Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 010

Petualang Asmara Jilid 010

<--kembali

Kakek itu menggeleng-geleng kepala, seolah-olah masih tidak mau percaya dengan pandang matanya sendiri. “Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?”

“Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di sini engkau dapat menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di tempat berbahaya ini?”

“Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi Kiok.”

“Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, kau hanyut sehari masih hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!”

“Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?” Kakek itu bertanya sambil memandang kagum. Sekilas pandang saja ia tahu bahwa benda itu terbuat dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!

“Ah, ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, malah terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan temyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh indah...”

“Coba aku melihat sebentar,” kakek itu berkata.

Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang memandangnya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu tersenyum.

“Bi Kiok, engkau manis sekali!” Kun Liong berkata dengan tulus.

Sepasang mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab, “Kun Liong engkau... lucu sekali!”

Agak tersinggung hati Kun Liong. Dia dianggap apakah? Masa dikatakan lucu? Akan tetapi dia melanjutkan, “Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan matamu.”

“Dan engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu.”

Kedua pipi Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat bahwa anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang muka dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan memandang kakek yang agaknya menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya.

“Bagaimana, Kek? Berhargakah benda yang kutemukan itu?”

Kakek itu membalikkan tubuh memandang Kun Liong, mukanya berubah sungguh-sungguh, dan dia berkata dengan suara gemetar. “Berharga? Aihhh, anak baik. Engkau telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!”

“Hemm... pusaka? Apa sih harganya benda kuno seperti itu? Hanya mengkilap dan bagus dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku.”

“Ah, laparkah engkau, Kun Liong?” tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

Kemarahannya terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-cepat Kun Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin, “Tidak!”

“Tadi kau bilang...”

“Bi Kiok, perlukah bertanya lagi? Dia hanyut di sungai sehari lamanya dan kau masih bertanya apakah dia lapar?” Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam dia memandang Kun Liong penuh perhatian. Maklumlah dia bahwa anak laki-laki ini bukan bocah sembarangan, bukan anak dusun yang bermain-main dengan perahu dan hanyut. Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya menunjukkan bekas pendidikan orang pandai.

“Yap-kongcu, pakaianmu basah semua, engkau tentu lelah dan lapar. Marilah ikut bersama kami. Ketua kami tentu akan girang sekali melibat bokor ini, dan akan memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang tak ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua kami.”

Kun Liong mengerutkan alisnya. “Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek? Apanya yang berharga?”

“Kalau hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah tutupnya ini.”

Kun Liong menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka sedikit. Dia melihat coret-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di sebelah dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apalagi membaca huruf-hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup itu melekat kuat sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu mencegah,

“Tak mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tidak salah menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun. Entah sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu tanpa hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil menemukannya. Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh manusia!”

Kakek itu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong memandangi bokor yang dipangkunya. Ah, tentu sebuah pusaka kuno yang amat langka, pikirnya.

“Kakek yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?”

Kakek itu menghela napas panjang sebelum menjawab, kemudian sambil tetap mendayung perahunya, dia berkata perlahan, “Yap-kongcu, keadaan ini sungguh luar biasa anehnya. Selama bertahun-tahun, kami semua menutup mulut dan bokor ini tidak pernah disebut-sebut, sungguhpun kami tak pemah berhenti mencarinya. Orang luar sama sekali tidak tahu akan bokor ini dan kami dilarang untuk menceritakannya kepada siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi, karena engkaulah orang yang kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau berhak untuk mengetahui riwayatnya. Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor inilah yang kami cari selama ini. Yang dapat memastikan aseli dan tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang pernah melihat bokor ini.”

Kun Liong melupakan rasa dingin dan laparnya. Hatinya tertarik sekali karena dari kata-kata dan sikap kakek ini, dia dapat menduga bahwa tentu bokor ini mempunyai riwayat yang amat menarik. Pula, sikap dan kata-kata kakek itu mendatangkan rasa suka di hatinya terhadap kakek itu yang dia duga tentulah seorang ang berwatak jujur dan baik.

”Bokor ini mula-mula dikenal orang ketika Panglima Besar The Hoo yang diangkat oleh Kaisar menjadi laksamana memimpin armada yang berlayar ke barat dan selatan belasan tahun yang lalu. Karena mengandung rahasia yang amat berharga, bokor dijadikan rebutan orang-orang dunia persilatan yang memiliki kesaktian tinggi dan akhirnya lenyap. Laksamana The Hoo sendiri mengutus para pembantunya mencari, namun hasilnya kosong belaka. Menurut penuturan kepala kami, akhimya bokor itu berhasil didapatkan oleh kepala kami yang menjadi seorang di antara anggauta pengawal Laksamana The Hoo yang bertugas mencari bokor. Akan tetapi malang baginya, ketika dia membawa bokor itu dengan perahu melalui sungai ini, perahunya diserang banjir seperti yang kaualami, perahunya pecah dan bokor itu terjatuh ke dalam sungai. Demikianlah, ketua kami tidak berani melapor, takut menerima hukuman. Dia mengajak kami dan anak buah untuk mencari bokor, sampai sekarang sudah berjalan lima enam tahun tanpa hasil, dan tahu-tahu hari ini, engkau muncul dengan bokor di tangan, muncul dari dalam air! Bukankan hal itu amat ajaib dan mengejutkan sekali?”

Kun Liong memandang bokor di tangannya. “Rahasia apakah yang dikandung benda ini?” Dia mengintai lagi dari celah di bawah tutup, akan tetapi setelah air yang membasahi sebelah dalam bokor mengering, huruf-huruf itu lenyap dan tidak tampak lagi.

Kakek itu menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu apa rahasianya, hanya yang pasti, rahasia itu amat berharga sehingga orang-orang seluruh kang-ouw saling berlumba mendapatkan bokor ini.”

Tak lama kemudian mereka mendarat di sebelah kiri sungai, dalam sebuah hutan. Tampak beberapa orang laki-laki menyambut dan begitu mereka mendengar penuturan singkat dari Yo-lokui, mereka berlari-lari dengan air muka berubah tegang. Sambil memondong bokornya dan tahu bahwa benda itu amat dihargai sehingga dia merasa dirinya penting, Kun Liong mendarat dan mengikuti kakek Yo bersama cucunya. Dengan wajah berseri-seri Kun Liong melihat betapa ada belasan orang muncul dan mengiringkan mereka sambil berbisik-bisik dan mata semua orang itu memandang ke arah bokor di tangannya dengan penuh takjub.

Mereka memasuki sebuah rumah papan yang amat besar dan agaknya itulah satu-satunya bangunan di tempat sunyi itu sehingga diam-diam Kun Liong menjadi heran sekali. Tempat itu amat sunyi, hanya ada sebuah rumah besar dan tampak tiga buah perahu lain di tepi sungai. Tidak mungkin perkampungan nelayan hanya dihuni oleh belasan orang ini dengan sebuah rumah! Juga dia tidak melihat wanita atau anak-anak di tempat itu kecuali Bi Kiok, cucu kakek Yo! Tempat apakah ini?

Seorang laki-laki setengah tua yang gemuk menyambut mereka. Yo-lokui cepat memberi hormat kepada laki-laki gendut ini sambil berkata, “Saya membawa berita baik sekali untuk Phoa-sicu!”

“Ah, aku sudah mendengar pelaporan orang-orang kita, Yo-twako. Inikah anak itu? Dan bokor itu... hemmm, harus diperiksa dulu asli atau tidaknya.” Si Gendut itu tertawa-tawa ramah dan wajahnya berseri, akan tetapi ketika sepasang matanya memandang ke arah bokor, Kun Liong menangkap sinar berkilat yang aneh dan kejam sehingga dia terkejut bukan main dan mengambil keputusan untuk bersikap waspada terhadap Si Gemuk yang mencurigakan ini. Pula, dia benar-benar tidak mengerti apa hubungan Kakek Yo dengan Si Gendut, yang disebut Phoa-sicu (tuan yang gagah she Phoa) ini.

“Kakek Yo, siapakah dia ini?” tanyanya dan kelihatan meragu untuk memasuki rumah besar itu.

“Yap-kongcu, inilah ketua kami, Phoa Sek It Si Golok Maut yang amat terkenal di dunia kang-ouw,” jawab Yo-lokui, kelihatan tidak enak menyaksikan sikap Kun Liong demikian kurang hormat terhadap ketuanya.

Akan tetapi Phoa Sek It tersenyum lebar dan membungkuk ke arah Kun Liong, berkata ramah, “Silakan, Yap-kongcu. Silakan masuk dan harap jangan khawatir. Kita berada di antara sahabat sendiri dan kedatanganmu seperti kedatangan seorang malaikat pembawa berkah terhadap kami. Heii! Carikan pakaian pengganti Yap-kongcu yang basah dan persiapkan hidangan panas untuk kita sekalian, juga bersihkan kamar untuk tempat tidur tamu kita!” Teriakan itu ditujukan kepada anak buahnya yang segera pergi melaksanakan perintah itu.

“Biarlah aku tidur bersama Kakek Yo saja, harap tidak perlu repot-repot, Paman Phoa,” kata Kun Liong kepada Si Gendut itu.

Si Gendut mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Yap-kongcu, sesuka hatimulah. Bolehkah aku melihat bokor itu?”

Kun Liong yang masih curiga, menoleh ke arah kakek itu dan kakek itu mengangguk kepadanya. Kun Liong menyerahkan bokor yang dipegangnya kepada Si Gendut yang menerimanya dengan mulut tersenyum lebar, akan tetapi kembali tampak oleh Kun Liong sinar mata aneh yang menyeramkan menyorot keluar dari sepasang mata Si Gendut ketika dia menerima bokor.

“Yo-twako, harap suka melayani dan menjamu makan Yap-kongcu. Aku harus meneliti bokor ini dengan tenang di dalam kamar, untuk menentukan apakah benda ini aseli ataukah bukan. Engkau tahu, sudah bertahun-tahun aku tidak melihatnya sehingga aku hampir lupa lagi.” Tanpa menanti jawaban, Si Gendut membawa bokor masuk ke dalam dan lenyap di ruangan dalam.

Yo-lokui, ditemani oleh cucunya dan para anggauta rombongan itu, mengajak Kun Liong makan minum setelah memberinya serangkai pakaian yang dipakai oleh Kun Liong sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Mereka makan minum dan ngobrol gembira dan kembali Kun Liong merasa heran karena masakan yang dihidangkan cukup mewah seperti masakan kota. Padahal tempat itu amat sunyi. Dari mana mereka mendapatkan bumbu-bumbu yang lengkap? Mungkin membeli dari kota, pikirnya. Betapapun juga, dia merasa makin terheran benar ternyata bahwa di tempat itu benar-benar hanya terdapat sebuah rumah ini yang dihuni bersama-sama sebanyak lima belas orang termasuk Kakek Yo dan cucunya, sedangkan Si Gendut itu menjadi pimpinan mereka. Semua ini dia ketahui dari percakapan antara mereka.

“Mengapa Cuwi (Kalian) tinggal di tempat yang amat sunyi ini, tinggal serumah dan tidak mempunyai keluarga?” Dia mengajukan pertanyaan sambil memandang sekeliling. Orang-orang itu berdiam, tidak dapat menjawab. Yo-lokui yang duduk di sebelah kanannya segera menjawab,

“Kami memang tidak mempunyai keluarga, dan tanpa keluarga, perlu apa membuat rumah sendiri-sendiri? Satu-satunya keluarga hanyalah cucuku ini yang sudah yatim piatu pula.”

“Akan tetapi pekerjaan Cuwi sebenarnya apakah?”

“Aihh, perlukah kau bertanya lagi, Kongcu? Kami adalah nelayan-nelayan dan... seperti telah kauketahui, di samping mencari ikan, kami pun berusaha mencari bokor itu...” Tiba-tiba kakek Yo menghentikan kata-katanya, karena tanpa mereka ketahui, Phoa Sek It yang gemuk itu telah berdiri di pintu dan memandang ke arah Kakek Yo dengan mata mengandung sinar menakutkan! Dalam pandangan itu sudah tercurah semua teguran ketua ini, maka Kakek Yo cepat berkata dengan suara gugup,

“Phoa-sicu, saya rasa sebagai penemu benda itu, dia berhak untuk...”

“Cukup! Kalau sudah selesai makan, kalian tidurlah. Aku sedang sibuk mengadakan penelitian, tidak suka diganggu suara-suara ribut!” kata Si Gendut yang kembali menghilang ke dalam.

Suasana menjadi hening seketika, dan agaknya semua orang merasa takut sekali terhadap Sang Ketua itu. Kembali Kun Liong merasa heran dan tidak senang. Dia melihat betapa semua orang mulai menyingkirkan sisa-sisa makanan tanpa banyak cakap lagi dan mulai mengundurkan diri.

“Yap-kongcu, marilah kita mengaso ke kamarku,” kata Kakek Yo sambil menyentuh tangan Kun Liong.

Anak itu mengerutkan alisnya dan membantah perlahan, “Kakek Yo, aku minta supaya bokor dikembalikan dulu kepadaku.”

Kakek itu kelihatan terkejut dan khawatir, memegang tangan anak itu sambil berkata lirih, “Benda itu sedang diteliti oleh ketua kami, Kongcu. Percayalah besok tentu akan ditukar dengan benda-benda berharga lain. Jangan khawatir, aku yang menanggung bahwa benda itu tidak akan hilang.”

Mendengar ini, terpaksa Kun Liong menurut. Dia memandang kepada Bi Kiok dan timbul rasa kasihan di hatinya. Anak ini tinggal tanpa kawan di antara orang-orang ini! Bi Kiok juga memandang kepadanya dengan matanya yang lebar dan jernih. Seketika lenyaplah kemarahan Kun Liong terhadap anak perempuan itu dan digandengnya tangan Bi Kiok. Gadis cilik itu tersenyum dan kelihatan girang sekali ketika mereka berdua mengikuti Yo-lokui masuk ke dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu.

Kamar itu cukup bersih, akan tetapi amat sederhana dan baunya tidak enak, amis karena di sudut-sudut kamar itu terdapat keranjang-keranjang, jala, peti-peti, dayung dan lain-lain perlengkapan mencari ikan. Agaknya keranjang-keranjang kosong bekas ikan itulah yang bau amis. Akan tetapi karena sudah biasa, Bi Kiok dan Yo-lokui tidak terganggu oleh bau ini, berbeda dengan Kun Liong yang begitu masuk kamar, cuping hidungnya berkembang-kempis diserang bau amis.

Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang dikerudung tirai tua, dan di situlah Bi Kiok tidur. Sedangkan Kakek Yo sendiri tidur di sebuah pembaringan dari bambu, beralaskan tikar, berbeda dengan pembaringan Bi Kiok yang diberi kasur tipis dari daun kering.

“Pakailah pembaringan Bi Kiok, biar dia sementara tidur bersamaku,, Yap-kongcu,” kata kakek itu.

“Ah, tidak, Kek. Aku tidak mau mengganggu Adik Bi Kiok.”

“Tidak apa Kun Liong...”

“Ihh, jangan kurang ajar engkau, Bi Kiok. Sebut dia Yap-kongcu!” kakeknya menghardik.

“Aaahhh, biarlah, Kakek Yo. Aku pun tak ingin disebut kongcu.”

“Setidaknya dia lebih tua daripada kau, Bi Kiok.”

“Kalau begitu biarlah aku menyebutnya twako (kakak), bolehkah Kong-kong?”

“Aaahh, tentang sebutan, mengapa repot-repot benar? Tentu saja kau boleh menyebutku apa saja, Bi Kiok.”

“Kalau begitu, aku seperti adikmu sendiri, Liong-twako (Kakak Liong). Maka, jangan kau sungkan-sungkan, pakailah pembaringanku. Aku tidur bersama Kong-kong, dan memang kadang-kadang aku mengungsi ke pembaringan Kong-kong kalau aku takut.”

“Takut? Takut apa?” Kun Liong bertanya.

“Hi-hik, kadang-kadang aku takut setan... setan. Apalagi sehabis diceritakan oleh Kong-kong tentang siluman dan iblis.”

Kakek dan cucunya itu tertawa sehingga Kun Liong juga ikut tertawa. Berada di antara kakek dan cucunya ini, mendengarkan kata-kata Bi Kiok yang lucu dan suaranya yang merdu, lenyaplah segala ketegangan dan kekhawatiran yang timbul di ruangan tengah ketika Sang Ketua muncul tadi.

“Biarlah aku tidur bersama kakekmu, Bi Kiok. Kau tidurlah di pembaringanmu sendiri. Aku tidak malu atau sungkan, melainkan aku masih ingin bercakap-cakap dengan Kakek Yo.”

Akhirnya Kun Liong berbaring di dekat kakek itu dan tak lama kemudian sudah terdengar pernapasan yang panjang halus dari Bi Kiok, anak itu telah tidur pulas.

“Kasihan sekali cucumu itu, Kek. Mengapa kauajak dia hidup di tempat seperti ini?” Kun Liong berbisik, menegur Kakek di sebelahnya itu.

Yo-lokui menghela napas paniang, “Ya, kasihan sekali dia. Akan tetapi, aku tidak dapat berbuat lain, Kongcu. Karena terpaksalah maka aku membawanya hidup tempat ini. Akan tetapi tidak lama lagi. Benda itu telah ditemukan, selain kau akan menerima hadiah besar, juga kami akan mendapat bagian sehingga aku dapat mengajak Bi Kiok pindah ke kota besar, hidup cukup dan seperti manusia lumrah, tidak seperti sekarang ini.” Kembali kakek itu menarik napas panjang penuh harapan.

“Mengapa engkau terpaksa mengajaknya hidup di tempat ini Kek? Dan siapakah sebetulnya Phoa Sek It itu? Kulihat dia bukan manusia baik-baik…”

“Ssstt... perlahan bicara dan hati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan anak biasa, Kongcu. Biarpun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak perlu kuingat lagi, akan tetapi besar harapanku kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi...”

Kun Liong mengangguk dan kakek itu mulai bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintah Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun. Sebagai seorang pelarian, dia terpaksa mengajak cucunya sembunyi-sembunyi dan keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini mempunyai banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga baik-baik.

Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun amat luar biasa, karena Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut. Si Gemuk ini adalah seorang bekas angguta pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Ketika mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang kaya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya! Tidak ada orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi yang kesemuanya gagal, bahkan ada yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.

Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It menjadi bingung. Setelah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada saat itulah dia dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.

“Selama bertahun-tahun kami mencari bokor. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-sicu, kami terus bertahan dan sekarang bokor telah ditemukan, berarti akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!” Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya.

“Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek.” kata Kun Liong. Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur, agaknya lelah bercerita dan harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas.

Kun Liong sebaliknya tak dapat tidur gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur kakek itu amat mengganggunya apalagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya makin gelisah. Akhirnya dengan perlahan agar jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di pinggir sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendelngar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak berkelebat bayangan keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah!

Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir lagi, terus saja dia tutup peti bundar, memasukinya dan menutup kembali dari dalam!

Setelah ia mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek Yo lebih dulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari tubuh yang gendut itu Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat! Orang berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, menggerakkan golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihunjam golok. Kakek itu kelihatan terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus. Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat, menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri mencari-cari, agaknya mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar lengan tangan Bi Kiok.

“Aihhh…, lepaskan aku...! Kong-kong…!” Bi Kiok menjerit-jerit akan tetapi orang gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar.

Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan mengerikan sekali dia menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi. Kun Liong cepat lari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai. Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu yang dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya sudah merasa lega dan aman kaena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di pinggir agar aman. Ketika dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas! Dia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak buahnya, timbul pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini. Siapa kira, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, berkerut alis Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan?

Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika perahunya terguling diterjang air bah. Begitu ia melihat benda itu, timbullah sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka harus dibunuhnya, dan karena dia tidak ingin kehilangan sebagian harta benda untuk menghadiahi mereka, akan tetapi terutama karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu dan kalau mereka tidak dibunuh dan sampai rahasia itu tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentu Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, menemukan, dan menghukumnya.

Phoa Sek It sudah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah, dan tiga belas orang pembantu lain dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti. Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau menaruh iba hatinya melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul berahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok!

Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia melihat kong-kongnya telah tewas dalam keadaan mengerikan, dan betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain sehingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban.

lanjut ke Jilid 011-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar