Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 37

Pedang Kayu Harum Jilid 037

<--kembali

Kalau mau mencari Keng Hong ke dasar neraka? Apakah artinya itu? Apakah Keng Hong telah mati?

Siauw Lek yang melihat betapa Siauw Lek menjadi seperti kehilangan semangat, seperti telah berubah menjadi arca, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan dia segera menyimpan pedangnya dan menubruk ke arah Biauw Eng dari sebelah kiri gadis itu. Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil di gembleng ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan otomatis melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang datang mengancam, biarpun dia sedang terlena dalam lamunan duka, Biauw Eng merasai serangan ini dan otomatis lengan kirinya bergerak memukul ke arah bayangan yang menubruknya dari kiri! Akan tetapi keluhan lirih terdengar dari mulut gadis ini ketika pundaknya terasa nyeri sekali oleh gerakannya sendiri. Dia lupa akan tulang pundak kirinya yang patah, maka cepat ia memutar tubuh hendak mmenghadapi terjangan lawan dengan tangan kanan. Namun terlambat karena Siauw Lek dan meringkusnya, dan dua kali menotok jalan darah di pungung dan pundaknya membuat Biauw Eng terguling roboh dengan tubuh lemas.

"Keparat jahanam! Jangan menganggu puteriku!" Lam-hai Sin-ni melengking nyaring dan saking marahnya melihat puterinya dirobohkan, gerakan pedangnya menjadi ganas sekali. Tidaklah percuma nenek ini menjagoi di antara datuk-datuk hitam karena memang kepandaiannya hebat sekali. Selain pedangnya bergerak cepat dan sinarnya saja sudah cukup merobohkan lawan, juga setiap dorongan dan pukulan tangan kirinya merupakan sambaran maut yang mematikan Cui Im yang telah mewarisi ilmu-ilmu rahasia yang mujijat merasa kewalahan juga ketika Lam-hai Sin-ni mengamuk dengan nekat. Gadis ini tadinya mengharapkan bekas gurunya untuk mengeluarkan Thi-khi-I-beng, akan tetapi ternyata Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakan ilmu itu sehingga ia menjadi habis sabar dan tidak mau memancing-mancing lagi.

Kini melihat Lam-hai Sin-ni mengamuk, melihat betapa Biauw Eng telah roboh, ia berseru, "Twako, bantulah aku merobohkan monyet tua ini!"

Siauw Lek yang sedang memandang tubuh Biauw Eng dengan hati puas, tertawa dan cepat mencabut pedang hitamnya lalu menerjang maju pembantu Cui Im, mungkin ilmu pedang Siauw Lek tidak sehebat gadis itu, akan tetapi karena diapun sudah mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Chit-kwi dan pengalamannya sudah banyak, tentu saja ia merupakan tenaga bantuan yang hebat pula. Hal ini terasa terdesak hebat setelah murid musuh besarnya itu maju membantu bekas muridnya.

Lam-hai Sin-ni sudah tua dan akhir-akhir ini ia menderita tekanan batin karena keadaan puterinya. Hal ini membuat tubuhnya menjadi lemah dan sering kali ia merasa jemu akan penghidupannya dan bertahun-tahun ia tidak pernah berlatih ilmu silat lagi. Kini ia harus menghadapi penggeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tentu saja ia menjadi repot sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun tetap saja ia makin terdesak dan terhimpit, napasnya mulai memburu dan tubuhnya basah oleh keringat.

"Hi-hi-hik, Lam-hai Sin-ni, belum juga kau keluarkan Thi-khi-I-beng?" Cui Im mengejek dan pedangnya meluncur seperti kilat menusuk ke arah leher bekas gurunya.

"Cringgggg...!" Lam-hai Sin-ni berhasil menangkis akan tetapi ia terhuyung ke belakang dan tangan yang memegang pedang gemetar.

"Nenek tua, mampuslah!" Siauw Lek membacokkan pedang hitamnya dari samping mengarah lambung.

"Trangggggg....!" Kembali Lam-hai Sin-ni yang terhuyung-huyung itu berhasil menangkis, akan tetapi karena keadaan tubuhnya sedang terhuyung, tangkisan ini hampir membuat ia roboh terguling kalau saja ia tidak cepat meloncat dan berjungkir balik.

Ia maklum apa yang ia mengeluarkan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkan ilmu itu, apalagi karena ia tahu bahwa ilu itu tidak akan ada gunanya kalau ia pergunakan terhadap dua orang muda lihai yang tentu saja sudah mengadakan persiapan lebih dulu ini. Biar sampai mati, dia tidak akan memberikan ilmu Thi-khi-I-beng, kalau hal ini yang diinginkan Cui Im!

Ia melawan terus, akan tetapi napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Cui Im mengenal akan kekerasan hati Lam-hai Sin-ni, maka ia tidak dapat mengharapkan akan berhasil membujuk bekas gurunya, akan berhasil membujuk bekas gurunya, dan pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar.

"Cui Im, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Lam-hai Sin-ni yang sudah pening dan sudah gelap pandang atanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Cui Im dengan pedang di depan. Pedang ini menusuk ke arah tubuh bekas muridnya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Julukan ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapt ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan elakan tak mungkin dilakukan karena pedang dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu.

Karena sifat jurus ini maka selama hidupnya Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakannya, maka kini ia benar-benar mengkehendaki mati bersama dengan bekas muridnya yang amat dibencinya itu.

Cui Im terkejut bukan main. Ia mengenal jurus ini dan tahu pula akan kehebatannya, maka cepat ia berkata kepada Siauw Lek, "Twako, tangkis pedangnya!"

Siauw Lek tidak mengenal jurus nenek itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu serangan ini hebat sekali, maka dia cepat mentaati perintah Cui Im dan menggerakkan Hek-liong-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Adapun Cui Im yang percaya penuh akan kesetiaan dan bantuan Siauw Lek, cepat menyusup ke bawah dan menggerakkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah menyambar ke arah kedua kaki bekas gurunya.

"Tranggg....!" Dess...! Crokkkk!!"

Amat cepat dan hebatnya benturan antara tiga orang itu, disusul teriakan kaget dan sakit dari mulut Siauw Lek yang roboh bergulingan dan rintihan perlahan Lam-hai Sin-ni yang roboh terlentang dengan kedua kaki buntung kena disambar pedang merah Cui Im! Siauw Lek bergulingan dan cepat duduk bersila sambil memejamkan atanya untuk mengatur pernapasan agar luka di dalam tubuhnya tidak terlalu hebat akibat pukulan tangan Lam-hai Sin-ni yang mengenai dadanya itu. Ketika ia tadi menangkis pedang Lam-hai Sin-ni , tangan kiri nenek itu otomatis menghantam dan mengenai dadanya membuat ia terpekik dan roboh bergulingan. Adapun Cui Im yang cerdik sudah menyerang kedua kaki Lam-hai Sin-ni tepat pada saat nenek itu memukul Siauw Lek sehingga ia berhasil membabat kedua kaki bekas gurunya itu sampai buntung sebatas lutut!

"Twako, kau tidak apa-apa...?" Cui Im menghampiri Siauw Lek, meraba punggung sahabatnya itu dan membantu Siauw Lek dengan pengerahan sinkang melalui telapak tangannya. Tak lama kemudian Siauw Lek membuka matanya dan mukanya yang tadi amat pucat menjadi merah kembali, tanda bahwa bahaya telah lewat dan dia tidak terluka hebat.

Mereka lalu bangkit berdiri menghampiri Lam-hai Sin-ni yang masih rebah terlentang dengan mata mendelik dan tangan kanan tetap memegang pedang. Darah mengucur keluar seperi pancuran dari kedua kakinya yang buntung.

"Lam-hai Sin-ni, aku telah merobohkan engkau. Sekarang berikan Thi-khi-I-beng kepadaku dan aku akan mengingat akan hubungan antara kita dan tidak akan membunuhmu," Cui Im berkata dengan suara dingin.

Dengan mata mendelik nenek itu memandang Cui Im. "Cui Im murid durhaka, manusia berhati iblis! Biar kau bunuh aku, jangan harap engkau akan dapat mempelajari Thi-khi-I-beng dari ku!"

"Hemmm, nenek keras kepala!" Cui Im berkata gemas.

"Moi-moi, mengapa bingung? Biar dia melihat aku permainkan puterinya, apakah dia masih akan keras kepala atau tidak!" Sambil berkata demikian Siauw Lek menghampiri Biauw Eng yang masih rebah tak bergerak, lemas karena ditotok jalan oleh Siauw Lek.

Lam-hai Sin-ni memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke arah puterinya. Ia maklum apa yang akan dilakukan murid Go-bi Chitkwi itu. Hampir saja ia menyerah, akan tetapi hatinya sendiri yang penuh kekejaman dan kelicikan segera membuat ia berpikir dan berpendapat lain. Kalau dia membuka rahasia Thi-khi-I-beng, apakah murid Go-bi Chit-kwi itu akan melepaskan Biauw Eng? Tak mungkin! Masa dia begitu bodoh. Dan apakah Cui Im benar-benar akan mengampuni nyawanya? Hal ini pun meragukan sekali. Lebih baik dia mati dan biarkan Biauw Eng dihina dan dicemarkan. Hal itu akan baik sekali malah bagi Biauw Eng! Akan mengguncang batin puterinya itu sehingga hatinya dipenuhi dendam, akan menimbulkan kembali semangatnya yang membeku karena cintanya kepada Keng Hong yang terputus. Biarlah! Kelak tentu Biauw Eng akan dapat membalaskan kematiannya.

"Cui Im perempuan rendah dan engkau murid Go-bi Chit-kwi yang hina! Lakukanlah apa yang kalian kehendaki akan tetapi jangan harap aku akan menyerahkan ilmu Thi-khi-I-beng kepada kalian!"

Cui Im menjadi marah sekali."Begitukah? Lam-hai Sin-ni, engkau tahu cara apa yang paling baik untuk menyiksa puterimu? Hi-hi-hik, ingatkah engkau betapa engkau sendiri yang mengajarkanku untuk menyiksa orang?"

"Perempuan keparat, apa pun yang kau lakukan, tidak akan menakutkan hatiku, tak usah banyak cerewet lagi!"

Cui Im menghampiri bekas gurunya itu dan Lam-hai Sin-ni yang kelihatannya sudah lelah sekali itu menggerakkan tangannya dan .... pedang di tangannya meluncur seperti anak panah ke arah dada Cui Im yang berdiri dala jarak amat dekat.

"Iiiiihhhhh..!" Cui Im menjerit dan cepat membuang diri ke belakang. Ia dapat menyelamatkan nyawanya, akan tetapi pedang itu tetap saja menyerempet pinggul kirinya ketika ia bergerak mengelak tadi sehingga bajunya robek dan juga kulit pinggulnya robek berdarah.

"Heh-heh-heh, apa bedanya hidup dan mati? Selisihnya sedikit sekali....!" Lam-hai Sin-ni tertawa mengejek sambil memandang wajah Cui Im yang pucat sekali. Memang harus diakui bahwa nyaris ia tewas di tangan bekas gurunya ia menerjang ke depan, pedangnya mengeluarkan sinar merah dan kedua lengan Lam-hai Sin-ni terlempar, buntung sebatas siku dan darah mengucur keluar. Lam-hai sin-ni sudah buntung kedua kakinya itu secara mengagumkan sekali telah dapat mmenggerakkan tubuhnya sehingga ia duduk tegak dan meramkan kedua matanya. Darah masih mengucur keluar dengan deras melalui kedua lengannya yang buntung dan hanya menetes-netes saja dari kedua kakinya yang buntung. Tiada keluhan keluar dari mulutnya dan wanita tua ini memejamkan mata dan mukanya tidak membayangkan penderitaan.

"Ibu....!" Biauw Eng menjerit. Baru sekarang ia berhasil mengeluarkan suara setelah sejak tadi ia hanya menjerit-jerit di dalam hatinya saja menyaksikan keadaan ibunya. Namun, biar sekarang ia sudah mampu mengeluarkan suara, ia masih belum dapat bergerak dan ia sudah merasa ngeri menghadapi Siauw Lek yang berlutut di dekatnya dan tak dapat di ragukan lagi apa yang hendak diperbuat orang itu terhadap dirinya. Namun, menyaksikan keadaan ibunya, Biauw Eng lupa akan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya sendiri dan ketika ia berhasil membuka kembali totokan yang membuatnya gagu, pertama kali ia berteriak adalah menyebut ibunya. Cui Im berdiri memandang bekas gurunya. Ia maklum bahwa Lam-hai Sin-ni takkan hidup lebih lama lagi dan agaknya nenek itu pun tidak ingin hidup maka membiarkan darahnya mengucur keluar terus. Jeritan Biauw Eng menyebut ibunya membuat Cui Im menoleh dan sepasang alisnya berkerut ketika ia melihat Siauw Lek dengan pandang mata penuh berahi mulai meraba-raba pakaian Biauw Eng dan hendak menanggalkan pakaian gadis itu.

"Twako....!"

Jari-jari tangan yang penuh gairah itu terhenti dan Siauw Lek menoleh. Melihat pandang mata wanita itu, Siauw Lek melompat bangun dan tersenyum memandang Cui Im, "Eh, bukankah kau menghendaki supaya aku..."

"Tidak, Twako, wanita ini harus di bunuh!" Cui Im maju menghapiri Biauw Eng yang kini memandang kepadanya penuh kebencian yang meluap-luap.

"Setelah aku selesai, masih belum terlambat untuk membunuhnya, Moi-moi," Siauw Lek berkata dengan suara penuh harap.

Namun Cui Im mengelengkan kepalanya. "Tidak, dia semenjak dahulu mencela aku yang dikatakannya menjadi hamba nafsu berahi. Dia jijik terhadap pemuas nafsu berahi dan menganggap dirinya suci. Kalau sekarang sebelu mati dia diberi kesempatan merasakan, apalagi mendapat seorang laki-laki sehebat engkau, benar-benar terlalu enak buat dia!"

Siauw Lek menarik napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi dia hanya menggerakkan pundak, tidak berani membantah. Melihat kekecewaan pemuda itu, Cui Im menghampirinya, merangkul lehernya dan memberi ciuman mesra sehingga mau tidak mau Siauw Lek tersenyum kembali dan membalas ciumannya. Mereka berciuman di depan Biauw Eng yang memandang penuh kebencian.

"Twako, kekasihku yang baik, jangan murung dan kecewa. Aku hanya ingin melihat dia yang kubenci ini mampus tanpa merasai kenikmatan hidup. Jangan khawatir, setelah selesai urusanku di sini kita pesta, aku akan mmencarikan perawan-perawan jelita untukmu." Siauw Lek tertawa girang. Dia tahu apa artinya pesta yang dimaksudkan Cui Im. Sudah beberapa kali mereka mengadakan pesta seperti itu dan selama dalam petualngannya belum pernah ia merasai kesenangan seperti pada saat-saat itu. Cui Im lalu menghampiri Biauw Eng dan berlutut di dekat tubuh bekas sumoinya itu, wajahnya yang ayu tampak menyerakan penuh kekejian.

"Engkau perempuan tak berjantung! Bunuh saja aku!" Biauw Eng marah sehingga hanya dapat mendesis ucapan singkat itu.

"Hi-hi-hik, tentu saja, akan tetapi tidak begitu enak bagimu. Ibumu masih terlalu enak, tidak terlalu lama menderita, akan tetapi engkau lain lagi. Aku harus membuatmu menderita sampai lama sebelum mati. Cukup dengan sebatang jarum saja, Biauw Eng. Engkau mengenal jarum-jarum merahku, tahu bahwa sekali ku tusukkan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) ke jalan darah tiong-cu-hiat ditengkukmu, racunnya akan perlahan-lahan menyiksamu dan baru setelah dua belas jam racun itu akan merusak jantungmu dan membunuhmu." Setelah berkata demikian, Cui Im mengeluarkan sebatang jarum merah dan dengan muka penuh kegemasan ia menancapkan jarum itu pada tengkuk Biauw Eng, tepat pada jalan darah yang dikehendakinya.

Biauw Eng yang tak dapat bergerak itu tentu saja hanya dapat memejakan mata menahan nyeri, dan begitu jarum ditusukkan, ia merasa betapa tengkuknya mulai gatal-gatal. Maklumlah ia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Biauw Eng mengerti akan hal ini akan tetapi dia tidak takut, hanya penasaran.

"Cui Im , mengapa engkau begini membenci aku?"

"Mengapa? Karena engkau sudah lancang berani mencinta Keng Hong!" kata Cui Im sambil bangkit berdiri.

"Keng Hong.... ah apakah dia masih hidup? Di manakah dia..?"

Cui Im membanting kakinya. "Huh, ternyata sampai detik ini engkau masih mencintanya! Hi-hi-hik, dengarlah, aku tidak hanya akan menyiksa batinmu sehingga sampai mati engkau akan menjadi setan penasaran! Dengar baik-baik. Sampai detik ini Keng Hong masih hidup, akan tetapi aku telah menjebaknya di sebuah tempat yang takkan dapat dikunjungi manusia lain dan dia sendiri selama hidupnya takkan dapat keluar! Dia akan mati kering di tempat itu, hi-hi-hik, dia akan mati merindukanmu!"

"Ooohhhhhh...!" Biauw Eng yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan menghadapi siksaan yang ia tahu akan amat sengsara sebelum ia mati, akan tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Keng Hong.

"Dan engkau tentu belum sadar, ya? Mengapa Keng Hong membencimu? Mengapa dia melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, di dalam sidang pengadilan Kun-lun-pai? Engkau dituduh membunuh murid-murid perempuan Hoa-san-pai, murid-murid partai lain? Hi-hi-hik, bekas sumoiku yang cerdik pandai, yang lihai ilmu silatnya, mengapa?" Biauw Eng sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya.

Mulai terasa berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seolah-olah ada semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepala! Akan tetapi ucapan bekas sucinya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya lemah.

"Mengapa? Apakah engkau tahu mengapa?"

"Hi-hi-hik, tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam."

"Setan....! Kau... Kaukah yang melakukannnya menyamar seperti aku?" Biauw Eng membelalakkan matanya."Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?"

Karena kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau dimusuhi dunia kang-ouw dan.. Dan aku membunuh setiap wanita yang diterima cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hi-hik, aku membunuh murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasai kehangatan cintanya. Dan sekarang kubunuh pula engkau...."

"Moi-moi, demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya.

Cui Im menggeleng kepala. "Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya, masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?"

"Cui Im, engkau.... engkau.... manusia berhati iblis...."

"Hi-hi-hik, lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng? Ibumu adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, golongan datuk-datuk hitam, manusia-manusia sesat dari dunia hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain? Sekarang engkau rasakanlah penderitaanmu. Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat, nyawamu takkan tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang menganggap engkau wanita kejam.

***

Yang menganggap engaku sama saja dengan aku yang malam-malam datang merayu dan mengemis cintanya! Engkau akan mati dan menjadi setan penasaran!"

"Biarpun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak dan wajah Cui Im menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam suara bekas sumoinya ini yang membuat ia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ia menutupi rasa ngerinya itu dengan suara ketawa terkekeh, kemudian menggandeng tangan Siauw Lek dan di ajaknya laki-laki itu pergi dari pantai selatan, meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah dan Biauw Eng yang mulai tersiksa rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya.

Biarpun sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoinya, dan sudah berada di sebuah kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, namun Cui Im masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoinya. Ia membayangkan betapa sumoinya itu telah tewas, menjadi setan penasaran dan selalu mengejar hendak mencekiknya! Dia tidak gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi melawan setan penasaran? Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam kamar di sebuah gedung ini. Dengan kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek, malam ini mengadakan "pesta". Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak mungkin terpikirkan manusia lain. Mereka berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga ornag perawan remaja yang cantik-cantik, kemudian membawa mereka berenam ke dalam sebuah kamar dari gedung yang kini kosong karena semua penghuni gedung telah mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya.

Mereka memaksa dengan ancaman tiga orang pemuda dan tiga orang gadis itu untuk melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah berahi dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di depan tiga orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, seperti enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan. Dan pada keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan san kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam sosok mayat tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah!

Biauw Eng masih rebah miring, tak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang berbunyi: DI TEMPAT INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK.

Kemudian Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika ia melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah tewas dan hanya kekerasan hati ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Dan dia sama sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong.

Biauw Eng mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya mulai terasa amat sakit-sakit terutama sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api. Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlalu hebat sehingga tidak sampai membuatnya pingsan. Ia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas sucinya itu. Memang ini yang dikehendaki oleh Cui Im.

Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus merasai siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya dan dia mati dalam keadaan yang amat menderita.

Akan tetapi bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. Melihat ibunya mati demikian mengenaskan, menghadapi kematiaannya sendiri yang amat terhina, dan memikirkan Keng Hong, benar-benar merupakan siksaan batin yang membuat dia hampir menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im!

Dia belum mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati, mengapa putus asa? Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong, menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat tertolong? Andaikata ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerakpun ia tidak akan dapat menolong nyawanya. Untuk mengobati racun jarum merah, dia tidak mempunyai obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya. Untuk menyedot dan mengeluarkan racun tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di tengkuknya? Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun itu, tidak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta!

Biauw Eng memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah ini lagi penderitaannya? Apakah dalam saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami penghinaan, perkosaan dari seorang pria?

Tentu Siauw Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali, terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpanya dengan mata terbuka. "Aiiiihhh, terlalu keji iblis betina itu..." Terdengar suara seorang laki-laki yang berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang disangkanya pingsan. Mendengar bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik keatas. Wajah yang tampan seorang pemuda yang usianya amat muda, paling banyak dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap yang gagah dan sopan.

"Ah, syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona."

"Dapatkah engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng bertanya, sikapnya tenang.

"Aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan darah mana yang harus ditotok?"

"Jalan darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak. Bukan ditotok, melainkan dibebaskan.."

"Wah, sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakanlah di mana adanya obat penawar racun jarum ini, dan aku akan..."

"Hemmm, tidak ada obat penawarnya!" Biauw Eng putus asa. Dia tadi inta dibebaskan hanya agar dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga membebaskannya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkat lagi,

"Engkau siapakah? Mengapa kesini?"

"Aku she Sim, bersama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau puterinya, untuk.... untuk membalas dendam atas kematian ciciku!"

"Uhhhh, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?" Biauw Eng bertanya penuh keheranan.

"Membalas dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi, ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi, merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua.

Kemudian aku mengerti engkau telah terkena fitnah iblis betina itu, selama ini aku mengutuk namamu, menganggap engkau pembunuh ciciku, dan aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh, kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus! Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?"

"Sudah kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan aku pun sendiri tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku amat berterima kasih kepadamu, Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Kalau engkau sudi untuk merawat ibuku... Mengubur jenazahnya.... biar sampai mati pun aku akan amat berterima kasih kepadamu...." Suara Biauw Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, bahkan jenazahnya pun tak mampu ia merawat dan menguburnya!

"Ah, tentu... Tentu ah, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis betina itu kejam sekali...!" Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya. Melihat betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit, dahi yang halus itu penuh peluh, ia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan penuh iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu masih berserakan disitu. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng.

Ketika tidak mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya, "Sim- enghiong, apakah ibuku.. sudah meninggal ?"



"Be.... benar, Nona.."

***


lanjut ke Jilid 038-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar