Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 13.

Jodoh Rajawali Jilid 13.
Jodoh Rajawali Jilid - 13 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 13 Sungguh sukar dipercaya. Tidak mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu kepandaiannya, sedang¬kan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo, tingkat kepandaiannya baru setingkat dengan muridnya, Gu Sin-kai. Di lain fihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia bertemu dengan se¬orang yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka dia merasa ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya. “Sabar, tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?” tanya Sai-cu Kai-ong sambil memandang kakek di depannya itu penuh perhatian. Siluman Kecil menjura dan menjawab, “Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan Locianpwe. Saya kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja.... maaf.” Siluman Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya hendak pergi dari situ. “Sahabat yang baik, tunggu dulu!” Sai¬-cu Kai-ong berseru. Kakek ini sungguh luar biasa, pikirnya, berwatak demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi namun masih menyebut dia “locianpwe”. “Setelah kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian, apakah sahabat menganggap saya terlalu rendah untuk dijadikan kenalan? Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan saya merasa kagum sekali kepadamu yang memiliki kepandai¬an hebat. Bolehkan saya mengetahui namamu yang terhormat?” Siluman Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi muka¬nya yang keriputan. “Saya tidak ber¬nama....saya tidak mempunyai nama....“ Sai-cu Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi kepandaian orang, makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sen¬diri pun tidak pernah menyebutkan nama¬nya sendiri dan membiarkan orang lain menamakannya. Tidak pernah nama aseli¬nya, yaitu Yu Kong Tek, dikenal orang. “Sahabat yang baik, biarpun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan hormat saya mengundang¬mu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak akan menolak undangan kami” Siluman Kecil sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi, mendengar tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan sebetulnya ingin juga dia mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak cakap dia lalu mengangguk. Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali ke perkemahan para pasukan di balik bukit, di mana dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-¬cakap tentang ilmu silat. Makin gembira¬lah hati Sai-cu Kai-ong mendengar be¬tapa tamunya itu ternyata luas sekali pengetahuannya tentang ilmu silat. Se¬baliknya, Siluman Kecil terkejut ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa kakek gagah itu ternyata adalah keturun¬an dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya menjadi sahabat-¬sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil mendengarkan pula penuturan tentang lenyap¬nya Pangeran Yung Hwa yang tadinya menjadi utusan kaisar, lenyap ketika terjadi keributan di taman bunga istana Gubernur Ho-nan. Yang menceritakan urusan ini adalah Perwira Souw Kee An. Menjelang sore hari itu, penjaga me¬laporkan bahwa di kejauhan muncul ku¬rang lebih seribu orang perajurit dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita bahwa Gubernur Ho-nan telah datang untuk menemui pimpinan pasukan kota raja yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. “Baik sekali kalau dia datang bicara,” katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu Sin-kai. “Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan mengorbankan banyak perajurit dan rakyat yang tidak berdosa.” Kakek gagah ini lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan pasukan gubernur itu menghadap. Setelah perajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong berkata, “Sampaikan kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak bukit, dan saya mempersilakan dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu orang pengawal saja. Pergilah!” Perajurit itu pergi dan Sai-cu Kai¬-ong berkata, “Sahabat yang baik, kini aku minta kepadamu untuk menemaniku menemui gubernur.” “Baik, Kai-ong,” jawab Siluman Kecil. “saya pun ingin sekali mendengar bagai¬mana nasib pangeran itu.” Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya locianpwe. Sedangkan Sai¬cu Kai-ong hanya menyebut Siluman Kecil “sahabat” saja karena Siluman Ke¬cil berkeras tidak mau memperkenalkan namanya. Berangkatlah dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua orang pula yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata me¬reka itu adalah Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti rak¬sasa, kepalanya botak, mantelnya lebar dan berwarna merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang congkak. Orang ini bukan lain ada¬lah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan! Setelah empat orang ini saling ber¬jumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling memberi hormat, melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya, Gubernur Ho-nan bertanya, “Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami datang ke sini. Apakah urusannya?” Dari suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesung¬guhnya dia datang dengan terpaksa ka¬rena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak datang maka Ho¬n-an akan diserbu. Menurut para penyeli¬diknya, memang ada sepuluh ribu orang perajurit kota raja siap di balik puncak bukit ini! Sai-cu Kai-ong mengangguk dan berkata, “Gubernur Kui Cu Kam, kami me¬menuhi peritah kaisar untuk menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi penjelasan akan sikapmu yang tidak layak itu!” Suara Sai-cu Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban Hwa Seng-jin hanya tersenyum mengejek dan meman¬dang rendah, bahkan dia menggerak-¬gerakkan kakinya untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada se¬bongkah batu karang. Nampak bunga api berpijar ketika bawah sepatunya bertemu dengan batu karang dan ujung batu ka¬rang itu pun hancur lebur oleh injakan sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu karang itu nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban Hwa Seng-jin untuk memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dua orang kakek di depannya itu. Gubernur Kui tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan. “Kalau memang manusia she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, pen¬jelasan dari kami apalagi artinya? Tentu keadaan yang sebenarnya telah diputar¬balikkan oleh orang she Hok Gubernur Ho¬pei itu. Di antara dia dan kami memang sudah lama ada pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu meletus ketika dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keri¬butan antara dia dan kami serta para pembantu kami kedua fihak tak dapat dicegah lagi. Sudah tentu saja dia me¬mutarbalikkan kenyataan dan mendongeng di kota raja bahwa fihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal, fihak orang she Hok itu¬lah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami agar dapat mempergunakan sebagai bahan fitnah.” Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan ber¬fihak kepada Gubernur Ho-nan ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengatahui apa urusannya antara mereka berdua. Akan tetapi sebagai utus¬an, dia hanya akan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. “Gubernur Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar. Sekarang, kami harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau dapat kembali ke kota raja bersama kami.” Gubernur itu kembali tersenyum, lalu berkata lantang, “Anggapan bahwa kami menangkap Pangeran Yung Hwa tentu timbul karena fitnah yang dilontarkan oleh Gubernur Ho-pei itu. Padahal, kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena kami tahu bahwa fihak Ho-pei tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat membunuh pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai pembunuhnya. Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami bebaskan dan setelah mendengar perjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan dari kota raja itu sungguh tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik mundur kem¬bali.” “Hemmm, mudah saja menarik mun¬dur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur pasukan kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebas¬kan dan berada di antara kami.” “Orang tua yang tinggi hati! Kami mendengar bahwa engkau bukanlah se¬orang panglima, dan menurut Ciu-lo-mo, engkau hanya seorang kang-ouw yang berjuluk Sai-cu Kai-ong.” “Memang benar demikian,” jawab kakek itu tenang. “Mengapa orang seperti engkau tidak mempercayai kami?” bentak gubernur itu, marah bukan main bahwa seorang “raja pengemis” saja berani tidak percaya kepadanya.” “Tidak ada soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya men¬jalankan tugas yang akan kami pertahan¬kan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan menarik mundur pasukan kalau Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami.” Gubernur itu menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lama¬nya mereka bertemu pandang, kemudian Gubernur Kui berkata, “Baiklah, kau¬tunggu saja. Besok akan kami bebaskan Pangeran Yung Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali dulu.” Setelah berkata demikian, gubernur itu meng¬angguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, kemudian dia berlari cepat sekali me¬nuruni bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti terbang saja. “Hemmm, raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik,” kata Sai-cu Kai-ong dan Siluman Kecil mengangguk. “Saya kira juga ada sesuatu yang di¬rencanakannya,” kata Siluman Kecil. Sai-cu Kai-ong lalu mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat kilat di antara para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga mereka terhadap Gubernur Kui, maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki ke istana Gubernur Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga menemani mereka. Be¬rangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke Lok-yang. Malam itu amat sunyi di istana gu¬bernuran di kota Lok-yang. Karena me¬nurut keterangan dari Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan penting dan belum sempat berbicara dengan tiga orang jagoan yang terpilih sebagai pengawal-pengawal pri¬badi, maka tiga orang yang memenang¬kan sayembara yang diadakan di Ceng¬-couw itu kini diserahi tugas menjaga ke¬amanan di istana gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri. Seperti dicerita¬kan di bagian depan, yang memang da¬lam pertandingan itu adalah tiga orang, yaitu pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, ke dua adalah, Kang Swi pe¬muda royal itu, dan ke tiga adalah Siauw¬-hong, yaitu pengemis muda yang tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah menang dalam sayembara, Kang Swi memberikan empat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya itu dan menyu¬ruh kacungnya itu pergi. Kang Swi yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa penasaran karena dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang yang sama sekali tidak punya nama! Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa menjawab ketika ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-¬goyangkan tangannya sebagai tanda bah¬wa dia tidak dapat menulis. Pincang, gagu, dan buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor satu dan dia berada di bawahnya! Karena malam itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka me¬reka merasa kesal juga. Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan tetapi, dalam per¬mainan ini pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga Kang Swi merasa makin tidak senang. “Aku berani bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!” katanya. Karena tidak punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara di antara tiga pengawal baru yang ter¬pilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini biarpun tidak pandai bicara, rupanya dapat mengerti semua kata-kata orang yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi, ternyata orangnya pendiam, sabar dan terhadap goda-godaan dan gangguan-gang¬guan Kang Swi dia sama sekali tidak mau melayaninya. “Kang-sicu, harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah dan terjadi keributan antara engkau dan dia.” Ciu-lo-mo akhir¬nya menegur Kang Swi yang terus-¬menerus menggoda Gagu. “Hemmm, kalau dia marah aku pun tidak takut,” kata Kang Swi. “Bukan soal takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukan¬kah hal itu tidak baik sekali?” Ciu-lo-mo menasihatinya. Akan tetapi, di dalam hatinya Kang Swi masih merasa pena¬saran dan marah karena dikalahkan oleh orang gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah. “Mana dia berani ribut-ribut? Akan kubuka kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, kuajak keluar dia dan dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedok¬nya!” Ciu-lo-mo mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri dan meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo berkata, “Kang-sicu, harap kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia sendiri dan jangan meng¬ganggu lagi!” Suaranya mulai terdengar keras sehingga Kang Swi menengok ke¬padanya. “Apa yang dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal-pengawal baru, sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang dan mendengar bahwa antara engkau dan si Gagu terjadi ke¬ributan, tentu beliau menjadi marah.” Siauw-hong juga membujuk Kang Swi. Pemuda tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seolah-¬olah dia tidak takut akan semua akibat¬nya, akan tetapi akhirnya dia duduk lagi dan mereka bertiga melanjutkan permain¬an mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang meronda, me¬mandang ke sana-sini dengan penuh per¬hatian. Ketika Ciu-lo-mo menoleh ke¬padanya, si Gagu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak me¬ronda dan berkeliling memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat mengerti maksudnya, maka untuk mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk memberi ijin. Mula-mula si Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang pengawal yang bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak lagi di¬perhatikan oleh tiga orang yang makin asyik bermain kartu setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pan¬dai bermain, si Gagu menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia menyelinap masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dengan kecepatan luar biasa dia telah meloncat ke dalam taman dan mencari¬-cari! Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu, buktinya dia berlari ke sana-¬sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan yang tersem¬bunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang perajurit pengawal berjaga di luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan seenaknya menghampiri mereka. Enam orang perajurit itu ketika me¬lihat si Gagu, cepat berdiri dan memberi hormat. Mereka tentu saja sudah menge¬nal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua pasukan pengawal, bahkan tiga orang pengawal pribadi gubernur yang baru itu tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini yang membuat mereka merasa kagum sekali. Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, namun memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mengalahkan semua peserta sayembara. Bahkan mereka men¬dengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ciu-lo-mo sendiri. “Selamat malam, Ciangkun!” kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si Gagu yang tak bernama ini. Si Gagu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan ta¬ngannya dia menuding ke arah kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di antara mereka. Dengan jelas dia memberi isyarat bahwa dia ingin meme¬riksa kamar itu dan minta agar ditemani oleh dua orang diantara mereka. Mereka saling pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang menjadi pengawal pribadi gu¬bernur, mereka tentu saja tidak berani membantah, apalagi ada mereka di situ, dan si Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan kunci dan masuklah mereka bertiga. Ternyata Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan indah, dan pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka memasuki kamar itu, pa¬ngeran yang muda itu sedang asyik mem¬baca kitab. Ketika mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang yang masuk itu dengan alis ber¬kerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak, “Mau apa kalian? Berani sekali masuk tanpa kupanggil!” Dua orang pengawal itu menjura de¬ngan hormat sekali. “Harap Paduka ma¬afkan, Pangeran. Perwira....eh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini....“ Tiba-tiba orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, ber¬bareng dengan temannya dia sudah roboh pingsan ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat menyambar tubuh mereka agar tidak roboh. Pangeran Yung Hwa tentu saja ter¬kejut sekali, akan tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu itu berkata lirih kepadanya, “Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang untuk menolong Paduka keluar dari tempat tahanan ini.” Ternyata si Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali. “Akan tetapi....“ Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga curiga. “Sssttttt....“ Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, ke¬mudian dia berjalan ke pintu, membuka pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar pintu agar dua di antara mereka masuk. Dua orang pe¬ngawal bergegas masuk, akan tetapi be¬gitu mereka tiba di dalam, sebelum me¬reka sempat berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai. Kembali dia menjenguk keluar pin¬tu dan dua orang penjaga lainnya dipang¬gilnya masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun dirobohkannya. Enam orang pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok! “Apa artinya ini?” Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam kepada orang yang tidak dikenalnya itu. “Maaf, Pangeran. Kiranya tidak ba¬nyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya datang untuk membe¬baskan Paduka....“ “Ah, akan tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini.” Si Gagu menjadi terkejut dan meman¬dang heran. “Dilindungi?” “Benar, Gubernur Ho-nan telah me¬nyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman Gubernur Ho-pei yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena khawatir kalau tertimpa bencana, bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau.... jangan-jangan.... kau....“ Pangeran itu memandang tajam penuh kekhawatiran. “Ah, Paduka telah ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya mengalaminya sendiri, juga Guber¬nur Ho-pei hampir saja tewas! Percaya¬lah Paduka kepada saya, dan mari kita lari selagi masih ada waktu.” “Hemmm, engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi.... me¬mang aku juga selalu curiga kepada Gu¬bernur Ho-nan. Katanya aku selalu di¬lindungi dan dijaga, akan tetapi aku di¬larang keluar dari kamar, seperti orang tahanan saja.” “Memang Paduka ditawan...., mari¬lah....“ Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa diajak lari keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu ke ruangan dalam dan dia mencari-cari jalan keluar yang paling aman. “Sebaiknya kalau saya me¬nyelidiki dulu keadaan di luar harap Pa¬duka menunggu....“ bisiknya dan dia lalu menghampiri jendela ruangan itu, men¬jenguk ke luar untuk melihat keadaan. Kemudian perlahan-lahan dia membuka pintu ruangan itu untuk meneliti keadaan di luar. “Wuuuttttt....!” Terkejutlah si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng dan tahu-tahu orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah seorang pengemis setengah tua. Si Gagu terkejut sekali melihat munculnya seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut melihat seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tem¬pat itu bersama Pangeran Yung Hwa yang sudah dikenalnya. “Pangeran, harap, Paduka tenang. Ka¬mi datang untuk menolong Paduka!” kata si pengemis dan secepat kilat dia sudah menyerang si Gagu! Tentu saja si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia sendiri tidak percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung Hwa. Keadaan negara sedang kacau dan banyak terdapat orang-orang yang berniat membantu pem¬berontak, maka dia tidak boleh percaya kepada siapapun juga dalam hal menolong Pangeran Yung Hwa ini. Pengemis setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang datang ke istana itu ber¬sama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga melakukan penyelidikan secara berpencar untuk mencari tempat ditahan¬nya Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu ber¬sama Pangeran Yung Hwa di dalam ru¬angan itu. Tentu saja Gu Sin-kai meng¬anggap si Gagu itu orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya. Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu. Pangeran Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling hantam ini keduanya meng¬aku datang hendak menolongnya, akan tetapi kedua-duanya tidak dia kenal, maka tentu saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang mana. Ka¬rena itulah maka dia diam saja dan ha¬nya menanti perkembangan selanjutnya. Akan tetapi ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan jurus saja Gu Sin-kai su¬dah terdesak hebat sekali sampai bebe¬rapa kali terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini adalah ke¬nyataannya bahwa si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya pengemis itu sudah roboh sejak tadi. Tiba-tiba terdengar suara menggele¬dek, “Muridku, mundurlah kau!” Dan dari luar menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus menerjang si Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan sa¬king kuatnya tenaga sinkang yang terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat mundur dan hatinya girang melihat kedatangan gurunya, yaitu Sai¬cu Kai-ong. Seorang kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Keciil, juga sudah tiba di situ dan Siluman Kecil hanya menonton saja ketika melihat Sai¬-cu Kai-ong bertanding melawan laki-laki penuh cambang bauk itu. Tidak perlu membantu seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menandingi kakek itu. Akan tetapi, makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata terbelalak kaget dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai¬-cu Kai-ong itu ternyata memiliki gerakan yang cepat dan hebat bukan main! Tentu saja Sai-cu Kai-ong sendiri merasa ter¬kejut ketika tangkisan lengan lawannya itu membuat dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan tenaga dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong Pangeran Yung Hwa. “Desssss....!” Pcrtemuan tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai¬-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan dia harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan memandang ke¬pada lawannya dengan mata terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi dan kini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu ternyata dapat melancarkan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau Es! “Keparat!” bentaknya dan ketika kem¬bali Sai-cu Kai-ong terdorong mundur dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan, Siluman Kecil sudah mener¬jang ke depan, disambut oleh si Gagu dengan sama kuatnya. Keduanya terkejut karena ternyata serangan mereka dapat dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya, Siluman Kecil langsung saja mengeluarkan ilmu¬nya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat yang diberi nama Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan). Hebat bukan main pertandingan itu. Tubuh Silu¬man Kecil mencelat ke sana-sini, namun tidak mudah baginya untuk dapat menga¬lahkan si Gagu yang ternyata benar¬benar sakti dan menyimpan banyak ilmu¬-ilmu mujijat dan sakti itu. Sai-cu Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggeleng kepalanya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia me¬nyaksikan pertandingan yang seperti ini hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari keluarga yang gagah perkasa, namun pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan kakek berambut putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa yang terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor bucung garuda bertanding di angkasa. Di seluruh ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi di balik meja di sudut ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran-sambaran angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua dilanda hawa yang amat panas dan kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri juga sudah menjauh sampai mepet dinding ruangan. Si Gagu agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya me¬ngeluarkan sebagian kecil saja kepandai¬annya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang ini, biarpun dia sudah menge¬luarkan semua ilmu simpanannya, dia masih tidak mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawan¬nya benar-benar amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangannya, lalu memukul dengan dorongan kuat. Siluman Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan pukulan maut yang amat he¬bat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti yang selama ini dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan dari inti tenaga Im dan Yang. “Bresssss....! Tubuh si Gagu terlem¬par seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil terhuyung-huyung sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga itu, terasa oleh semua orang dan dinding ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka seperti terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini cambang bauk itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan. Akan tetapi, Silu¬man Kecli juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang Swi. Topeng itu terkupas oleh hawa pu¬kulan lawan sehingga kelihatanlah wajah yang aseli, wajah seorang pemuda yang tampan akan tetapi dengan rambut pan¬jang berwarna putih semua, wajah Silu¬man Kecil yang aseli! “Kokooooo....!” Tiba-tiba Siluman Kecil lari dan menubruk si “Gagu” yang masih terlentang di atas lantai ruangan itu. “Koko.... ah, Kian Lee koko.... kiranya engkau.... ya Tuhan, apa yang telah kulakukan tadi....?” Dan Siluman Kecil merangkul dan memeluk tubuh si “Gagu” itu dan menangis sejadi-jadinya! Semua orang terkejut bukan main menyaksikan peristiwa aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai melongo karena tidak disangkanya bahwa “kakek” sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis, seperti anak kecil me¬meluk bekas lawannya yang juga masih amat muda. Sementara itu, si “Gagu” yang ter¬nyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang orang yang memeluknya. Luka yang dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa nyeri yang seolah-olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya. Mula-mula dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah yang meragukannya, akan tetapi kemudi¬an dia pun menggerakkan kedua lengannya yang lemah, memeluk dan berkata, “Aihhhhh.... Kian Bu adikku.... sayang, betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Eng¬kaukah kiranya si kakek rambut putih tadi? Bukan main, adikku, kau hebat.... sekali...., ah, kau maju pesat sekali.... uhhh, adikku, betapa selama bertahun¬-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te....” “Koko, ah, Koko.... apa yang telah kulakukan tadi....?” Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya. Pukulannya tadi hebat sekali, pukulan yang dilatihnya selama bertahun-¬tahun ini, pukulan yang mengandung peng¬gabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si Pen¬dekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu, akan tetapi penggabungan itu hanya me¬rupakan kerja sama, yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri. Akan tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang mujijat sekali, yang ketika melatih¬nya hampir saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai tenaga mujljat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri! “Sudahlah,.... jangan berduka, adikku.... aku.... aku mati pun tidak akan penasaran.... engkau tidak bersalah.... kita saling menyamar dan tidak mengenal.... dan kau hebat sekali, Bu-te....eh, adikku, kenapa rambutmu menjadi putih semua....? Apakah untuk menyamar? Bu-te.... kalau kau pulang nanti.... jangan bilang kepada Ayah dan Ibu.... bahwa.... kita saling bertanding....“ Napas Kian Lee terengah-engah dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara. “Koko....!” Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak menyalahkannya, bah¬kan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang telah memukulnya seperti itu! “Kian Lee koko.... kalau kau mati.... aku pun tidak mau hidup!” “Ah, jangan begitu, Bu-te....“ Kakak dan adik ini berpelukan. Melihat ini, Sai¬cu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pe¬muda luar blasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan ber¬kata. “Biarkan saya memeriksa dan meng¬obatinya.” Kian Bu menoleh kepadanya. “Locian¬pwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri. Kalau Lo¬cianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih se¬kali dan tidak akan melupakan budimu.” “Suma....?” Kini Sai-cu Kai-ong ter¬kejut setengah mati. “Kalian she Suma? Ada hubungan apa dengan majikan Pulau Es, Suma Han?” “Dia adalah ayah kami....“ kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah. “Ahhh....! Ya Tuhan, kalian putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri? Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan dia.” Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong tubuh ka¬kaknya sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa. “Dari mana datangnya penjahat-pen¬jahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?” Tiba-tiba terdengar seru¬an nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara para pasu¬kan pengawal itu meloncat masuk se¬orang pemuda tampan yang bukan lain adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk merampas Pangeran Yung Hwa yang di¬pondong oleh kakek itu. Akan tetapi, kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, meng¬amuk dengan tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka. Sepak terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga marah bukan main sehingga setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengero¬yok terlempar ke sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka. Akan tetapi, Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apalagi setelah Kang Swi mencabut pe¬dangnya. Biarpun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah. “Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!” teriak Kian Bu marah dan biarpun dia menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia me¬nerjang Kang Swi dengan tangan kosong. “Wuuuuuttt....!” Angin pukulan dah¬syat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu. “Eihhhhh...., kau....?” Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi “saha¬batnya” itu kini menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan ter¬huyung-huyung! “Saudara Kang Swi, mundurlah! Kau telah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang pemberontak,” Kian Bu berkata. “Jangan kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!” “Twako, aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembali¬kan Pangeran Yung Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik¬-baik!” kata Kang Swi. “Bandel, kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!” Kian Bu mener¬jang lagi. Kang Swi menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lam¬bung Kian Bu sedangkan kakinya me¬nendang ke arah lutut Siluman Kecil itu. “Huhhh!” Kian Bu mendengus, tangan¬nya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan ten¬dangan kakinya. “Tranggg.... dukkk.... aihhhhh....!” Kang Swi menjerit dan tubuhnya ter¬lempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbela¬lak sambil memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedangkan pedangnya yang bertemu de¬ngan tangan pendekar itu tadi telah ter¬lempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia bengong dan hampir tidak per¬caya bahwa dia dirobohkan dalam se¬gebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong saja! Akan tetapi, Kian Bu tidak mempedu¬likannya lagi karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo dan Siauw-¬hong! Di belakang mereka nampak ba¬nyak pengawal lagi yang memenuhi tem¬pat itu! Ho-nan Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia bahwa istana ¬itu telah kebobolan mata-mata dari Ho¬-pei, akan tetapi ketika dia melihat Sai¬-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di situ dan kini sudah me¬mondong Pangeran Yung Hwa. Dia mak¬lum akan siasat majikannya, maka dia lalu membentak marah, “Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!” bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju. Akan tetapi Kian Bu yang tidak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka dan rambut merah itu dengan tamparan tangan ka¬nannya sedangkan tangan kirinya me¬mondong tubuh kakaknya. “Wuuuttttt....!” Ciu-lo-mo cepat meng¬elak dan terkejut melihat sambaran te¬naga dahsyat itu. Cepat dia menggerak¬kan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan. “Keparat!” Kian Bu. membentak, de¬ngan gerakan tangannya dia menangkis dan sekaligus membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya. “Tranggg!” Guci arak membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo sa¬king kerasnya terpental oleh tangkisan itu. “Hong-ji (Anak Hong)....!” Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru ketika dia me¬lihat Siauw-hong menyerbu ke dalam. “Suhu....!” “Apa kau sudah gila? Kau membantu musuh-musuhku?” Kakek itu membentak lagi sambil merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan kakinya yang panjang dan besar. “Suhu....!” Siauw-hong memandang bingung. “Teecu.... teecu menjadi penga¬wal dengan baik....“ “Tolol! Yang kaubantu adalah seorang pemberontak!” “Ahhhhh....!” Siauw-hong memandang bingung. “Hayo kaubantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!” Kakek itu kembali berseru. “Baik, Suhu!” Siauw-hong berseru dan kini dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua orang pengawal! Akan tetapi, kini banyak sekali pe¬ngawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di ta¬ngan untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini, Kian Bu merasa khawatir. Betapapun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat berbahaya, pikirnya. Apalagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah. “Mampuslah!” Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo. Kakek pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat meng¬gerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis. “Pyarrrrr....!” Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut merah itu roboh terjengkang! “Siauw-hong, kautolong panggul kakak¬ku ini, biar aku membuka jalanl” Tiba¬-tiba Kian Bu berseru kepada Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melin¬dungi suhunya. “Baik, Taihiap,”' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu dan me¬nerima tubuh Kian Lee yang sudah lemas setengah pingsan itu lalu dipondongnya. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong merasa girang. “Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?” tanyanya sambil bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk menghalau senjata-senjata yang datang menyerang¬nya. “Tentu saja, Suhu,” jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiar¬kan lewat sebatang tombak yang me¬nusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang tombak itu menjerit dan roboh terjengkang. “Taihiap ini adalah Siluman Kecil.” “Ahhhhh....” Sai-cu Kai-ong berteriak kaget. Sungguh dia telah mendengar ba¬nyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu meng¬aku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor! Kini Kian Bu yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Dia meng¬gunakan ilmunya yang mujijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in, tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja, se¬mua pengawal yang berada di ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir. “Mari keluar, biar aku membuka ja¬lan!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, sekali dorong saja dia meroboh¬kan enam orang pengawal di luar pintu. Tentu saja kehebatan pemuda yang ram¬butnya putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apalagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Siluman Kecil! “Siluman Kecil....!” “Celaka, dia mengamuk. Minggir....!” Para perwira pengawal dan para ang¬gauta pengawal yang sudah pernah me¬lihat bayangan Siluman Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho¬-nan, menjadi gentar sekali dan mereka semua mundur. Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal sekali di Ho-nan. Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan per¬nah mengakurkan semua fihak yang ber¬tentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri sebagai seorang pahlawan. Dan kini, Siluman Kecil mengamuk dan membantu orang-orang yang hendak me¬larikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jerih menghantui hati para pe¬ngawal sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman-temannya keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran. “Siluman Kecil mengamuk!” “Siluman Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!” Teriakan-teriakan para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus melari¬kan diri sampai ke pintu gerbang. “Buka pintu! Aku, Siluman Kecil, hen¬dak lewat bersama teman-temanku! Ja¬ngan membikin aku marah!” Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan meng¬gema karena memang dia sengaja me¬ngerahkan khikangnya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang wak¬tu untuk menggunakan kekerasan ter¬hadap para penjaga di pintu gerbang itu. Dia harus cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka mata memandangnya dengan kagum. “Kau hebat, adikku.... kau hebat....“ bisik Kian Lee. “Ahhhhh....!” Jantung Kian Bu rasa¬nya seperti ditusuk dan bagi pendengar¬annya, pujian kakaknya itu seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu dipergunakan untuk me¬mukul roboh kakaknya sendiri! “Lekas buka! Kalau tidak, kubunuh kalian semua!” bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa rasanya. “Baik.... baik, Taihiap!” terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu dibantu oleh kawan-kawannya. Keluarlah mereka dari tembok kota yang merupakan benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah serombongan orang berkuda yang dipim¬pin oleh seorang raksasa berkepala botak bermantel merah. Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan! Kira¬nya sudah ada berita terdengar oleh Gu¬bernur Kui yang masih berada di Ceng¬-couw dan mendengar berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang sakti itu untuk memimpin serombongan penga¬wal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang! “Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini ha¬nyalah penculik-penculik hina!” bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan. “Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah dari¬pada mati konyol!” Biarpun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah. Sai-cu Kai-ong marah sekali. “Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajal¬mu sudah berada di depan mata! Siapa¬kah engkau, orang asing?” “Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku bertugas me¬nangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha, biarpun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) namun engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!” Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main. “Siauw-ji, kau jaga beliau,” katanya sam¬bil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya. “Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk meng¬gertak kami? Kaukira kami takut?” Sai¬-cu Kai-ong membentak. “Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku tidak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu.” Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat. “Benarkah itu? Apakah ma¬nusia macam engkau akan dapat me¬nahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?” Alis yang tebal itu berkerut. “Sai¬-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?” bentak Ban Hwa Sengjin. “Ah, kiranya begitu?” Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah men¬dekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat! “Nah, majulah menyerahkan nyawa¬mu!” Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum mengejek. “Sambutlah!” Sai-cu Kai-ong memben¬tak dan sudah menerjang ke depan de¬ngan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpan¬annya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinama¬kan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dipim¬pin oleh nenek moyangnya, yaitu perkum¬pulan Khong-sim-kai-pang. Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut do¬ngeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajar¬an Agama To inilah maka Ilmu Khong¬-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang ke¬kosongan yang menjadi inti dari segala¬nya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing. “Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya. Dari tanah liat dibuatlah jembangan, pada tempat yang kosong ter¬letak kegunaannya. Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.” Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-¬temurun yang mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain di¬nyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam lang¬kah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada! Serangan yang dilancarkan oleh Sai¬-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatan¬nya sih ringan dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, se¬orang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan ka¬get dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu! Dia cepat membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga Sai-cu Kai¬-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu. Terjadilah pertandingan hebat dan keada¬an sekeliling tempat itu disambar oleh hawa-hawa pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga cepat bersem¬bunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri. Akan tetapi, seorang yang sudah men¬jadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah seorang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kera¬jaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa sakti¬nya, juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan se¬orang tokoh pilihan yang berilmu tinggi. Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi ka¬rena boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah mem¬bekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang lawan yang demikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gem¬bira dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini meng¬anggap bahwa tidak mungkin ilmu silat¬nya dapat dikalahkan orang lain! Memang, amat berbahayalah bagi se¬orang manusia yang merasa telah mem¬pelajari ilmu sampai tinggi, apalagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala ma¬cam “ter” lagi. Dan kalau sudah demi¬kian, dia menjadi orang yang setolol¬-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalau waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan ke¬waspadaan ini saja maka dia dapat me¬lihat betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagai¬manapun juga. Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mujijat itu ternyata kalah kuat diban¬dingkan dengan Ban Hwa Sengjin se¬hingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan ke¬palanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walaupun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri. dan cepat mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya. Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-¬hong. Dia akan maju sendiri. “Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka....“ bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri. Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang ¬ “Jangan khawatir, Koko.” Dengan langkah lebar dia lalu meng¬hampiri Ban Hwa Sengjin. Kcksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apalagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biarpun rambut pemuda ini sudah putih semua! “Kau mau apa?” tanyanya dengan sikap memandang rendah. “Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?” Kian Bu bertanya. “Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!” “Kalau aku kalah, kami semua me¬nyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah?” “Ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-¬baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewatt! “Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan se¬orang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, men¬jilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap serangan¬mu selama dua puluh jurus, engkau meng¬aku kalah dan kami semua boleh lewat?” tanya Siluman Kecil yang sengaja me¬nekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung kehormatan koksu yang ke¬lihatan lihai sekali ini. Dan anak panah yang dilepaskan be¬rupa kata-kata ini tepat mengenai sa¬sarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin men¬jadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung. “Bocah bermulut lancang! Kaukira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga daripada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!” Siluman Kecil diam-diam merasa gi¬rang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sen¬diri. “Baik, kalau sampai aku roboh se¬belum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!” “Nah, sambutlah ini jurus pertama!” Ban Hwa Sengjin berseru, dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, demikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangan¬nya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, se¬dangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatan¬nya amat menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang meng¬hantam ke arah dada itu sebaliknya ge¬rakannya lambat dan perlahan. Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gem¬blengan ilmu-ilmu yang amat tinggi su¬dah tahu bahwa cakaran itu hanya me¬rupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mujijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Me¬mutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan, copot semua tulang iganya! Karena maklum akan hebatnya se¬rangan jurus pertama inj, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat, sekali sehingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan la¬wan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sin-¬coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang ba¬gaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sin¬kang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas. “Plak-plak....!” Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari sam¬ping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali. “Ehhh....!” Ban Hwa Sengjin terkejut. Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang per¬tama itu, tidaklah amat mengejutkan karena seorang pemuda yang sudah be¬rani menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya te¬naga mujijat yang panas sekali menye¬rang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu. Sebagai seorang yang sudah berpe¬ngalaman banyak, Ban Hwa Sengjin se¬gera dapat mengenal sifat gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang men¬dasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memu¬puk tenaga Khi (hawa) yang dilatih de¬ngan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang ter¬baik, dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus ber¬gerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serang¬an totokan yang ampuh. Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagaimana harus menghadapinya. Tubuh¬nya tiba-tiba mencelat ke atas, seperti seekor burung garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menye¬rang Kian Bu dengan jurus yang ke dua. Akan tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum bah¬wa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya, kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-¬mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya men¬jadi kacau-balau tidak karuan, membi¬ngungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib. “Des-des-plakkk!” Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus ke duanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan men¬dahuluinya dengan tusukan sehingga ter¬paksa dia menangkis sampai dua kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikut¬nya dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental. “Hemmm, kau boleh juga!” katanya dengan tenang untuk menutup rasa ka¬getnya, kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tu¬buhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang di¬namakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengan¬dung angin puyuh berputaran, seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini. Tubuhnya berputar¬an seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putar¬an itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benar¬-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan ke dua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan. Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba meroboh¬kan lawan. Dan memang Kian Bu men¬jadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-¬ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya maupun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa meng¬hadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh percaya kepada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasai¬nya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya. Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga. Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain¬-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar se¬hingga sukar diikuti oleh pandangan ma¬ta. Itulah ilmunya yang baru, ilmu cipta¬annya sendiri yang disebut Sin-ho-coan¬in. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal! Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Se¬tiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan ber¬turut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cer¬dik. Pemuda itu sama sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pe¬muda itu dapat memusatkan seluruh per¬hatiannya pada perlindungan diri saja se¬hingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu balas me¬nyerang, tentu pertahanan dirinya men¬jadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu kalipun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan. Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya amat aneh berpengaruh, dia me¬narik napas panjang mengumpulkan ke¬kuatan mujijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengan¬dung kumandang aneh, berseru, “Lihat nagaku menerkammu!” Kian Bu terkejut bukan main dan ter¬belalak memandang ke atas ketika tiba-¬tiba saja dia melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bah¬wa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir! Semua orang, termasuk Kian Lee, men¬jadi khawatir sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong meman¬dang terbelalak ke atas, seolah-olah ti¬dak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya! Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan mengandung pengaruh yang mujijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan se¬luruh tenaga yang ada padanya, meng¬gabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya de¬ngan ganas, serangan dari jurus terakhir! “Desss....!” Ban Hwa Sengjin terpen¬tal dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia me¬miliki tenaga mujijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka-luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya ter¬banting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan mujijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik karena campur tangan wanita yang me¬ngeluarkan suara ketawa tadi. Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri lemas se¬perti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepada¬nya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Kare¬na dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata, “Terima kasih!” Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah ce¬pat berkata, “Mari kita cepat pergi dari sini!” dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa. Kian Bu sadar bahwa memang me¬reka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong, “Cepat kau ikuti Suhumu, biar aku yang menjaga dari belakang.” Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari pergi mengejar suhunya, sedangkan Kian Bu ber¬lari paling belakang untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi se¬telah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan mem¬biarkan mereka pergi. Gadis cantik jelita yang tadi ter¬senyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun se¬cara aneh, dan kebetulan saja dia me¬nyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu. Andaikata koksu itu tidak memperguna¬kan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mem¬pergunakan ilmu hitam, tentu saja hati¬nya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun ta¬ngan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir kare¬na dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah men¬jadi putih semua dan dia pun hanya me¬lihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia men¬cari pemuda ini! Akhirnya tibalah mereka di perkemah¬an pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa un¬tuk memberi hormat. Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini me¬meluk dan mengangkat bangun kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, jangan meng¬gunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanya¬lah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaik¬nya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu.” Sai-cu Kai-ong mengangguk dan me¬rasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di luar¬an tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah di¬rebahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian. “Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan se¬perti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya “ “Ahhh, Locianpwe....!” Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh....!” Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main. Sai-cu Kai-ong tersenyum dan mem¬bangunkan pemuda itu. “Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah kusaksikan demikian kuatnya se¬hingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkan¬nya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah kita akan dapat memper¬oleh obat itu....“ “Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!” Kian Bu berseru. Kakek itu mengerutkan alisnya, “Obat itu adalah semacam jamur yang amat mujijat dan tidak ada ke duanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nam¬pak warnanya kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, ja¬mur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.” Kian Bu mengangguk-angguk. “Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana tem¬patnya?”“Itulah sukarnya. Aku sendiri pun belum pernah ke sana, dan hanya men¬dengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau-kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberi¬kan kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya.” Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu ten¬tang letaknya tebing yang curam di pe¬gunungan dekat muara Sungai Huang¬-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya. “Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik-baik menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan me¬rawatmu.” Kian Lee memegang tangan adiknya. “Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum tahu ba¬gaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun engkau menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,” kata Kian Lee dengan pan¬dang mata penuh kasih sayang kepada adiknya. “Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat untuk¬mu.” “Suma-taihiap, kalau engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempu¬nyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di tepi sungai, sebelah selatan kota Pao-teng.” “Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,” kata Pangeran Yung Hwa yang hadir pula di situ. “Apakah perlu kiranya kau di¬kawal oleh pasukan? Mereka dapat mem¬bantumu “ Terima kasih, saya kira tidak perlu,” jawab Kian Bu. Maka berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apapun yang akan dihadapi¬nya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya. *** Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara “kebetulan” saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mujijat. Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-¬ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-¬daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ. Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan meng¬injak sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tu¬buhnya yang pingsan itu “diterima” oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhir¬nya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air! Itulah air anak su¬ngai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ. Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifat¬nya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia ke¬luar dari tebing maut itu, melalui per¬jalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat “keluar” dari sana! Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi te¬bing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia un¬tuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apalagi harus men¬cari jalan turun! Akan tetapi dalam ke¬adaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya te¬bing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya! Dengan mempergunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat me¬ngerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asalkan ada tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekalipun. Atau biarpun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya Sin¬-ho-coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing se¬bagai penahan luncuran dan tempat men¬jejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa me¬ngetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat se¬tinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol. Dia dapat pula mengguna¬kan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Ber¬main-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat dipergunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat jarak te¬bing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur! Mengguna¬kan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, me¬rayap turun ke tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas te¬bing. Sekali bacok saja tali di atas te¬bing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang. Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapapun juga, dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kem¬bali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan se¬ekor monyet sekalipun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali. Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mu¬dahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap! Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakang¬nya. Kalau saja perhatiannya tidak ter¬curah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat sin¬kangnya itu akan dapat menangkap ge¬rakan si bayangan hitam ini, betapapun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini. “Heiii, jangan coba bunuh diri....!” Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu ter¬kejut bukan main. Dalam keadaan me¬lamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar ben¬takan yang demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan. Seorang yang le¬mah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja terjungkal ke dalam jurang! Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, ke¬mudian dia mengerutkan alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah ber¬diri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular dahulu itu, yang pernah menyerangnya kalang¬-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan karena me¬nyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini! Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, lalu tersenyum mengejek. Be¬gitu tersenyum, seketika tercipta dua lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar