Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 11-12.

Jodoh Rajawali Jilid 11.
Jodoh Rajawali Jilid - 11 NEXT---> Diposkan oleh Yayan Asgar jam 13.30 Reaksi: Tidak ada komentar: Jodoh Rajawali Jilid 12.
Jodoh Rajawali Jilid - 12 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 12 Akhirnya dia menggeleng-geleng kepala dan berjalan masuk sambil menggenggam uang emas yang memenuhi saku bajunya. Sementara itu, Siluman Kecil yang menunggang kuda si Putih menjalankan kudanya berendeng dengan pemuda tam¬pan bernama Kang Swi yang menunggang kuda si Hitam. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan karena Siluman Kecil sedang melamun dan agaknya Kang Swi juga tidak tergesa-gesa. A-cun, kacung dari Kang Swi, dan Siauw-hong, men¬jalankan kuda di belakang mereka dan Siauw-hong kelihatan gembira sekali, si¬kapnya sama sekali tidak seperti seorang jembel biarpun pakaiannya tambal-tambal¬an, melainkan seperti seorang jenderal ¬perang menunggang kuda dan memeriksa barisan! Siluman Kecil mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan memutar otak, men¬cari-cari ke mana lenyapnya uangnya yang banyak itu. Sungguh memalukan, juga mengherankan. Dia bukan seorang anak kecil yang pelupa, bukan pula se¬orang yang lemah sehingga uang yang berada di dalam buntalan pakaiannya dapat lenyap begitu saja! Dia adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dijuluki orang Siluman Kecil, namun ke¬nyataannya uangnya dicuri orang dari dalam buntalannya tanpa dia ketahui! Sungguh menggemaskan! Dia mengepal tinju dan tanpa disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara, “Hemmmmm!” Terdengar suara tertawa ditahan dan ketika dia menoleh, dia melihat Kang Swi melirik ke arahnya sambil tersenyum¬-senyum, senyum yang kelihatan seperti orang mengejek. “Huh, bocah ini sikapnya manja dan sombong bukan main!” pikir¬nya. Akan tetapi tentu saja dia merasa tidak enak kalau memperlihatkan rasa gemasnya karena betapapun juga, harta¬wan muda ini telah membelikan kuda untuknya dan Siauw-hong! “Tidak mungkin uang itu lenyap be¬gitu saja, bisik hatinya dan kembali dia tenggelam dalam renungan. Ketika dia membayar sepatu rumput, uang itu masih ada. Dia ingat benar. Dan sesudah itu, dia hanya berdekatan dengan si nenek penjual sepatu rumput yang agak tuli dan pengemis muda, Siauw-hong itu. Siau-w¬hong tidak mungkin mengambil uangnya, biarpun dia tahu bahwa Siauw-hong juga bukan anak biasa, melainkan seorang anak yang memiliki kepandaian. Siauw-¬hong bukan pencuri uangnya. Anak ini kelihatan jujur dan tidak membawa apa¬-apa di dalam bajunya yang penuh tam¬balan itu, dan semenjak bertemu di tem¬pat penjual sepatu rumput, anak ini tidak pernah berpisah dari sampingnya. Bukan, bukan Siauw-hong yang mencuri uang itu. Kalau begitu, tidak ada orang lain, tentu si nenek itu! Si nenek yang mencurigakan sekali sekarang, sikapnya yang ramah dan aneh, bicaranya yang membujuk-bujuk, yang sering harus dia dekati karena tidak mendengar kata-katanya, gerak-geriknya yang aneh dan akhirnya nenek itu tadi menggulung tikarnya hendak kukut dan mengantar dia ke tempat pedagang kuda. Dan sekarang dia teringat betapa nenek itu kadang-kadang tidak mendengar omongannya, akan tetapi kadang-kadang seperti tidak tuli, sikapnya aneh dan penuh rahasia. Menjual sepatu rumput di luar kota, di jalan yang hanya dilalui orang-orang dusun yang tidak akan mau membeli sepatu seperti itu, seolah-olah memang sengaja menghadangnya! Teringat akan semua itu, tiba-tiba dia menghentikan kudanya. “Eh, ada apakah?” “Saya harus kembali sebentar!” Silu¬man Kecil berkata. “Hemmm, mau mencari uangmu yang hilang?” Kang Swi bertanya sambil ter¬senyum simpul. “Tidak ada gunanya. Ke mana engkau hendak mencari uangmu itu di dunia yang begini luas?” Dia mengebut¬kan ujung bajunya dengan sikap agung¬-agungan. “Siauw-hong, nenek itu!” Siluman Ke¬cil menoleh kepada pengemis muda dan Siauw-hong juga mengangguk, seolah-¬olah baru ingat bahwa mungkin sekali uang “majikannya” itu dicuri oleh nenek penjual sepatu rumput yang aneh itu. “Mungkin sekali, Taihiap!” kata Siauw¬-hong. “Terlambat, Sobat!” kata kongcu tampan itu sambil menggerak-gerakkan cam¬buknya. “Dia sudah pergi. Bukankah kau¬maksudkan nenek si penjual sepatu rum¬put yang tuli itu? Lihat, sepatu yang di¬pakai A-cun itu adalah sepatu terakhir yang saya beli darinya,” katanya menun¬juk ke belakang dan Siluman Kecil me¬lihat sepatu rumput yang dipakai oleh kaki kacung itu. Siluman Kecil memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada Kang Swi. Dia harus berhati-hati. Pemuda tampan ini tidak kalah anehnya daripada si nenek penjual sepatu rumput! Seorang pemuda yang sikapnya begitu baik ke¬padanya, yang tahu segala! “Hemmm, Saudara Kang, bagaimana kau tahu bah¬wa nenek itu yang kumaksudkan?” Kang Swi tertawa. “Ha-ha, jangan kau memandang kepadaku seperti itu, Kawan! Aku menjadi takut karenanya! Kau me¬mandang kepadaku seolah-olah aku si pencuri uangmu itu! Tentu saja aku tahu. Begitu mudahnya! Jangan engkau meman¬dang ringan kepadaku. Lhhat, engkau memakai sepatu rumput yang baru, dan kau tadi menyebut nenek, maka setiap orang pun tentu akan dapat menduga nenek yang mana yang kaumaksudkan,” jawabnya dengan sikap tenang sekali. Siluman Kecil mengangguk-angguk. “Engkau sungguh cerdik.” “Sama sekali tidak. Hanya aku meng¬gunakan otak dan engkau yang terlalu memandang ringan kepadaku. Bukan ha¬nya itu saja, aku pun dapat menduga siapa adanya engkau, Sahabatku!” “Eh?” Siluman Kecil kembali menatap wajah tampan itu dengan tajam. “Siapa kiranya?” “Aku berani bertaruh seribu tael bah¬wa engkau adalah pendekar yang dijuluki orang Siluman Kecil.” Siluman Kecil cepat menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya yang putih itu sebagian menutupi mukanya. Dia ter¬kejut dan tercengang. Benar-benar pemuda ini aneh dan cerdik bukan main. Dia harus berhati-hati! “Bagaimana kau tahu? Menggunakan otak pula ataukah hanya kira-kira saja?” “Aku tidak pernah mau bertindak ceroboh. Segalanya harus kupikirkan ma¬sak-masak baru aku mengambil kesimpul¬an. Dengar alasanku, Sobat. Aku sudah sering mendengar tentang Siluman Kecil, yang kabarnya masih muda akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Sekarang, aku bertemu dengan engkau, engkau ma¬sih muda, rambutmu seperti benang-¬benang perak, gerak-gerikmu penuh rahasia, dan Siauw-kai.... eh, Siauw-hong itu menyebutmu Taihiap. Siapa lagi kau ka¬lau bukan Siluman Kecil yang tersohor itu?” “Saudara Kang Swi, engkau memang cerdik sekali,” Siluman Kecil kembali memuji. “Aku harus kembali dulu untuk mencari nenek itu.” “Taihiap.... hemmm, setelah benar bahwa engkau adalah Siluman Kecil, aku harus menyebutmu Taihiap! Taihiap, per¬cuma saja kalau kau hendak mencari nenek itu.” “Mengapa kau berkata demikian?” “Seorang yang dapat mencuri uangmu tanpa kau ketahui, tentulah bukan orang sembarangan, dan dia tentu tahu bahwa dia telah mencuri uang dari Taihiap, maka setelah berhasil, apakah dia akan menanti di sana sampai Taihiap kembali ke sana dan menghajarnya? Kurasa dia tidaklah begitu bodoh, Taihiap, dan se¬karang ini tentu dia sudah pergi jauh sekali, jauh dari kota An-yang. Mencari dia di sana sama dengan membuang-buang waktu, sedangkan kita harus cepat tiba di Ceng-couw karena besok ujian itu sudah dimulai!” Siluman Kecil terpaksa membenarkan pendapat ini, akan tetapi mendengar ucapah terakhir itu dia berkata, “Aku tidak ingin mengikuti ujian itu.” “Ah, tentu saja tidak. Masa seorang pendekar sakti seperti Taihiap hendak merendahkan dlri menjadi seorang pe¬ngawal? Akan tetapi, kurasa amat penting bagi Taihiap untuk pergi secepatnya ke Ceng-couw jika Taihiap hendak me¬nyelidiki tentang lenyapnya uang Taihiap itu. “Eh?” Siluman Kecil memandang he¬ran dan tidak mengerti. “Taihiap, setiap orang yang memiliki kepandaian tentu akan tertarik oleh sa¬yembara memasuki ujian pengawal itu, dan kurasa nenek tuli itu pun tidak terkecuali. Satu-satunya tempat di mana Taihiap mengharapkan untuk bertemu dengan dia, kurasa di Ceng-couw itulah tempatnya.” Siluman Kecil mengangguk dan me¬mandang kagum. “Kau benar, mari kita berangkat!” Dan dia pun membedal kuda putih itu dengan cepat. Kongcu tampan itu tertawa dan membedal si Hitam un¬tuk mengejar. Keduanya membalapkan dua ekor kuda itu sampai akhirnya mere¬ka terpaksa berhenti dan menanti dua orang pelayan yang berteriak-teriak kare¬na tertinggal jauh. Ternyata kemudian oleh Siluman Kecil betapa menyenangkan melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda kaya yang royal itu. Mereka selalu ma¬kan di rumah makan besar dan kongcu itu memesan masakan-masakan yang ter¬mahal dan terbaik, bersikap royal sekali dan ternyata dia merupakan seorang der¬mawan besar. Setiap orang pengemis yang meminta selalu diberi uang yang tidak tanggung-tanggung banyaknya. Siauw-hong yang menjadi tukang kuda sampai mengacungkan jempolnya saking girang dan kagum terhadap Kang Swi. “Kang-kongcu benar-behar seorang yang dermawan!” dia memuji. “Saya ikut menyatakan terima kasih atas kebaikan Kongcu terhadap para pengemis itu.” Akan tetapi Kang Swi tersenyum dan tidak kelihatan bangga, malah menjawab, “Aku dapat mencari uang dengan mudah sekali. Begini banyak uang untuk aku sendiri apa gunanya? Lebih baik kubagi-¬bagi kepada mereka yang membutuhkan!” Siluman Kecil merasa makin kagum terhadap teman seperjalanan yang aneh ini. Memang bocah itu manja dan agak sombong, pikirnya, tinggi hati dan penuh rahasia, akan tetapi harus diakuinya bah¬wa Yang Swi memang berwatak derma¬wan. Yang amat kagum dan senang hati¬nya adalah Siauw-hong. Baru sekarang dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa di dunia ini banyak pula orang¬-orang yang berbaik hati. Dalam beberapa hari saja dia sudah bertemu dengan tiga orang yang selain gagah perkasa dan aneh, juga amat baik. Pertama-tama dia bertemu dengan laki-laki berlengan se¬belah yang menjamu para pengemis cilik dengan royal, kemudian Siluman Kecil yang telah tersohor sebagai seorang pen¬dekar budiman, dan kini pemuda yang sikapnya penuh lagak dan agung-agungan ini ternyata lebih baik hati lagi. Kota Ceng-couw di Propinsi Ho-nan hari itu kelihatan ramai sekali, jauh lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang luar kota membanjiri kota ini dan pagi-pagi sekali sudah banyak orang ber¬duyun-duyun memasuki halaman yang luas di depan istana gubernur. Mereka semua ingin menonton ujian pemilihan calon pengawal dan perajurit. Gubernur Ho-nan, yaitu Kui Cu Kam,tinggal di Lok-yang, yaitu kota yang menjadi ibu kota Ho-nan, akan tetapi dia mempunyai istana di Ceng-couw dan di kota inilah pemilihan perajurit itu diada¬kan. Seperti telah diketahui, Gubernur Ho-nan ini diam-diam ingin menanam kekuasaannya di Ho-nan, terlepas dari kedaulatan kaisar dan untuk keperluan ini, selain dia bersekongkol dengan semua fihak yang anti kerajaan, juga dia ber¬usaha mengumpulkan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi sebanyak mung¬kin. Untuk keperluan itu pula maka dia memerintahkan untuk mengadakan sayem¬bara pemilihan calon pengawal di Ceng¬couw itu dan untuk urusan ini, dia telah menugaskan kepada Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It, jagoannya yang terkenal lihai itu, untuk membantu pembesar di Ceng-couw dalam mengawasi jalannya sayembara atau ujian pemasukan penga¬wal itu. Karena banyaknya tamu dari luar kota, bukan hanya mereka yang ingin memasuki sayembara akan tetapi juga mereka yang ingin menonton, maka kota Ceng-couw menjadi sibuk sekali. Semua rumah penginapan, besar kecil, penuh dengan tamu, juga semua warung makan penuh dengan tamu sehingga banyak pen¬duduk kota Ceng-couw hari itu benar¬-benar mengalami panen besar! Karena banyaknya orang-orang aneh, jagoan-jagoan kang-ouw, memasuki kota Ceng-couw di hari itu, maka munculnya Siluman Kecil dan Kang Swi bersama dua orang pembantu mereka, tidak begitu menyolok dan menarik perhatian banyak orang, sungguhpun dua ekor kuda mereka, si Hitam dan si Putih, menimbulkan kekaguman banyak orang, terutama me¬reka yang mengenal kuda baik. Akan tetapi, Kang Swi sejak tadi bersungut¬-sungut dan marah-marah karena semua rumah penginapan telah penuh. Sukar bagi mereka untuk memperoleh kamar di rumah penginapan. Akhirnya, Kang Swi turun tangan sendiri, tidak mengandalkan dua orang pelayan itu untuk menanyakan kamar di rumah penginapan. Dia men¬datangi sebuah rumah penginapan yang besar dan langsung dia menemui pemilik rumah penginapan itu. “Saudara Kang, bukankah tadi A-cun dan Siauw-hong sudah menanyakan dan di situ sudah penuh pula?” Siluman Kecil menegur temannya itu ketika mereka turun dari atas punggung kuda di depan sebuah rumah penginapan besar. “Hemmm, ingin kulihat sendiri apakah benar-benar sudah penuh semua, Taihiap.” “Sssttttt, harap Saudara Kang jangan menyebut aku Taihiap di tempat ramai ini, itu hanya akan menarik perhatian orang saja,“ Siluman Kecil berkata. Kang Swi tersenyum, senyum pertama sejak dia merengut dan marah-marah karena belum memperoleh kamar tadi. Matanya berkedip-kedip menggoda, “Ke¬napa sih? Bukankah Taihiap memang pendekar sakti yang terkenal itu?” “Sudahlah, aku tidak ingin dikenal orang.” “Kalau begitu, karena engkau lebih tua daripada aku, aku akan menyebutmu Twako (Kakak), akan tetapi siapa nama¬mu?” “Kau boleh menyebutku Twako, dan aku....aku tidak punya nama.” Kang Swi tertawa lagi. “Engkau sung¬guh seorang manusia aneh penuh rahasia, Twako. Nah, aku akan mencari kamar.” Dia lalu berjalan memasuki penginapan besar itu sambil membawa kantung uang¬nya. Tak lama kemudian keluarlah dia dengan wajah berseri. “Aku berhasil mendapatkan sebuah kamar!” terlaknya. “Eh! Tadi saya sendiri yang menanya¬kan dan para pengurus itu bilang kamar telah penuh semua!” Siauw-hong berseru dengan penasaran. “Tentu saja, memang penuh semuaa kata Kang Swi. “Eh, Kang-kongcu.... kalau begitu....“ Siauw-hong berkata heran. “Yang kusewa adalah kamarnya. Ka¬mar pemilik rumah penginapan itu sen¬diri. Dia mengalah dan bersama isterinya dia rela tidur di gudang malam ini dan menyerahkan kamarnya untukku.” Dia tertawa dan sikapnya penuh lagak ke¬menangan. Diam-diam Siluman Kecil dapat menduga. Tentu dengan kekuasaan uang, pikirnya. Entah berapa puluh kali lipat dari harga biasa pemuda royal ini menyewa kamar itu. “Akan tetapi sayang, kamarnya hanya satu untukku sendiri, dan untuk kalian bertiga terpaksa aku menyewakan sebuah kandang kosong karena memang su¬dah tidak ada kamar kosong lagi. Maaf, Twako.” “Hemmm....!” Siluman Kecil meng¬gumam. “Di kandang atau di mana pun tidak ada bedanya bagiku.” Pelayan mun¬cul dan empat ekor kuda itu digiring ke kandang, juga tiga orang laki-laki itu. Kandang yang disulap menjadi kamar untuk mereka bertiga itu sudah dibersihkan dan lantainya ditutupi rumput kering. Bau rumput kering dan tahi kuda kering memang tidak begitu busuk, bahkan mern¬punyai kesedapan yang khas, akan tetapi tetap saja hati Siluman Kecil merasa mendongkol juga. Kurang ajar, pikirnya. Sungguh sekali ini dia tidak dihargai orang sama sekali! Dia, yang di mana-mana disambut orang dengan penuh peng¬hormatan, kini tidur di kandang kuda, sedangkan pemuda royal berpakaian me¬wah dan banyak uangnya itu tidur sen¬dirian di dalam kamar besar! Kalau di¬lanjutkan begini, pada suatu hari aku tentu akan menampar kepala yang som¬bong itu, pikirnya. Dan hal itu amat tidak baik karena pemuda itu, betapapun juga telah bersikap baik kepadanya, tidak sayang membelikan kuda untuk dia dan Siauw-hong dengan harga mahal. “Aku harus cepat-cepat pergi meng¬hindarinya,” katanya dalam hati. Dengan hati mengkal Siluman Kecil meninggalkan A-cun dan Siauw-hong di dalam kandang kuda itu dan dia keluar. Malam gelap, langit hitam pekat, akan tetapi banyak lampu dipasang di sekitar penginapan itu. Siluman Kecil melangkah keluar dengan niat hendak mencari wa¬rung untuk makan dan minum arak meng¬hangatkan badan, karena malam itu di¬ngin sekali sehingga perutnya terasa amat lapar. “Ahhh....“ Tiba-tiba dia mengeluh dalam hati dan merogoh semua saku bajunya untuk mencari kalau-kalau ada sisa uang di dalam salah saku bajunya. Namun percuma dan dia sudah men¬duganya. Semua sakunya kosong. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun! Mana mungkin membeli makanan dan minuman? Mencuri? Mudah saja baginya, akan te¬tapi hal itu tidak sudi dia melakukannya. Minta? Hemmm, sedangkan seorang bo¬cah jembel seperti Siauw-hong saja tidak sudi mengemis, apalagi dia! “Twako! Kau di sini?” Tiba-tiba ter¬dengar teguran orang dan wajah Siluman Kecil bersungut-sungut di dalam gelap. Pemuda congkak itu sudah berada disampingnya sambil tersenyum-senyum, seolah-olah mengerti akan kesukarannya, yaitu ingin makan minum akan tetapi tidak mempunyai uang! Dia hanya meng¬angguk, tidak ingat bahwa mungkin saja di dalam kegelapan itu pemuda she Kang itu tidak dapat melihat jawabannya tanpa kata itu. “Twako, mari kita mencari minuman!” Kang Swi berkata dengan nada suara gembira. Sebelum Siluman Kecil sempat menjawab, tangannya sudah digandeng dan ditarik oleh pemuda itu dan diajak memasuki sebuah warung arak yang ber¬ada di sebelah rumah penginapan. Muka Siluman Kecil terasa panas. Untung bahwa waktu itu malam, maka penerangan lampu warung yang kemerah¬an menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi merah. Bagaimana dia da¬pat menolaknya biarpun hatinya merasa amat tidak enak? Pemuda ini boleh jadi congkak dan agung-agungan, akan tetapi harus diakuinya amat ramah dan akrab. Mereka memasuki warung itu dan me¬milih tempat duduk di sudut. Seperti biasa, secara royal sekali Kang Swi me¬nanyakan masakan istimewa dari warung itu dan memesan masakan macam-macam dan arak yang paling baik! Siluman Kecil diam-diam menegur diri sendiri mengapa setelah berhadapan de¬ngan pemuda ini, melihat sikapnya yang demikian ramah, semua ketidaksenangan hatinya lenyap sama sekali! Malah dia mendapatkan dirinya makan minum de¬ngan lahapnya, karena selain perutnya lapar, juga hawa yang dingin dan masak¬an yang lezat membuat dia menjadi se¬orang pelahap! Dan seperti biasa, yang diketahuinya semenjak dia melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda tampan ini makan sedikit sekali. “Kenapa makanmu sedikit amat?” Dia pernah bertanya siang tadi. “Habis, kalau sebegitu saja sudah ke¬nyang, perlu apa banyak-banyak?” jawab yang ditanya. “Pantas tubuhmu kecil!” Dan sekatang, pemuda itu juga makan sedikit saja, biarpun hampir semua ma¬sakan dicobanya. Akan tetapi pemuda itu minum arak dengan lagak seorang jagoan minum. “Agaknya engkau kuat minum arak, Kang-hiante,” kata Siluman KeciL melihat wajah yang gembira itu. Kang Swi ter¬senyum dan diam-diam Siluman Kecil harus mengakui bahwa pemuda ini me¬mang tampan sekali. Kalau tersenyum tampak deretan gigi yang putih bersih, kecil dan rata. Mulutnya berbentuk indah. Seperti mulut wanita saja. “Ah, kaukira hanya engkau yang kuat minum, Twako? Mari kita bertanding minum arak, agar diketahui siapa di antara kita yang lebih kuat.” “Hemmm, engkau bisa mabuk nanti,” Siluman Kecil menjawab sambil ter¬senyum melihat lagak pemuda yang seperti anak-anak itu. “Eh, eh, engkau memandang rendah. Nah, mari kita coba. Berapa banyak pun engkau minum, akan kuimbangi, Twako!” Siluman Kecil dapat menduga bahwa pemuda tampan ini memang bukan orang sembarangan, dan tentu memiliki kepan¬daian, akan tetapi karena sikapnya yang baik dan ramah, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus menguji kepandai¬annya, biarpun dia ingin sekali tahu sam¬pai di mana kelihaiannya. Maka sekarang dia, memperoleh kesempatan untuk meng¬uji kekuatan minum pemuda itu dan bagi seorang ahli silat tinggi hal ini sudah dapat dipakai ukuran akan kekuatan te¬naga dalam seseorang. “Baiklah, aku akan minum tiga cawan berturut-turut.” Siluman Kecil lalu mi¬num tiga cawan arak berturut-turut. Sambil tertawa dan dengan sikap me¬mandang ringan, Kang Swi juga minum tiga cawan arak dan cara dia minum memang menunjukkan dia seorang ahli, sekali teguk saja setiap cawan lenyap memasuki perutnya yang kecil. Siluman Kecil tersenyum. “Kau me¬mang ahli minum, katanya dan kini dia minum berturut-turut lima cawan arak! Lalu dia memandang kepada temannya itu yang juga tersenyum dan tanpa ber¬kata apa-apa pemuda tampan itu lalu dengan gerakan tangan cepat sekali mi¬num sampai tujuh cawan arak berturut-¬turut! “Aku melebihi dua cawan, Twako,” katanya sambil tersenyum lebar. Siluman Kecil terkejut juga. Gerakan tangan pemuda itu demikian cepatnya dan biarpun sudah menghabiskan tiga dan tujuh cawan arak, akan tetapi sedikit pun jari-jari tangannya tidak pernah ke¬lihatan gemetar dan jari-jari tangan itu masih tetap tenang ketika meletakkan kembali cawan kosong di atas meja. Pa¬dahal dia yang baru minum delapan ca¬wan sudah merasakan betapa hawa arak yang keras naik ke dalam kepalanya yang tentu saja dapat ditekannya keluar de¬ngan tenaga sinkangnya. Dia memandang wajah yang tersenyum ramah itu. Tidak enak juga kalau sampai Kang Swi diuji¬nya terus sehingga menjadi mabuk, pikir¬nya. Sekarang pun sudah jelas bahwa dugaannya tidak salah. Pemuda ini memiliki sinkang yang cukup kuat. Biarlah dia minum lima cawan lagi. “Kau memang hebat,” katanya dan kini dia minum lagi lima cawan arak. Akan tetapi Kang Swi memegang guci araknya. “Mengapa bersikap sungkan, Twako? Kita sama-sama kuat minum. Mari kita habiskan arak dari guci masing- masing.” Dan pemuda tampan itu lalu mengangkat guci araknya, menempelkan bibir guci di mulutnya yang dibuka, ke¬palanya ditengadahkan dan guci itu lalu dimiringkan, araknya dituang dan seperti pancuran memasuki mulutnya yang ter¬nganga sampai habislah arak dari dalam guci itu. Ketika dia menaruh kembali guci kosong ke atas meja, jari-jari ta¬ngannya masih tidak gemetar sama sekali sungguhpun mukanya yang putih itu menjadi agak kemerahan dan kepalanya agak bergoyang-goyang! Siluman Kecil terkejut. Dia sudah menduga bahwa pemuda tampan itu me¬mang memiliki sinkang yang kuat, akan tetapi tidak disangkanya sedemikian ku¬atnya. Maka gembiralah hatinya karena ternyata teman seperjalanannya ini ada¬lah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun lalu minum semua arak dari gucinya. Setelah kemasukan arak yang masing-making tidak kurang dari tiga puluh cawan, Siluman Kecil melihat betapa wajah yang kemerahan itu makin berseri dan, sikap Kang Swi makin gem¬bira! Kiranya ada pula sedikit hawa arak mempengaruhi pemuda ini dan diam-diam Siluman Kecil merasa girang karena ba¬gaimanapun juga dialah yang menang dalam pertandingan ini. Pemuda itu biar¬pun belum dapat dikatakan mabuk, akan tetapi caranya bicara dan tersenyum sudah lebih ringan dan lebih gembira dari biasa, tanda bahwa dia telah dipengaruhi hawa arak. Tiba-tiba pemuda itu tertawa sambil memandang keluar. Siluman Kecil juga memandang dan ternyata yang ditertawa¬kan oleh Kang Swi itu adalah seorang laki-laki yang jalannya pincang. Orang ini mukanya penuh dengan kumis dan cam¬bang bauk, amat lebat hampir menyembunyikan semua mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Begitu masuk, orang ini duduk di sudut bagian depan dan sama sekali tidak mempedulikan para tamu lainnya yang mulai berdatangan untuk makan malam. Kemudian, dengan gerak tangannya dia memanggil pelayan. Ketika pelayan itu telah berdiri di de¬pannya, si pincang itu membuat gerakan-¬gerakan tangan memesan nasi dan arak. Dari gerakannya dan dari suaranya yang hanya ah-ah-uh-uh itu tahulah Siluman Kecil bahwa orang itu, selain pincang, juga gagu. “Heh-heh-heh!” Kang Swi tertawa-tawa melihat tingkah laku si gagu itu ketika memesan makanan dan minuman, membuat gerakan seperti orang sedang makan dan minum. Siluman Kecil menge¬rutkan alisnya. Bocah ini terlalu lancang dan sembrono, pikirnya, mentertawakan orang begitu saja, apalagi cara tertawa¬nya begitu terpingkal-pingkal seolah-olah pemuda tampan itu melihat suatu hal yang luar biasa lucunya. Padahal, apakah lucunya seorang gagu memesan makanan dan minuman? Tentu saja harus meng¬gunakan gerak tangan! “Hemmm, Hiante, jangan sembarangan mentertawakan orang!” tegurnya. “Apa¬kah kau tidak melihat langkahnya tadi biarpun terpincang-pincang? Dan lihat sinar matanya! Hati-hatilah, jangan meng¬hina orang, kurasa dia bukan orang sem¬barangan!.” “Ha-ha-ha!” kembali Kang Swi ter¬tawa dan masih terdengar terkekeh biar¬pun dia sudah mendekap mulutnya. “Ba¬gaimana tidak akan tertawa melihat yang selucu itu? Hi-hik, Twako.... apa kau tidak tahu, heh-heh....“ Kang Swi kembali tertawa dan menutupi mulutnya sambil memejamkan mata menahan ke¬geliannya. Tangis dan tawa biasanya amat menular. Melihat Kang Swi tertawa ter¬pingkal-pingkal seperti itu, biarpun dia sendiri masih belum mengerti apa yang ditertawakannya, tanpa disadarinya Silu¬man Kecil juga tersenyum dan ikut gem¬bira. “Apa sih yang lucu?” tanyanya, kini menjadi ingin sekali untuk mengetahuinya. “Twako, hi-hik aku tidak menter¬tawakan pincangnya atau gagunya, akan tetapi....heh-heh....“ “Ada apa sih?” “Mungkin orang lain dapat dia kelabui, akan tetapi aku!” Kang Swi menepuk dada dengan lagak sombong. “Di depan hidung seorang ahli seperti aku dia be¬rani main gila, ha-ha! Kumisnya terlalu ke atas dan agak miring penempelannya, dan cambangnya terlalu penuh di bagian pipi kiri. Ha-ha-ha, kalau tidak pandai menyamar, sungguh berbahaya permain¬an itu!” Pemuda ini terus tertawa ha¬-ha-hi-hi dan Siluman Kecil maklum bah¬wa biarpun tidak sampai mabuk, terlalu banyak arak itu membuat Kaang Swi men¬jadi terlalu gembira sehingga dia kha¬watir kalau-kalau sampai menimbulkan persoalan. Betapapun juga, dia kini memperhatikan orang itu dan setelah men¬dengar kata-kata Kang Swi tadi, dia baru dapat melihat hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh seorang ahli itu. Dan agaknya, temannya ini benar! Mencuriga¬kan sekali si pincang itu. Mendengar orang tertawa, si pincang menengok, akan tetapi karena terhalang oleh pilar dan pot bunga, dia tidak melihat Siluman Kecil dan Kang Swi. Siluman Kecil juga terpaksa ikut ter¬tawa, lalu bertanya lirih, “Apakah kau mengenal dia?” Kang Swi menggeleng kepala sambil tersenyum-senyum, pringas-pringis seperti orang sinting. Melihat keadaan temannya ini, Siluman Kecil merasa khawatir kalau-kalau ulahnya yang biasanya memang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan itu kini ditambah oleh pengaruh arak akan menimbulkan keributan, maka dia lalu bangkit dan mengajak kembali ke rumah penginapan. Kang Swi tidak membantah, dibayarnya harga makanan dengan royal, dan mengatakan bahwa uang kembalinya agar dibagi-bagi di antara para pelayan, kemudian dia berjalan bersama Siluman Kecil pergi meninggalkan warung, setelah sekali lagi tertawa ke arah si pincang, sedangkan Siluman Kecil menyembunyikan mukanya di balik rambutnya yang putih panjang. Akan tetapi ketika mereka tiba di depan rumah penginapan, terdengar teriakan tertahan, “Siluman Kecil....!” Siluman Kecil dan Kang Swi terkejut dan cepat menoleh. Mereka masih sem¬pat melihat dua orang perajurit dengan mata terbelalak dan muka pucat melarikan diri tergesa-gesa dari situ, menyeli¬nap di antara orang banyak. Siluman Kecil menarik napas panjang dan berbisik, “Sungguh tidak enak sekali. Di sini banyak orang mengenalku.” Kang Swi tersenyum. “Twako, agaknya di kota ini banyak terdapat orang-orang yang ketakutan melihat wajahmu yang tampan dan gagah....“ “Hemmm, tidak perlu mengejek!” Si¬luman Kecil menegur. “Ah, aku salah bicara. Mereka takut mendengar namamu yang tersohor.” “Sudahlah, aku pun tidak mempunyai keperluan di sini. Malam ini aku akan pergi saja,” kata Siluman Kecil. “Eh-eh, apakah kau akan merelakan saja uangmu dibawa lari oleh nenek itu? Kurasa hanya di tempat keramaian besok sajalah kita dapat menemukan nenek itu.” “Bukankah ujian sudah dimulai hari ini?” “Tidak, sudah kuselidiki. Hari ini ha¬nya diadakan pemilihan di antara para pelamar, pemilihan dari mereka yang berkepandaian tinggi untuk dipertanding¬kan besok, memperebutkan kedudukan pengawal pribadi gubernur yang hanya akan dipilih tiga empat orang banyaknya. Selebihnya hanya akan diterima sebagai perajurit pengawal kalau memenuhi sya¬rat. Jadi besoklah orang-orang kang-ouw akan bermunculan dan tentu kita akan dapat menemukan nenek itu.” “Akan tetapi aku banyak dikenal orang, hanya akan menimbulkan keributan saja.” Siluman Kecil yang biasanya me¬nyendiri itu merasa tidak enak kalau mengingat akan hal itu. “Twako, Jangan khawatir. Aku tadi mentertawakar penyamaran konyol si pincang itu bukan karena sombong, akan tetapi karena aku benar-benar seorang ahli dalam mendandani orang. Kalau Twako besok kudandani, agaknya orang tuamu sendiri tidak akan dapat menge¬nalmu lagi, Twako. Dengan menyamar, Twako akan dapat menonton dengan le¬luasa, juga akan dapat mencari nenek penjual rumput itu.” Siluman Kecil menghela napas. Dia merasa kalah bicara dengan pemuda lin¬cah ini. “Baiklah....“ katanya. “Dan maafkan aku, Twako. Bukan sekali-kali maksudku untuk merendahkan Twako dengan menyewakan, kandang ku¬da, akan tetapi apa boleh buat, kamar telah habis dan aku.... sejak kecil aku tidak bisa tidur sekamar dengan orang lain. Ataukah Twako yang memakai ka¬marku itu dan biar aku tidur di luar saja?” “Ah, tidak....! Jangan....! Pakailah kamar itu sendiri, aku sudah biasa tidur di alam terbuka. Akan tetapi sungguh mengherankan. Mengapa sih kau tidak bisa tidur berdua dengan orang lain da¬lam satu kamar?” “Sudah sejak kecil.... aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain dalam kamar¬ku.“ Siluman Kecil terseret oleh sikap dan keanehan temannya itu, maka dia meng¬goda, “Hemmm, kalau begitu bagaimana kelak kalau kau kawin?” “Ihhh! Twako sungguh ceriwis! Siapa yang mau kawin?” Setelah berkata demi¬kian, Kang Swi berkelebat pergi me¬masuki rumah penginapan dengan gerakan cepat. Siluman Kecil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu seperti anak kecil saja. Siauw-hong agak¬nya lebih dewasa daripada Kang Swi. Maka dia pun lalu memasuki kandang kuda dari pintu pekarangan samping dan ternyata A-cun dan Siauw-hong sudahh tidur. Siluman Kecil lalu duduk melaku¬kan siulian dan ternyata enak mengaso di atas tumpukan rumput kering itu dan mendapatkan hembusan angin semilir yang lembut dan yang dapat memasuki kandang kuda. *** Pada keesokan harinya, keadaan di kota Ceng-couw menjadi makin ramai. Dan memang keramaian sayembara itu terjadi pada hari ini, di mana para pe¬lamar yang berkepandaian tinggi akan memperebutkan kedudukan pengawal-¬pengawal pribadi dari gubernur. Di an¬tara ratusan orang pelamar, setelah diuji ketangkasan dan tenaganya kemarin, hanya ada belasan orang saja yang di¬calonkan, dan tentu saja bagi mereka yang belum sempat diuji, kalau memiliki kepandaian, diperkenankan juga mengikuti pertandingan adu kepandaian itu. Pekarangan yang merupakan alun¬-alun di depan istana gubernur penuh dengan manusia yang kesemuanya menge¬lilingi sebuah panggung yang tinggi dan luas, yang sengaja dibangun untuk keper¬luan itu. Karena panggung itu tinggi, maka biarpun mereka yang kebagian tempat agak jauh pun dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di atas panggung. Dan di tempat duduk kehormatan yang berada di depan istana, du¬duklah Gubernur Ho-nan sendiri, yaitu Gubernur Kui Cu Kam, dikelilingi oleh para pengawalnya dengan ketat untuk menjaga keselamatan gubernur ini. Se¬dangkan Cui-lo-mo Wan Lok It yang mengatur sayembara pemilihan pengawal itu, sejak kemarin sudah sibuk dan kini dia kadang-kadang kelihatan di dekat panggung, kadang-kadang tidak kelihatan karena si rambut merah dan pemabuk ini kadang-kadang mengadakan perondaan sendiri untuk menjamin kelancaran pe¬milihan itu dan juga menjaga keamanan gubernur yang berkenan menyaksikan pula pemilihan calon pengawal-pengawalnya itu. Setelah matahari naik tinggi dan Gu¬bernur Kui Cu Kam telah duduk di tem¬patnya, bersama dengan para pembesar-pembesar dan para pembantunya, tambur dan canang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa sayembara akan dimulai. Seperti semut-semut yang sibuk, orang-¬orang yang menonton bergerak mendekati panggung. Kang Swi yang sudah siap dengan dandanan ringkas dan dengan pedang di punggung, sejak tadi telah siap dan kini dia mendatangi kandang kuda bersama seorang kakek keriputan. Kakek tua ini bukan lain adalah Siluman Kecil yang telah “disulap” menjadi kakek oleh ta¬ngan Kang Swi yang ternyata memang benar pandai sekali merias penyamaran itu, dan ternyata pemuda tampan ini sudah membawa perlengkapan untuk me¬rias dan membuat penyamaran-penyamar¬an. Ternyata bahwa dia memang benar seorang ahli, maka tidak mengherankan kalau dia dapat mengetahui penyamaran si pincang yang gagu itu dan mencela penyamarannya. Siluman Kecil menjadi kagum bukan main ketika dia melihat bayangan wajah¬nya sendiri yang sudah berubah menjadi seorang kakek itu di dalam cermin. Dia memuji kelihaian Kang Swi akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. “Se¬karang kau tidak khawatir akan dikenal orang lagi, Twako, dan dengan leluasa kau dapat mencari nenek itu di antara penonton.” A-cun, pelayan atau kacung pengiring Kang Swi, memandang dengan bengong terlongong kepada kakek tua yang datang bersama majikannya itu. Dia tidak berani bertanya kepada majikannya siapa adanya kakek itu, hanya dia merasa heran dari mana datangnya kakek itu yang memasuki kandang bersama majikannya. “Eh, A-cun, di mana adanya Siauw-¬hong?” tanya pemuda tampan itu ketika dia tidak melihat si pengemis muda di situ. “Dia? Ah, sejak tadi dia sudah pergi, Kongcu. Katanya dia hendak nonton ke¬ramaian.” “Hemmm, kalau begitu kau tinggaliah di sini menjaga kuda-kuda kita, A-cun, kami hendak pergi nonton keramaian juga,” kata Kang Swi yang segera mengajak Siluman Kecil pergi. Kang Swi tidak lupa untuk membawa pedangnya yang digantung di punggungnya sehingga dia kelihatan gagah karena pagi hari itu dia mengenakan pakaian yang ringkas. Setelah tiba di depan istana gubernur, ternyata di situ telah berkumpul banyak orang dan di atas panggung itu tengah terjadi pertandingan yang ramai, diikuti oleh sorak-sorai para penonton yang su¬dah terdengar dari tempat jauh. Siluman Kecil lalu memisahkan diri untuk men¬cari nenek pencuri uangnya dan mereka saling berjanji akan berjumpa kembali nanti di rumah penginapan. Kang Swi sendiri lalu menyelinap di antara penon¬ton untuk mendekati panggung. Ternyata pertandingan di atas pang¬gung telah selesai. Seorang yang ber¬tubuh gemuk pendek dirobohkan oleh seorang pemuda tinggi kurus. Pemuda tinggi kurus ini memang istimewa sekali. Dia bukan merupakan seorang di antara para calon yang kemarin terpilih, melain¬kan seorang yang baru muncul di antara penonton. Akan tetapi secara berturut¬-turut dia telah mengalahkan sepuluh orang calon terpilih dan masing-masing dirobohkan dalam waktu belasan jurus saja! Si gemuk pendek yang terakhir itu pun dirobohkannya dalam waktu sepuluh jurus, maka tentu saja kemenangan-¬kemenangannya disambut oleh sorak-sorai para penonton yang merasa kagum ter¬hadap pemuda tinggi kurus berpakaian sederhana itu. Kini, atas perintah Ho¬nan Ciu-lo-mo yang dapat menilai ke¬pandaian orang, pemuda itu dipersilakan untuk beristirahat lebih dulu. Pemuda itu mengangguk dan turun dari atas pang¬gung, lenyap di antara para penonton. Ketika Kang Swi tiba di dekat pang¬gung, pemuda tinggi kurus itu sudah turun sehingga pemuda tampan dan royal ini tidak sempat melihat wajah pemuda yang sudah menang sepuluh kali itu. Kini pengatur pertandingan, seorang perwira tinggi besar dan tua, yaitu bukan lain adalah Su-ciangkun yang bernama Su Kiat, seorang di antara pengawal Guber¬nur Ho-nan, setelah menyuruh mundur pemuda tinggi kurus, lalu memanggil dengan suara nyaring nama seorang calon yang kemarin dipilih. Munculiah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang bertubuh kecil, yang muncul di panggung dengan muka agak pucat dan sikap yang sungkan dan jerih. Memang hati si kecil ini sudah jerih ketika menyaksikan betapa selain para calon, ter¬nyata di antara banyak penonton itu terdapat orang pandai seperti pemuda tinggi kurus tadi. Oleh karena itu, belum juga bertanding, hatinya sudah merasa jerih dan dia kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan sikap sung¬kan-sungkan dan merendah dia berdiri menanti di atas panggung, dengan kedua pundak ke muka sehingga tubuhnya ke¬lihatan makin kecil lagi. Sebuah nama dipanggil lagi dan munculiah orang ke dua, juga seorang calon yang kemarin telah dipilih, yang mukanya kuning pucat dan mulutnya selalu tersenyum masam. Setelah diberi tanda oleh Perwira Su Kiat, mereka bergebrak dan bertanding. Akan tetapi, belum sampal dua puluh jurus, si kecil menang dan orang ber¬muka kuning pucat itu terlempar ke bawah panggung, disambut sorak-sorai penonton yang merasa kagum bahwa laki-¬laki yang pemalu dan bertubuh kecil itu ternyata lihai juga. Berturut-turut maju sampai lima orang calon, akan tetapi semuanya dikalahkan oleh si kecil yang lihai dan yang kini mulai menemukan kembali kepercayaannya kepada diri sen¬diri setelah berturut-turut memperoleh kemenangan. Habislah semua calon yang terpilih kemarin. “Kini dibuka kesempatan kembali kepada para orang gagah yang hadir di antara penonton dan yang belum sempat didaftar kemarin, untuk mengikuti sa¬yembara pertandingan dan dipersilakan naik ke atas panggung!” kata Perwira Su Kiat dengan suaranya yang menggeledek. “Biar saya mencobanya!” Terdengar jawaban yang tidak kalah nyaringnya dan dari bawah panggung melayanglah sesosok tubuh yang tinggi besar. Semua penonton tertegun ketika melihat seorang laki¬-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kepalanya gundul, bukan gundul karena dicukur, melainkan me¬mang gundul karena botak! Dengan mulut menyeringai lebar, rak¬sasa gundul ini menghampiri si kecil, lalu berkata, “Anak yang baik, lebih baik kau meloncat turun saja dengan tubuh utuh dan mengalah kepadaku.” Biarpun tadinya si kecil ini merasa jerih, akan tetapi kini setelah memper¬oleh kemenangan berturut-turut selama lima kali, hatinya sudah menjadi besar dan tentu saja dia marah sekali men¬dengar dirinya disebut “anak yang baik” oleh raksasa itu. Terdengar suara ketawa di antara para penonton mendengar ucap¬an itu dan si kecil menjadi merah muka¬nya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia lalu menyerang dengan pukulan kedua tangannya. Gerakannya memang gesit bukan main dan kemenangannya yang berturut-turut tadi pun mengandalkan kegesitannya itulah. “Buk! Buk! Buk!” Secara bertubi-tubi dan cepat bukan main, kedua tangan jagoan kecil itu telah melakukan pukulan, dan anehnya si raksasa gundul itu me¬nerima semua pukulan yang tepat me¬ngenai perut dan dadanya itu tanpa me¬nangkis atau mengelak, seolah-olah se¬mua pukulan itu tidak dirasakannya sama sekali! Dan memang semua pukulan si kecil. itu seperti mengenai karet saja, membalik dan selagi si kecil terkejut setengah mati, tiba-tiba raksasa itu ter¬tawa, tangannya yang besar dengan le¬ngan yang panjang itu menyambar. “Plakkk!” Sebuah tamparan mengenai bawah telinga si kecil dan dia mengeluh lalu roboh pingsan! Tentu saja peristiwa mengejutkan ini disambut oleh sorak¬-sorai para penonton. Si kecil tadi demi¬kian lihainya, akan tetapi dengan sekali tamparan saja dia roboh pingsan oleh raksasa gundul itu. Maka dapat dibayang¬kan betapa lihainya si raksasa gundul ini! Dan tentu akan ramai sekali kalau rak¬sasa gundul yang kebal ini diadu dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi. Agaknya, Perwira Su Kiat juga ber¬pendapat demikian, dan dia sudah men¬cari-cari dengan pandang matanya ke arah menyelinapnya pemuda tinggi kurus tadi. Akan tetapi tiba-tiba nampak ba¬yangan orang berkelebat dan seorang pemuda tampan telah melompat dengan gerakan indah dan ringan ke atas pang¬gung, menghadapi si raksasa gundul. Pe¬muda tampan ini tersenyum lebar dan memandang si raksasa dengan sinar mata berkilat. Di punggungnya pemuda ini kelihatan tergantung sebatang pedang dan pakaian pemuda ini biarpun ringkas na¬mun amat perlente dan serba indah. Ka¬rena pemuda tampan ini berperawakan kecil ramping, maka berhadapan dengan raksasa gundul nampak perbedaan yang amat menyolok sekali. Yang satu kecil dan kelihatan halus lemah, sedangkan yang ke dua tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Sungguh bukan merupakan lawan yang seimbang! “Ha-ha, anak kecil mengapa ikut-iktan dan ingin bertanding?” “Lebih baik pulang, nanti dicari ibu¬mu!” “Belajar lagi sepuluh tahun baru da¬tang ke sini!” Teriakan-teriakan penonton yang di¬lontarkan kepada pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampan itu disambut oleh muda itu dengah senyum simpul. Pemuda ini bukan lain adalah Kang Swi, pemuda tampan royal yang datang ber¬sama Siluman Kecil. Dengan sikap tenang Kang Swi melangkah maju menghadapi si raksasa gundul. “Heh, kau anak kecil yang lebih pan¬tas membaca kitab daripada berada di sini! Si gundul berteriak. “Benar, turun saja!” “Buat apa mengantar nyawa sia-sia!” “Mati konyol nanti! Sayang ketampan¬anmu!” Kang Swi tersenyum. Senang hatinya. Dia merasa yakin akan dapat mengalah¬kan raksasa gundul ini, maka makin he¬bat orang mengkhawatirkan dirinya, ma¬kin balklah karena kemenangannya nanti akan terasa lebih nikmat. Dia menjura ke empat penjuru dengan lagak yang angkuh, sehingga Perwira Su Kiat yang juga memandang rendah pemuda remaja ini lalu berseru, “Hayo kalian berdua cepat memulai!” Raksasa gundul itu lalu melangkah maju. “Bocah sombong, biarlah kau boleh memukulku, tanpa kulawan pun engkau akan ka1ah dan kedua tanganmu akan patah-patah dipakai memukul tubuhku.” Banyak orang tertawa menyambut ucapan raksasa ini. “Benarkah?” Kang Swi bertanya. “Hen¬dak kucoba sampai di mana sih tebalnya kulitmu maka kau berani berkata demi¬kian. Nah, terimalah ini!” Tangan kiri Kang Swi menyambar ke depan secara sembarangan. “Syuuuttttt, plakkkkk!” “Aughhh....!” Raksasa gundul itu jatuh berlutut dan kedua tangannya memegangi dada yang terkena tamparan Kang Swi. Tangan pemuda halus itu rasanya seperti tusukan pedang tajam yang menembus kekebalannya, dadanya terasa nyeri bu¬kan main, panas dan perih. Semua pe¬nonton tadinya menyangka bahwa raksasa itu pura-pura saja untuk mempermainkan lawan, akan tetapi ketika mereka me¬lihat wajah itu berkerut-merut menahan nyeri, kemudian muka raksasa itu men¬jadi merah dan matanya melotot marah, mereka terkejut dan terheran-heran. Be¬narkah tamparan yang perlahan itu mem¬buat si raksasa yang kebal itu kesakitan? Sikap raksasa gundul itu menjawab ke¬raguan mereka ketika si raksasa menge¬luarkan suara gerengan marah dan tiba-¬tiba tubuhnya yang tadi berlutut itu menerjang ke depan. Gerakannya seperti seekor singa marah menerkam kambing, kedua lengan yang panjang itu dikembang¬kan, jari-jari tangan membentuk cakar hendak menerkam, matanya melotot dan mulutnya terbuka mengerikan! Dengan gerakan yang indah dan ri¬ngan sekali, Kang Swi sudah meloncat ke samping tepat pada saat kedua tangan lawan sudah hampir dapat mencengkeram¬nya dan pada detik itu juga, kaki kanan¬nya menendang ke arah lutut dan ta¬ngannya dengan jari terbuka menyambar ke arah lambung. “Dukkk! Plakkk!” Tak dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terjelungkup ke depan dengan terpaksa, dan hidungnya mencium lantai panggung sehingga ketika dia merangkak bangun, hidungnya berdarah dan mulutnya menyeringai karena selain lututnya terasa nyeri, juga lambungnya mendadak men¬jadi mulas! Akan tetapi, dia menjadi makin penasaran dan marah, apalagi ketika mendengar para penonton bersorak riuh rendah. Tadi, ketika raksasa itu jatuh berlutut, para penonton masih be¬lum yakin benar akan kelihaian Kang Swi, akan tetapi robohnya raksasa itu untuk kedua kalinya, kelihatan jelas oleh para penonton sehingga meledaklah pujian mereka terhadap Kang Swi. Tidak mere¬ka sangka bahwa pemuda tampan yang masih muda sekali itu demikian hebat¬nya, dengan mudah saja dalam dua ge¬brakan telah merobohkan raksasa itu dua kali! “Arghhhhh....!” Seperti suara seekor singa menggereng, raksasa gundul itu menyerang dan kini serangannya itu me¬rupakan serangan maut yang mengerikan karena dia bukan hanya menggunakan¬ kedua tangannya untuk mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi juga mem¬pergunakan kepalanya yang gundul botak itu untuk menyeruduk ke arah dada Kang Swi! “Hemmm....!” Kang Swi berseru meng¬ejek dan tiba-tiba ketika dia menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke atas de¬ngan gerakan cepat tak terduga sehingga serangan si raksasa itu luput dan tubuh¬nya terhuyung ke depan. Kang Swi yang meloncat tinggi ke atas itu kini sudah meluncur turun sambil membalikkan tu¬buh dan kakinya menginjak tengkuk la¬wan sambil mengerahkan tenaganya. “Hekkk!” Tubuh tinggi besar itu ter¬dorong ke bawah dan karena tadi dia menggunakan tenaga untuk menyeruduk, maka begitu diinjak tengkuknya, tenaga serudukannya bertambah dan kepalanya kini menyeruduk ke bawah dengan ke¬kuatan dahsyat. “Brakkkkk....!” Kepala itu menancap di lantai papan panggung, masuk sampai ke lehernya dan kedua kakinya bergerak¬-gerak di atas panggung! Terdengar suara ketawa di sana-sini dari mulut mereka yang suka akan tontonan yang menyeram¬kan, akan tetapi banyak pula yang me¬ringis dan merasa ngeri, mengira bahwa kepala botak itu pecah atau setidaknya tentu akan robek-robek. Kang Swi mendekati, kakinya menen¬dang. “Bukkk!” Tubuh itu tercabut dan ter¬lempar ke luar panggung, jatuh berdebuk di bawah panggung dalam keadaan ping¬san, dirubung banyak orang dan mereka ini terheran-heran karena kepala botak itu sama sekali tidak terluka, sungguhpun orangnya pingsan. Maka meledaklah sorak dan pujian yang dilontarkan orang kepada Kang Swi. Diam-diam Perwira Su Kiat terkejut sekali. Hari ini dia telah banyak sekali melihat orang-orang yang kepandaiannya jauh melampaui tingkatnya! Apalagi perwira ini, bahkan Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It sendiri yang merupakan jagoan¬ kepercayaan Gubernur Ho-nan terkejut melihat kepandaian Kang Swi. Pemuda tampan itu benar-benar hebat, entah mana lebih lihai dibandingkan dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali pertandingan tadi. Maka Ciu-lo-mo segera memberi isyarat kepada Su Kiat untuk memanggil pemuda tinggi kurus tadi, dan dia sendiri lalu duduk dan minum arak dari gucinya dengan hati penuh kegembiraan dan ketegangan hen¬dak menyaksikan pertempuran yang tentu akan amat menarik antara kedua orang pemuda itu. Sementara itu, Gubernur Kui Cu Kam sendiri mengangguk-angguk dan memuji, dia merasa senang kalau men¬dapatkan seorang pengawal yang lihai dan tampan seperti Kang Swi itu. “Orang muda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi, kini dipersila¬kan naik ke panggung!” Su Kiat berseru dengan suara lantang. Dia harus mengulang panggilannya sampai tiga kali, barulah kelihatan pe¬muda tinggi kurus itu naik ke atas pang¬gung, sikapnya seperti orang ragu-ragu sehingga mengherankan hati sernua orang. Apakah pemuda tinggi kurus itu takut melawan pemuda tampan yang telah mengalahkan si raksasa gundul itu? Kang Swi sendiri terkejut dan ter¬heran-heran ketika dia memandang wajah pemuda itu karena ternyata bahwa pe¬muda itu bukan lain adalah tukang kuda¬nya sendiri! Siauw-hong! Dia memang sudah menduga bahwa tukang kudanya itu adalah seorang pengemis muda yang me¬miliki kepandaian, akan tetapi sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa Siauw-hong yang hanya kebetulan saja bertemu dengan Siluman Kecil, kini ikut pula memasuki sayembara dan menurut ucapan perwira itu tadi telah menang sepuluh kali! “Harap Ji-wi enghiong suka mem¬perkenalkan kepada Taijin dan semua tamu yang terhormat!” terdengar Perwira Su Kiat yang mendapatkan isyarat dari Ciu-lo-mo berseru dari sudut panggung. Siauw-hong dan Kang Swi segera menghadap ke arah tempat kehormatan, menjura ke arah para pembesar di situ dan terdengarlah Kang Swi berkata de¬ngan suara lantang, “Hamba bernama Kang Swi!” Siauw-hong juga menjura dan ber¬kata, suaranya lirih, tidak selantang su¬ara pemuda royal itu, “Hamba bernama Siauw-hong!” Su Kiat lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. “Karena calon¬-calon sudah habis, maka untuk menentu¬kan siapa pemenangnya, harap ji-wi eng¬hiong suka mulai dengan pertandingan ini. Silakan!” “Kongcu....“ Siauw-hong berkata sam¬bil memandang kepada calon lawannya dengan sinar mata penuh keraguan. “Hemmm, kiranya engkau, Siauw¬-hong?” Kang Swi berkata lirih. “Benar, Kongcu”. Kang Swi memandang kepada Siauw¬-hong dengan penuh perhatian dan diam¬-diam merasa tertarik sekali. Wajah itu kini tidak kotor seperti biasa, melainkan bersih dan pakaiannya, biarpun sederhana dan tidak mewah, namun rapi dan tidak ada tambalannya seperti kemarin. Wajah itu tampan sekali, biarpun agak kurus. Dipandang seperti itu, Siauw-hong merasa canggung dan malu. “Harap maafkan, Kongcu, sebenarnya.... saya telah tamat belajar maka saya ber¬hak menanggalkan pakaian pengemis itu. Saya saya ingin mencari pengalaman, maka saya memasuki sayembara ini, tidak saya sangka akan berhadapan dengan Kongcu sebagai saingan.” Dia tersenyum, hanya sebentar saja senyumnya karena dia segera memandang dengan wajah serius kembali. Kang Swi tertawa. “Bagus! Aku se¬nang sekali dapat menguji kepandaianmu, Siauw-hong. Marilah!” “Silakan Kongcu mulai,” kata Siauw hong yang bersikap hormat dan merendah. “Nah, jagalah seranganku!” Kang Swi menerjang maju dengan cepat dan Siauw¬-hong juga sudah bergerak cepat sekali mengelak dan balas menyerang. Gerakan pemuda pengemis ini mantap dan cepat, dari lengannya menyambar hawa pukulan yang membuktikan bahwa dia telah memiliki kekuatan sinkang yang cukup he¬bat. Kang Swi si pemuda tampan yang royal itu terkejut bukan main karena baru terbuka matanya bahwa tukang kudanya itu, yang dianggapn sebelum¬nya hanya pernah belajar silat saja, ter¬nyata merupakan seorang ahli silat kelas tinggi! Apalagi ketika Siaw-hong main¬kan ilmu silat yang penuh mengandung serangan-serangan totokan maut amat aneh dan cepat, dia sampai terdesak mundur! Akan tetapi, pemuda hartawan she Kang ini mempunyai semacam watak yang buruk, yaitu dia selalu ter¬lalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga sedikit congkak dan memandang remeh kepandaian orang lain. Kini, biar pun sudah jelas padanya bahwa kepandaian Siauw-hong sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun dia bersikap sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi hendak menguji kepandaian orang yang lebih rendah tingkatnya, maka dia sengaja main mundur dan hendak “menguras” kepandaian orang! Karena kekurang hati-hatian yang timbul dari kecongkakan inilah, ketika dia menangkis sambil mengelak, tanpa dapat dicegahnya lagi lengan dekat sikunya kena tertotok dan hampir saja dia berteriak karena untuk beberapa detik lamanya lengan, yang tertotok itu menjadi lumpuh! Na¬mun, memang orang she Kang ini lihai bukan main. Tubuhnya sudah mencelat ke atas, tinggi sekali seperti seekor burung terbang, berjungkir balik sampai empat kali di udara dan ketika dia turun kembali, lengannya sudah sembuh dan kini baru dia tahu bahwa Siauw-hong benar-¬benar amat berbahaya kalau diberi ke¬sempatan. Oleh karena itu, dia lalu me¬nyerang dan mengeluarkan ilmu simpanan¬nya. Dari kedua tangannya yang terbuka itu menyambar hawa yang mengeluarkan suara bersuitan seperti gerakan sebatang pedang tajam. Siauw-hong berseru kaget dan cepat mengelak ke sana-sini. Di bawah panggung, menyelinap di antara banyak orang, Siluman Kecil juga kagum sekali. Dia belum berhasil me¬nemukan nenek penjual sepatu rumput yang dianggapnya mencuri uangnya itu, maka dia berkesempatan pula menonton pertandingan antara dua orang yang dikenalnya dengan baik itu, dan terkejut¬lah Siluman Kecil. Tidak disangkanya bahwa mereka, terutama sekali Siauw-hong yang tidak mau mengaku siapa gurunya itu, ternyata adalah orang-orang yang benar-benar amat lihai, bukanlah ahli-ahli silat sembarangan saja! Dan kini dia memandang dengan penuh perhatian ilmu silat yang mujljat dari Kang Swi, maklum bahwa pukulan-pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan itu benar-benar amat berbahaya sekali. Dia dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan, selain Siauw-hong tentu kalah, juga pu¬kulan itu mungkin saja mencelakakan pengemis muda itu. Dia pasti tidak akan mendiamkannya saja kalau sampai Kang Swi mencelakai Siauw-hong dalam pertandingan mengadu ilmu itu, pikirnya. Perkiraan Siluman Kecil memang tidak salah. Siauw-hong terkejut setengah mati ketika melihat cara lawan ini me¬nyerangnya. Hawa pukulan yang menge¬luarkan bunyi bersuitan itu hebat bukan main dan ketika dia memberanikan diri menangkis dengan pengerahan sinkang, lengan bajunya robek-robek seperti ter¬babat pedang dan kulit lengannya terluka berdarah seperti disayat pisau tajam! Tentu saja dia meloncat ke belakang dan menjura. “Saya mengaku kalah!” Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It yang tadi pun menonton pertandingan itu, merasa kagum dan juga girang karena dua orang ini benar-benar patut untuk menjadi rekannya dan menjadi pengawal-¬pengawal pribadi Gubernur Ho-nan karena kepandaian mereka boleh diandalkan! Akan tetapi selagi dia ingin memanggil kedua orang itu untuk menghadap guber¬nur, kelihatan ada orang meloncat naik ke atas panggung. Melihat ini, Siauw-¬hong yang sudah merasa kalah itu segera mundur dan diajak turun oleh Ho-nan Ciu-lo-mo yang mempersilakan dia me¬nanti di bawah panggung. Sementara itu, ketika Kang Swi me¬lihat siapa yang meloncat ke atas pang¬gung menghadapinya, dia tersenyum le¬bar. “Aihhh, kiranya badut sandiwara itu yang muncul!” Dia mengejek, dan orang pincang yang gagu itu hanya memandang tajam, kemudian dengan gerak tangan dia menantang. Para penonton yang berada di sekeliling panggung memandang heran, ada pula yang tertawa. Bagaimana orang bercambang bauk yang baru datang ini demikian berani mati? Mungkin juga pernah belajar ilmu silat, akan tetapi melihat bahwa dia hanya seorang gagu dan seorang yang kakinya pincang pula, mana mungkin dapat melawan pemuda tampan yang ternyata amat lihai itu? Akan tetapi, Kang Swi yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kelihai¬an orang gagu dan pincang yang dia duga menyamar itu, segera menyambut tan¬tangan dengan kata-kata nyaring, “Kau majulah!” Si gagu sudah menerjang dengan pu¬kulan sembarangan. Akan tetapi, orang¬-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan yang berada di tempat itu, seperti Siauw-hong, Kang Swi sendiri, Ciu-lo-mo, Siluman Kecil dan orang-orang lain terkejut karena mereka ini maklum be¬tapa di balik pukulan sembarangan itu tersembunyi hawa pukulan yang amat kuat. Kang Swi yang menangkis pukulan itu segera mengetahuinya karena tangkis¬annya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkangnya ternyata bertemu de¬ngan tenaga sakti yang amat dahsyat dan yang membuat dia terhuyung! Marahlah pemuda tampan ini. Sambil berteriak keras dia menerjang, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pukulnn yang mengan¬dung hawa tajam bersuitan tadi. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar bertemu tanding. Biarpun si gagu itu tidak me¬ngeluarkan ilmu-ilmu tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan bergerak sem¬barangan saja, bahkan gerakannya meniru gerakan lawan, namun tetap saja Kang Swi menjadl kewalahan! Pukulan-pukulannya dengan mudah dapat dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan mujijat yang tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya, bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung ke belakang, terpelan¬ting ke samping atau hampir jatuh ter¬jerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak berdaya dan dipermainkan oleh serang¬kum tenaga dahsyat yang menguasainya. Celakanya, secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung ha¬wa panas membakar dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar-benar menjadi bingung dan pena¬saran. Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapapun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya tetap saja dia ter¬desak, dia merasa tersinggung kehormat¬annya, maka Kang Swi meraba gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu. “Uh-uh-uhhh!” terdengar si gagu ber¬seru keras dan tiba-tiba Kang Swi ter¬pelanting roboh, dan dia hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi tubuhnya terpelan¬ting! Sorak-sorai menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia meloncat bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan Ciu-lo-mo telah berada di situ dan berkata, “Silakan Ji-wi ikut bersama kami menghadap gubernur!” Dan ternyata Siauw-hong juga sudah diajak oleh Wan Lok It ini. Sementara itu, Per¬wira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur, yaitu yang pertama adalah si gagu, ke dua adalah Kang Swi, dan ke tiga adalah Siauw-hong. Para penonton menyambut pengumum¬an ini dengan sorak-sorai memuji sedang¬kan tiga orang yang dipilih itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa girang memperoleh tiga orang yang demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat kedudukannya. Sang gubernur memuji-¬muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu juga dia akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu langsung saja bertugas se¬bagai pengawal-pengawal istananya. Perwira Su Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon pera¬jurit dan selagi para penonton masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di antara banyak orang. Tidak ada orang yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja, seorang kakek yang menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu? Siluman Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pe¬ngemis menyelinap di antara banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pe¬ngemis yang usianya setengah tua ini pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi bersih. Serupa benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti pakaian untuk mengikuti sayembara, se¬waktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda pula. Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tam¬balan. Lebih tertarik lagi hatinya ketika dia melihat betapa ada seorang kakek agaknya membayangi pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya. Siapa yang tidak mengenal jagoan Ho¬nan itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apalagi pernah dia menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Ho¬nan dari para penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu kehormatan oleh gubernur dan dia sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang gubernur. Melihat betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis se¬tengah tua itu, Siluman Kecil merasa tertarik sekali dan dia pun cepat mem¬bayangi mereka berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika pengemis setengah tua itu telah keluar dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton itu, dan agaknya dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri dengan gerakan cepat sekali. Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam Siluman Kecil yang masih menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan oleh Ciu-lo-¬mo terhadap pengemis itu. Suasana di kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan istana, maka penge¬mis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo, dapat bergerak leluasa dan akhirnya yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari ce¬pat sekali sehingga sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat betapa pengemis itu akan lolos dari pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat mengerahkan khikangnya dan berteriak memberi perintah kepada penjaga pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang. “Tutup pintu gerbang....! Jangan biar¬kan dia lolos....!” Suaranya menggema sampai jauh dan para penjaga pintu ger¬bang mengenal suara Ciu-lo-mo. Apalagi ketika para penjaga yang berjaga di me¬nara pintu gerbang melihat dari atas betapa Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga berlari cepat sekali, mereka cepat¬-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang itu. Pintu besi yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di atas landasan besi. Karena tergesa-gesa didorong oleh perin¬tah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekali¬gus maju memutar alat untuk meng¬gerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju dari kanan kiri itu. Dua buah daun pintu itu sudah ham¬pir tertutup, tinggal dua jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di situ. Empat orang penjaga menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan kaki ta¬ngannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis itu bagaikan burung terbang cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih dua jengkal terbuka. Dia menggunakan kedua tangan menahan dua buah daun pintu. Terjadilah adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si pengemis. Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang tiba-tiba macet itu, namun sia-sia belaka. Dua orang penjaga maju lagi dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu dengan go¬lok, akan tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar dan terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menyelinap me¬lalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah mempergunakan ilmu Sia-kut-¬hoat yang amat hebat sehingga dia de¬ngan mudah dapat menerobos celah dua daun pintu itu dan lolos ke luar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-¬mo telah tiba di situ. “Tolol! Buka pintu!” teriak Ciu-lo-¬mo ketika melihat daun pintu itu kini terus tertutup setelah tidak ditahan lagi oleh tangan pengemis. Mendengar bentakan ini, empat orang penjaga itu ter¬kejut dan cepat memutar lagi alat untuk membuka daun pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan pengejarannya. Para penjaga hanya melongo dan memandang dengan bingung ketika mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu gerbang, tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecli yang terus membayangi mereka berdua. Setelah keluar dari kota, kini penge¬mis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi Ciu-lo-mo yang merasa penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul pengemis itu. Tiba-tiba penge¬mis itu berhenti dan mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang meletus ketika melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja Ciu-lo-mo menjadi makin curiga. Kiranya sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo dengan sikap tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak, “Mata-mata laknak! Engkau tentu seorang mata-mata, hayo cepat berlutut dan menyerah dengan baik-baik daripada ha¬rus kupaksa dengan kekerasan!” “Setan Arak, siapa yang takut ke¬padamu?” Pengemis setengah tua itu membentak. “Mata-mata hina!” Ho-nan Ciu-lo¬-mo marah sekali dan guci arak di tangannya menyambar ganas ke arah kepala pengemis itu. Pengemis itu cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat Ciu-lo-mo menangkis dengan guci arak¬nya. Tenaga mereka seimbang karena ben¬turan dua macam senjata itu membuat keduanya terjengkang akan tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo-¬mo tentu saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis itu demikian lihai, maka dia cepat menubruk dan mengirim se¬rangan bertubi-tubi dengan guci arak dan dengan tangan kirinya. Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan dari balik sebuah pohon besar, Siluman Kecil hanya menonton tanpa mencampuri pertandingan itu kare¬na dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua yang cukup lihai itu. Tiba-tiba Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci arak¬nya menyambar dari bawah menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dah¬syat sekali dan ketika pengemis itu meng¬gerakkan tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main melihat sinar keemasan menyambar ke arah mukanya. Itulah arak yang muncrat dari dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan berbahaya. “Ahhh....!” Pangemis itu menarik kepala¬nya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya menjadi kurang tepat. “Trakkkkk....!” Tongkatnya patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat bangun dan melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang disusulkan oleh Ciu-lo-mo. “Tahan....!” Tiba-tiba terdengar ben¬takan halus dan pada saat itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan te¬tapi dia merasa betapa ada serangkum hawa yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir roboh dan cepat-cepat dia melompat ke belakang dengan kaget sekali, lalu mengangkat muka memandang. Ternyata yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, bersama seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walaupun pakaian mereka sederhana. Siluman Kecil yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong Ciu-lo-mo dari jarak jauh menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenal ka¬kek ini sebagai kakek pembeli sepatu rumput pada nenek penjual sepatu rum¬put, kakek yang memimpin rombongan beberapa orang. Dia menduga-duga siapa gerangan kakek tua yang memiliki kepan¬daian tinggi ini. Sementara itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-¬laki setengah tua, karena dia tahu bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An, komandan Pasukan Garuda yang dulu mengawal Pangeran Yung Hwa! Komandan yang lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam selokan air di bawah tanah. Dan kini komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka tentu saja dia menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa agak sukar untuk memperoleh kemenangan, dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia. Padahal kakek yang tadi hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas merupakan lawan yang amat berat. Ciu-lo-mo tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau dia, di samping kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa menggunakan kekerasan merupakan kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah koman¬dan Souw Kee An dan menebalkan muka berkata ramah, “Ah, kiranya Souw-ciang¬kun yang datang! Kalau Cu-wi ada ke¬perluan dengan taijin, silakan menghadap selagi taijin masih berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya mencurigakan dan saya mengira dia se¬orang mata-mata musuh.” “Hemmm, memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng¬-couw!” Tiba-tiba kakek tinggi tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa. “Dan memang kami ingin bicara dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian pasang di Ceng-couw, seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, kausampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui kami di sini, bukan di istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan menghancurkan ista¬nanya dan menangkapnya sebagai seorang tawanan pemberontak!” Biarpun tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa kedudukannya saat itu kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek kata-kata yang dianggapnya terlalu som¬bong ini. Tiga orang ini berada di wila¬yah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong itu! Agaknya, kakek tua itu dapat membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar demikian keras sehingga bumi sekitar tempat itu seperti tergetar karenanya. Siluman Kecil sendiri memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi menjadi ter¬kejut dan diam-diam dia kagum sekali, di dalam hati memuji kekuatan khikang kakek ini yang ternyata mahir ilmu Sai¬cu-ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu seperti ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya melebihi singa tulen yang kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup membikin pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya. Ciu-lo-mo juga kaget setengah mati, apalagi ketika dia mendengar suara ge¬gap-gempita, suara banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin mem¬basahi leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena dia mengerti apa artinya itu. Kiranya kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan membawa bala tentara yang entah berapa banyak¬nya! “Di sana terdapat selaksa perajurit pilihan yang sudah siap untuk menghan¬curkan daerah ini dan menangkap Guber¬nur Ho-nan kalau dia tidak mau hadir di sini. Nah, kau pergilah!” kata kakek itu dengan sikap penuh wibawa kepada Ciu-¬lo-mo. Ciu-lo-mo bersikap hormat, jantung¬nya berdebar penuh ketegangan. Kakek ini dapat memimpin pasukan yang begitu besar, tahu-tahu sudah memasuki Propinsi Ho-nan tanpa ada penjaga tapal batas yang datang memberi kabar. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek ini memang hebat luar biasa dan bahwa Pro¬pinsi Ho-nan terancam bahaya hebat. Dia menjura dengan hormat dan berkata, “Baiklah, saya akan menyampaikan pesan itu kepada Kui-taijin. Akan tetapi boleh¬kah saya mengetahui siapa gerangan Locianpwe, agar saya dapat memperkenalkan kepada Kui-taijin?” Kakek itu tidak menjawab, bahkan memandang pun tidak kepada Ciu-lo-mo. Adalah komandan Souw Kee An yang menjawab, “Ketahuilah olehmu, Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Beliau ini adalah utusan yang dipercaya oleh Sri Baginda Kaisar untuk menuntut pertanggungan jawab Gubernur Ho-nan atas peristiwa yang terjadi di Ho-nan tempo hari. Dunia kang-ouw mengenal beliau sebagai Sai¬cu Kai-ong (Raja Pengemis Singa) dan secara tidak resmi seluruh perkumpulan kai-pang (persatuan kaum pengemis) me¬mujanya sebagai seorang pemimpin dan pengawas.” Siapakah sebenarnya kakek yang hebat ini? Memang kakek ini hanya terkenal di antara para tokoh dunia pengemis saja, sungguhpun dia tidak pernah berpakaian pengemis. Kakek ini yang berjuluk Sai-¬cu Kai-ong dan dianggap sebagai raja oleh seluruh pengemis yang bagaimana rendah sampai tinggi pun, yang lemah sampai yang sakti, ini sebenarnya ber¬nama Yu Kong Tek dan memang nenek moyangnya dahulu merupakan tokoh-tokoh pengemis yang hebat-hebat. Yu Kong Tek ini masih keturunan dari Yu Jin Tianglo, ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal di jaman Suling Emas! Yu Jin Tianglo mempunyai putera Yu Kang, kemudian Yu Kang mempunyai putera Yu Siang Ki (baca cerita Mutiara Hitam) yang menikah dengan Song Goat puteri seorang berilmu yang berjuluk Si Raja Obat (Yok-ong) dan kemudian suami isteri ini hidup se¬bagai orang-orang biasa dan membuka sebuah toko obat. Biarpun Yu Siang Ki sudah tidak mengurus perkumpulan pe¬ngemis, bahkan telah mengundurkan dlri dari dunia pengemis, namun dia selalu masih menghargai kedudukan nenek moyangnya. Oleh karena itu, turun-menurun keluarga Yu ini masih menggunakan tra¬disi nenek moyang mereka, yaitu di waktu muda mengembara sebagai seorang pengemis untuk menggembleng diri lahir batin! Sampai kepada Kakek Yu Kong Tek, tokoh ini pun tidak pernah melupakan tradisi nenek moyangnya dan biarpun dia sekarang sebagai seorang kakek tidak lagi berpakaian pengemis, namun dia memakai julukan pengemis, yaitu Sai-¬cu Kai-ong! Dan biarpun dia tidak lang¬sung menjadi raja pengemis, namun na¬manya dikenal dan dihormati oleh seluruh kaum pengemis, dari anggauta terkecil sampai dengan para ketua perkumpulan yang berkepandaian tinggi. Bagi para pembaca yang telah membaca, cerita Suling Emas dan cerita Mutiara Hitam, tentu akan bertemu dengan nenek mo¬yang Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek ini. Karena nenek moyangnya di fihak ayah adalah seorang ahli silat yang sakti se¬dangkan dari fihak ibu adalah seorang ahli pengobatan, maka Yu Kong Tek ini selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga mahir ilmu pengobatan. Dia jarang mun¬cul, namun akhirnya dapat menjadi ke¬percayaan kaisar karena komandan Souw Kee An yang memperkenalkan namanya kepada kaisar. Semenjak istana ditinggal¬kan oleh Puteri Milana, kaisar kehilangan orang kepercayaan yang memiliki ke¬saktian, maka banyak ponggawa yang setia memperkenalkan banyak orang-orang pandai, akan tetapi Sai-cu Kai¬-ong memperoleh kepercayan kaisar dan dalam kesempatan ini kepandaian dan kesetiaan tokoh ini diuji oleh kaisar de¬ngan mengutusnya untuk membereskan kekacauan di Ho-nan. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It tidak mengenal kakek ini. Tokoh Ho-nan be¬rambut merah yang lihai ini hanya per¬nah mendengar bahwa di kalangan para pengemis terdapat seorang tokoh yang dijunjung tinggi dan dihormat oleh para pengemis, yang besar sekali pengaruhnya secara turun-temurun dan ilmu silat keluarga tokoh ini kabarnya amat hebat, bahkan menurut dongeng, tidak kalah hebatnya oleh ilmu silat keluarga Suling Emas! Menurut dongeng yang didengarnya, antara keluarga tokoh pengemis itu dan keluarga Suling Emas, dahulu, ratus¬an tahun yang lalu, memang terdapat hubungan yang amat erat, seperti keluar¬ga saja. Seperti dikabarkan orang, ilmu keluarga Suling Emas katanya terjatuh ke tangan keluarga Pulau Es, dan ilmu ke¬luarga pengemis aneh itu entah terjatuh ke tangan siapa. Apakah benar kakek ini keturunan dari keluarga pengemis aneh itu? Hatinya penuh ketegangan dan se¬telah memberi hormat dan berjanji akan menyampaikan semua kepada majikannya, Ciu-lo-mo lalu pergi meninggalkan me¬reka. Setelah jagoan Ho-nan yang berambut kemerahan dan membawa guci arak itu pergi, pengemis setengah tua yang tadi bertanding melawan Ciu-lo-mo segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gagah itu. “Su¬hu!” Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong itu memandang muridnya dan bertanya, “Bagaimana hasil penyelidikanmu?” Pengemis setengah tua itu adalah murid pertama dari Sai-cu Kai-ong dan dia pun hanya menggunakan nama julukan saja, sungguhpun dia masih memperkenal¬kan she-nya (nama keturunannya), yaitu she Gu. Dia berjuluk Gu Sin-kai (Penge¬mis Sakti she Gu). Mendengar pertanyaan gurunya, Gu Sin-kai lalu menceritakan tentang pemilihan pengawal yang diada¬kan oleh Gubernur Ho-nan, sampai dia dicurigai dan dikejar oleh Ho-nan Ciu¬-lo-mo tadi. “Selain itu, teecu juga melihat suatu keanehan luar biasa, Suhu,” sambungnya. “Teecu melihat sute, akan tetapi sungguh mengherankan teecu melihat sute memasuki sayembara pula dan dia berhasil dipilih sebagai pengawal guber¬nur tingkat ke tiga, yaitu sesudah se¬orang pincang gagu dan seorang kongcu yang tampan.” Diceritakanlah jalannya pertandingan pemilihan pengawal itu. Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya yang tebal. “Ahhhhh....! Memang telah kuberitahukan bahwa dia telah tamat belajar dan dia sudah bebas untuk men¬jadi pengemis atau orang biasa, akan tetapi sungguh tidak kuduga mengapa dia mengangkat diri menjadi pengawal Gubernur Ho-nan yang tersesat itu!” Siluman Kecil yang masih mengintai dan mendengarkan, menjadi maklum bah¬wa ternyata Sai-cu Kai-ong yang gagah perkasa itu adalah guru dari Siauw-hong! Maka dia merasa tidak enak untuk meng¬intai terus, apalagi ketika guru dan mu¬rid itu membicarakan urusan mereka sendiri. Dia tidak perlu mendengarkan terus karena bagi dia masih banyak urus¬an menanti, yaitu mencari nenek pencuri dan kemudian mencari pencuri kitab-¬kitab pusaka Suling Emas. Maka keluar¬lah Siluman Kecil dari tempat persem¬bunyian dan dia berjalan pergi. “Eh, apakah dia itu temanmu?” Tiba-¬tiba Sai-cu Kai-ong bertanya kepada Gu Sin-kai. “Teecu tidak mengenal dia, tidak tahu pula bahwa dia berada di sini.” “Ah....!” Sai-cu Kai-ong mengeluarkan suara gerengan seperti singa dan tahu-¬tahu tubuhnya mencelat ke depan dan karena dia menaruh curiga kepada kakek yang diam-diam menyelinap pergi dari tempat persembunyiannya itu, langsung saja Sai-cu Kai-ong mengulur tangan hendak mencengkeram pundak Siluman Kecil dan menangkapnya untuk diperiksa. Dia sedang memimpin pasukan dengan tugas amat penting dari kaisar, maka tentu saja kakek sakti itu harus bersikap waspada terhadap gerak-gerik musuh yang mungkin sudah menyebar mata-mata dan di antaranya barangkali adalah kakek yang hendak ditangkapnya itu. “Wuuuttttt....!” Tangan Sai-cu Kai¬-ong seperti cakar singa yang menyambar, cepat dan kuat bukan main menuju ke pundak kiri Siluman Kecil. “Plakkkkk!” Tanpa menoleh, Siluman Kecil menggerakkan tangannya menang¬kis sehingga dua tangan bertemu di udara. Keduanya tergetar dan Sai-cu Kai-ong yang tubuhnya masih melayang tadi, cepat berjungkir-balik dan turun ke atas tanah dengan mata terbelalak lebar! Sungguh tidak disangkanya bahwa orang itu mampu menangkis cengkeramannya dan bukan hanya mampu, bahkan dia merasa betapa lengannya tergetar hebat! Juga Siluman Kecil merasa lengannya tergetar, tanda bahwa Sai-cu Kai-ong memang benar seorang sakti yang me¬miliki sinkang kuat sekali. Sai-cu Kai-ong makin curiga. Orang yang dapat menangkis dengan kekuatan seperti itu, malah agaknya jauh lebih kuat daripada Ciu-lo-mo tadi, tentulah seorang yang benar-benar merupakan mata-mata pilihan dari Gubernur Ho¬-nan dan merupakan bahaya bagi tugasnya. Maka dengan cepat dia sudah me¬nerjang lagi, kini menambah tenaga da¬lam gerakan tangannya. Di lain fihak, ketika dia merasakan betapa lengannya sendiri tergetar hebat dalam pertemuan tangan tadi, Siluman Kecil menjadi gem¬bira dan ingin sekali dia menguji kehebatan guru Siauw-hong itu, maka ke¬tika melihat kakek gagah itu menyerang dengan cepat dan kuat, dia pun cepat bergerak mengelak dan balas menyerang tidak kalah hebatnya. “Plak! Plakkk!” Kembali ada pertemu¬an tenaga yang dahsyat melalui dua pa¬sang telapak tangan dan keduanya ter¬dorong mundur. “Uhhh....!” Sai-cu Kai-ong makin penasaran, mendengus keras dan menye¬rang lagi. Akan tetapi, Siluman Kecil sudah lenyap dari depannya seperti setan dan tahu-tahu telah menyerangnya dari atas, mencengkeram ke arah batok ke¬palanya. “Hebat....!” Sai-cu Kai-ong meng¬gerakkan tubuhnya miring dan tangannya menyambar, dapat ditangkis oleh Siluman Kecil yang selanjutnya mengeluarkan ilmunya yang mujijat, yaitu gerakan yang amat cepat seperti berkelebatnya kilat, seperti seekor burung yang beterbangan ke sana-sini dengan kecepatan yang mentakjubkan. Namun, dia harus mengakui bahwa daya tahan kakek itu pun hebat sekali sehingga setelah dia berkelebatan dan bertanding sampai lima puluh jurus, barulah dia berhasil melubangi ujung le¬ngan baju kakek itu. “Bukan main....!” Sai-cu Kai-ong melompat ke belakang dan memeriksa lengan bajunya yang sudah bolong! Kalau tidak menghadapinya sendiri tentu dia tidak akan percaya. Biarpun hanya me¬rupakan kekalahan tipis saja, namun ter¬nyata bahwa kakek di depannya ini telah dapat mengalahkannya! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar