Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 001


Petualang Asmara

Anak laki-laki itu tidak akan lebih dari sepuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi dan tegap bagi anak setua itu. Baju dan celananya terbuat dari sutera, bentuknya sederhana. Bajunya kuning polos dengan pinggiran merah tua, membuat warna kuning baju itu tampak menyala bersih. Pada pinggangnya membelit tali sutera dan celananya berwarna biru muda. Sepatunya yang coklat itu masih baru namun penuh debu. Wajah anak itu terang dan tampan, berbentuk bulat dengan sepasang telinga lebar menjulang di kanan kiri karena rambutnya disatukan di atas kepala membentuk sanggul dan dibungkus dengan kain kepala dari sutera hijau. Sepasang matanya lebar dan bersinar terang, dilindungi sepasang alis yang hitam dan sudah dapat diduga bahwa kelak alis itu akan menjadi tebal dan berbentuk golok. Hidung dan mulutnya kecil membayangkan kehalusan budi, namun tarikan syaraf pada dagunya membayangkan kemauan yang membaja.

Dengan lenggangnya yang bebas lepas anak itu melangkah di dalam hutan yang sedang menyambut munculnya matahari pagi. Wajahnya gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar memandangi segala yang tampak di depannya, yang jauh maupun yang dekat. Mulutnya tersenyum dan tiba-tiba dia berhenti, matanya terbelalak penuh kegembiraan memandang ke kiri, melihat seekor kelinci yang tiba-tiba keluar dari semak-semak, agaknya kelinci itupun terkejut, berhenti, menengok ke kanan kiri, hidungnya bergerak-gerak kembang kempis membuat cambangnya yang hanya beberapa helai itu ikut bergerak-gerak naik turun matanya yang jernih lebar bergerak-gerak liar, sepasang daun telinganya yang panjang menjungat ke atas, bergerak-gerak ke atas ke bawah menangkap segala suara yang datang dari sekelilingnya.

“Hi-hik...!” Anak itu tak dapat menahan geli hatinya melihat binatang yang lucu itu dan si kelinci terperanjat, berloncatan lenyap ke dalam semak-semak kembali.

Anak laki-laki itupun melanjutkan langkahnya. Hanya mata seorang yang pikirannya tidak dibebani sepenuhnya dengan segala macam persoalan hidup seperti mata anak itulah yang akan dapat menikmati keindahan dalam hutan di pagi hari itu, dan sesungguhnyalah bahwa hanya anak-anak saja yang dapat menikmati hidup ini, karena manusia dewasa, kecuali mereka yang sudah sadar dan bebas, hidupnya penuh dengan persoalan yang timbul dari pertentangan-pertentangan batin dan lahir.

Betapa indahnya rumput-rumput menghijau di hutan itu. Ada yang rebah, ada yang berdiri, ada yang panjang ada yang pendek, semua begitu bebas dan segar, begitu wajar namun lebih rapi daripada kalau diatur tangan manusia, nampak gembira dengan batang membasah bermandikan cahaya matahari pagi, berkilauan seolah-olah dari setiap batang rumput mengeluarkan cahaya kesucian. Daun-daun pohon menari-nari perlahan dihembus angin pagi, mengangguk-angguk membawa butiran-butiran lembut yang gemilang seperti mutiara. Burung-burung kecil yang beraneka warna bulunya, lincah bergembira dan berkejaran sambil mencuit bersiul saling sahut, berloncatan dari dahan ke dahan. Sinar matahari yang menyerbu pohon, menembus di antara celah-celah daun membentuk garis-garis putih di antara cahaya kuning kemerahan, cahaya keemasan. Adakah lukisan yang seindah kenyataan? Adakah rangkain kata-kata yang mampu menceritakan keindahan yang wajar, mulus aseli dan ajaib ini?

Beberapa helai daun pohon menguning lepas dari tangkainya, melayang-layang ke bawah, menari-nari ke kanan kiri seperti gerak pinggul seorang penari yang lincah dan lemas, seolah-olah merasa sayang meninggalkan tangkainya namun tidak dapat menahan daya tarik bumi. Betapa mata tidak akan menjadi sehat dan segar menyaksikan semua keindahan ini? Sayang bahwa jarang ada manusia seperti anak laki-laki itu yang dapat memandang dengan mata terbuka, terang dari jernih, tidak terselubung tirai persoalan hidup yang keruh.

Makin terang cahaya matahari, makin ramai suara memenuhi hutan. Ramai akan tetapi sedap didengar bagi mereka yang mampu mempergunakan telinganya untuk mendengar, seperti anak itu, sehingga dia mampu menangkap keindahan hidup dalam pendengarannya. Suara burung beraneka macam, dengan keindahan masing-masing, ada yang tinggi melengking, ada yang menciap-ciap pendek, ada yang rendah parau, namun sukar membedakan mana yang lebih indah bagi telinga yang mendengarkan tanpa perbandingan sehingga tidak ada lagi istilah baik dan buruk! Di antara lomba suara burung ini, kadang-kadang terdengar kokok ayam hutan, dan sayup-sayup terdengar suara gemerciknya air dari anak sungai yang mengalir di dalam hutan, suara air bermain dengan batu-batu hitam, seperti suara gelak tawa dan kekeh manja sekumpulan anak perawan yang sedang bersendau gurau.

Kegembiraan memenuhi hati anak itu, membuat dia merasa menjadi sebagian dari alam dan keindahan itu sendiri, dan anak itu, dengan wajah tampak berseri-seri, membuka mulut dan bernyanyi! Nyanyian aneh dinyanyikan dengan wajah berseri dan suara gembira, akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu sendiri adalah kata-kata keluhan yang menyedihkan! Agaknya, nyanyian itulah yang dihafal olehnya, dan jelas bahwa dia bernyanyi sekedar melepaskan kegembiraan yang berkumpul di dalam hatinya, sekedar mengeluarkan suara mengikuti contoh burung-burung di dalam hutan, tanpa mempedulikan isi nyanyian yang dihafalnya di luar kepala. Dia tidak peduli akan kata-kata dalam nyanyian, karena dalam keadaan seperti dirinya di saat itu, kata-kata merupakan benda usang yang sama sekali tidak ada artinya! Baginya, yang penting bukan kata-katanya, melainkan suaranya yang menggetar nyaring penuh daya hidup!

Berbahagialah anak itu yang memiliki seni memandang dan mendengar sewajarnya. Dengan pandangan dan pendengaran wajar, penuh perhatian, penuh kasih sayang, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa pamrih, tanpa prasangka, maka tampak dan terdengarlah olehnya segala keindahan yang tak ternilai. Lukisan-lukisan terindah di dunia ini hanya akan tampak sebagai benda lapuk saja dibandingkan dengan kenyataannya, nyanyian sajak-sajak yang paling terkenal di dunia ini hanya akan terdengar sebagai kata-kata hampa dibandingkan dengan suara alam itu sendiri jika didengarkan dengan pikiran bebas.

Suara anak itu masih lembut dan ringan seperti suara wanita. Suaranya belum pecah dan parau, menunjukkan bahwa dia belum dewasa. Namun suaranya nyaring sekali, karena dia bernyanyi dengan bebas lepas, dari dalam dadanya!

“Langit di atas bumi di bawah
mengapit ketidakadilan
perut lapar minta makan
minta kepada siapa?
ayah bunda pun belum makan
semua kelaparan!
minta kepada si bangsawan
digigit anjing penjaga
minta kepada Si kaya
diberi maki dan pukulan!
Hayaaaa…!”

Anak itu mengulang-ulang dengan suara gembira, akan tetapi pada ulangan ke empat kalinya, dia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara teguran,

“Haiiii…!”

Anak itu menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh.

Seorang laki-laki setengah tua, memikul kayu bakar, datang dengan langkahnya yang pendek-pendek namun cepat, mengimbangi ayunan pikulannya. Setibanya di depan anak itu, dia menurunkan pikulan, menghapus keringat dari muka dan leher, meludah ke kiri, kemudian memandang lagi kepada anak itu dengan mulut menyeringai. Agaknya sudah menjadi kebiasaan orang ini menyeringai seperti itu dengan mulut menyerong ke kanan, mata kanan agak disipitkan sehingga tampak garis-garis tertentu pada bagian kulit muka yang berlipat.

“Wah, engkau bukan pengemis!” serunya dengan nada heran setelah menyapu pakaian anak itu dengan pandang matanya.

“Memang aku bukan pengemis,” jawab anak itu. “Dan engkau seorang tukang pencari kayu agaknya, lopek (paman tua)?”

“Memang aku mencari kayu. Setiap pagi aku mencari kayu di hutan ini, lalu kubawa ke kota kujual sebagai penukar bahan pengisi perut kami bertiga.”

“Bertiga?”

“Ya, aku sendiri, anakku dan ibunya.”

“Ohhhh...”

“Hemm, dan selama bertahun-tahun aku mencari kayu, baru pagi ini aku melihat hal-hal aneh, di antaranya melihat seorang anak kecil berkeliaran seorang diri di dalam hutan, menyanyikan lagu pengemis padahal engkau bukan pengemis.”

“Anehkah itu?”

“Tentu saja aneh. Pakaianmu dari sutera halus, sepatumu baru. Engkau bukan pengemis dan biasanya, hanya para pengemis dan orang miskin saja yang suka menyanyikan lagu itu. Dan engkau pasti bukan pengemis.”

“Sudah kukatakan aku bukan pengemis.”

“Dan bukan orang miskin pula.”

Anak itu mengerutkan alisnya, meragu lalu menggeleng kepala. “Entah, aku tidak tahu apakah orang tuaku kaya ataukah miskin. Bagaimanakah untuk membedakan yang kaya dengan yang miskin?”

Tukang mencari kayu itu juga mengerutkan alisnya, menggaruk-garuk kepala kemudian meludah lagi ke kiri. Agaknya meludah ke kiri inipun menjadi kebiasaannya, seperti kebiasaan menyeringai dengan mulut menyerong ke kanan.

“Yang hidup serba kecukupan itu orang kaya, yang serba kekurangan itu orang miskin.”

Anak itu kembali termenung, kedua alis berkerut hampir bertemu di atas batas hidung, kemudian dia memandang kakek itu sambil bertanya lagi, “Lopek, yang dikatakan serba cukup itu bagaimana, dan yang serba kekurangan itu bagaimana?”

Agaknya kakek itu sudah lelah. Pagi ini dia mengumpulkan kayu hampir dua kali lebih dari biasanya karena dia membutuhkan uang kelebihan, untuk membeli sepatu anaknya yang rewel minta dibelikan sepatu baru. Bukan baru benar melainkan bekas akan tetapi yang masih baik dan belum usang.

“Yang serba kecukupan itu adalah... hemm, yang dapat menutup kebutuhannya, sedang yang serba kekurangan itu tentu saja yang tak pernah terpenuhi segala kebutuhannya.”

“Ohh, jadi tergantung dari kebutuhannya, ya? Kalau kebutuhannya hanya sedikit tentu cukup dengan sedikit pula sedangkan yang kebutuhannya banyak sekali melebihi apa yang dimilikinya, mana bisa mencukupi?”

“Wah, sulit juga kalau begitu. Yang cukup adalah yang dapat makan setiap hari...” kata Si Kakek agak bingung karena persoalan yang dianggapnya remeh itu kini menjadi sulit.

“Lopek. apakah lopek dapat makan setiap hari?”

“Hemm... ya, biarpun hanya dengan sayur sederhana.”

“Kalau begitu, lopek adalah seorang kaya!” Anak itu berkata gembira seolah-olah dia dapat memecahkan teka-teki yang sulit.

“Hahh...?” Pencari kayu itu terbelalak.

“Menurut lopek, orang kaya adalah yang kecukupan, yang kecukupan adalah yang setiap hari dapat makan. Lopek setiap hari dapat makan, berarti kecukupan, dan karena kecukupan berarti kaya!” Anak itu gembira sekali lalu membungkuk membalikkan tubuh dan berkata, “Selamat pagi, lopek!”

Kakek itu masih berdiri terpukau di tempatnya, matanya memandang kosong karena pikirannya bekerja keras mengingat ucapan anak itu. “Aku... kaya..? Heiii! Nanti dulu! Tunggu dulu...!” ia memanggil.

Anak itu menoleh, membalikkan tubuh dan tersenyum. Senyum bebas lepas dan wajar. “Ada apakah, lopek?”

“Tentang kaya miskin, aku menarik semua pendapatku. Aku bukan orang kaya, tapi apakah aku miskin… hemm, entah. Tapi engkau yang berpakaian mahal, mengapa menyanyikan lagu pengemis kelaparan?”

“Lagu adalah lagu, lopek. Siapa saja beleh melagukannya!”

“Tapi isi kata-katanya itu! Tentang kelaparan! Apakah engkau pernah kelaparan?”

Kini si anak tercengang. Baru sekarang dia sadar bahwa nyanyiannya itu bercerita tentang anak kelaparan. Dia menggeleng kepala dan berkata lambat-lambat, “Aku belum pernah kelaparan, lopek. Akan tetapi... apa bedanya? Melihat anak-anak pengemispun sama sengsaranya terasa dalam hati. Ada nyanyiannya tentu ada kenyataannya, bukan? Eh, lopek. Katakanlah, mengapa di dunia ini ada anak-anak yang kelaparan? Mengapa ada bangsawan yang berkuasa amat tinggi, ada hartawan yang memiliki kekayaan berlebihan dan berlimpahan, akan tetapi sebaliknya ada pekerja yang paling rendah kedudukannya, dan ada pengemis-pengemis yang kelaparan?”

Kakek itu kembali terbelalak, kini memandang kepada anak itu dengan heran. Selamanya belum pernah terpikirkan olehnya akan kenyataan yang sebetulnya dia lihat sendiri itu. Ya, kenapa?

“Wah, kenapa ya? Mengapa keadaan bisa begitu?”

“Lopek, salah siapakah itu? Apakah salah si bangsawan tinggi? Apakah si pekerja kasar rendah yang salah? Si hartawan kaya raya ataukah si pengemis yang salah? Apakah si bangsawan tinggi terlampau menindas, ataukah si pekerja rendah terlampau menjilat? Apakah hartawan terlampau kikir, ataukah pengemis terlampau malas? Salah siapa lopek?”

“Cuhhh! Cuhhh!” Kakek itu kini meludah sampai dua kali, dengan hati-hati dia mengarahkan ludah yang ke dua agar tepat mengenai yang pertama, akan tetapi bidikannya meleset jauh.

“Agaknya yang salah adalah...” Tiba-tiba dia menengok ke kanan kiri dengan muka takut karena baru saja terpikir olehnya bahwa dia telah membawa diri dengan percakapan yang amat berbahaya, percakapan yang mungkin akan mengakibatkan kepalanya terpenggal kalau terdengar oleh “yang berwajib”! Maka disambungnya kata-katanya tadi, “... adalah Thian (Tuhan)!”

“Ah, engkau mencari kambing hitam yang tidak tampak saja, lopek!” Anak itu membantah.

Si kakek tergesa-gesa mengangkat dan memikul kembali pikulan kayunya dan berkata,

“Wah, menuruti engkau bercakap-cakap, aku akan kesiangan menjual kayu!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras, kemudian disambungnya berbisik, “Anak baik, engkau anak siapakah?”

“Ayahku membuka toko obat di ujung Jembatan Hijau...”

“Wah, engkau putera Yap-sinshe (tukang obat Yap)?” Pencari kayu itu bertanya.

Ketika anak itu menjawab, “Ya, namaku Yap Kun Liong...” Si Pencari Kayu segera berbisik lagi, “Siauw-kongcu (tuan kecil), lebih baik engkau pulang saja. Hutan ini tidak aman hari ini. Tadi, masih gelap sekali sudah kulihat banyak orang aneh berkeliaran di dalam hutan, seperti setan-setan saja. Hayo bersamaku pulang saja ke kota.”

Kun Liong, anak itu mengerutkan alisnya dan meruncingkan mulutnya, menggeleng kepala. “Aku belum ingin pulang, masih suka bermain-main di dalam hutan. Selamat pagi, lopek.” Anak itu karena khawatir kalau-kalau akan dipaksa pulang oleh pencari kayu yang agaknya mengenal ayahnya, lalu berlari memasuki hutan.

Tukang pencari kayu itu hanya menggeleng kepala. Memikul kayunya sambil bicara seorang diri, “Yap-sinshe orang baik, pernah mengobati isteriku. Aku harus memberi tahu. Jangan-jangan anaknya berada dalam bahaya.” Tergesa-gesa dia lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari hutan untuk menjual kayunya ke kota.

***
Kun Liong sudah melupakan pertemuan dan percakapan dengan pencari kayu tadi. Hari terlampau cerah, hutan terlampau indah untuk diganggu kenangan peristiwa yang tidak ada artinya itu. Cahaya matahari pagi yang keemasan, dengan garis-garis putih yang hidup dan mengandung kehidupan karena di dalamnya tampak jutaan benda kecil yang bergerak-gerak, berselang-seling dengan pohon-pohon besar kecil dengan dahan dan cabangnya yang mencuat ke sana sini dengan bebas. Indah bukan main!

Dia sudah tahu bahwa tidak jauh dari situ, tepat di tengah-tengah hutan, di bagian yang agak tinggi merupakan anak bukit, di sana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak berpenghuni lagi. Sudah beberapa kali dia bermain-main di kuil itu, dan ke sanalah sekarang dia menuju. Ada serumpun bambu kuning berbelang-belang hijau di belakang kuil tua itu dan dia ingin mengambil sebatang bambu yang indah itu. Menurut kata ayahnya, bambu itu adalah sejenis bambu ular yang kuat dan tebal, lubangnya hanya kecil saja dan bambu itu sendiri, yang sudah tua, kulitnya mengkilap dan besarnya sama dengan lengannya.

Hatinya yang gembira itu berubah ketika ia tiba di depan kuil tua karena dia mendengar suara hiruk-pikuk dari dalam kuil! Kun Liong teringat akan cerita Si Tukang Mencari Kayu, maka dia cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon depan kuil sambil mengintai.

Terdengar olehnya suara bentakan-bentakan seperti orang bersilat dan bertempur, kemudian disusul suara teriakan-teriakan mengerikan dan dari pintu kecil yang tak berdaun lagi, yang terbuka menganga, tampak tubuh dua orang terlempar dan terbanting ke atas tanah depan kuil itu. Lemparan itu kuat sekali sehigga dua batang tubuh manusia itu bergulingan dan akhirnya terhenti tak jauh dari tempat Kun Liong bersembunyi, tidak bergerak-gerak lagi. Kun Liong dari tempat sembunyiannya memandang dengan mata terbelalak. Dia sering mengikuti ayah dan ibunya mengobati orang sakit, dan sering pula melihat orang mati. Kini, melihat letak tangan, kaki, kepala dua orang laki-laki setengah tua yang terlempar tadi, tahulah dia bahwa mereka berdua itu sudah tak bernyawa lagi! Kun Liong tidak takut atau ngeri melihat orang mati, akan tetapi dia merasa penasaran sekali. Siapakah yang begitu kejam membunuh orang begitu saja di pagi hari seindah itu? Pembunuh yang amat kejam, hal ini dia ketahui dengan mendekati dan memeriksa dua mayat itu yang ternyata tewas dengan mata mendelik dan di dahi mereka tampak bekas jari tangan berwarna putih! Biarpun pelajaran ilmu silatnya belum setinggi itu, sebagai putera suami isteri pendekar, Kun Liong dapat menduga bahwa pembunuh kedua orang ini mempunyai ilmu pukulan beracun yang amat jahat!

Tiba-tiba dia mendengar sesuatu dan cepat menyelinap kembali, bersembunyi di dalam semak-semak. Kiranya suara itu adalah suara tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, bertopi caping lebar dan berjalan menuju kuil dengan cepat sekali. Mereka berhenti di dekat mayat dua orang itu, memandang sebentar kemudian seorang di antara mereka berkata perlahan,

“Si Iblis itu benar-benar berada di dalam kuil.” Dua orang temannya mengangguk dan tangan mereka bertiga meraba-raba gagang pedang, kemudian ketiganya dengan gerakan cepat dan ringan lari memasuki kuil tua.

Kun Liong tertarik sekali menyaksikan apa yang akan terjadi di dalam kuil. Akan tetapi, untuk mengikuti mereka tadi begitu saja, dia tidak berani karena dia mengerti bahwa akan terjadi hal-hal yang hebat. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Dengan menyelinap di antara semak-semak dan pohon-pohon, dia mengambil jalan memutar, menuju ke belakang kuil. Tembok belakang yang melingkari kuil tua itu sudah ambruk, maka bagian belakang kuil itu tampak jelas. Kun Liong sudah sering mengunjungi tempat ini maka dia hafal betul. Dengan hati-hati akhirnya dia dapat bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning. Kini bambu-bambu kuning yang sudah banyak yang tua dan mengkilap itu tidak diperhatikannya lagi karena perhatiannya tercurah ke sebelah belakang kuil dan dia memandang dengan jantung berdebar tegang. Kiranya tiga orang tadi sudah berada di halaman belakang kuil, berdiri dengan sikap tegak dan bersiap-siap menghadapi seorang kakek yang aneh!

Kun Liong dari balik daun-daun dan batang-batang bambu kuning, mengintai penuh perhatian. Kebetulan sekali kakek aneh itu tidak membelakanginya benar duduknya sehingga dia dapat melihat muka kakek itu dari samping. Dia seorang kakek yang berpakaian serba putih, hanya merupakan kain panjang membelit-belit tubuhnya yang tinggi kurus. Rambutnya sudah berwarna dua, digelung ke atas model sanggul para tosu (pendeta beragama To), kedua kakinya memakai kaus kaki dan sandal pendeta. Tosu yang usianya tentu tidak kurang dari enam puluh tahun ini duduk bersila di atas sebuah benda yang aneh. Benda itu berbentuk bunga teratai, berwarna putih. Bunga logam putih yang terletak di tengah halaman dan di sekeliling kakek itu tampak goresan di atas tanah yang bergaris tengah tiga meter lebih. Agaknya kedatangan tiga orang petani bertopi caping lebar itu tidak dipedulikan tosu yang duduk bersila sambil memejamkan mata memangku sebatang tongkat bambu yang panjangnya kira-kira tiga kaki.

“Totiang, harap maafkan kalau kami datang mengganggu totiang yang sedang beristirahat dalam kuil tua ini.” Seorang di antara tiga orang petani itu, yang memelihara cambang melintang di bawah hidung, menjura sambil mengeluarkan kata-kata yang nadanya sopan menghormat itu.

Tosu tua itu membuka kedua matanya dan terkejutlah tiga orang itu melihat betapa mata tosu itu hampir tidak tampak hitamnya. Mata seorang buta, atau setidaknya tentu lamur!

“Siancai…! Sam-wi ada keperluan apakah?”

“Kami kebetulan lewat di dalam hutan dan di depan kuil kami melihat dua orang yang telah menjadi mayat. Setelah itu kami telah mendengar di kota bahwa sepekan yang lalu, di dalam hutan pohon pek di selatan kota, juga terdapat mayat lima orang dengan ciri yang sama, yaitu dahi mayat-mayat itu terdapat tanda tapak jari tangan putih. Totiang yang berada di dalam kuil ini tentu mengetahui sebab kematian dua orang di luar kuil itu. Maukah totiang memberitahukan kepada kami?”

Sejenak kakek itu hanya memandang ketiga orang tadi penuh perhatian, seolah-olah kedua matanya dapat melihat dengan jelas. Biarpun tiga orang itu merasa yakin benar bahwa dua buah mata yang maniknya yang sudah menjadi putih itu tidak dapat melihat dengan baik, mereka merasa tidak enak dan diam-diam bulu tengkuk mereka meremang ketika sepasang mata itu ditujukan kepada mereka sampai lama tidak pernah berkejap! Kemudian, sepasang mata itu dipejamkan, kakek itu lalu membuka mulutnya dan bernyanyi!

“Bunga suci, Teratai Putih
di tengah lumpur, tetap bersih,
Siapa saja hendak mengotori
berarti mencari mati sandiri!
Jika ada yang melanggar
garis lingkaran pemisah
dia akan menjadi korban
Pek-tok-ci yang sakti!”

Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka memandang ke arah garis lingkaran yang melingkari tempat duduk aneh kakek itu. Si Cambang Melintang melangkah maju selangkah, di luar garis lingkaran dan dia membentak sambil mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Tosu Pek-lian-kauw, kami telah mengenal engkau! Menyerahlah, kami adalah petugas-petugas pemerintah yang bertugas menangkap Loan Khi Tosu tokoh Pek-lian-kauw!”

Tosu lamur (setengah buta) itu kembali membuka matanya dan tersenyum “Kiranya tiga ekor anjing pemerintah! Pinto (aku) memang Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw. Habis kalian mau apa! Pinto tetap takkan mengganggu kalian asalkan tidak melanggar garis lingkaran. Hal ini sudah menjadi pegangan pinto!” Setelah berkata dernikian, kakek itu mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya pada bunga teratai putih dari logam yang didudukinya. Terdengar bunyi nyaring berirama kemudian bunyi ketukan itu dijadikan irama mengikuti nyanyian kembali dinyanyikan oleh Si Kakek yang aneh. Akan tetapi berbeda dengan tadi, suara yang menyanyikan lagu ini terdengar menggetar dan melengking menusuk telinga!

“Tahu akan kebodoban sendiri
adalah waspada,
tidak tahu mengaku tahu
adalah sebuah penyakit,
yang mengenal kenyataan ini
berarti sehat!
Sang Bijaksana berpikiran sehat
melihat penyelewengan
seperti apa adanya
karenanya takkan pernah sakit.
Siancai...!”

Kun Liong yang bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning, terkejut bukan main ketika mendengar suara nyanyian itu. Dia mengenal kata-kata nyanyian itu sebagai ujar-ujar dalam kitab To-tik-khing yang banyak berubah, akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya itulah! Suara itu amat tidak enak bagi telinganya, melengking tinggi rendah dan seolah-olah kedua telinganya ditusuk-tusuk jarum! Yang lebih hebat lagi, tiga orang yang sudah mencabut pedang itu, kini berdiri terhuyung-huyung, tidak dapat berdiri tegak dan mereka itu kelihatan ragu-ragu untuk menyerang karena muka mereka pucat sekali dan tubuh mereka agak menggigil!

Kakek itu mengulangi lagi nyanyiannya. Kun Liong diam-diam menjadi marah. Nyanyian buruk itu masih hendak diulangi lagi? Dia marah dan hatinya panas. Kakek itu jelas bukan orang baik, pikirnya dan karena diapun tidak akan mampu berbuat sesuatu, untuk mengganggu kakek itu diapun lalu membarengi kakek itu, bahkan mendahuluinya sedikit, bernyanyi. Tentu saja yang dinyanyikannya adalah lagu pengemis tadi. Maka terdengarlah nyanyian-nyanyian hiruk-pikuk tidak karuan, campur aduk dan aneh sekali, kacau-balau dan lucu karena nyanyian itu menjadi begini.

“Langit di atas bumi di bawah
tahu akan kebodohan sendiri
mengapit ketidakadilan
adalah waspada!
perut lapar minta makan
tidak tahu mengaku tahu
minta kepada siapa
adalah sebuah penyakit!
ayah sendiri pun belum makan
yang mengenal kenyataan ini
semua kelaparan
berarti sehat.”

Baru sampai di situ, kakek itu menghentikan nyanyiannya dan berteriak marah, melompat turun dari bunga teratai baja yang didudukinya. Tiga orang itupun sudah menerjang maju dengan pedang mereka dan ternyata ilmu pedang mereka cukup hebat sedangkan tubuh mereka tidak lagi pucat seperti tadi. Tanpa disengaja, nyanyian Kun Liong tadi telah menolong tiga orang petugas pemerintah itu. Mereka sebetulnya adalah perwira-perwira petugas keamanan yang melakukan penyelidikan, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Ketika tosu tadi bernyanyi, dia mempergunakan khi-kang mengerahkan sin-kangnya dan suaranya itu merupakan serangan yang amat hebat. Bagi orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia dapat mempergunakan suara untuk mencelakakan lawan, seperti yang dilakukan Loan Khi Tosu tadi. Suara dapat menyerang melalui pendengaran, mengusik hati mengacau pikiran dan menggetarkan urat syaraf, lama-lama dapat menyerang jantung lawan dan membunuhnya tanpa turun tangan! Karena masih kanak-kanak dan pikirannya masih bebas, atau setidaknya belum terlalu kotor dan penuh seperti pikiran manusia dewasa, biarpun suara itu amat tidak enak didengarnya, namun Kun Liong tidaklah amat menderita seperti yang diderita tiga orang perwira yang manyamar sebagai petani-petani itu. Kemudian tanpa disengajanya, hanya untuk menyatakan rasa mendongkol terhadap kakek itu, Kun Liong dapat memecahkan atau membikin rusak pengaruh khi-kang dalam nyanyian Loan Khi Tosu dengan mengacaukan nyanyiannya dengan nyanyiannya sendiri! Hal ini membuat tiga orang tadi pulih kembali keadaannya dan mereka lalu menerjang maju, sedangkan Loan Khi Tosu dengan marah sekali sudah turun dari bunga teratai baja dan menghadapi tiga orang lawannya dengan tongkat bambunya.

lanjut ke Jilid 002-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar