Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 42

Pedang Kayu Harum Jilid 042

<--kembali

Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bermacam-macam bentuk tubuh mereka, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biarpun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para penggeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.

"Ha-ha-ha Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.

"Tar-tar-tar!" cambuk di tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali ia terkurung oleh sinar golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.

"Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Kalau aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat macam kalian, percuma saja aku menyebut diri sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam sungguhpun ia terancam bahaya maut dan terdesak terus.

"Ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahhh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!"

Wajah nenek itu menjadi merah dan ia emutar cambuknya makin hebat sehinggaa terpaksa para penggeroyoknya meloncat mundur. Kiu-bwe Toanio menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian telah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku, Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat mendengar akan kejahatan kalian, kalau hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah golok kalian, Majulah!"

Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhunya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini telah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok-kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. Kini sampai menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok.

Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya!

Keng Hong tersenyum dan mengeleng-geleng kepala kalau dia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar. Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya di waktu nenek itu masih muda. Akan tetapi, kalau Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu di waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Wanita itu tentu dilayani cintanya oleh gurunya, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita -wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga. Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Nenek itu kini terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.

Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong meloncat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang penggeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu tiga belas orang itu menjadi kacau-balau. Lima orang lalu membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar.

Tadi dikeroyok tiga belas orang ia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang, begitu ia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk dan urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih dari leher yang sudah rusak lagi. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapapun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja mereka bertiga pun menggeletak dan berkelojotan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya ketika nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja!

"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" kata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.

Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat.

"Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."

"Engkau... Siapakah...?" Nenek itu melebarkan atanya memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau.... engkau muridnya.....!"

Keng Hong mengangguk dan tersenyum. "Benar, Toanio. Aku murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu maupun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku yang mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apabila di waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalaha-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"

Nenek itu wajahnya berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh.... Kau murid Sie Cun Hong...." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.

"Toanio......!" Keng Hong melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tidak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung pada lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya. "Kau kenapa, Toanio.....?" Keng Hong bertanya, khawatir.

"Terluka.... aku... Terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat....."

Keng Hong tadi tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.

"Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"

"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau..... murid Sie Cun Hong...... Aduuuhhh..... Aku kaget dan jantungku....." Ia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... Maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... Tidak jauh hanya kira-kira tiga puluh li dari sini...."

"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat membungkuk hendak memondong nenek itu. Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya.

"Jangan pondong aku!" Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu. "Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong.... ah, Cun Hong, laki-laki tidak setia..... semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."

Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia kepada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.

"Kalau kau mau.... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."

Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih mempunyai pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya. "Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong lalu membalikkan tubuh membelakangi nenek itu sambil berjongkok.

Kiu-bwe Toanio dengan tubuh lemas lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang peyot.

"Tar-tar-tar-tar-tar....!" Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan cabang-cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.

"Aihhh, Tonio, mengapa kau....?"

"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?" Keng Hong menghela napas. Dia memang tentu saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang sudah roboh, sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.

"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Kemana kita harus menuju, Toanio?"

"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biarpun tubuhnya lemas ternyata masih amat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!

Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnnya menurut petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.

"Namamu siapa?"

"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."

"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"

Tentu saja Keng Hong sudah mendengar penuturan gurnya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar sendiri penuturan Kiu-bwe Toanio, maka jawabnya, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."

"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati. "Aku dahulu seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain memiliki wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian ... Hem, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, lalu Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh hati kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku makin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi..... Akhirnya dia meninggalkan aku, tidak mau menjadi suamiku!"

"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"

"Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita! Dia seorang laki laki yang berhati palsu, hanya mempermainkan wanita. Terkutuk!"

Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, mengapa Toanio dahulu suka menyerahkan... Kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu.. begitu.... mudah.....?"

"Setan kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu berahi yang dibangkitkannya! Kalau aku tahu.... ah, kalau aku tahu...." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu di akhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!!"

Keng Hong terkejut sekali ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,

"Apa maksudmu, Toanio?"

"Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"

Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya?

Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya karena semua gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha. Tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.

"Toanio, setelah aku membantumu dan mengendongu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"

"Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kaukira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada dipunggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku."

Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik maupun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan mengkehendaki sesuatu yang tidak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang mengehendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!

Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Biarpun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tidak ada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"

"Tentu saja!"
"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"

"Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.

"Sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang jani. Janji lebih berharga daripada nyawa, tahu?"

"Hemmm, kalau begitu boleh. Harap Toanio turun dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."

"Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi-I-beng ?"

"Tentu, Toanio."

"Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"

Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadamu?"

Sejenak nenek itu berpikir, kemudian berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku."

Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?"

"Cerewet! Bersumpahlah!"

Keng Hong lalu mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata.

"Marilah bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."

Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan KengHong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mujijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw! Keng Hong juga menduga demikian maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.

"Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang amat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi-I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mujijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."

Ia lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia telah memiliki ilmu mujijat yang tak dapat dikendalikannya itu.

"Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya dapat menemukan cara untuk mengatur tenaga mujijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit."

"Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasihati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."

"Agar Toanio bisa mendapatkan penambahan tiba-tiba saya harus mengoper sebagian tenaga saya dengan Toanio, harap Toanio tidak melawan dan meneria sinkang saya itu, sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, kemudian baru saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."

"Lakukanlah, aku siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena ia ingin sekali memiliki ilmu itu.

Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang telapak tangannya ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang amat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya. Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuh dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak.

Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya, sudah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya dan dia melepaskan kedua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkangnya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!

Juga nenek itu duduk bersila sambil memejakan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia merasa seolah-olah hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.

Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat-to kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya terserang lawan, kemudian tiba-tiba menggosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tepat rahasia gururnya.

Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup, maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja ia sudah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih. Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, bersusah payah mempelajari ilmu itu untuk apa?

Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah dimana ia berlatih sambil duduk bersila dan berkata, "Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi-I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!"

Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan wajah nenek itu."Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mepergunakan ilmu apabila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguhpun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca."

"Kitab petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."

"Toanio....."

"Hemmm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya, bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Kalau sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kaupukullah aku sekarang juga."

Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Maka dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!" Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit sinkang untuk menguji "daya sedot" nenek itu.

"Plakkkkk!"

Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel di pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkangnya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkangnnya, otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.

"Jangan lepaskan tanganmu, jangan tarik kembali sinkangmu atau.... engkau akan ku bunuh!"

Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran."Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?" Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio.

"Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi-I-beng! Hanya akulah seorang yang memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah. Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkangnya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Kalau dia menghentikan saluran sinkangnya, tenti nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula. Tidak ada pilihan lain baginya. Ia akan mengisap terus tubuh itu dengan sinkangnya, kemudian sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan dan pura-pura roboh kehabisan tenaga.

"Hi-hi-hik, hawa sinkangmu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhhhh, tubuhku panas....aduh , seperti dibakar...!"

"Hentikan, Toanio, hentikanlah......."

"Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganu atau menarik kembali sinkangmu, hemmm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.

"Toanio...... hentikanlah, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau.... kau akan celaka...."


lanjut ke Jilid 043-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar