Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 004

Petualang Asmara Jilid 004

<--kembali

Dua orang temannya terbelalak dan tidak berani maju mendekat ketika mendengar bahwa ular itu beracun. Kun Liong mangambil sebatang ranting, memegangnya dengan tangan kiri, menghampiri ular itu dan menggunakan rantingnya untuk mengusirnya. Ular itu mendesis marah, apalagi ketika perutnya disogok-sogok oleh ranting dan tiba-tiba kepalanya bergerak meluncur dan menggigit ranting yang dipegang tangan kiri Kun Liong. Anak ini cepat menggerakkan tangan kanan, menyambar ke arah kepala ular dan menangkap lehernya, mencengkeram dengan cara ahli sehingga ular itu tidak mampu melepaskan diri. Tubuh ular itu berkelojotan menggeliat dan mulai membelit lengan Kun Liong, akan tetapi jari-jari tangan kiri Kun Liong sudah mengetuk tengkuk ular itu beberapa kali dan tiba-tiba ular itu menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

“Nah, sudah jinak. Ada yang membawa pisau?”

“Aku mempunyai pisau kecil,” Si Gundul berkata, mengeluarkan sebatang pisau kecil dari saku bajunya yang rombeng.

“Lekas kuliti dia. Aku mau mencari beberapa ekor lagi.”

“Ihhh, aku... aku tidak berani!” Si Gundul berkata.

“Aku takut digigit,” Si Kurus menyambung.

“Bodoh. Dia sudah tidak dapat menggigit lagi. Penggal lehernya di belakang warna hitam itu. Racunnya berkumpul di sana dan dari tempat itu ke bawah tidak ada racunnya. Buka kulitnya bagian perut ke belakang, kemudian tarik ekornya, tentu kulitnya terlepas.”

“Kau saja yang mengulitinya,” kata Si Gundul ragu-ragu.

“Dan kau yang mencari ular lain?”

“Aih, siapa berani? Seekor ini pun cukuplah, untuk kau sendiri.”

“Dalam keadaan kelaparan seperti ini, tiga ekor pun akan habis olehku sendiri, belum untuk kalian berdua!” kata Kun Liong. “Lekas kerjakan, aku akan pergi mencari lagi.” Dia lalu pergi memasuki semak-semak belukar, meninggalkan dua orang anak jembel yang masih saling pandang itu.

Ketika Kun Liong kembali ke tempat itu dan membawa empat ekor ular lagi, ada yang hijau seperti ular pertama, ada yang hitam, ada yang belang dan kemerahan, kesemuanya masih, hidup akan tetapi sudah lemas seperti ular pertama. Dua orang anak itu terbelalak keheranan dan juga penuh kagum. Mereka sendiri dengan penuh rasa takut memaksakan diri dan akhirnya setelah dengan susah payah berhasil. juga menguliti ular pertama. Melihat betapa daging ular banyak yang terpotong, Kun Lion menjadi tidak sabar, minta pisau itu dan menguliti ular-ular itu dengan cepat dan mudah. Mula-mula dipenggalkan leher ular, kemudian kulit di bagian leher dibuka sedikit, dengan pisau dia menusuk daging setelah menyingkap kulitnya bagian leher, terus menancapkan ujung pisau pada batang pohon sehigga tubuh ular tergantung. Setelah itu, dia “melepaskan” kulit ular itu dari tubuh ular, seperti orang melepas kaos kaki dari kakinya saja!

Sibuklah dua orang anak jembel itu membuat api dengan batu api. Biarpun mereka tadi merasa jijik melihat ular-ular itu, setelah dikuliti dan tampak dagingnya yang putih bersih, melihat pula cara Kun Liong menguliti ular demikian mudah dan biasa, timbul keinginan tahu mereka untuk mencicipi daging ular panggang.

Setelah daging ular masak dan dua orang anak itu mencoba mencicipinya, mereka tercengang dan menjadi girang sekali, menyerbu daging ular dengan lahapnya, terutama sekali Si Gundul.

“Wah, benar gurih dan manis!” serunya girang.

“Lezat sekali, belum pernah aku makan daging seenak ini!” kata Si Kurus.

Diam-diam hati Kun Liong merasa terharu menyaksikan dua orang anak itu. Semuda dan sekecil itu sudah harus mengalami hidup kelaparan dan menderita sengsara!

“Mengapa kalian menjadi pengemis? Orang tua kalian di mana?”

“Orang tua kami sudah mati semua, menjadi korban ketika terjadi perang, ketika pemerintah melakukan pembersihan dan membasmi penjahat-penjahat,” jawab Si Kurus.

“Eh, apakah orang tua kalian penjahat?”

Si Gundul menggeleng kepalanya. “Sama sekali bukan. Aku dan dia tetangga di sebuah dusun di seberang, di balik gunung itu. Ketika terjadi perang antara gerombolan perampok melawan pemerintah, kami menjadi korban. Tidak membantu perampok dan menyembunyikan mereka, kami dibunuh perampok. Membantu perampok kami dibunuh tentara pemerintah. Orang tua kami dicurigai karena ada perampok yang bersembunyi di rumah kami, maka mereka dibunuh semua. Kami yang masih kecil tidak dibunuhnya, dibiarkan hidup.”

Hemm, dibiarkan hidup untuk menjadi pengemis yang terlantar, pikir Kun Liong dan hatinya yang pada dasarnya memang tidak suka akan kekerasan itu kini makin membenci perang dan pertempuran!

“Mari, kalian kuajari cara menangkap ular agar kalian dapat mencari penghasilan. Ular-ular berbisa itu kalau kalian bawa ke kota dalam keadaan hidup dan menjualnya kepada rumah makan, tentu akan menghasilkan uang lumayan. Juga rumah-rumah obat membutuhkan racunnya untuk obat.”

Dua orang anak itu girang sekali. Sehari itu Kun Liong menghabiskan waktunya di dalam hutan yang banyak ularnya untuk mengajari dua orang teman barunya cara menangkap ular. Karena kedua orang anak itu belum cekatan dan masih kurang berani, maka dia mengajarinya untuk pertama-tama sebelum mereka tangkas menggunakan tangan, menangkap ular dengan kayu yang ujungnya bercabang, menjepit leher ular dengan kayu bercabang itu. Dia memberi tahu akan obat daun-daun dan akar-akar yang harus diminum airnya dan digosok-gosokkan kepada kedua lengan agar dapat kebal terhadap gigitan ular berbisa yang biasa.

Akhirnya, dengan bantuan kayu yang ujungnya bercabang, kedua orang anak itu berhasil juga menangkap masing-masing seekor ular hijau, dan atas petunjuk Kun Liong mereka berhasil pyla “melumpuhkan” ular dengan menekan dan mengetuk tengkuk ular itu. Bukan main senangnya hati mereka. Mereka tidak takut kelaparan lagi, biarpun kalau terpaksa setiap hari makan daging ular!

“Kalau makan daging ular terus-menerus kalian bisa celaka, bisa sakit.” kata Kun Liong. “Daging ular mengandung obat dan panas, boleh dimakan sekali waktu, bukan menjadi makanan utama seperti ayam hutan saja?”

“Mengapa ayam hutan?”

“Ayam hutan paling suka makan ular dan kelabang!” jawah Kun Liong.

“Malam ini kau tidur di mana?” tanya Si Gundul sambil mempermainkan ularnya yang sudah lumpuh.

“Entah, apakah bisa bermalam di rumahmu?”

“Wah, dia mana punya rumah!” kata Si Kurus. “Orang-orang seperti kami ini, boleh tidur di emper orang saja sudah untung, kadang-kadang diusir dan ditendang bersama makian.”

“Eh, kita nonton saja, ayoh! Di dusun ada keramaian, ada pesta. Siapa tahu kita kebagian rezeki sisa masakan-masakan yang enak!” kata Si Gundul.

“Ihhh! Dasar kau ini tulang jembel!” Kun Liong mencela. “Sudah diajari bekerja menangkap ular masih mengharapkan sisa makanan orang!”

Ditegur demikian, Si Gundul menunduk, tidak berani melawan karena dia sudah menganggap Kun Liong sebagai “gurunya”, guru menangkap ular. Si Kurus membela temannya. “Dia tidak bisa disalahkan, karena selama ini, dari manakah kami dapat makan kalau bukan dari sisa orang? Pula, kalau ada pesta, banyak sekali masakan yang tidak habis dimakan, biasanya pelayan-pelayan yang baik hati suka membagi sedikit sisa-sisa makanan kepada kami.”

“Hemm, kalau ada pesta mengapa kita tidak masuk saja dan ikut berpesta?” tiba-tiba Kun Liong berkata karena hatinya sudah merasa penasaran sekali mengapa ada orang berpesta pora sedangkan di sini ada anak-anak yang kelaparan!

“Wah, mana boleh masuk? Kita akan dipukul!” kata Si Kurus.

Dua orang anak itu kini percaya sepenuhnya kepada Kun Liong yang dianggapnya anak dari “kota’ dan amat pandai. Otomatis mereka menganggap Kun Liong sebagai pemimpin mereka, maka dengan gembira mereka pun lari di belakang Kun Liong sambil memegang ular masing-masing. Si Kurus dan Si Gundul masing-masing telah menangkap seekor ular, adapun Kun Liong sendiri membawa dua ekor ular yang cukup besar dan menyeramkan, seekor berkulit hitam bermata merah, yang seekor lagi adalah ular belang yang terkenal jahat racunnya.

Benar saja, di sebelah dusun tak jauh dari situ, tampak kesibukan yang menggembirakan di runah kepala dusun. Hari telah mulai gelap ketika tiga orang anak itu tiba di depan rumah kepala daerah dan mereka menonton dari luar. Rumah itu penuh tamu yang memakai pakaian serba baru dan suasana amat gembira dengan senda-gurau mereka. Tuan rumah nampak menyambut tamu-tamunya sambil mengelus jenggotnya yang panjang. Pesta ini adalah pesta ulang tahunnya yang ke lima puluh dan biarpun kelihatannya pesta itu meriah, banyak tamu dan dengan sendirinya banyak hidangan yang dikeluarkan, namun sesungguhnya kepala dusun ini sama sekali tidak menderita rugi karenanya. Besarnya sumbangan yang masuk dari mereka yang menyumbang karena ingin menjilat, sebagian besar yang kurang mampu, menyumbang karena takut dianggap kurang menghormat, jumlahnya lima kali lipat lebih besar daripada jumlah pengeluaran untuk pesta itu. Tentu saja dia merasa gembira sekali. Pertama, wibawa dan kehormatannya sekaligus terangkat naik dengan adanya pesta itu, ke dua dia sekeluarga merasa gembira sekali dan bangga karena dapat mengadakan pesta besar-besaran ketiga keuntungan yang masuk sekali ini melampaui penghasilannya selama beberapa bulan!

“Wah, berbahaya ini…” Si Gundul berbisik, “Yang berpesta adalah kepala dusun, mari kita menyingkir sebelum ditendang oleh para pengawal.”

Kun Liong melihat bahwa di bagian depan berjajar belasan orang tinggi besar yang sikapnya seperti anjing-anjing penjaga yang siap menggonggong dan menggigit, maka rasa penasaran di hatinya pun meningkat.

“Mereka belum mulai makan, hidangan belum dikeluarkan, baru minuman. Mari menyelinap dan ke belakang saja,” kata Kun Liong.

“Eh, ke belakang mau apa?” Si Kurus berbisik.

“Ke dapur. Cepat sebelum masakan dihidangkan!”

Tiga orang anak itu menyelinap ke kegelapan malam terlindung bayangan-bayangan pohon, menuju ke belakang, ke dapur rumah besar itu di mana terdapat kesibukan-kesibukan yang tidak segembira di bagian depan. Para koki dan pelayan sibuk mempersiapkan hidangan yang beraneka macam, siap untuk segera menghidangkan ke luar apabila ada perintah dan tanda dari depan. Yang paling sibuk adalah koki gendut yang menjadi koki kepala. Karena gemuknya dan keadaan hawa di dapur itu panas oleh api, ditambah lagi dia harus mondar-mandir ke sana-sini untuk memeriksa pekerjaan para pembantunya, maka mukanya yang gemuk itu basah oleh peluh, bahkan pakaiannya juga basah. Dengan wajah bersungut-sungut karena tegang dan repot, dia menghapus peluh berkali-kali dari muka dan leher, menggunakan sehelai kain putih yang tergantung di depan dada dan perutnya.

“Hah! Mau apa kalian berkeliaran di sini?” Tiba-tiba koki gendut itu membentak ketika dia berdiri di pintu dapur untuk mencari angin dan hawa sejuk, agar panas yang menyiksa itu berkurang, dan melihat Kun Liong dan dua orang temannya, Si Kurus dan Si Gendut sudah ketakutan dan menggigil, tidak berani bergerak. Akan tetapi Kun Liong yang menyembunyikan kedua ekor ular di tangannya itu ke belakang tubuh, membungkuk dan berkata,

“Lopek (Paman Tua) yang baik, kami adalah tiga orang anak yang menderita lapar. Melihat banyaknya masakan yang tentu akan berlebihan, berlakulah baik kepada kami dan berikan sedikit masakan-masakan itu.”

Sepasang mata yang kecil sipit, hampir tak tampak karena mukanya yang gemuk, makin menyipit dalam usahanya memperlebar, dan sejenak mulut yang juga terlalu kecil bagi muka selebar itu, ternganga tak dapat menjawab. Selamanya belum pernah koki gendut ini melihat kekurangajaran seperti ini, juga belum pernah mendengar ucapan pengemis serapi itu. Kalau anak jembel minta sisa makanan yang sudah tidak terpakai lagi, hal itu adalah lumrah dan sudah biasa dia memberikan sisa makanan yang sudah hampir bau kepada anjing-anjing atau jembel-jembel kelaparan. Akan tetapi anak ini, dengan gaya bahasanya yang sopan seperti seorang bangsawan saja layaknya, minta “sedikit makanan” yang masih segar, masih mengepul panas dan belum dihidangkan kepada para tamu. Mana ada aturan macam ini?

“Keparat cilik! Jembel busuk. Pergi kalian! Kalau tidak kusiram kalian dengan air mendidih!” teriaknya. Peistiwa ini menambah panas tubuhnya yang sudah berpeluh karena dia merasa terganggu dan jengkel, bahkan merasa dipermainkan oleh anak kecil.

“Babi gendut yang pelit!” Tiba-tiba Si Gundul memaki dari tempat yang gelap.

“Apa? Bocab gembel ingin mampus…!” Koki itu marah dan mengulur tangan hendak menangkap, akan tetapi Kun Liong dan dua orang temannya sudah lari menyelinap ke dalam gelap dan lenyap.

Makin penasaran dan mendongkol hati Kun Liong apalagi ketika ditegur oleh Si Kurus, “Apa kata kami tadi? Percuma saja, untung kita belum sampai disiram air panas atau dipukuli mereka.”

“Sudah, lebih baik kita menanti sampai pesta bubar dan minta sisanya, tentu berlimpah-limpah dan banyak yang dibuang,” kata Si Gundul. “Tentu masih ada beberapa butir bakso, beberapa potong tulang berdaging dan beberapa helai bakmi.”

Ingin Kun Liong menampar muka Si Gundul itu kalau tidak ingat bahwa memang kedua orang anak ini adalah pengemis-pengemis yang sejak kecil secara terpaksa harus puas dengan makanan sisa, maka dia menahan kemendongkolan hatinya. Akan tetapi dia makin penasaran kepada penghuni rumah dan para tamu-tamunya yang berpesta pora, sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang kelaparan di luar rumah itu.

“Dengar baik-baik, kita kacaukan dapur itu. Dari jendela di sana itu, dari kanan kiri, kita lemparkan ular-ular ini ke dalam. Tentu mereka akan lari dan pada saat itu, kalian masuk dan mengambil sepanci masakan yang paling enak, bawa lari ke luar. Aku akan melempar ular dari jendela kiri, Si Gundul dari jendela kanan, dan engkau yang bertugas menyambar masakan dalam panci.”

Si Gundul dan Si Kurus mengangguk-angguk, sepasang mata mereka bersinar-sinar. Setiap orang anak kecil akan merasa “penting” dan gembira sekali kalau diajak melakukan sesuatu yang menegangkan, apalagi yang belum pernah mereka lakukan selamanya. Kalau hanya mencuri dan mencopet makanan karena terpaksa oleh desakan perut lapar dan untuk itu menerima gebukan-gebukan, sudah biasalah mereka. Akan tetapi mengacau sebuah pesta, apalagi pesta di rumah kepala dusun, dengan melemparkan ular-ular beracun yang mereka tangkap sendiri ke dalam dapur, benar-benar merupakan hal yang baru yang amat menegangkan hati!

Atas isyarat Kun Liong, mereka berpencar. Kun Liong lari ke jendela kiri membawa dua ekor ular, Si Gundul menyelinap ke jendela kanan membawa dua ekor ular pula karena ular Si Kurus diberikan kepadanya sedangkan Si Kurus dengan jantung berdebar menyelinap dekat pintu, siap untuk memasuki dapur mengambil masakan kalau kesempatan terbuka. Dia sudah memilih-milih dengan pandang matanya, masakan di panci yang mana akan disambarnya nanti!

Si Gundul dari jendela kanan mengintai ke arah jendela kiri, ketika melihat Kun Liong menggerakkan tangan seperti yang telah mereka janjikan, dia lalu melemparkan dua ekor ular dengan kuat dan karena takut ketahuan, dia melempar dengan ngawur lalu menyelinap ke bawah jandela, merangkak dan pergi. Kun Liong lebih tenang dia melemparkan dua ekor ularnya ke bawah, ke tengah-tengah ruangan itu dan dia melihat betapa lemparan Si Gundul tadi secara ngawur ternyata mengakibatkan kekacauan luar biasa, karena seekor dari ular hijau itu tepat mengenai tubuh koki kepala yang gendut, mengalungi leher koki itu!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya koki itu ketika merasa ada sesuatu membelit lehernya dan ketika kepala ular itu tepat berada di depan hidungnya, sepasang matanya menjuling dan ia berteriak, “Ular…! Ular…!”

Pada saat itu juga, para koki dan beberapa orang pelayan melihat ular-ular berbisa merayap perlahan di dekat kaki mereka. Ular hijau, ular hitam dan ular belang! Mereka segera lari ketakutan dan berteriak-teriak, “Ular…! Ular beracun! Berbahaya sekali…!”

Kasihan sekali koki gendut. Dia tidak berani membuang ular yang membelit lehernya. Ketika mendengar teriakan ular beracun yang berbahaya, dia hampir pingsan dan menjerit-jerit, “Tolong…! Ular…! Tolong ini…!” Dia lari menabrak sana-sini, menabrak meja dan dengan susah payah akhirnya berhasil lari ke luar, tidak tahu bahwa lampu minyak di atas meja yang ditabraknya tadi terguling!

Pengemis kecil kurus sudah menyelinap masuk dan menyambar sepanci masakan lalu berlari ke luar lagi. Terengah-engah dia, akan tetapi tertawa-tawa ketika di tempat gelap yang sudah dijanjikan, dia berkumpul dengan Si Gundul dan Kun Liong.

“Masakan apa yang kauambil?” Si Gundul segera membuka panci. “Waduh, masakan capjai…! Ada baksonya, besar-besar… wah, udangnya pun besar-besar!” Tanpa diperintah lagi kedua orang anak jembel itu menyerbu masakan dalam panci. Akan tetapi Kun Liong tidak ikut makan karena dia lebih tertarik oleh teriakan-teriakan yang amat gaduh.

“Api...! Kebakaran...! Tolong...!”

“Ada kebakaran. Mari kita bantu...!” Kun Liong melompat dan berlari ke dusun yang mereka tinggalkan tadi. Akan tetapi dua orang anak jembel itu tidak mempedulikan karena mereka sedang asyik menikmati capjai, mulut mereka mengeluarkan bunyi berkecap dan mata mereka berkejap-kejap penuh nikmat.

Karena sudah banyak orang, termasuk anak laki-laki seperti dia yang membantu untuk memadamkan kebakaran, maka kehadiran Kun Liong tidak menarik perhatian. Kun Liong merasa menyesal sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang terbakar adalah rumah kepala dusun dan menurut suara orang-orang di situ, kebakaran dimulai dari dalam dapur. Tadi dia melihat betapa lampu di atas meja terguling ditabrak koki gendut, maka mengertilah dia bahwa kebakaran itu terjadi karena dia dan kedua orang temannya!

Di antara kesibukan orang-orang yang berusaha memadamkann api yang mengamuk dan hampir memusnahkan semua bangunan rumah kepala dusun itu, tampak seorang laki-laki gemuk diseret-seret. Kun Liong melihat betapa laki-laki gemuk itu didorong dan jatuh berlutut di depan Si Kepala Dusun yang kini berdiri dengan muka pucat dan sinar mata penuh kemarahan, bertolak pinggang dan memandang Si Gemuk dengan sikap penuh kebencian.

“Hemmm, keparat jahanam! Engkau berani membakar rumahku, ya?”

“Ti... tidak... ampunkan hamba, Loya (Tuan Besar)… di dapur tiba-tiba muncul ular-ular beracun... seekor malah membelit leher hamba dan akan menggigit hamba… semua koki dan pelayan melihatnya... hamba… hamba tidak melakukan pembakaran…” Koki gundul itu menangis.

“Hemm, aku sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi semua orang juga melihat bahwa engkau yang menabrak meja dan lampu minyak terguling mengakibatkan kebakaran. Kau hendak menyangkal?”

Tubuh yang gendut itu menggigil, suaranya juga menggigil seperti diserang demam ketika dia menjawab, “... hamba... ohh... hamba... karena takut... hamba lari... dan andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya...”

“Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu? Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau minta aku memberi ampun!” Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.

“Pukul dia! Pukul sampai mampus!”

Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut. Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.

“Tahan! Jangan pukul dia!”

Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali.

“Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan yang biadab dan keji!”

Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah yang tinggal separuh.

“Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis siapa?”

“Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,” kata Kun Liong dengan tenang. Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau mencari malapetaka dengan pegakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang tidak bersalah digebugi dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak dapat berdiam saja.

Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya, “Bocah setan! Apa perlunya engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?”

“Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa.” Koki itu memang sudah dilepaskan dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi.

“Tangkap dia!” Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.

“Pukul saja bocah setan ini!”

“Bunuh bocah pengacau!”

Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi, melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun! Kun Liong ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang merasa bersalah dan pantas dihukum!

“Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!”

“Ya, kami juga...!”

Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang indah dan gagah!

Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul!

Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul, juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya! Biarpun Kun Liong sudah menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan!

Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,

“Bunuh saja bocah setan!”

“Cekik sampai mampus!”

“Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!” Pikiran ini menyelinap di dalam hati Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan. Dia hampir tidak kuat lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri, menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya sampai mati!

“Bresss... auukhhh...!” Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia memaki-maki sambil berusaha bangun kembali.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja kedua tengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas!

“Tangkap...!”
Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam, seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya! Dia tadi membiarkan dirinya digebuki, dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut.
“Kalian sudah cukup menghukum aku!” teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya, membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang mengenai sambungan lututnya.

lanjut ke Jilid 005-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar