Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 20.

Jodoh Rajawali Jilid 20.
Jodoh Rajawali Jilid - 20 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 20 “Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus te¬rang. “Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang mem¬buat aku makin tergila-gila dan makin cinta kepadamu, sayang. Kalau engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdik¬an, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk men¬dapatkan cintamu.” “Aku tidak akan mencintamu, Pange¬ran.” “Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan ke¬baikan-kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku mengharapkan akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jerih pa¬yahku selama ini.” “Aku akan berusaha untuk minggat!” Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bu¬kan itu saja, engkau bahkan akan mem¬peroleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.” “Siapakah dia?” “Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Pu¬teri Bhutan.” Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biarpun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja. “Apakah dia itu tamumu?” tanyanya. “Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.” “Dia kau tawan pula? Pangeran, me¬mang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?” “Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dan dari ke¬nyataan bahwa Puteri Bhutan itu ku tawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, ta¬pi ah, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.” Semenjak peristiwa itu, biarpun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bah¬wa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenci¬annya terhadap Liong Bian Cu tidak ber¬kurang. Biarpun dia telah mencela diri¬nya sendiri sebagai orang kurang menge¬nal budi, mengakui sendiri bahwa pange¬ran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biarpun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak “melepas budi” agar dia merasa berhutang budi kepadanya. Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini un¬tuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu. Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Ke¬mudian koksu menceritakan hal itu ke¬pada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindah¬kan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya. Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam-diam me¬rasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pan¬dang matanya dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa pu¬teri itu adalah seorang wanita yang su¬dah matang, tenang, dan memiliki ke¬pribadian yang amat kuat. Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat mem¬beri hormat dan tidak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguh¬pun tidak akan ada pula yang berani membantunya andaikata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pa¬ngeran tidak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin membunuhnya seketika! Hwee Li memasuki kamar dan me¬lihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap ter¬menung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat. “Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan sikap keren dan dua orang pelayan itu menghormat lalu ke¬luar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintah¬kan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tu¬nangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pem¬bantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunang¬an pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka! “Bibi Syanti Dewi....!” Hwee Li me¬langkah maju dan menjura ke arah wa¬nita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu. Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biarpun dia merasa berduka karena putus harap¬annya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Ne¬pal ini. Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badan¬nya lemah dan mukanya pucat. Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat mun¬culnya seorang dara remaja yang cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pela¬yan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik. “Engkau siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk. “Namaku Hwee Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu. “Engkau tentu tidak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bah¬wa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.” Dari subonya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subo¬nya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang men¬jadi adik angkatnya (baca Kisah Sepasang Rajawali). Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya, “Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana eng¬kau dapat berada di sini?” Hwee Li merasa kasihan melihat ke¬gembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, “Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.” “Ahhhhh....!” Syanti Dewi masih me¬megang tangan Hwee Li, akan tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatian¬nya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demi¬kianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap pen¬deritaan orang lain. Hwee Li lalu menceritakan keadaan¬nya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguh¬pun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pa¬ngeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira! “Aku benci dia, Bibi! Aku ingin mem¬bunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apalagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.” “Ayahmu?” Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu? “Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo¬-mo....!” “Ahhh....!” Bukan main kagetnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peranan dalam keributan pem¬berontakan dua orang Pangeran Liong dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dara cantik jelita ini, yang menjadi mu¬rid Ceng Ceng, adalah puteri dari maji¬kan Pulau Neraka itu? Sungguh meng¬herankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi melepas¬kan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh. Gerakan Syanti Dewi ini tidak ter¬lepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata, “Harap Bibi jangan kaget. Hek-¬tiauw Lo-mo memang kini menjadi pem¬bantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhor¬mat. Akan tetapi, aku tidak sudi....“ Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali men¬dekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodoh¬an! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah me¬milih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayah¬nya yang tidak menyetujui pemuda pilih¬annya itu menjadi mantu? Betapa ba¬nyaknya gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang pa¬ling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur ka¬rena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, biarpun ber¬lainan sifatnya, dia merasa senasib de¬ngan Hwee Li, maka timbuliah rasa sa¬yang dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini. “Hwee Li, sungguh engkau patut di¬kasihani! Aku merasa heran sekali meng¬apa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukan¬lah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi....“ “Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluar¬kan sinar berkilat. Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Hwee Li,” katanya dengan suara keren. “Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut men¬dengarkan kata-kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?” “Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah. “Eh, bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba Hwee Li menangis tersedu-sedu. Syanti Dewi terkejut. Dia cepat me¬meluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apalagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa soluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia meng¬gunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekan¬an batin itu. Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apalagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, me¬nangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba. Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuas¬nya. Syanti Dewi sendiri bukan seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini meng¬hadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini. Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang ke¬luarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak. Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapapun juga, sikap¬nya itu tentu ada alasannya, dan biarpun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, na¬mun sebagai manusia dia tidaklah se¬jahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus ber¬usaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!.” “Ah, tidak mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. “Ma¬lah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apalagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat me¬nolong Bibi dari tempat ini!” “Tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Akan tetapi, engkau, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini.” Demikianlah, dua orang wanita itu kini menjadi akrab sekali dan bercakap¬-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan te¬tapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kang¬ouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang-orang seperti suhunya dan subonya, seperti Suma Kian Bu si Silu¬man Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu! *** Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti per¬jalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia sudah berjanji untuk bertemu di Pao¬-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penye¬lidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar. Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng lalu meng¬ajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan. Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik, “Apa¬kah Toanio mengenal Topeng Setan?” Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suami¬nya dahulu ketika suaminya belum me¬nikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan (baca Kisah Sepasang Rajawali). “Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?” tanyanya, berbisik dan membungkuk. “Saya disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut. “Ah, terima kasih!” Ceng Ceng ber¬seru, menerima surat itu dan mengeluar¬kan beberapa potong uang kecil. “Ini hadiah untukmu” “Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.” Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongan¬nya. Ceng Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, “Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mem¬punyai kejujuran.” Jenderal Kao Liang mengangguk dan menarik napas panjang. “Justeru kejujur¬an biasanya ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi ke¬jujuran yang mereka anggap semacam kebodohan.” Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang amat dikenalnya. “Isteriku, harap ajak ayah dan adik-¬adik ke kuil kosong di sudut barat kota.¬” Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jen¬deral ini girang bukan main dan diam-¬diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya da¬tang bersama mantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati¬-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka. “Mari kita pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu. “Ayah....!” Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hor¬mat sambil berlutut di atas lantai ru¬angan kuil itu. Ruangan itu luas dan se¬bagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan. Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu ke¬lihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang ter¬gantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang. “Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim su¬rat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan de¬mikian muram dan berduka, bahkan se¬pasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, “Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?” “Twako....!” Dua orang adiknya ber¬seru dan kini dua orang muda itu me¬nangis sambil merangkul kakak mereka. “Eh, eh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, makin kaget dan khawatir. “Mari kita duduk di lantai dan bicara!” Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua peris¬tiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal¬-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar, “Kami bertiga masih bingung dan ter¬tekan oleh peristiwa hebat itu dan eng¬kau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami ber¬temu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan seka¬rang?” Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya. Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, se¬pasang matanya mencorong seperti me¬ngeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, ipar¬nya, bibinya, keponakan-keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang. Melihat keadaan pendekar itu, ayah¬nya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka ha¬nya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andaikata orang-orang yang me¬nyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapapun banyaknya, betapapun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya! “Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruh¬kan plkiran,” katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata¬-kata itu adalah kata-kata suaminya sen¬diri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya. Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya, biarpun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak men¬jawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun. “Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan, kemudian per¬jalanan Ayah ke kampung diganggu, ke¬luarga kita diculik dan harta yang di¬kumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun, dicuri dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah me¬lakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang mem¬bawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukan¬kan menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?” Bekas jenderal itu mengangguk. “Aku sendiri memang sudah menduga demi¬kian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.” “Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu, bah¬kan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu. “Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan ocang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peris¬tiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan penye¬lidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anak¬ku“ “Akan tetapi.... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sam¬pai anakku Cin Liong....?” Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat. “Tidak mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jen¬deral Kao dan dua orang puteranya. “Ka¬lau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapapun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekalipun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!” Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak ber¬kata sesuatu, karena maklum bahwa da¬lam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya. “Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami ber¬tiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak.” Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan ber¬cakap-cakap saling menceritakan per¬jalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang amat mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan ko¬tor. Biarpun keadaannya demikian, agak¬nya pertemuan itu tentu akan berlang¬sung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Kini, per¬temuan itu menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjut¬kan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga me¬reka. Jenderal Kao Liang mengelus ke¬pala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap. Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah lembah Huang-¬ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan ter¬hadap keluarga mereka itu. Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka me¬ninggalkan keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka di¬serang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peris¬tiwa yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jum¬lahnya ada dua puluh orang lebih. “Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya. Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang makin dekat itu. Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melain¬kan pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu meng¬hentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gam¬bar naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar. Ayah dan anak ini terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), se¬orang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka bahwa mereka berhadap¬an dengan orang-orang Kwi-liong-pang, satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda me¬reka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walaupun dia dan dua orang pu¬teranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian. Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa¬-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang. Se¬baliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sam¬bil berkata, “Kao-goanswe, maafkan ka¬lau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerah¬kan bungkusan ini, harap kau suka me¬nerima dan memeriksa isinya.” Hoa-gu-jii mengeluarkan sebuah bung¬kusan kecil berwarna kuning dan biarpun meragu, Jenderal Kao Liang menerima¬nya juga. “Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya. “Bukalah, dan engkau akan menge¬tahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji. Jenderal Kao Liang membuka bung¬kusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget. “Ini tusuk konde isteriku!” teriaknya. Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka! “Keparat, kauapakan mereka? Di ma¬na mereka?” Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan di¬serang itu hanya memandang sambil ter¬senyum lebar saja. Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan wa¬nita itu. Jenderal Kao Liang, Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, lkutlah ber¬sama utusan kami dan taati semua perintahnya. Surat itu tanpa tanda tangan, akan tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan adanya tusuk konde mantunya dan cincin isteri¬nya, jelas bahwa keluarganya berada di dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat ber¬temu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah! “Baiklah, kami akan ikut bersama kalian” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, “Kao Han, engkau susul twakomu ke kota raja.” “Baik, Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah membaca surat itu. Dia men¬jura kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat. Hoa¬-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam. Ayah dan anak ini tak pernah me¬lepaskan perhatian dalam perjalanan itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-¬bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam se¬buah hutan yang gelap, dan mereka di¬beri makan yang cukup baik, diperlaku¬kan dengan sikap yang hormat biarpun Hoa-gu-ji dan seluruh anggauta rombong¬an tidak pernah bicara. Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturun¬kan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mere¬ka memandang silau. Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi, dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw -Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak. Diam-diam dia memperhatikan, demi¬kian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanan¬nya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya ke¬pada mereka. Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya de¬ngan mata bersinar dan mulut tersenyum lebar. “Ah, sungguh merupakan kebaha¬giaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!” Hoa-gu-ji memberi hormat dan di¬bantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi, “Jenderal Kao Liang, sila¬kan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!” Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata, “Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan putera¬ku bukanlah tamu undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan si¬apakah engkau?” “Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum. “Me¬mang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!” “Suhu, tidak percuma dia pernah men¬jadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami.” Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapapun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguhpun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua. Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula, “Soal kerja sama dan yang lain-¬lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bah¬wa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mung¬kin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka.” Kembali Liong Bian Cu tertawa. “Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?” Ban Hwa Sengjin mengangguk. “Dia memang laki-laki sejati!” “Suhu, harap suka membawa mereka melihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum tiba saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.” Ban Hwa Sengjinkembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya. “Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami.” Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin ber¬jalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang ka¬kek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isya¬rat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pin¬tu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat. “Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!” kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga. Perintah ini ce¬pat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan bebe¬rapa buah pembaringan, meja dan kursi¬-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyu¬lam, ada yang sedang bercakap-cakap. Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata ter¬belalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguhpun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biarpun tidak ada yang ke¬lihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin. “Ayah....!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong. Semua orang dalam kamar itu me¬nengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-¬olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji besi, seperti tawanan-tawan¬an yang melihat keluarga datang berkun¬jung. Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata, “Cukup sudah un¬tuk membuktikan bahwa keluargamu da¬lam keadaan selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, “Tutup kembali pintunya!” Kao Liang clan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata ter¬belalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kem¬bali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti di¬tusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong men¬dengar putera sulungnya yang baru ber¬usia empat tahun itu memanggil-manggil¬nya dari balik daun pintu. Ingin dia mem¬berontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ke¬tika tangan ayahnya menjamah lengan¬nya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum. Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas, “Orang mu¬da, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kauminta dariku?” “Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong Bian Cu sambil mem¬beri isyarat kepada pelayan. Segera pela¬yan datang membawa cawan dan me¬letakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sen¬diri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan me¬reka untuk minum. “Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?” Kao Liang ber¬kata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Liong Bian Cu tersenyum melihat pe¬nolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu, “Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biarpun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik men¬diang ayah saya.” Kao Liang mengerutkan alisnya. “She Liong....?” dia berkata lirih dan meng¬ingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng! “Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!” “Ahhh....!” Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas ber¬bicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan! “Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat perten¬tangan” akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, “Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu.” Liong Bian Cu tersenyum lebar. “Te¬nanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya ada¬lah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal.” Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo¬-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu. “Dan saya memperkenalkan Locian¬pwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin, ”Liong Bian Cu ber¬kata dan kakek botak itu bangkit berdiri. Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ ber¬sama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang. “Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goan¬swe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-¬hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.” “Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!” kata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya. “Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hu¬bungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya laku¬kan untuk Kongcu?” “Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pan¬dai! Kami amat membutuhkan bantuan¬mu, Kao-goanswe. Kami ingin agar eng¬kau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menen¬tang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil maupun militer.” Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun ada¬lah pahlawan-pahlawan yang setia! Kini, Pangeran Nepal ini mengajak dia ber¬sekutu untuk memberontak terhadap ke¬rajaan! Hampir saja Kao Liang menghan¬tam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah¬-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya. “Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan ber¬janji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?” Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus. “Tidak....! Tidak sudi aku....!” Tiba¬-tiba Jenderal Kao berteriak dan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya me¬rah dan matanya mendelik. “Ayah....!” Kok Tiong berkata lirih penuh kegelisahan. “Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!” Muka dua orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya! “Tidak....! Seribu kali lebih baik kita mati semua!”, kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu. “Gihu (Ayah Angkat)....!” Dan mun¬culiah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera me¬meluk Syanti Dewi yang sudah merang¬kulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang. “Kau....? Dewi....? Kau.... juga di sini?” bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran. “Gihu, saya menjadi.... tawanan pe¬rang di sini. Baru hari ini saya men¬dengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini.... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan ber¬sikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu....!” “Syanti Dewi, biarpun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi per¬buatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka mening¬galkan ruangan ini,” kata Liong Bian Cu dengan sikap halus. Syanti Dewi melepas¬kan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan. “Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu ber¬kata kepada dara itu dengan nyaring, “Hwee Li, hayo kauajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!” Dara cantik jelita yang datang ber¬sama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?” Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Betapa berani sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya amat angkuh, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu! Pangeran Liong Bian Cu cepat bang¬kit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu, “Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami se¬dang membicarakan urusan besar, harap kau suka mengajak Syanti Dewi ke ta¬man, Sayang” Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demi¬kian ramah dan mesra kepadanya di de¬pan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu. “Maaf atas gangguan tadi, Kao-goan¬swe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo¬-mo locianpwe, atau tunangan saya.” Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek¬-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biarpun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam¬-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayah¬nya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi? “Kao-goanswe,” tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang aseli Nepal, sungguhpun dia telah mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. “Kita sama-¬sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-¬orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rak¬yat dan tanah airnya.” Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah me¬reda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya. “Ban Hwa Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?” “Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijak¬sana akan lebih dulu mengutamakan ke¬selamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan me¬nentukan mati hidupnya keluarga Goan¬swe, termasuk pula Syanti Dewi.” “Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?” bekas jenderal itu mengejek. “Bukan ancaman kosong, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!” Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini. “Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata ta¬jam. “Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, ka¬rena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri. sebagai fihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyata¬an ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain.” Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. “Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!” Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekeras¬an hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepada¬nya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata, “Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada da¬sarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besar¬besaran, memeras rakyat. Ayah mem¬berontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman ber¬langsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang mem¬buat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thai¬kam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah di¬pakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tin¬dakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pah¬lawan yang setia. Akan tetapi, sebalik¬nya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang me¬nyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman me¬reka. Bukankah orang yang tahu kejahat¬an dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?” Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung ke¬benaran yang sukar untuk disangkal. Me¬mang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit-sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang ko¬rup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang. “Saya.... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga daripada memberontak....” Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya. “Ayah....!” Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya di¬bunuh, dan dua orang anaknya, benar¬-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan. “Hemmm, lihat betapa lemahnya jen¬deral yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung¬-sanjung dan dipuji-puji sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal dia dapat menyelamat¬kan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementing¬kan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!” kata Liong Bian Cu berkata lagi. “Brakkk!” Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mang¬kok piring mencelat berkerontangan. “Cukup!” bentaknya. “Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau me¬mimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh mana¬pun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimanapun, jangan harap dapat memaksaku memim¬pin pasukan menyerbu kerajaan!” Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharap¬kan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini men¬jadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!” “Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamat¬an keluargaku dan Puteri Bhutan!” “Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhu¬tan, demi nama nenek moyangku!” Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguh¬sungguh. “Dan aku berjanji akan mempertahan¬kan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!” kata bekas jenderal itu. Hidangan dan minuman ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Un¬tuk melupakan perasaannya yang tertin¬dih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi. Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu mem¬bangun lembah itu menjadi sebuah ben¬teng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya di¬bantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu men¬jadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat ber¬bahaya. Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggauta keluarga jenderal itu. Akan tetapi biarpun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggauta keluarga mereka men¬jadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita-¬wanita dan anak-anak itu! Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia. *** “Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,” kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. “Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pa¬ngeran Yung Hwa.” Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaan¬nya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh seli¬dik. “Akan tetapi, bukankah dahulu per¬nah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?” Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. “Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!” Kao Kok Cu tertawa dan mecium is¬terinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan se¬jenak dia atau mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati. “Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling men¬cinta, dan cinta adalah kepercayaan. Se¬ujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, mem¬buat luka kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?” “Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukanlah sembarang pangeran yang mabuk ke¬kuasaan dan rusak oleh keangkuhan se¬perti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.” Ceng Ceng lalu mencerita¬kan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhir¬nya Kok Cu percaya juga bahwa mung¬kin dari pangeran itu isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayah¬nya. “Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa pe¬nyesalanku kepada kaisar melalui Pange¬ran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.” Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu. Pangeran Yung Hwa menyambut ke¬datangan Ceng Ceng yang mengunjungi¬nya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepada¬nya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu. “Ahhh.... engkau....?” serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. “Aku telah men¬dengar bahwa engkau menjadi mantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaan¬mu? Kuharap baik-baik saja dan ber¬bahagia.” Melihat sikap pangeran itu yang ra¬mah dan jujur, Ceng Ceng merasa ter¬haru. “Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguh¬nya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan ben¬cana yang didatangkan dari istana.” Pangeran Yung Hwa mengerutkan alisnya. “Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluarga¬mu?” Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan per¬jalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai go¬longan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-penga¬wal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang. “Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu meng¬hadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?” Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu, bertanya, “Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?” Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang, “Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik.” Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Aihhhhh.... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, ba¬gaimana mungkin aku dapat menyelidiki¬nya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantu¬nya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bah¬wa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi ba¬nyak hal yang buruk. Biarpun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan da¬pat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah-¬mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pa¬ngeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang da¬pat kulakukan.” Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya pu¬teranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tin¬dakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu becpamit setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggal¬kan istana Pangeran Yung Hwa untuk menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pange¬ran itu. Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya, dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakak¬nya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pange¬ran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim? Tidaklah mengherankan kalau diketa¬hui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apalagi setelah dia diangkat men¬jadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal¬-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu. Pangeran Yung Hwa menjumpai ka¬kaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pa¬ngeran Yung Hwa menceritakan tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan ter¬hadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceri¬takan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan. “Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?” Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. “Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!” Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar lapor¬anku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pem¬besar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thai¬kam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh.” “Hemmm, sampai sekian jauhnya ke¬adaan buruk itu?” tanya Pangeran Yung Ceng. “Malah lebih lagi,” kata Yung Hwa. “Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi mem¬perdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biarpun telah terbebas dari ceng¬keraman Gubernur Ho-nan dan berkali¬kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku.” “Ahhh! Sampai begitu hebat?” Pange¬ran Yung Ceng mengepal tinjunya. “Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti sau¬dara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri sampai di mana keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!” Dengan marah sekali Pangeran Mah¬kota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya, setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pa¬ngeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar ber¬olah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyi¬kan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan. Hari telah senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena me¬nyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja me¬lakukan perjalanan lambat untuk melihat¬-lihat keadaan. Banyak sudah dia men¬dengar percakapan di antara rakyat ten¬tang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adik¬nya. Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki sebuah restoran di kota Thian-cin, dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa me¬reka adalah jagoan-jagoan, diam-diam membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang ko¬song. Ketika pangeran itu memesan masak¬an kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata, “Harap ma¬afkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?” Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan.” Orang itu berkata “maaf” sambil ter¬senyum, lalu kembali duduk di tempat teman-temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pa¬ngeran Yung Ceng. “Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,” tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng. “Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,” ter¬dengar pula mereka bicara. “Ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!” “Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini.” “Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa....?” terde¬ngar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisik¬an itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi. se¬hingga panca inderanya lebih peka dan tajam daripada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini. “Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tidak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi.” Kini maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andaikata mere¬ka itu membunuhnya, mereka dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi. Pelayan tadi datang membawa masak¬an, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng. “Heeeii, itu pesanan kami!” teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng. “Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kong¬cu ini!” bantah si pelayan. “Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan ke¬pada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?” Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap ka¬sar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang, “Sobat, harap jangan membikin ribut!” Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia menghampiri Pangeran Yung Ceng, menghardik, “Kalau aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang bu¬suk?” Akan tetapi, biarpun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw¬-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu ke¬pandaian tinggi. “Tidak apa-apa,” jawab Pangeran Yung Ceng tenang. “Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan men¬cabuti kumismu!” Sepasang mata itu terbelalak makin lebar, mulutnya ternganga seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sen¬diri. Benarkah si kutu buku ini berani berkata demikian kepadanya? “Keparat....!” teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak ke¬cil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, kini menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng. Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan ke¬palanya, membiarkan tangan yang me¬mukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan mem¬betot. “Auuuwwwhhhhh....!” Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng. “Manusia bosan hidup!” terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan me¬nerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri wajahnya merah karena marah. Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka ter¬dengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini. Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan, mereka memuncak dan mereka berlima termasuk Si Kumis Tebal yang kini ber¬ubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu. Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pa¬ngeran ini sudah mencabut sebatang pe¬dang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang pen¬deknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyam¬bar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi de¬ngan tubuh menggigil. Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan ber¬turut-turut terdengarlah pekik mengeri¬kan disusul robohnya lima orang pengero¬yok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, ditariknya naik dan dia membentak, “Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kali¬an!” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar