diri pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh panas semua karena api berahi telah membakarnya berkobar-kobar. Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup iagi. “Ahhhhh.... kekasih.... pujaanku.... kesinilah.... cepat sini....!” Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw Mo-li, ditarik¬nya ke atas pembaringan. Di luar jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam di¬bawanya keluar tadi. Ketika tadi dia dibelai dan dirayu oleh wanita itu, ham¬pir saja dia terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbuliah akalnya untuk memper¬mainkan wanita ini. Dia pura-pura hen¬dak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam api berahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, dibawa keluar. Se¬telah tiba di luar kamar, Tek Hoat mempergunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah bopeng dan bu¬ruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika tiba-¬tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ. “Sssttttt.... Paman, cepat kau ikut aku!” Pelayan itu mengenal Tek Hoat se¬bagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia cepat turun dari pembaringan. “Ada apa, Kongcu?” “Kau mau.... eh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?” “Aihhh, jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang un¬tuk....“ “Tak usah bayar, aku sudah mem¬bayarnya. Aku lelah, dan kauwakili aku, tapi diam-diam saja jangan keluarkan suara, ya? Kau harus begini....“ Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga pe¬layan itu yang membelalakkan mata, terkekeh dan nengangguk-angguk. Dengan tergesa-gesa, pelayan itu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, se¬tengah didorong, pelayan itu memasuki kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu berahi, dalam gelap itu mana dapat membedakan orang? Apalagi, nafsu berahi, seperti nafsu lain, hanyalah merupakan permainan dari dirinya sendiri belaka. Jika nafsu berahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting. Apalagi semua indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta sehingga dia tidak lagi dapat membedakan orang dan di dalam gelap itu, dia segera menggelut pelayan bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah men¬jadi seperti seorang kelaparan yang di¬beri hidangan lezat dan banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan ra¬kusnya! Dari luar jendela, Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia lalu me¬loncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak da¬pat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini ber¬kurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu bahwa wanita itu telah menjadi hamba dari nafsu berahi¬nya, yang merupakan semacam penyakit yang mendalam sehingga selama hidup¬nya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu berahinya seperti api yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar se¬gala-galanya tanpa pernah mengenal ke¬puasan. Dalam diri wanita itu seperti telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar me¬lalui lubang-lubang di atas jendela, ter¬dengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya da¬lam pelukan seorang laki-laki yang ber¬wajah buruk sekali, dia menjerit dan melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke atas lantai! Pelayan itu terkejut dan berteriak, akan tetapi te¬riakkannya memanjang mengantar nyawa¬nya ketika Mauw Siauw Mo-li sudah me¬loncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kema¬rahan meluap-luap. Tahulah dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat ke¬luar dari matanya, akan tetapi kini kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu. “Tek Hoat keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau....!” Tiba-tiba pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut-ribut. Itu adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para tamu yang men¬dengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat! “Braaaaakkkkk....!” Pintu dijebol ba¬nyak orang dari luar. Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan tetapi, ternyata di luar jen¬dela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamar¬nya terdapat siluman yang suka mem¬bunuh orang! Beberapa orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu men¬jadi terkejut, akan tetapi ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi marah. “Tangkap siluman!” “Dia membunuh orang!” “Bunuh saja dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!” Banyak orang menyerbu ke dalam kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li telah berhasil merobohkan beberapa orang, kemudian dia menerobos keluar jendela, menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan beberapa kali lompatan di atas genteng¬-genteng rumah orang, lenyaplah wanita telanjang bulat yang cantik itu! Tentu saja peristiwa itu menjadi “do¬ngeng”' yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah se¬tengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan siluman? Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat. Akan tetapi ke manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain itu, andaikata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu. Bagaikan sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu. *** Lereng Bukit Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan aneh-aneh yang tidak terdapat di daerah lain. Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang. Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu, burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu mereka. Kuil Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga seorang yang biarpun kelihatan lemah namun sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba untuk mengganggu daerah itu. Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apalagi untuk berkelahi, bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapapun juga sehingga banyak orang jatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati, sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw tua ini. Usia Kim Sim Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus dan keme¬rahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya. Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas. Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es (baca cerita Pendekar Super Sakti). Biarpun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam sekali. Bahkan nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mujijat. Akan tetapi, belum pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mujijat itu, kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini. Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan). Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan ka¬rena mencinta pendeta wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja. Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw kurang lebih enam pu¬luh tahun! Akan tetapi, semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang hidup sebatangkara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari keluarga Gubernur Ho-nan. Seperti telah dicerita¬kan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini, biarpun me¬rupakan seorang wanita lemah, namun dia memiliki keberanian yang amat me¬ngagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini tertawan oleh Gu¬bernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho¬-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan satu-satunya, pria yang dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas. Sikap Siluman Kecil yang tidak mempedulikannya, membuat hati dara ini hancur dan terluka. Kembali terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukan cinta kasih murni melainkan cinta kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pe¬ngejaran kesenangan diri pribadi, selalu pasti mendatangkan penderitaan dan ke¬sengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang men¬datangkan korban tak terhitung banyak¬nya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari betapa palsunya cinta kasih seperti itu. Betapa banyaknya kaum muda-mudi yang saling tertarik, bersumpah saling men¬cinta ketika mereka masih diombang¬-ambingkan oleh pengejaran untuk me¬nyenangkan dirinya sendiri itu. Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak senang, lun¬turlah cinta kasih itu, bahkan tidak jarang cinta mereka berubah menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apabila ternyata bahwa cinta kasih itu tidak mendatangkan ke¬senangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan, cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin. Demikian pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya berselubung harapan agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar dia selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal ini akan amat menyenangkan hatinya. Demikianlah gambaran yang diharap¬-harapkannya. Oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak mem¬pedulikannya, sama sekali tidak menerima apalagi membalas cintanya, Phang Cui Lan mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana.Untung baginya bahwa dalam keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara itu tinggal di kuilnya. Kim Sim Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia me¬lihat persamaan nasib antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat membuatnya sengsara, yaitu ketika cinta¬nya terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh dengan pendekar itu. Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan keadaan Cui Lan, tim¬bul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pen¬dekar Super Sakti dan kini Cui Lan gagal terhadap putera pendekar itu. Hati Cui Lan banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang telah mengalami banyak hal-hal pahit dan mak¬lum bahwa sebagai seorang wanita muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan¬-im-bio itu di samping menerima wejang¬an-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi penderitaan batinnya. Akan tetapi, bukan hanya menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk se¬kedar mengobati luka di hati Cui Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaan¬nya dan melupakan Kian Bu. Sama sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara dengan cara memaksa diri menjadi ni¬kouw bukanlah merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya ka¬dang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan mencontoh perbuatannya. Tidak, Cui Lan adalah seorang dayang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahui¬nya benar selama beberapa hari saja se¬telah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup ber¬harga untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan men¬jadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu! Cui Lan sendiri hanya dapat menduga¬-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bersama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil Kwan¬-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman Kecil. Dia mendengar ketika dia meng¬intai bersama Hwee Li betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini “ibu”. Akan tetapi dia tidak berani menanyakan ke¬pada subonya. Pada suatu hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini dia merasa seperti menemukan keten¬teraman batin. Kim Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya itu. “Cui Lan, ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta.” Cui Lan mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh permohonan. “Akan tetapi, Subo. Teecu telah merasa tenteram dan senang hidup sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengatakan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi nikouw?” “Omitohud....! Sama sekali tidak demi¬kian muridku.” “Kalau begitu, kenapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan ke¬pada teecu.” “Engkau ingin tahu mengapa aku me¬larangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Ka¬rena.... karena pinni menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia¬-nyiakan hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara, biarpun hal itu akan kau tutupi dengan jubah pendeta sekalipun!” Wajah Cui Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata terbelalak. “Apa.... apa maksud Subo....?” Nenek itu memandang kepada murid¬nya dengan sepasang matanya yang ber¬sinar lembut namun tajam dan agaknya dapat menjenguk isi hati yang dipandang¬nya, “Cui Lan, engkau masih mencinta Siluman Kecil, bukan?” Wajah Cui Lan berubah menjadi me¬rah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan sampai lama baru menjawab, “Teecu.... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap men¬cintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan kare¬na itulah maka teecu mengambil keputus¬an untuk menggunduli kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan teecu ini....“ “Tahukah engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?” Cui Lan memandang gurunya. “Teecu tidak tahu, Subo. Dia.... dia diliputi penuh rahasia.... dan teecu pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu.... ah, bukan sekali-kali teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak me¬ngetahui....“ “Anak baik, engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguhpun dia ku¬anggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu dari pinni. Akan tetapi yang kumak¬sudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu.” Cui Lan mengerutkan alisnya, meng¬ingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya, ter¬utama she Suma itu. Kemudian dia ter¬ingat, “Ah, teecu pernah mengenal se¬orang pendekar perkasa yang amat ber¬budi dan bernama Suma Kian Lee....“ “Ehhh? Suma Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!” “Ohhhhh....!” Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat bahwa me¬mang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak sekali per¬samaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan ma¬sing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan yang kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang gagah. “Dan ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah suteku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan....” “Subo....!” Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah. “Dia.... dia tidak suka kepada teecu....!” “Ah, mana mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci orang.” “Akan tetapi dia.... dia.... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo.” Dia berhenti sebentar. “Dia.... tidak mencinta teecu.... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan, teecu.” “Jangan khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada perhatian dari keluarga mereka.” Tiba-tiba Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan subo¬nya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. “Subo.... teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan mentaati segala perintah Subo....“ Kim Sim Nikouw menarik napas pan¬jang dan menggerakkan tangannya, de¬ngan lembut dia mengusap rambut ke¬pala muridnya itu. Tak lama kemudian dia berkata, “Aihhh, betapa cinta kasih di dunia ini mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri telah menemui kebahagiaan dalam penghamba¬an diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan agama sebagai pelarian belaka? Apalagi kalau pinni teringat kepada sucimu Yan Hui.... hemmm, pinni merasa ngeri....“ Wajah nikouw itu men¬jadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu. Cui Lan yang telah mereda keharuan¬nya dan telah mengusap air matanya itu memandang subonya, hatinya tertarik. “Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?” tanyanya. Kembali Kim Sim Nikouw menarik napas panjang. “Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw sucimu itu sebagai murid, pinni tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapapun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang dipergunakan orang untuk me¬nunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu hari, pinni bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dan memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagal¬kan maksudnya membunuh diri, setelah dia siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami bertanding dan ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam hal kecepat¬an pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang menghadapinya.” Sampai di sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat. “Akan tetapi pinni tidak mau melukai orang, apalagi membunuh orang. Maka perlahan-lahan pinni menasihatinya de¬ngan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi nikouw, akan tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang membuatnya ke¬ras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam wak¬tu tiga tahun saja ginkangnya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!” “Ah, dia tentu hebat....!” Cui Lan berseru kagum. “Memang dia hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh patah hati karena cinta gagal!” “Ohhh....!” Cui Lan berseru kaget dan kasihan. “Sebetulnya dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung tua, suami¬nya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan se¬orang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu, men¬jadi buronan dalam keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan biarpun akhirnya dia dapat memulih¬kan kembali kesehatannya, namun hatinya telah terluka. Dalam keadaan seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri.” Cui Lan makin tertarik. “Sungguh kasihan sekali dia Subo, di mana sekarang adanya suci itu?” Kim Sim Nikouw menghela napas panjang. “Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemu¬kan harta pusaka yang disimpan kaum bajak jaman dahulu di pulau itu. Aihhh.... sungguh menyedihkan. Dia menjadi se¬orang wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi pembenci kaum pria.... me¬nyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis. Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni mampu menghadapinya? Kira¬nya, hanya Kian Bu saja yang akan sang¬gup menghadapi sucimu itu.... ah, sudah¬lah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan sucimu Yan Hui itu kare¬na pinni merasa betapa pinni telah me¬nambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan, maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta gagal. Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau maupun Kian Bu kelak akan hidup se¬bagai suami isteri yang berbahagia.” “Teecu merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,” jawab Cui Lan dan semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulal berseri karena timbul harapan baru dalam hatinya. *** Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna, kulit¬nya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut, akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat disem¬bunyikan oleh pakaiannya yang serba indah. Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri me¬masuki hutan itu, dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu. Setelah me¬masuki hutan yang penuh pohon dan te¬dub sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda lang¬kahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan menggairahkan. Akan tetapi pada wajah yang manis itu ter¬bayang kemurungan hati. Memang hati Siang In, gadis itu, se¬dang murung. Sudah lama sekali dia ber¬putar-putar mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang mem¬bantu puteri itu melarikan diri dari ista¬na Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah ber¬hari-hari dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya. Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak men¬dengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia men¬dengar pula tentang peristiwa yang me¬nimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil. Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pe¬muda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan. Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas propinsi, bahkan, terdengar pula sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai? Dia merasa kagum. Me¬mang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Seng-jin, koksu dari Nepal! Dunia begini kacau, pikirnya. Pem¬besar-pembesar melakukan pergolakan, pemberontakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis merayap keluar dari gua-gua tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan me¬ngail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung. Kalau saja dia tidak ingat bah¬wa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melan¬jutkan penyelidikannya mencari Syanti Dewi. Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sen¬diri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya, merupakan duri dalam daging. Pemuda yang kadang¬-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu kare¬na urusan Syanti Dewi. Apalagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-¬cari tanpa hasil, kemudian malah men¬dapatkan Gua Tengkorak, tempat per¬tapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung, sungguhpun pada wajah yang cantik jelita dan manis, itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah ber¬seri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum sehingga sukarlah membayangkan wajah seperti ini berduka atau muram. Satu-satunya yang membuktikan be¬tapa murung hati dara ini adalah cara dia melakukan perjalanan itu. Sama se¬kali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai gelap sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa! “Uhhh....!” Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja. Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, bu¬rung-burung yang berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting-ranting dan dahan-dahan, ber¬sahutan-sahutan kemudian tiba-tiba me¬reka terbang pergi. Suara sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mere¬ka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian burung-burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut me¬lihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu. Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah ter¬lentang itu, tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andaikata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sunyi ini, di waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan! Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara, payungnya te¬lah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara se¬orang laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biarpun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya de¬ngan suara lantang itu. “Bahagia, hanya sebuah kata! penuh daya tarik, penuh rahasia dikejar, dia lari dicari, dia sembunyi makin dibutuhkan makin manja bahagia, hanya sebuah kata! Harta benda bukanlah bahagia nafsu berahi bukan bahagia dia bukan pula kebesaran nama bukan pula kedudukan mulia tak mungkin didapat melalui pengejaran seperti halnya kesenangan! Yang mengejar bahagia selamanya takkan bahagia yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar bahagia itulah hakekat bahagia hanya sebuah kata belaka!” Siang In bengong terlongong men¬dengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini bertemu dengan seorang ma¬nusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suara hal yang aneh dan andaikata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata¬-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya. Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tan¬pa disadarinya sendiri, dia pun kini ter¬menung-menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apa¬kah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu di¬tujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu. “Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!” Demikian bunyi ba¬ris antara sajak tadi. Benarkah ini? Ka¬lau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-¬kata yang dirangkai seperti teka-teki. Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan kata¬kata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya “kuda putih bukanlah kuda!” “anjing putih ada¬lah hitam”, dan sebagainya. Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak ter¬pengaruh oleh keadaan luar seperti war¬na, sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang kesemuanya itu hanyalah keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, melainkan anjingnya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tidak menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala keadaan lahiriahnya. Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya. Betapapun juga, siapapun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya. Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani mun¬cul begitu saja memperlihatkan diri, melainkan berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar, se¬pasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu, di dalam cuaca yang re¬mang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya se¬orang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkangnya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya. Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu. Se¬dangkan malam mulai tiba. Bulu tengkuk¬nya mulai meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau ma¬nusia, tidak mungkin dapat bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tem¬pat dia bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu me¬miliki kepandaian yang hebat bukan. Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hati¬nya, karena pada saat itu dia sedang mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya. “Ihhh, tak tahu malu!” Siang In me¬nepuk perutnya sendiri ketika dia ter¬kejut mendengar bunyi berkeruyuk itu. Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat menemukan¬nya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan. Akan te¬tapi, hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatangpun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap. “Sialan!” Dia memaki. “Sialan setan yang bersajak tadi!” gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam de¬ngan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal. Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, du¬duk dan bersandar batang pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti hatinya. Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatangkara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah mening¬gal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan encinya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, encinya itu tewas ke¬tika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon sehingga dia menjadi se¬batangkara sampai dia bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana pergi¬nya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua itu dan.... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah yang selama ini sering kali dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pe¬muda yang pernah mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan me¬mejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang me¬narik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas! Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidung¬nya kembang-kempis seperti cuping hi¬dung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang! “Kruuuyuuuuukkk....!” “Ihhh!” Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba. Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, menghampiri tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biarpun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah ke¬hijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena berman¬dikan cahaya bulan tanpa terganggu ba¬yangan pohon. Dan agak jauh di tengah-tengah padang itu, dia melihat api ung¬gun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi. Siang In mempergunakan kepandaian¬nya, menyusup di antara semak-semak dan menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-¬semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambut¬nya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti benang-benang perak. Wajahnya agak menunduk, me¬mandang kepada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya. Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar tegang. Bukankah orang itu Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu! Pernah dia melihat Siluman Kecil, ketika pen¬dekar aneh itu bertanding melawan se¬orang kakek botak yang amat lihai. Ke¬tika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena dia melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia ha¬nya membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah paha ki¬jang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapapun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpal¬an-gumpalan daging yang sedang dipang¬gang itu. Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutup¬kan mulutnya kembali dan menahan na¬pas. Dia melihat munculnya seorang ba¬yangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu. Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu. Bayangan wajah wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, namun wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Pakaiannya amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Se¬pasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu ber¬sembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang! “Hai! Kamu....!” Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap-riapan yang sedang me¬manggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur ham¬banya saja. “Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar ke¬luar dari dalam hutan ini?” Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apalagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan me¬nambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin ber¬nyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah sehingga sukar dikenal. Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu menge¬luarkan sinar berkilat. “Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!” Wanita itu mem¬bentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya. Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In ter¬kejut bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyang¬kan sedikit hudtim itu saja sudah me¬ngeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan di jawab oleh laki-laki itu, yang di¬sangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apalagi men¬jawab, hanya membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang ber¬irama! “Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang akan memperoleh jawaban yang ka¬sar pula kelakuan kasar menyakitkan hati hanya akan menimpa diri sendiri! Akan tetapi si bodoh dan tolol! berbuat jahat tanpa melihat akibat seperti si tolol api akhirnya membakar diri sendiri!” Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi mem¬baca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua buah sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman. Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya me¬ngenal pula sajak-sajak itu maka kini dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba¬-tiba wanita itu berseru, “Ah, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?” Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Se¬perti telah diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu. Bah¬kan di istana kuno milik Sai-cu Kai-¬ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nela¬yan itu, dia bertemu dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sen¬diri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Seng-jin yang me¬warisi kepandaian Suling Emas. Dia men¬dengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Seng-jin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika dia mendengar penuturan Ceng Ceng ten¬tang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi un¬tuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicinta¬nya dan masih dicintanya itu. Dia men¬cari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemu¬kan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu. Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak-anak yang meng¬ajukan pertanyaan yang tidak penting pula, “Kalau benar, kenapa sih?” Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata, “Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-¬ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang ber¬bahaya. Aku bosan juga membunuhi ca¬cing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya macam¬mu, tidak boleh terlepas dari tanganku!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtimnya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu! “Wuuuttt....!” Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam-diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang saja. “Huh, agaknya engkau telah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hemmm, aku sudah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu. Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi. Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu angkat¬nya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitiang saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh ke¬menangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali. Tiba-tiba terdengar jerit seorang wa¬nita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat jauh. Na¬mun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Se¬dangkan Siang In yang mengintai itu ham¬pir tidak mendengarnya sama sekali. “Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!” kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yahg amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu. Biarpun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wa¬nita yang tak dikenalnya ini memusuhi¬nya dan begitu bertemu ingin membunuh¬nya. Akan tetapi, wanita itu hanya men¬jawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian, “Huh!” “Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin meng¬adu ilmu? Nah sambutlah!” Kian Bu kini tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menang¬kis juga membalas serangan. Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau mengang¬gur, melainkan melancarkan dorongan¬dorongan yang mengandung hawa pukulan mujijat, berselang-selang dari pukulan¬ pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im¬-sin-jiu dan Hwi-yang-sin-ciang. Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali menge¬luarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa ber¬musuh dengannya, masih tidak tega un¬tuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabung¬an sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah me¬newaskan nyawa kakaknya sendiri itu. Kian Bu segera mendapatkan kenyata¬an bahwa biarpun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia mempunyai ke¬lebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bu¬kan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu ang¬katnya. “Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?” “Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet!” “Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!” Kini wanita itu telah menerjang de¬ngan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan telinga ketika sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil. Namun, Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha ki¬jang tadi dan sebagai gantinya kini ta¬ngannya telah memegang sebatang ran¬ting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Na¬mun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali gulungan sinar putih itu me¬nyambar dahsyat. “Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?” Kian Bu menghardik karena selain merasa terkejut menyaksikan ge¬rakan wanita ini yang jelas menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bah¬wa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu. “Wuuuttttt.... syiiittttt....!” Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu. “Ehhh!” seru pemuda itu dan ketika ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk meng¬elak, dia mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah me¬nyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya me¬loncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari si¬tu, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-hui¬teng ke arah timur. Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap? Siang In menarik napas panjang, pe¬nuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, akan te¬tapi dia tidak pernah dapat melihat wa¬jah Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang ter¬kenal sekali itu, namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum, atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh rambut putih. Siang In muncul dari tempat sem¬bunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha ki¬jang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikir¬nya. Diberi bumbu pula dan diberi ga¬ram. Bukan main! Siang In cepat mem¬bawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. De¬ngan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang ke dua, akan tetapi kini kelahapannya ber¬kurang. Daging paha itu besar dan meng¬habiskan sepotong pun sudah kenyang. Akhirnya dia tidak mampu menghabiskan paha ke dua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang dan tenaga pulih, akan tetapi rasa kenyang itu me¬nimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon! Sementara itu, Kian Bu yang melaku¬kan pengejaran, menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana larinya bayang¬an yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali. Betapapun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah mana larinya. Kini, hanya sinar bulan remang-¬remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya ingin men¬dapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Akan tetapi dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah le¬reng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan. Setelah tiba di lereng bukit itu, kem¬bali Kian Bu menjadi bingung. Dia mem¬perhatikan dan mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan ber¬sinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga. Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan....! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakai¬an hancur dan tubuh penuh luka-luka berjalur-jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-savat dengan pisau tajam! Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-¬laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang ta¬jam yang menyayat-nyayat kulit daging! Dengan perasaan muak Kian Bu lalu mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, me¬mandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk. Wanita itu setengah te¬lanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat men¬duga bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas! Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang me¬lompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melempar¬kannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu ter¬dapat seorang laki-laki yang bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah ter¬sayat-sayat, pakainya robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sam¬pai bola matanya berputaran memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke de¬pan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis, ”.... ampunnn.... ampunkan saya....” Tubuhnya menggigil. “Siapa kau?” Kian Bu membentak dengan suara bengis. “Saya.... saya.... bernama Giam Hok.... harap Taihiap sudi mengampuni saya....“ orang itu meratap. “Harap Tai¬hiap sudi menolong dan menyelamatkan saya.... nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw.... harap lindungi saya dari.... dari iblis betina itu.... hu-huuhhh....” Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil. Memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dan dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah em¬pat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan. “Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?” Orang itu mengangguk-angguk. Lalu dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, me¬maksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa? “Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?” tiba-tiba dia bertanya, suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jerih setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya. “Yang membunuh adalah.... dia.... Bu-eng-kui....” Kian Bu mengerut¬kan alisnya. Dia belum pernah men¬dengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang me¬miliki gerakan sedemikian gesitnya itu. “Dia seorang wanita?” “Begitulah.... yang saya dengar....“ Orang yang bernama Giam Hok itu men¬jawab ketakutan. “Dan namanya Ouw Yan Hui?” “Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw.... akan tetapi tidak tahu jelas....“ “Apa artinya kata-katamu ini?” Kian Bu membentak marah. “Saudara-saudara¬mu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh-pembunuh saudaramu ini?” “Dia.... dia bergerak seperti setan hampir tak dapat saya lihat.... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang¬ kadang tidak dan yang terdengar hanya bunyi bersuitan sinar putih bergulung¬-gulung dan kami.... kami sudah disayat¬-sayat.... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi. Saya.... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi....“ “Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?” Kian Bu mendesak lagi. “Kami.... saya.... telah lama men¬dengar akan Bu-eng-kui yang amat kejam dan mengerikan itu.... dan bahwa dia she Ouw.... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia....“ “Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau me¬lihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?” “Karena.... sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tidak dapat meng¬ampuni segala cacing busuk!” Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pem¬bunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu¬-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih sucinya sendiri! Hemmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas! “Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?” “Kami.... kami tidak melakukan ke¬salahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...., entah mengapa, dia da¬tang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara....“ “Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas diri¬mu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?” “Dia.... dia....“ “Hayo katakan, siapa dia dan bagai¬mana dia mati?” Kian Bu menghardik. “Dia adalah tawanan kami....“ “Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosa¬nya sampai mati, ya?” Orang itu mengangkat muka dan me¬mandang kepada wajah yang tampan namun menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali se¬pasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mende¬ngar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan “siluman” itu, tentu pen¬dekar sakti ini juga seorang dari golong¬an hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil. “Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan....“ “Desssss....! Aughhh....!” Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya. “Jahanam busuk kau!” katanya dan cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempeduli¬kannya lagi Giam Hok yang mengaduh-¬aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah de¬ngan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati! Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapapun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu me¬masuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci. Tak lama kemudian, dia sudah ber¬diri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal se¬paruh dan yang berada di atas rumput. “Sialan....!” Kian Bu menggeleng¬-geleng kepalanya. Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan me¬ninggalkan tempat itu dengan cepat tan¬pa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak. Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakai¬an dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bu¬kanlah bangsan Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari mana¬kah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang diting¬galkan. Fajar telah menyingsing dan cua¬ca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi. Dilihatnya Giam Hok sedang mengu¬bur jenazah empat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapapun jahatnya, orang ini telah me¬nerima hukuman yang amat berat. Ba¬yangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia me¬ngubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih! Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini tim¬bul keberaniannya. Dia bertolak pinggang dan berkata, “Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan kepada para ang¬gauta golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak mem¬bunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harap¬an lagi, lebih baik menyusul saudara¬-saudaraku.” Kian Bu menarik napas panjang, lalu melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biarpun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, me¬lainken menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya dan dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang men¬corong tajam itu mengerling. “Giam Hok loheng,” katanya ramah. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Biar¬pun engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah.” “Kalau begitu, mengapa Taihiap da¬tang lagi menemui saya?” Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercaya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup. “Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperoleh¬nya atau menawannya?” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar