Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 22.

Jodoh Rajawali Jilid 22.
Jodoh Rajawali Jilid - 22 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali – Jilid - 22 Ketika Hong Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menyam¬but kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya berbisik kepadanya, “Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum selesai.” Tek Hoat merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat me¬maksa. Setelah ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata kepada dua orang ke¬pala bajak itu, “Twa-ong dan Ji-ong, se¬betulnya kedatangan kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini, juga kami bermak¬sud minta bantuanmu untuk urusan sa¬habatku Si Jari Maut ini, urusan yang amat penting.” Ma Khong dan Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pe¬muda sakti ini pun balas memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki¬-laki yang tinggi besar dan agak pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan kumisnya lebat. Adik¬nya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan jangkung, mukanya bersih tidak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya berotot dan nampaknya kuat sekali. Di lain fi¬hak, dua orang kepala bajak itu meman¬dang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena mereka merasa sukar untuk percaya apa¬kah pemuda yang kelihatan amat muda dan lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian menggemparkan? Tentu saja mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang ke¬lihatan lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui, seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, jauh melebihi kepandaian mereka sendiri. “Urusan apakah itu, Lihiap?” tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu. “Ketahuilah, Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini.” Dua orang kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong. “Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut, padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?” “Jangan bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa penculik itu.” “Siapakah dia?” tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh selidik. “Kalau orang biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Me¬nurut dugaanku, penculik itu bukan laln adalah Hek-sin Touw-ong....“ “Ahhhhh....!” Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka dan muka mereka berubah pucat. “Tidak mungkin....!” “Apanya yang tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?” tanya Lauw Hong Kui. “Kedua-duanya....!” kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu. “Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan ke duanya, andaikata benar dia yang me¬lakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami.” Jelas bahwa Ma Khong kelihatan jerih sekali terhadap nama itu. “Kalian tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. De¬ngarlah, wanita yang diculiknya itu, sa¬habat dari Ang-taihiap ini, adalah se¬orang puteri dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu terjatuh ke tangan ketua Liong¬-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liang¬san, tempat yang amat kuat seperti ben¬teng dan Liong-sim-pamg dipimpin orang-¬orang pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu menculiknya dari ternpat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?” Mendengar ini, dua orang kepala ba¬jak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir keras. “Agaknya tidak mung¬kin Touw-ong yang melakukan penculik¬an,” kata Ma Ti Lok. “Biarpun Touw¬-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, biarpun Wanita itu se¬orang puteri kerajaan sekalipun!” “Benar,” kata pula Ma Khong. “Agak¬nya bukan dia....” “Habis siapa lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada di pantai Po-hai,” kata Hong Kui. “Ah, bukan hanya dia,” kata Ma Khong. “Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sukar didatangi orang, yaitu di Gua Tengkorak.” “Hemm, siapa dia?” tanya Hong Kui. “Seorang kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang-orang pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan.... berjalan di atas air!” “Bohong....!” kata Hong Kui. “Mungkin bohong mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan,” kata Ma Khong. “Kalian berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!” tanya Hong Kui sambil mengerling tajam. “Tentu.... tentu....!” Mereka berdua menjawab serentak. “Kalau begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di Gua Tengkorak itu untuk menyelidiki.” “Baik,” jawab mereka. “Dan kalau kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan, kalian harus mmebantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong.” “Akan tetapi.... ini.... ini....” Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan jelas membayangkan perasaan takut-takut. “Kalian tidak mau membantu aku?” Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang. “Kami tentu saja mau membantu Lihiap!” tiba-tiba Ma Ti Lok berkata. “Benar, kami suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantu¬an kami ini yang sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap. Sungquh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi Lihiap.... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan malam ini....“ Lauw Hong Kui tertawa. “Hi-hik, ka¬lian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam ini.... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu.” Tiba-tiba Lauw Hong Kui menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik perhatiannya. Tek Hoat ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana se¬bagai seorang pelayan, namun kesederha¬naan pakaiannya itu tidak menyembunyi¬kan tubuhnya yang mulai dewasa, kekar dan kuat. Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari kawan-kawan¬nya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya, hebat pula kepandaiannya merayu pria. “Ah, si A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia ikut kami...., eh, dia masih bodoh dan hijau....“ “Hi-hik, justeru kebodohan dan ke¬hijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan melayani aku. Adapun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya.” Wanita itu lalu bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata, “Tek Hoat, kau bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso.” Dia lalu menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangan¬nya dan berkata, “Marilah, kautunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di daereh ini.” Pelayan muda itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti suara ketawa dua orang ke¬pala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung iri. Malam itu, Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya ketika dia mem¬bayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam kesengsaraan. Me¬lakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana keadaannya. Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan! Ah, dia tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam keadaan demikian me¬nyedihkan, terbunuh oleh orang dan sam¬pai kini pun dia belum berhasil memecah¬kan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu. Dia terpaksa menunda penyelidikan¬nya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru dia akan melanjut¬kan usahanya mencari pembunuh ibunya Malam itu sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggauta bajak yang beringas di malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang mereka itu men¬dengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing, yang terdengar jauh di luar hutan itu. Mereka hanya saling berbisik-bisik dan tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Silu¬man Kucing yang sedang mempermainkan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu. Baru pada keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri dan segar, ram¬but kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka para pen¬jaga itu, atas isyarat wanita itu, meng¬hampiri dan mereka memapah A-cun yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu. Me¬reka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda remaja itu tidur setelah memaksa pe¬muda itu minum obat yang diberikan Mauw Siauw Mo-li. Tek Hoat yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia terbangun dan membersihkan badah, dia lalu mencari dua orang ke¬pala bajak itu dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Gua Teng¬korak. Ternyata Hong Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biarpun semalam suntuk tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memper¬oleh kepuasan setelah berhari-hari me¬lakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam dilewatkan dengan gelisah sendirian tanpa kawan, dan ter¬nyata pemuda remaja anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya sehingga dia merasa gembira dan puas. Mereka melakukan perjalanan ber¬empat dan agar dapat melakukan per¬jalanan cepat, Ma Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan me¬nyusuri tepi pantai menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong menuding ke atas tebing dan berkata, “Disanalah tempat tinggal Hek-sin Touw-ong. Tidak kelihat¬an dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah gedung yang menjadi tem¬pat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal Touw-ongya? Mudah-mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi Touw-ong.” Setelah hari menjadi sore, baru mere¬ka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan gua, daerah yang merupakan tebing dan pegunungan batu kapur. Tak lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah gua yang bentuknya memang seperti tengkorak manu¬sia, gua yang menyeramkan. Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika me¬reka memasukinya, mereka mendapatkan gua itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa gua itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya meninggalkan tempat itu. Mereka memeriksa Gua Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan dinding gua sebelah kiri, me¬mandang dan membaca tulisan yang di¬ukir dengan indahnya di dinding batu itu. Dia melihat guratan-guratan huruf kecil¬-kecil itu dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk me¬nuliskan huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik. “Sayang, sungguh sayang belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat kesalahan sendiri! Lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu dan benar-benar memperbaiki dirinya sen¬diri!” Tek Hoat membaca tulisan itu ber¬kali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bilamana. “Hi-hik, orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat kesalahan sendiri?” Akan tetapi Tek Hoat tidak mem¬pedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri,akan tetapi sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguhpun dari penglihatan itu selalu timbul penyesalan. Sesungguhnya, tulisan itu adalah pe¬tikan dari ujar-ujar dalam kitab Lun Gi bagian ke lima dan pasal ke dua puluh tujuh, ujar-ujar dari Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri. Memang sudah menjadi ke¬biasaan kita untuk merasa menyesal se¬telah kita melihat kesalahan sendiri. Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar-benar kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena akibat buruk yang timbul karena kesalah¬an perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya. Misalnya, kita melakukan per¬buatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita tertangkap dan dihukum. Me¬nyesaliah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul karena JATUHNYA HUKUMAN itulah atas diri kita. Oleh karena keada¬an seperti inilah maka di lain kesempat¬an, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal saja tidak terlihat ancaman hu¬kumannya. Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar¬-benar menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan diri sendiri yang dimaksudkan TIDAK MENGULANGI lagi perbuatannya yang salah itu. Mempelajari atau menghafal ayat¬-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali bagi jalannya ke¬hidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala hal yang ber¬hubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara menyeluruh, kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbul¬kan terjadinya hal itu. Kalau kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri se¬tiap saat, maka akan timbul kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran se¬pintas lalu yang didapat dari membaca ayat. Kesadaran membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian dilupakan lagi se¬hingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan ter¬lupa. Dan biasanya, ayat-ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita kalau kita ingin menasihati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita se¬hari-hari. Ayat-ayat itu seperti nyanyian¬-nyanyian merdu yang hanya mampu meng¬gerakkan hati nurani kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya PENGHAYATAN DALAM HIDUP? Mengetrapkan ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupa¬kan kepalsuan yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita menjadi orang baik dan sebaiknya. Kebaikan tidak mungkin di¬latih, karena kalau kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-¬buat, tidak mencontoh ini atau itu, me¬lainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan sudah tidak ada maka munculiah kebaikan, seperti kalau awan-awan gelap sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih ke¬baikan hanya akan menciptakan manusia¬-manusia munafik. Yang penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan waspada setiap saat akan segala gerak¬-gerik lahir batin diri sendiri. Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala macam per¬buatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan ke¬inginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau YANG MENGAMATI tidak ada pula!. Sampai lama mereka berempat me¬meriksa keadaan di dalam gua tengkorak, akan tetapi tetap saja mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas-¬bekas yang menunjukkan bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam gua itu. “Jelas bahwa bukan penghuni gua ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!” kata Tek Hoat. “Kalau begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu,” kata Mauw Siauw Mo-li. Dua orang Saudara Ma itu kelihatan gentar. “Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami akan mengerahkan anak buah kami.” “Tidak perlu,” kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya. “Kita berempat sudah cukup. Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu dengan Hek-sin Touw-ong, serah¬kan saja kepadaku untuk menghadapinya.” “Tapi.... tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami.... kami tidak berani. Kalau engkau gagal, Taihiap, kami pun tentu akan celaka.” “Jangan takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain itu ada aku di sini, bukan?” kata Hong Kui. Karena takut kepada wanita itu, akhirnya dua orang itu ter¬paksa menurut. Malam itu mereka ber¬malam di dalam gua tengkorak. Hong Kui tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam gua itu. Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur di luar gua yang dingin daripada di dalam gua di mana dia harus menghadapi goda¬an Hong Kui yang amat mengganggunya. Tak lama kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan menjelang tengah malam, dia men¬dengar rintihan suara kucing itu yang amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari gua, tidur di antara batu¬-batu karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua kehidupannya yang telah lalu. Timbul perasaan malu di dalam hatinya. Teringat akan tulisan di dinding batu, kini dia melihat betapa dia telah memenuhi ke¬hidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat. Betapa dia dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di Bhutan dia telah menjadi seorang ter¬hormat, sebagai panglima dan calon suami Syanti Dewi. Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup bahagia, Juga membuat dia hidup barsih, Jauh dari pikiran kotor sama sekali. Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri Pen¬dekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang berbudi mulia. Akan tetapi terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendah¬kan dari Bhutan. Dia meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya hancur dan hatinya juga re¬muk-rendam. Dia menjadi tidak peduli akan kehidupannya, apalagi setelah me¬lihat ibunya terbunuh. Dia tidak peduli lagi apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli! Akan tetapi sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana kalau ber¬temu kembali? Apakah dia masih ber¬harga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat mencintanya? Dia mulai me¬rasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor dan sesat! Dengan hati gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan dapat-lapat seperti dalam mimpi dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk mencinta Syanti Dewi! *** “Suhu, lihat apa yang kudapatkan ini!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan kakek itu sambil mem¬buka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain. Rumah itu merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biarpun tidak terlalu mewah namun amat menyenang¬kan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-¬sudut ruangan, lantainya bersih dan ke¬semuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan penghuninya suka akan kebersihan. Ada kurang lebih sepuluh orang pela¬yan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya biarpun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek¬-sin Touw-ong dan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja kini mereka tidak lagi mencuri, setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu. Kakek yang berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang lakl-laki tua ber¬usia enam puluh tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan juluk¬annya si Raja Maling Bermuka Hitam. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun yang lalu kakek ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu dan semua kaum pencuri tun¬duk kepadanya dan menganggapnya se¬bagai datuk atau raja. Karena kepandai¬annya yang hebat, dan karena semua pencuri menganggapnya sebagai raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin Touw-¬ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukan¬lah maling sembarang maling! Dia hanya mau melakukan pencurian di dalam ista¬na-istana saja! Dan biarpun mukanya hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya. Kakek yang terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal derma¬wan dan suka menolong orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan. Pernah dia mencuri satu peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan kepada rakyat yang ke¬laparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei ketika Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri! Perbuatannya ini menimbul¬kan kegemparan dan selain dia dimusuhi oleh para pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para pendekar. Ketika kakek itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sa¬yang kepada muridnya, bahkan murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguhpun Swi Hwa masih belum dapat mengubah sebutan suhu kepadanya. Sudah berbulan-bulan muridnya pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa “oleh-oleh” yang demikian banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas per¬mata, uang dan juga kitab-kitab, dia ter¬belalak dan menatap wajah muridnya de¬ngan alis berkerut. “Swi Hwa, apa yang telah kaulaku¬kan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga ini?” Biarpun dia berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan pencurian, apalagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka, sungguhpun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu menyamar. Gadis itu tertawa. “Suhu, harap ja¬ngan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala macam benda. Benda-¬benda ini bukan benda-benda sembarang¬an, juga bukan milik orang-orang sem¬barangan pula.” “Hemmm, kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bah¬wa itu bukan benda sembarangan?” Guru¬nya mencela dan menegur. “Benar, Suhu. Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman Kecil!” “Wahhhhh....!” Suhunya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa tahun ini, yang namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam, bahkan amat disegani. Dia mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya! Melihat kekagetan, dan keheranan suhunya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas permata. “Dan Suhu lihat peti itu! Isinya ada¬lah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderai Kao Liang! “Ehhh....?” Sepasang mata Raja Maling itu makin terbelalak lebar ketika mendengar laporan itu. Nama Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi daripada nama Siluman Kecil. Siapa yang tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta pusaka keluarga jenderal itu! Hati Swi Hwa makin besar dan bang¬ga. “Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Seng-jin....“ “Apa....?” Sekali ini kakek itu ham¬pir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia tertawa bergelak dan mem¬buka-buka kitab itu. “Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu....! Lucu sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kauceritakan bagaimana eng¬kau dapat melakukan semua itu, ter¬utama sekali kitab-kitab palsu ini!” “Palsu?” Swi Hwa mengerutkan alis¬nya. “Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya dari rumah Sin-siauw Seng-jin sendiri setelah dia di¬kalahkan oleh Siluman Kecil.” Kembali kakek itu terkejut. “Sin-Siauw Seng-jin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagaimana pula itu? Ah, Swi Hwa, ceri¬takan.... ceritakan....!” Melihat kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua penga¬lamannya. Mula-mula dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudi¬an betapa muncul beberapa kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu. Dalam keributan ketika para kelompok gerombol¬an itu saling bertempur sendiri, dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk me¬rampas peti terisi harta pusaka itu dan melarikannya. Kemudian dia mencerita¬kan tentang penyamarannya sebagai tu¬kang penjual sepatu dan berhasil men¬copet kantung uang milik Siluman Kecil, dan akhirnya dia menceritakan bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka milik Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama sekali tidak berani menceritakan kepada suhunya. Kakek itu mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apalagi ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw Seng-jin sampai ka¬kek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan suara heran dan me¬muji “Hebat.... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Seng-jin tidak ada lawannya. Kiranya dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha!” Kelihatan kakek ini girang sekali mendengar akan kekalahan Suling Sakti itu. “Suhu, tadi Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu padahal Suhu belum memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?” “Ha-ha, tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu-ilmu itu tidak akan men¬jadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar kitab-kitab itu, karena semua itu ¬palsu, apalagi kalau telah dia tinggalkan begitu saja.” “Betapapun juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu.” “Ha-ha-ha, itulah yang menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha.... ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa-tewa, akhirnya lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Muridku, anakku, apa yang telah kau¬lakukan ini benar-benar hebat dan me¬ngagumkan hatiku. Aku girang dan puas mempunyai murid seperti engkau. Akan tetapi, engkau telah bermain-main dengan api, anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita menyembunyian di tempat aman.” “Di gua rahasia di tebing?” Kakek itu mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka merayap turun me¬lalui tebing yang amat curam itu dan menyembunyikan benda-benda itu di da¬lam sebuah gua di tebing yang tertutup oleh batu dan tumbuh-tumbuhan sehlngga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu, kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu. Malam itu, di atas meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mula¬mula tertarik terhadap Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya memasuki sayembara di Ho-nan. “Eh, Swi Hwa, apa yang kaulakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayem¬bara untuk menjadi pengawal?” tegur gurunya. Swi Hwa memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya sebagai ayah sen¬diri. Oleh karena inilah, maka biarpun ketika datang tadi dia tidak berani ber¬cerita tentang semua itu, namun akhir¬nya dia bercerita juga karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hati¬nya dan dia tidak mempunyai orang lain untuk diajak bicara. “Suhu, aku hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apalagi aku terbawa oleh orang-orang lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan perjalanan bersama, ma¬ka aku pun ingin memperlihatkan ke¬pandaian.” “Hemmm.... kau seorang wanita sung¬guh terlalu berani beraksi di depan umum.” Lalu dia memandang tajam. “Apa sebabnya kau ingin agar orang-orang mengetahui kepandaianmu?” “Suhu, tentu saja dengan maksud un¬tuk mengangkat nama Suhu!” “Eh, bocah lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?” Ditegur begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut. “Aku.... aku.... hanya mengaku sebagai wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho....“ “It memang atas kehendakku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri per¬temuan itu di sana. Akan tetapi tidak di tempat umum!” “Suhu, maafkan, aku.... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di de¬pan.... eh, Siluman Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Seng¬jin.” Gurunya menarik napas panjang. “Eng¬kau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan ceritamu.” Setelah mulai menuturkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi apa-apa lagi dan kata-¬kata pun mulai lancar keluar dari mulut¬nya. Dibukanya segala peristiwa itu ke¬pada suhunya. Betapa dia terlibat dalam urusan perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia terpukul oleh Siluman Kecil. “Ah, engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai terpukul mati oleh pendekar itu,” kata kakek itu dengan mata terbelalak, terheran-heran akan petualangan murid¬nya yang berani itu. Swi Hwa lalu menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di gubernuran, apalagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa. Mendengar nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya ter¬belalak dan dia berseru, “Sai-cu Kai¬ong....? Ahhh.... betapa aneh dan ke¬betulan....! ”Apa maksudmu, Suhu?” Gurunya menarik napas panjang. “Ti¬dak apa-apa, aku kenal dengan tua bang¬ka itu, kelak engkau pun akan tahu sen¬diri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik” “Setelah aku pergi meninggalkan gu¬bernuran Ho-nan karena aku tidak ingin lagi melanjutkan sebagai pengawal gu¬bernur, setelah terjadi peristiwa perebut¬an Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang diserang oleh seorang wanita baju hijau yang lihai. Melihat jenderal yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu membantu¬nya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu.” Gurunya mengangguk-angguk. “Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah melakukan kesalahan ter¬hadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka sudah selayaknya eng¬kau menebusnya dengan membantunya, apalagi engkau belum mengenal wanita penyerangnya itu.” “Akan tetapi dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak merobohkannya....“ “Ah, ilmumu belum cukup tinggi un¬tuk menggunakan Kiam-to Sin-ciang de¬ngan sempurna.” “Pada saat itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi....” ”Ah, begitu hebat dia? Siapakah wa¬nita itu?” “Aku tidak tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun daripada aku, pakaian¬nya serba hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main, aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang di¬nginnya menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan roboh tidak ingat apa¬-apa lagi.” Kakek itu mengerutkan alisnya. “Di¬ngin....? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa yang terjadi denganmu?” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang, sudah menceritakan segala-galanya kepada guru¬nya, maka sukarlah untuk menyembunyi¬kan peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu. Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu me¬nangis! Tentu saja Hek-sin Touw-ong men¬jadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar mata penuh se¬lidik, kemudian dia bertanya, “Apakah yang menimpa dirimu, muridku? Mengapa kau menangis?” Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar muridnya roboh pingsan laiu kini menangis itu, dia menyangka bahwa jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya. Swi Hwa menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang kembali, dia melanjutkan ceritanya, “Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah pohon, di atas rumput terlentang dan.... dan....“ “Ya? Bagaimana?” Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang menanti lanjutan cerita muridnya itu. “Ketika aku siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan.... tangannya diletakkan di atas dadaku, Suhu....“ Gadis itu menundukkan muka¬nya yang menjadi merah sekali. “Dia? Dia siapa?” “Siauw Hong....“ “Keparat! Berani benar dia!” Kakek itu membentak marah. “Suhu tentu mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di balik bajuku.... maka aku lalu bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga dia terlempar dan mung¬kin dia mampus!” “Bagus! Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya sampai mampus benar¬-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong itu?” “Dia adalah pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Si¬luman Kecil. “Hemmm, jadi dia memiliki kepandai¬an juga, ya? Orang macam apa dia be¬rani berbuat kurang ajar seperti itu?” “Dia.... dia masih muda, mungkin tidak lebih tua daripada aku, Suhu, dan dia dikenal sebagai pangeran pengemis....“ “Pengemis??” Gurunya makin pena¬saran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu oleh seorang pe¬muda pengemis? “Ya, dia seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pa¬ngeran Yung Hwa itu, Suhu.” ”Siapa? Murid siapa?” Muka kakek itu berubah. Swi Hwa terkejut melihat perubahan muka gurunya. “Dia murid Sai-cu Kai-¬ong....“ “Ahhhhh....! Ya Tuhan....!” “Ada apakah, Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?” Kakek itu masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-¬benar mengagetkan hatinya. “Hayo katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar dan melanggar susila? Apa¬kah dia berusaha.... memperkosamu?” Kini Swi Hwa yang memandang de¬ngan mata terbelalak. “Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu? Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia menyalurkan sinkang yang amat kuat dan mengusir hawa di¬ngin akibat pukulan gadis pakaian hijau itu.” “Ahhh....!” Kakek itu tertegun dan melongo. “Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa kau meng¬hantamnya sampai.... mungkin dia mati?” Wajah Swi Hwa menjadi merah dan dia menunduk. “Habis.... habis dia.... meraba dadaku dan aku malu karena ra¬hasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku seorang pemuda se¬jati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke sini. Kakek itu menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. “Ah, aku menjadi bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan ke¬mudian aku terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Kai-ong?” “Benar, Suhu.” Kakek itu menarik napas panjang. “Aaahhhhh.... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar biasa, penuh rahasia ajaib....“ “Maksud Suhu?” “Swi Hwa, engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku sebagai guru dan ayah ang¬katmu untuk memikirkan perjodohanmu....“ “Ah, Suhu! Harap jangan bicara ten¬tang itu!” Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah sekali. Dia teringat ke¬pada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Silu¬man Kecil sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya! “Swi Hwa, hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, ke dua adalah pernikahan dan ke tiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm.... timbul pikiranku untuk menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu.” “Suhu....!” “Swi Hwa, bagi seorang wanita ter¬hormat dan bersusila, merupakan pan¬tangan besar untuk membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suami¬nya tentu saja! Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah meraba tubuhmu itu pun ha¬nya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu atau ke dua dia harus dibunuh!” “Tapi.... tapi.... dia telah menolong¬ku, Suhu, dia telah mengobatiku.” “Nah, itulah sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk menjodohkan dia denganmu, apalagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang seperti Sai-cu Kai¬-ong yang biarpun berkepala besar dan berhati baja, namun kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik.” “Akan tetapi, Suhu, aku belum....!” “Ssshhhhh....!” gurunya memberi isya¬rat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat ke luar dari kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar rumah itu. Ketika mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan tetapi bagaimana dalam waktu sing¬kat saja mereka roboh semua? Hek-sin Touw-ong yang baru muncul itu tiba-tiba meloncat ke samping ketika dia melihat bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia meng¬elak dan memandang. Ternyata yang me¬nyerangnya adalah seorang wanita cantik yang pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang bersinar hijau itu lihai sekali. Segera dia mengenal wanita ini dan dia berseru marah, “Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau? Berani benar kau mengacau di tem¬patku?” “Tek Hoat, cepat....!” Mauw Siauw Mo-li sudah berseru dan tanpa mempe¬dulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim se¬rangan-serangan kilat kepada lawannya. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-¬tiauw Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sem¬brono menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai mem¬balas dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu. Sementara itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li, sudah ber¬kelebat ke sebelah dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan remang-remang itu dia mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan main girang rasa hatinya. “Syanti Dewi....!” Dia berseru dan meloncat menghampiri, hendak memeluk dara itu. “Wuuuttttt.... wirrrrr....!” Tek Hoat terkejut bukan main karena dara yang dikira Syanti Dewi itu meng¬elak dan cepat menghantamnya dengan tangan kiri yang mengandung hawa tajam dan kuat sekali. Dia cepat meloncat ke belakang dan memandang. Kiranya dara itu sama sekali bukanlah Syanti Dewi, sungguhpun harus diakuinya bahwa dara itu juga cantik jelita. Dara itu adalah Ang-siocia atau Swi Hwa yang tentu saja menjadi marah sekali melihat pemuda ini datang-datang hendak memeluknya. Dari tempat itu dia melihat suhunya telah bertanding me¬lawan seorang wanita cantik yang main¬kan pedang bersinar hijau secara hebat sekali, dan dia dapat melihat pula para pelayan suhunya telah rebah di sana¬-sini. Tahulah dia bahwa ada orang-orang jahat menyerbu, maka dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Tek Hoat de¬ngan sengit dan dahsyat. Tek Hoat terkejut dan kagum juga menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis cantik ini, akan tetapi karena dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat menemukan kembali Syanti Dewi yang di¬sangkanya diculik oleh Hek-sin Touw-ong dan disembunyikan di gedung itu, cepat mengerahkan kepandaiannya, me¬mapaki serangan Swi Hwa dengan dorong¬an tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti Inti Bumi. “Aihhh....!” Swi Hwa menjerit, ketika tubuhnya dilanda angin dahsyat yang amat kuat dan membuat dia terjengkang, dan sebelum dia sempat bergerak, pun¬daknya telah ditotok secara luar biasa sekali dan dia menjadi lemas, tak dapat berdaya lagi seperti kehilangan tenaga¬nya. “Hayo katakan, di mana adanya Syan¬ti Dewi?” Tek Hoat menghardik. Akan tetapi gadis itu melotot kepadanya penuh kemarahan. “Tidak tahu!” Gadis itu menjawab dengan keras pula. Dua bayangan berlari datang dan mereka itu adalah Ma Khong dan Ma Ti Lok. Dua orang ini tadinya gentar sekali ketika mendatangi rumah gedung milik Hek-sin Touw-ong itu, akan tetapi setelah mereka melihat bagaimana dengan amat mudahnya Ang Tek Hoat dan Lauw Hong Kui merobohkan para penjaga atau pengawal itu, kemudian melihat Lauw Hong Kui sudah bertempur dengan hebat lawan Hek-sin Touw-ong sedangkan Tek Hoat dengan amat mu¬dahnya merobohkan murid Raja Maling, hati mereka menjadi besar dan mereka lalu berlari memasuki gedung itu. Melihat mereka, Tek Hoat lalu ber¬kata, “Hayo bantu aku mencari ke dalam gedung. Geledah semua kamar sampai kalian mendapatkan puteri yang disem¬bunyikan itu!” Setelah berkata demikian, dia sendiri sudah mendahului mereka lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi. Banyak sudah kamar dimasukinya, akan tetapi dia tidak juga menemukan Syanti Dewi. “Syanti Dewi....! Syanti....! Ini aku, Tek Hoat....!” Dia berteriak-teriak akan tetapi tidak pernah ada jawaban. Dia melihat pula dua orang Saudara Ma itu ikut mencari-cari, namun belum juga berhasil. Tiba-tiba dia mendengar teriakan keras yang dikenalnya sebagai suara Hong Kui, “Tek Hoat...., tolonggggg....!” Cepat Tek Hoat berloncatan dan lari ke luar. Ternyata Hong Kui terdesak hebat oleh kakek bermuka hitam yang benar-benar amat lihai itu. Bahkan pe¬dang wanita itu telah terlempar ke atas lantai dan kini Hong Kui terdesak mun¬dur, setiap pukulan tangan kakek itu mengeluarkan bunyi mencicit nyaring dan biarpun Hong Kui sudah mengelak ke sana-sini dengan cepat, namun tetap saja lengan kiri dan pundak kanannya kese¬rempet pukulan sakti itu sampai ber¬darah seperti terluka oleh pedang tajam. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mujijat! “Wuuuttttt....!” Tek Hoat sudah menghantam ketika dia tiba di tempat itu. Melihat ada sambaran angin dahsyat dari samping, kakek itu meninggalkan Hong Kui dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya sambil di¬kerahkannya tenaga Kiam-to Sin-ciang yang membuat kedua lengannya kuat dan mengandung hawa tajam seperti pedang atau golok itu. “Plakkk!” Benturan dua tenaga mujijat yang amat hebat itu membuat kakek itu ter¬pelanting, akan tetapi Tek Hoat kaget melihat kulit lengannya lecet berdarah! “Ahhh....!” Hek-sin Touw-ong ter¬kejut setengah mati. Baru satu kali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan hanya dapat menghadapi tenaga Kiam-to Sin-ciang tanpa membuat le¬ngannya terluka hebat, akan tetapi juga mampu membuat dia terpelanting dan hampir roboh! Dengan marah dia lalu menerjang dan terjadilah perkelahian hebat antara Tek Hoat dan kakek muka hitam itu. Hong Kui yang tadi terdesak hebat, kini sudah mengambil kembali pedangnya dan dengan marah dia mengeroyok kakek itu untuk menebus kekalah¬annya dan membalas luka-luka yang di¬deritanya di lengan dan pundak. Kakek itu kini sudah kewalahan dan bingung menahan serangan yang mengandung te¬naga Inti Bumi yang dahsyat itu apalagi ketika Tek Hoat mempergunakan Ilmu Toat-beng-ci, melakukan totokan-totokan dengan satu jari, dia terkejut bukan main dan teringat akan nama seorang muda yang menggemparkan dunia kang-ouw. “Si Jari Maut....!” teriaknya. Akan tetapi pada saat itu, pedang bersinar hijau di tangan Hong Kui sudah menyambar ganas ke arah lehernya. Ce¬pat dia menghindarkan diri dengan meng¬elak dan merendahkan tubuhnya, akan tetapi karena pada saat itu Tek Hoat juga sudah menyerangnya, maka sebuah totokan mengenai punggungnya dan kakek itu mengeluh roboh terguling dalam ke¬adaan tidak mampu bergerak lagi. Kalau orang lain yang terkena totokan Tek Hoat itu, tentu akan tewas seketika. Namun kakek itu cukup tangguh sehingga dia tidak tewas, hanya tertotok dan lum¬puh. “Hek-sin Touw-ong, hayo katakan di mana adanya Syanti Dewi!” Tek Hoat mengancam dengan jari tangan di atas ubun-ubun kepala kakek itu. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang keras hati dan tidak takut mati. Dirobohkan oleh pemuda itu sudah me¬rupakan hal yang amat memalukan, maka dia menjawab dengan jengkel, “Mau bu¬nuh, lekas bunuh, tidak perlu banyak cakap!” “Aku tidak akan membunuhmu, aku mencari Syanti Dewi. Kau tidak berhak menculiknya dan menyembunyikannya. Hayo katakan, di mana Syanti Dewi? Di mana?” Tek Hoat berteriak-teriak seperti orang gila. “Aku tidak tahu!” jawab kakek itu dan membuang muka dengan gerakan lemah karena kedua kaki tangannya lum¬puh. Tek Hoat bangkit berdiri dan menarik napas panjang, memandang kepada Hong Kui. “Aku tidak melihat Syanti Dewi di dalam,” katanya dengan hati kecewa bukan main. “Hemmm, biarpun tidak ada Syanti Dewi, akan tetapi di dalam rumah ma¬ling ini tentu banyak barang berharga. Sebaliknya kubunuh saja dia!” Hong Kui menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Hek-sin Touw-ong. Kakek itu membelalakkan mata, menanti datangnya maut dengan mata terbuka. “Wuuuttttt.... tranggggg....! “Eh, Tek Hoat, mengapa kau?” Hong Kui meringis dan memegangi pergelangan tangan ka¬nannya yang terasa nyeri karena tadi terpukul oleh pemuda itu sehingga pe¬dangnya terlempar dan berkerontangan di atas lantai. “Kau tidak boleh sembarangan mem¬bunuh, tidak boleh selagi aku di sini!” bentak Tek Hoat yang merasa mendong¬kol sekali karena ternyata petunjuk dari wanita itu tidak menghasilkan dia me¬nemukan kembali Syanti Dewi. Dia me¬rasa tertipu. Pada saat itu, terdengar jerit wanita dari dalam. Mendengar ini, Tek Hoat cepat berlari masuk diikuti oleh Hong Kui yang sudah menyambar kembali pe¬dangnya. Jantung pemuda itu berdebar tegang karena dia mengira bahwa itu adalah suara jeritan Syanti Dewi. Akan tetapi betapa kaget dan kecewanya, juga marah sekali, ketika dia tiba di tempat di mana dia tadi mening¬galkan Swi Hwa yang roboh tertotok, dia melihat Ma Khong dan Ma Ti Lok sedang hendak menggagahi dara itu dan mereka telah merobek pakaiannya se¬hingga gadis itu tadi menjerit. Terasa pening kepala Tek Hoat sa¬king marahnya. “Bedebah....!” Dia ber¬seru dan tubuhnya meluncur ke depan. Dua kali jari tangannya bergerak dan dua tubuh Ma Khong dan Ma Ti Lok ter¬pelanting, berkelojotan dan tewas seketi¬ka dengan dahi mereka ada tanda jari hitam! “Tek Hoat, kau terlalu!” Hong Kui membentak marah. “Kau membunuh te¬man sendiri!” “Mereka layak mampus! Engkau juga!” Tek Hoat menghardik dan memandang marah. “Keparat kau, manusia tidak mengenal budi!” Hong Kui tak dapat menahan ke¬marahannya dan dia menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong de¬ngan tangan kirinya. Angin kuat me¬nyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang. Wanita ini makin marah dan meloncat keluar dari dalam rumah. “Keluarlah kau kalau jantan!” tan¬tangnya. Tek Hoat yang kecewa dan marah itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui menggerakkan tangannya dan sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat. Pemuda ini maklum bahwa itulah senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw Siauw Mo-li. Lawan yang kurang hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia ini, tentu akan celaka, setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan benda itu lewat. “Darrr....!” Benda itu meledak ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya jebol. Dua kali lagi Mauw Siauw Mo-li me¬nyambitkan senjata-senjata rahasia pe¬ledaknya, namun semua dielakkan oleh Tek Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim serangan dengan hantam¬an kedua tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti Bumi. Mauw Siauw Mo-li berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan sebelum dia dapat menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai pinggulnya. “Bukkk! Aughhh!” Wanita itu menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia bangkit dan menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri. “Kau kejam sekali, Tek Hoat. Ku¬bunuh kau kalau aku mendapat kesempat¬an!” teriaknya marah. “Mo-li, kalau aku tidak ingat bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap kau dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergi¬lah dan jangan berani memperlihatkan mukamu yang tak tahu malu itu kepada¬ku lagi!” Tek Hoat berkata. “Uhhh....!” Bedebah, manusia sombong kau!” Mauw Siauw Mo-li memaki, me¬mandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia tidak berani bergerak me¬nyerang, akhirnya dia membalikkan tubuh¬nya dan lari sambil berteriak melengking nyaring, makin lama suaranya makin jauh sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak ekornya. Semua ini terlihat oleh Hek-sin Touw-¬ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat lari menghampiri muridnya, menotok membebaskan gadis itu, kemudian Tek Hoat menghampiri dia dan membebaskan pula totokannya. Hek-sin Touw-ong bangkit berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, kemudian dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan. “Kau.... kau Si Jari Maut?” tanyanya. Tek Hoat mengangguk. “Maafkan ka¬lau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi, tadinya aku mengira bahwa engkau telah menculik Puteri Bhutan.” “Puteri Bhutan?” Kakek itu berkata dan mengerutkan alisnya. “Sungguh aneh, betapa banyak orang mencari Puteri Bhutan!” “Apa maksudmu....?” “Swi Hwa, jangan!” tiba-tiba kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan tubuhnya, membiarkan pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping tubuhnya, kemudian dia menggunakan jari tangannya membabat ke bawah. “Trakkk!” Pedang itu patah dan Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang pedang itu terlepas. “Swi Hwa, jangan sembrono kau!” kembali Touw-ong membentak dan gadis itu meloncat ke samping gurunya sam¬bil memegangi tangan kanannya dan me¬mandang kepada Tek Hoat dengan mata berapi dan penuh kemarahan. “Hek-sin Touw-ong, apa maksudmu mengatakan bahwa banyak orang men¬cari Puteri Bhutan?” “Baru-baru ini, See-thian Hoat-su kakek ajaib penghuni Gua Tengkorak juga datang ke sini dan mienanyakan apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan Mauw Siauw Mo-li datang mencari Puteri Bhutan pula.” Hati Tek Hoat kecewa sekali. “Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau benar tidak pernah melihat puteri itu, Touw-ong?” “Guruku sudah bilang tidak melihat¬nya, mengapa banyak cerewet lagi?” Tek Hoat menarik napas panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah-marah, karena betapapun juga, dua orang Sau¬dara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai kawan-kawannya. “Sudahlah, maafkan aku kalau kalian tidak tahu!” Berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari depan mereka. “Jahat dia....!” Swi Hwa berkata. “Sssttt....!” Gurunya memegang ta¬ngan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh kepada mayat dua orang she Ma itu, menggeleng kepala dan berkata, “Sungguh hebat sekali kepandai¬an Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya memang dia amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku sendiri kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut membantu, kalau tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pe¬muda hebat itu.” “Siapa sih Puteri Bhutan yang di¬carinya itu, Suhu?” “Entah. Ah, sungguh aneh sekali pe¬ristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari tiga orang sakti, akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil atau Sin-siauw Seng¬jin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung masih baik kesudahannya. Ah, peristiwa ini makin mendorong hatiku untuk cepat-cepat menjurnpai Sai¬cu Kai-ong....“ Kakek itu lalu menolong para anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada yang terluka. Kemudian rnereka mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari kemudian, Hek-sin Touw-ong ber¬siap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-¬ong, tokoh yang sebetulnya telah lama menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan tahun ini tidak pernah lagi berhubungan dengan dia. *** Kita kembali melihat keadaan di lem¬bah Huang-ho, di markas besar perkum¬pulan Kui-liong-pang yang kini diperguna¬kan oleh Pangeran Liong Bian Cu sebagai benteng. Telah diceritakan di bagian depan betapa Jenderal Kao Liang sendiri telah berada di dalam cengkeraman Pa¬ngeran Liong Bian Cu, membuat jenderal gagah perkasa itu tidak berdaya karena seluruh keluarganya berada di dalam tangan Pangeran Nepal itu. Apalagi ke¬tika jenderal ini melihat betapa Puteri Bhutan, anak angkatnya, juga menjadi tawanan di tempat itu. Terpaksa dia be¬kerja sungguh-sungguh dan membangun tempat itu menjadi sebuah benteng yang amat kuat. Dia sudah berjanji dan se¬bagai seorang gagah dia akan memegang janjinya, yaitu membuat tempat itu menjadi benteng yang tidak akan dapat di¬bobolkan musuh dan dia sendiri yang akan mengatur penjagaan mempertahan¬kan benteng itu di saat yang perlu! Ketika benteng itu masih belum se¬lesai benar dibangun di bawah pimpinan Jenderal Kao, tempat itu telah meng¬alami serangan dan telah membuktikan kehebatan Jenderal Kao dalam mem¬pertahankan tempat itu. Serangan ini da¬tang di waktu malam hari, terdiri dari lima puluh orang yang dipimpin tiga orang kakek yang amat lihai. Peristiwa itu terjadi di malam terang bulan dan biar¬pun benteng itu belum selesai dibangun, namun tali-tali rahasia yang dipasang oleh Jenderal Kao telah menyembunyikan genta memberi tahu bahwa ada serom¬bongan orang datang dari utara menuju ke lembah itu! Tali-tali rahasia itu men¬jadi satu dengan akar-akar dan ranting¬ranting pohon sehingga ketika dilanggar oleh rombongan orang itu, menggerakkan genta di dalam benteng dan segera para penjaga bersiap dan melakukan penjagaan ketat, diatur sendiri oleh Jenderal Kao Liang yang sudah melatih anak buah Kui¬-liong-pang dan anak buah Pangeran Nepal itu menjadi pasukan yang tangkas dan hebat! Semua ini ditonton dengan kagum oleh Liong Bian Cu, Hek-hwa Lo-kwi, Hek-tiauw Lo-mo, Gitananda, dan Ban¬ hwa Seng-jin yang lebih banyak tinggal di dalam gedung, bersikap tenang akan tetapi dia selalu menerima laporan dari Gitananda akan segala yang terjadi di luar kamarnya. Siapakah para penyerbu itu? Mereka ini bukan lain adalah para anggauta Liong-sim-pang yang dipimpin sendiri oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, dibantu oleh tiga orang kakek lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-swi Kwan Ok, dan Hai¬-liong-ong Ciok Gu To. Seperti kita ke¬tahui Hwa-i-kongcu Tang Hun merasa amat kecewa, penasaran dan marah se¬kali ketika Syanti Dewi yang akan men¬jadi isterinya itu tiba-tiba lenyap di tengah-tengah pesta pernikahannya! Dia merasa kecewa karena kehilangan calon isteri yang cantik jelita, akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya lagi, dia merasa malu. Dia telah mengundang ba¬nyak tamu, di antaranya banyak tokoh¬-tokoh kang-ouw dan banyak pembesar penting, dan ditengah pesta itu, pengantin wanitanya diculik orang begitu saja! Hal ini merupakan tamparan hebat bagi mukanya, kehormatannya, dan dia tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkan kembali pengantinnya. Oleh karena itu, dia mengerahkan seluruh anak buah Liong¬ sim-pang untuk melakukan penyelidikan dan pencarian. Bahkan dia mengandalkan harta bendanya yang besar untuk disebar¬kan di antara orang-orang kang-ouw agar mereka suka membantunya dan tidak lupa dia menjanjikan hadiah yang akan dapat membuat orang mendadak menjadi kaya raya kalau bisa menemukan jejak puteri itu! Karena usahanya yang mati-matian ini, maka boleh dibilang semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Hwa-i¬kongcu Tang Hun menjanjikan hadiah besar itu, maka semua orang memasang mata dan telinga untuk ikut mencari. Akan tetapi, ketika Syanti Dewi berada bersama See-thian Hoat-su, kemudian terampas oleh Gitananda dan disembunyi¬kan di tempat rahasia, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya sehingga sia¬-sia saja Tang Hun mencari dan menge¬rahkan banyak orang. Setelah puteri itu oleh Gitananda dibawa ke lembah Huang-¬ho dan puteri itu kelihatan oleh semua anggauta Kui-liong-pang dan para anak buah Hek-tiauw Lo-mo dan Pangeran Nepal, ada saja yang membocorkan beri¬ta ini sehingga akhirnya sampai juga ke telinga Hwa-i-kongcu Tang Hun. Tentu saja Tang Hun menjadi marah sekali dan juga girang karena akhirnya dia tahu di mana adanya pengantinnya itu. Mendengar bahwa Puteri Bhutan itu ditawan oleh perkumpulan Kui-liong-pang, dia lalu mengumpulkan semua anak buahnya, dibantu oleh tiga orang kakek lihai itu dia memimpin sendiri pasukannya menuju ke lembah Huang-ho dan malam itu dia menyerbu Kui-liong-pang. Sama sekali dia tidak tahu bahwa tempat itu kini sedang dibangun sebagai benteng yang kokoh kuat oleh bekas panglima besar Jenderal Kao, dan lebih lagi dia tidak menyangka bahwa kedatangan mereka telah diketahui dan Jenderal Kao yang merupakan seorang ahli perang amat pandai itu telah mempersiapkan sambutan hangat atas penyerbuannya! Dengan hati-hati tiga orang kakek lihai yang membantu Tang Hun itu memimpin pasukan memasuki lembah dari utara. Hak Im Cu, kakek tosu, seorang di antara tiga pembantu itu, bertugas sebagai penunjuk jalan karena tosu ini pernah datang mengunjungi lembah ketika di situ diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw. Tentu saja Hak Im Cu tidak dapat mengambil jalan rahasia, seperti ketika dia mengunjungi tempat itu dahulu melainkan mengambil jalan liar yang telah diperhitungkan sebagai jalan paling aman untuk menyerbu lembah itu. Satu-satunya halangan adalah sungai yang mengurung lembah itu, sungai yang terjadi ketika .lembah itu dibanjiri air ketika diadakan pertemuan dahulu. Akan tetapi mereka telah siap dengan alat-alat untuk berenang dan menyeberang. Ketika mereka tiba di tepi sungai, giranglah hati mereka bahwa di situ tidak terdapat penjagaan sehingga mereka dapat menyeberang dengan mudah, menggunakan perahu-perahu darurat. Dan betapa girang hati mereka ketika melihat bahwa pagar tembok di seberang sungai itu ternyata masih baru dibangun dan belum selesai sehingga tempat itu terbuka. Yang lebih menggirangkan lagi, tidak ada penjagaan di situ sehingga setelah bersembunyi dan mengintai sampai lama, kemudian yakin bahwa tempat itu sunyi tidak ada penjaga, mereka lalu bergerak merayap dan memasuki daerah lembah. Atas pimpinan Tang Hun sendiri, mereka lalu berindap-indap dan memecah diri menjadi kelompok-kelompok terpisah menghampiri rumah besar yang mereka kira tentu menjadi bangunan pusat di mana berdiam ketua Kui-liong-pang dan di mana puteri itu dikeram! Tang Hun telah mendengar bahwa ketua Kui-liong-pang adalah seorang kakek sakti berjuluk Hek-hwa Lo-kwi, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Akan tetapi, dengan adanya tiga orang kakek sakti yang membantunya, tentu saja dia tidak merasa takut. Apalagi setelah kini dia bersama pasukannya mampu mengepung rumah besar itu, mempersiapkan anak panah dan api yang mereka nyalakan secara serentak, merupakan obor-obor yang bernyala terang dan menerangi seluruh tempat itu, Tang Hun merasa yakin bahwa dia akan dapat memaksa tuan rumah mengembalikan pengantinnya. Dengan sikap garang dia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, diapit oleh tiga orang kakek dan para pengawalnya, menghadap ke pintu depan dari rumah besar itu lalu berteriak lantang, “Hek-hwa Lo-kwi, ketua Kui-liong-pang! Keluarlah dan mari kita bicara!” Di antara cahaya obor yang amat banyak dan amat terang, semua mata ditujukan ke arah daun pintu besar itu dan tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam. Munculiah beberapa orang dari sebelah dalam pintu itu dan Tang Hun memandang dengan terheran-heran ketika melihat bahwa yang memimpin rombong¬an orang itu adalah seorang kakek botak berjubah merah yang bersikap penuh wibawa, berpakaian indah dan sikapnya seperti seorang bangsawan tinggi. Di kanan kiri kakek botak ini berjalan dua orang kakek lain yang keadaannya mengerikan dan menyeramkan. Yang di kiri adalah kakek tinggi kurus bermuka teng¬korak yang dia duga tentulah Hek-hwa Lo-kwi karena dia sudah mendengar akan kakek yang berpakaian serba hitam, mu¬kanya yang seperti tengkorak itu putih seperti kapur. Sedangkan yang berada di sebelah kanan kakek botak itu adalah seorang kakek raksasa yang amat buas kelihatanpya. Dia tidak tahu bahwa itulah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dia segera mengenal kakek berkulit hitam, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, memegang sebatang tongkat itu. Itulah Gitananda, kakek Nepal yang dulu hadir pula di dalam pesta pernikahannya. Gita¬nanda berjalan di belakang kakek botak itu! Akan tetapi, Tang Hun tidak mem¬pedulikan mereka semua itu dan dia hanya memandang kepada Hek-hwa Lo¬-kwi dan sambil mengangkat dada dia berkata, “Hek-hwa Lo-kwi, karena engkau adalah ketua dari tempat ini....“ “Hwa-i-kongcu, biarpun aku adalah ketua dari Kui-liong-pang, akan tetapi pada saat ini yang memimpin kami ada¬lah Ban-hwa Seng-jin, koksu dari Nepal ini, yang mewakili Pangeran Liong Bian Cu. Kau boleh bicara dengan beliau!” kata Hek-hwa Lo-kwi sambil menunjuk ke arah kakek berkepala botak yang ber¬sikap dingin dan tenang itu. Tang Hun mengerutkan alisnya, me¬rasa bahwa belum apa-apa dia sudah keliru dan salah duga. Akan tetapi men¬dengar itu, tentu saja perhatiannya kini beralih kepada kakek botak yang kini juga bertanya kepadanya, suaranya te¬nang dan jelas biarpun masih ada nada asing. “Jadi engkau adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang¬-san? Selamat datang, Tang-kongcu, ada keperluan apakah engkau datang bersama pasukanmu di waktu malam begini tanpa memberi tahu lebih dulu kepada kami?” Tang Hun merasa serba salah. Kira¬nya kakek ini adalah koksu dari Nepal! Nama ini mulai terkenal akhir-akhir ini, bahkan ketika dia mengadakan pesta pernikahan, dia mengirim undangan kepada koksu itu yang berada di gubernuran Ho¬-nan, dan koksu itu diwakili oleh kakek Gitananda. Juga ketika mendengar bahwa kakek ini adalah Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal, tiga orang kakek yang mengiringkan Hwa-i-kongcu menjadi kaget bukan main. Akan tetapi, karena sudah terlanjur menyerbu dan kini sudah me¬ngurung rumah itu, Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ingin merampas kembali pengantinnya, tetap bersikap angkuh dan tidak mau kalah wibawa. Dia menjura dengan sikap hormat. “Ah, kiranya Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal yang memimpin tempat ini? Sung¬guh kebetulan sekali! Seng-jin tentu telah mengetahui akan peristiwa yang terjadi di tempat tinggal saya pada waktu pesta pernikahan saya, karena kalau tidak sa¬lah, wakil Seng-jin yang sekarang juga berdiri di belakang Seng-jin, yaitu Kakek Gitananda, pada waktu itu juga hadir. Terjadilah keributan pada waktu itu dan pengantin wanita diculik orang.” “Hemmm, kami sudah mendengar akan hal itu. Lalu mengapa?” tanya koksu itu dengan sikap tidak acuh. Sikap itu membuat Tang Hun merasa tidak enak. Kalau koksu ini sudah tahu, tentu tahu pula bahwa dia datang untuk menuntut dikembalikannya Syanti Dewi, akan tetapi koksu itu pura-pura tidak tahu saja! “Maaf, Ban-hwa Seng-jin,” katanya dan keangkuhannya mulai menurun karena dia benar-benar merasa gentar menghadapi koksu yang berwibawa ini dan tempat itu terlalu sunyi sehingga men¬curigakan. “Karena saya mendengar bah¬wa pengantin saya berada di lembah ini, maka saya datang bersama teman-teman saya untuk menjemput calon isteri saya itu. Harap saja Seng-jin mengingat per¬sahabatan antara kita dan suka menyerah¬kan pengantin saya kepada saya.” Ban-hwa Seng-jin mengangkat muka¬nya, sikapnya makin angkuh dan dia ber¬kata dengan suara yang nadanya menan¬tang, “Memang Puteri Bhutan berada di sini dan kami tidak bersedia menyerah¬kan dia kepadamu, Tang-kongcu. Sebaik¬nya Kongcu membawa pasukan Kongcu pergi dari tempat ini!” Tang Hun mengerutkan alisnya. Jan¬tungnya berdebar tegang. Kiranya benar pengantinnya berada di tempat ini! Hati¬nya girang akan tetapi juga tegang ka¬rena sikap Koksu Nepal ini agaknya hen¬dak menentangnya! “Ban-hwa Seng-jin! Puteri itu adalah calon isteri saya, pengantin saya. Sudah sepatutnya kalau dikembalikan kepada saya!” “Kami tidak bersedia menyerahkan beliau kepadamu. Habis engkau mau apa?” Inilah tantangan! Hwa-i-kongcu yang mengandalkan bantuan tiga orang kakek sakti dan anak buahnya, tentu saja mulai menjadi marah. Biarpun kakek botak ini adalah Koksu Nepal yang kabarnya lihai dan berkuasa, akan tetapi pada saat itu dialah yang berada dalam kedudukan menang. Tempat itu telah dikurungnya! Dan dia pun masih mengandalkan gurunya yang biarpun tidak ikut di dalam pasukan itu, namun secara aneh dan diam-diam, gurunya tentu melindunginya pula! “Ban-hwa Seng-jin, harap suka me¬mikirkan baik-baik. Ketahuilah bahwa kalian semua telah terkepung. Lihat be¬tapa pasukan kami telah siap dengan anak panah dan api, sekali saja saya memberi aba-aba, rumah ini akan di¬bakar dan kalian semua akan dihujani anak panah. Saya tidak menghendaki hal itu terjadi, maka sebaiknya supaya puteri itu cepat diserahkan kepada kami dan kami akan pergi sekarang juga.”' “Benarkah itu? Apakah bukan engkau dan pasukanmu yarig sudah berada dalam kepungan kami? Tang-kongcu, tengoklah di belakang kalian dan di atas.” Kakek botak itu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke belakang pasukan Tang Hun dan ke atas genteng rumah dan pohon-pohon. Hwa-i-kongcu Tang Hun cepat me¬nengok, demikian pula tiga orang kakek pembantunya dan mereka terkejut bukan main. Ternyata di belakang mereka ter¬dapat pasukan yang lengkap dengan anak panah yang sudah ditodongkan ke arah mereka, dan selain pasukan itu, juga kini muncul banyak orang-orang di atas gen¬teng dan di pohon-pohon sekitar tempat itu, semua mementang gendewa dan me¬nodongkan anak panah ke arah mereka. Karena mereka membawa obor, maka mereka merupakan sasaran empuk sekali sedangkan fihak musuh yang bersembunyi itu memang amat sukar diserang! Wajah Hwa-i-kongcu menjadi pucat sekali. “Bagaimana, Hwa-i-kongcu? Apa¬kah masih akan dilanjutkan persiapan pertempuran ini? Kalau kami memberi aba-aba, sekali serbu saja akan habislah anak buahmu. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara sebagai sahabat?” Hwa-i-kongcu memandang kepada tiga orang kakek pembantunya. Mereka pun kelihatan gentar sekali, maka tahulah pemuda ini bahwa dia benar-benar telah kalah sebelum perang! “Sudahlah, mari kita bicara sebagai sahabat, Seng-jin!” Mendengar ini, Hek-hwa Lo-kwi ter¬tawa bergelak, dan Ban-hwa Seng-jin berkata ke arah tempat gelap, “Kao¬goanswe, fihak lawan telah menjadi ka¬wan, sebaiknya tarik mundur pasukanmu!” Dari tempat gelap itu muncul seorang laki-laki tua yang tinggi tegap dan gagah sekali. Dengan gerakan yang gagah dia mengangkat sebatang pedang ke atas dan tanpa bersuara, lenyaplah pasukan yang mengepung tempat itu tadi, juga mereka yang muncul di atas genteng dan di po¬hon-pohon juga lenyap dalam gelap. Diam¬-diam Hwa-i-kongcu terkejut bukan main. Kiranya fihak musuh sudah siap sedia dan dia bersama pasukannya benar-benar terjebak. “Hwa-i-kongcu, kalau benar-benar kau datang sebagai sahabat, harap perintah¬kan anak buahmu untuk melemparkan senjata mereka,” kata Ban-hwa Seng¬jin. Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak melihat jalan lain. Melawan berarti bunuh diri, karena mereka telah dikurung. Maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru lantang, “Buang senjata kali¬an semua! Kita datang sebagai sahabat!” Pasukannya tadi pun melihat bahwa merekalah yang terkepung, bukan mereka yang mengepung, maka mereka tadi su¬dah merasa gentar sekali. Kini mende¬ngar perintah majikan mereka, semua orang membuang gendewa dan anak pa¬nah, bahkan banyak pula yang melolos pedang dan golok lalu melemparkannya ke atas tanah. Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin meng¬angguk-angguk puas. “Tang-kongcu, eng¬kau sungguh dapat melihat gelagat. Tidak tahukah engkau bahwa engkau telah ber¬ada di tepi jurang maut? Engkau, belum mengenal tempat ini dan tidak mengeta¬hui keadaan kami, maka berani memandang rendah. Ketahuilah bahwa pemimpin penjagaan benteng kami adalah Jenderal Kao Liang, bekas panglima besar kerajaan. Apakah kau belum mendengar nama besarnya?” Tang Hun mengangguk-angguk, hampir tidak percaya. Benarkah Jenderal Kao Kiang kpnp bekerjasama dengan mereka ini? NEXT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar