Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 55

Petualang Asmara Jilid 055

<--kembali

“Benar-benarkah? Di mana? Kapan?”

“Ketika engkau mengobati seorang nikouw di dalam joli yang terluka... anunya...” Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat dan seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri!

“Apa...?” Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan aneh! Yang tampak olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. “Pinggul... eh pinggul...” Dia mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya. “Maaf, iihh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan mengapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?”

Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan. “Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?”

Kun Liong mengusap-usap kepalanya. “Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.”

Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu. “Anaknya jahat, ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku telah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku seperti nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw.”

“Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?”

Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya! “Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya melainkan batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw.”

Mendengar dara itu bicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi. “Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw.”

“Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya.”

“Eh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu.”

“Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?”

KUN LIONG tertawa. Mengelus gundulnya dan berkata, “Memang aku tolol... ha-ha, mungkin karena gundul...”

“Ingat, aku pun gundul...” kata Hong Ing dan keduanya tertawa geli.

Tiba-tiba wajah Hong Ing pucat sekali dan Kun Liong cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan perlahan. Tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang dara lain yang wajahnya cantik jelita pula namun dingin dan pada saat itu wajah cantik ini kelihatan marah, sepasang matanya menyinarkan api dan bergantian mata itu menatap wajah Kun Liong dan Hong Ing. Dengan tubuh lemas Hong Ing bangkit berdiri, sedangkan Kun Liong tetap saja duduk enak-enak karena dia tidak mengenal wanita gagah dan cantik yang datang itu dan tidak merasa bersalah apa-apa, hanya terheran mengapa wanita muda secantik itu kelihatan marah sekali dan mengapa pula Hong Ing kelihatan pucat ketakutan.

“Engkau... Pek Hong Ing! Hemm, biarpun menyamar sebagai nikouw, aku tetap dapat mengenalmu. Sungguh tak tahu malu engkau, Sumoi! Menghindarkan diri dari pernikahan dengan cara menjadi nikouw, akan tetapi apa yang kutemukan di sini? Kau bermain gila dengan seorang hwesio muda! Betapa memalukan dan kau mencemarkan orang yang menjadi gurumu dan sucimu!”

“Suci! Jangan menuduh sembarangan!” Hong Ing berseru, suaranya mengandung isak karena ucapan sucinya itu benar-benar menusuk perasaannya yang halus.

“Tak perlu memutar lidah membela diri karena jelas kalian tertangkap basah! Apa perlunya kalau tidak main gila duduk di dalam hutan sunyi berduaan saja dan bersendau-gurau tertawa-tawa? Ah, sungguh percuma saja kepala kalian yang gundul itu. Sumoi, hayo kau ikut bersamaku menghadap Subo (Ibu Guru).”

Hong Ing dengan mata terbelalak dan muka pucat menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak... tidak... aku tidak mau kembali ke sana... aku lebih baik mati daripada dipaksa menikah...”

“Keparat! Berbulan-bulan aku mencarimu dengan susah-payah, setelah bertemu kau kudapatkan main gila dengan hwesio ini, dan aku masih sabar, masih mau melupakan itu semua asal engkau suka turut bersamaku menghadap Subo. Aku tidak ingin bicara tentang kelakuanmu di pagi hari ini, dan kau menolak, bahkan memilih mati?”

“Memang lebih baik aku mati!” kata Hong Ing, suaranya kini mantap.

“Singgg...!” Tampak sinar berkilat ketika wanita cantik yang galak itu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya. “Kau memilih mati? Nah, biarlah aku memenuhi permintaanmu, sesuai pula dengan perintah Subo, kalau kau masih membangkang supaya aku membunuhmu.” Selesai ucapan ini, pedang itu berkelebat dan dia telah menyerang Hong Ing dengan gerakan yang dahsyat sekali. Kun Liong terkejut melihat gerakan itu yang benar-benar amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali. Akan tetapi, Hong Ing masih sempat mengelak dengan gerakannya yang lincah dan ringan seperti burung. Namun sucinya terus menyerangnya bertubi-tubi, membuat Hong Ing terdesak hebat dan terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan belakang untuk menghindarkan diri dart ujung senjata yang membawa maut itu. “Suci, begini tegakah engkau...? Kita sudah semenjak kecil seperti kakak beradik...”

“Wuuuuttt!” Hong Ing cepat menjatuhkan dirinya untuk menghindarkan diri dart sambaran pedang itu. Biarpun Kun Liong dapat melihat bahwa gerakan Hong Ing tidak kalah ringan daripada gerakan sucinya, namun karena dara ini tidak memegang senjata dan juga sama sekali tidak melakukan serangan balasan, hanya mengelak ke sana-sini saja, maka hatinya gelisah sekali dan tak terasa lagi tangannya meraba sebatang ranting kering yang menggeletak di dekatnya. Kegelisahannya terbukti ketika Hong Ing menjerit terkena tendangan sucinya. Tubuhnya terbanting dan dengan kecepatan kilat sucinya sudah datang menerjang dengan tusukan maut yang agaknya tak mungkin dapat dihindarkan lagi oleh Hong Ing yang sudah rebah miring itu.

“Trangggg...!” Kun Liong sengaja mengerahkan sin-kangnya yang mendatangkan getaran hebat sehingga ketika rantingnya bertemu dengan pedang yang ditangkisnya pedang itu terpental, terlepas dari tangan pemiliknya! Dara itu terbelalak memandang, bukan main rasa heran dan penasarannya dan merasa seperti dalam mimpi. Siapa orangnya yang mampu menangkis pedangnya dengan sebuah ranting dan sekali tangkis membuat pedangnya terlepas dari tangannya? Benar-benar aneh dan luar biasa sekali! Ataukah dia yang lengah dan tidak memegang pedangnya erat-erat karena sudah memastikannya bahwa sumoinya tentu tewas di tangannya?

Kun Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia membuang ranting itu dan menghampiri Hong Ing yang masih rebah. “Hong Ing, kau... terluka...?”

Hong Ing bangkit duduk dan menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, Kun Liong, biarkanlah aku... heiiii... hati-hati...!”

Namun terlambat. Hui-to (pisau terbang) yang disambitkan oleh sucinya itu hebat sekali meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah menuju ke sasarannya, yaitu punggung Kun Liong. Pemuda ini sama sekali tidak menyangka bahwa ada dara demikian cantiknya akan sudi menyerang orang dengan menggelap, maka seruan Hong Ing itu terlambat. Pula, kalau dia mengelak, bukankah Hong Ing yang terancam oleh senjata rahasia itu? Dia lalu mengerahkan sin-kangnya dan hui-to itu menancap di punggungnya, tidak terus, melainkan menancap paling banyak sepanjang jari telunjuk dan menempel di situ. Darah muncrat dan Hong Ing menjerit, “Kun Liong...!” Sebelum Kun Liong sempat melakukan sesuatu, Hong Ing telah menggendongnya dan dara ini lalu meloncat jauh dan terus melarikan diri setepat kilat sambil menggendong tubuh Kun Liong!

Hemm, Sumoi Pek Hong Ing...! Begitu tak tahu malukah engkau? Berhenti!” ia mengejar dari belakang setelah menyambar pedangnya dan menyarungkannya.

Akan tetapi Hong Ing tidak peduli, terus menggendong Kun Liong dan mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk melarikan diri. Ketika dia menengok dan melihat sucinva mengejar, dia berlari makin cepat lagi.

Kun Liong diam-diam merasa geli, juga terharu. Tak disangkanya bahwa sang suci seganas dan segalak itu sedang sang sumoi begini halus budinya. Sebenarnya luka di punggungnya itu tidak seberapa dan kalau dia mau, tentu saja dia dapat melawan suci itu, atau andaikata melarikan diri sekalipun, tak perlu digendong karena dia dapat lari lebih cepat dari Hong Ing. Akan tetapi, sekali merasa digendong belakang, dia merasa kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya mendekap ketat punggung Hong Ing, terasa kelembutan yang hangat dan hidungnya mencium keharuman memabukkan, maka dia merangkulkan kedua lengan di atas pundak Hong Ing sedangkan kedua kakinya yang panjang dia kempitkan di pinggang dara itu. Dia pura-pura setengah pingsan! Akan tetapi karena maklum bahwa mereka berdua dikejar, diam-diam Kun Liong mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan sekali dan tidak menjadi penghalang bagi Hong Ing untuk mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat. Dan ternyata dalam hal ilmu berlari cepat, Hong Ing lebih menang dibandingkan dengan sucinya. Dia memasuki hutan, menyelinap di antara pohon-pohon dan makin lama jarak antara dia dan pengejarnya makin jauh dan akhirnya Hong Ing tiba di tempat yang ditujunya yaitu sebuah kuil kuno di tengah hutan. Dia segera menyelinap di balik pohon dan memasuki semak-semak, menurunkan tubuh Kun Liong yang pura-pura pingsan, mencabut hui-to itu dan memeriksa lukanya. Betapa heran rasa hati Hong Ing ketika memeriksa luka itu. Ketika mencabut hui-to tadi, dia pun sudah heran melihat hulto yang panjang itu hanya masuk sedikit saja, padahal ia tahu benar bahwa sucinya adalah seorang ahli penyambit pisau terbang yang amat lihai dan yang telah mewarisi kepandaian guru mereka sepenuhnya. Tidak saja hui-to itu amat cepat jika dilontarkan sucinya, juga pasti mengenai sasarannya dan biasanya tentu akan menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, merasa bersyukur dan selagi dia hendak mengambil obat dari dalam saku jubahnya, tiba-tiba dia merangkul Kun Liong dan mendekap mulut pemuda itu dengan tangannya, khawatir kalau-kalau pemuda itu setelah siuman mengeluarkan suara. Matanya memandang ke depan di mana terdapat sebuah lorong kecil dan di atas lorong ini tampak tujuh orang nikouw berjalan beriringan sambil membaca doa! Kun Liong melirik dan melihat pula iring-iringan itu. Dia senang sekali didekap dan kepalanya berbantal lengan halus itu, apalagi mulutnya didekap. Dengan halus dia memegang lengan yang mendekap mulutnya dan menariknya sehingga mulutnya tidak tertutup lagi. Dia mengeluarkan rintihan perlahan, pura-pura merasa kesakitan hebat!

“Sssttt...!” Dalam kekhawatirannya akan terlihat oleh para saudaranya dari kuil itu, tanpa disadarinya lagi Hong Ing mendekap kepala Kun Liong ke dadanya dan kebetulan sekali Kun Liong miringkan mukanya sehingga kini mukanya terdekap ke dada. Kun Liong meram melek dan dia sekali ini benar-benar hampir pingsan ketika merasa betapa hidung dan pipinya merapat pada dada yang membusung itu dan tercium olehnya keharuman yang aneh. Aduh, mau rasanya aku selamanya begini, pikirnya dan tak terasa lagi mulutnya tersenyum penuh kesenangan hati!

Setelah rombongan nikouw yang berdoa itu lewat dan sudah jauh, barulah Hong Ing bernapas lega dan ketika dia menunduk, matanya terbelalak melihat betapa tanpa disadarinya dia mendekap muka Kun Liong ke dadanya! Hampir dia menjerit dan dia cepat melepaskan kepala itu sehingga kepala gundul itu jatuh ke tanah mengeluarkan suara berdebuk.

“Aduhhhh...!” Kun Liong mengeluh.

“Kusangka kau masih pingsan!”

“Aku tidak pernah pingsan!”

“Kalau begitu, mengapa kau diam saja?”

“Habis disuruh apa?”

“Hemmm, kau aneh dan kadang-kadang timbul sangkaanku bahwa kau seorang yang kurang ajar! Nah, miringlah, biar kuobati lukamu!”

Kun Liong tidak bicara lagi, takut kalau benar-benar dia dibenci karena dianggap kurang ajar, maka dia miring dan membiarkan lukanya diobati olch Hong Ing. Sekali ini Kun Liong merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Dia merasa amat kasihan kepada dara ini dan sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk menggoda, sungguhpun kehadiran dan kecantikan dara ini jauh lebih hebat pengaruhnya terhadap dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis cantik lain yang pernah dijumpainya dan digodanya.

Setelah selesai mengobati luka di punggung Kun Liong, Hong Ing berkata, “Aku girang sekali dapat membalas kebaikanmu dahulu ketika mengobati aku dengan sekarang merawat lukamu, Kun Liong. Sekarang, harap kau suka cepat pergi sebelum Suci datang lagi dan sebelum para nikouw di Kwan-im-bio tahu bahwa kau berada di sini.”

Kun Liong sudah duduk. Mereka duduk berhadapan dan Kun Liong menggeleng kepalanya. “Nanti dulu, Hong Ing. Sudah terlalu banyak kita mengalami bahaya bersama, dan sudah terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu. Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat dan lebih baik lagi. Sudikah kau menceritakan kepadaku semua hal ihwalmu, barangkali saja aku dapat membantumu, baik dengan nasihat maupun dengan perbuatan?”

Hong Ing meragu, sejenak mereka berpandangan. Kemudian Hong Ing menghela napas dan berkata, “Baiklah. Kita memang masih harus bersembunyi sampai keadaan aman benar.” Mulailah dara cantik jelita dan terpaksa menjadi nikouw ini menceritakan riwayatnya kepada Kun Liong dengan suara bisik-bisik dan yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Pek Hong Ing yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun adalah murid tersayang dari seorang pertapa wanita di Pegunungan Go-bi-san yang berjuluk Go-bi Sin-kouw (Wanita Sakti dari Go-bi). Nenek sakti ini hanya mempunyai dua orang murid, yang pertama adalah Lauw Kim In, yaitu dara jelita galak yang menyerang Hong Ing itu. Hong Ing adalah seorang anak yatim piatu, demikian pula sucinya, Kim In. Semenjak berusia lima tahun, dia telah digembleng bersama sucinya oleh Go-bi Sin-kouw, dan kedua orang anak perempuan yang sama-sama yatim piatu ini hidup seperti kakak beradik, Kim In lebih tua tiga tahun dari Hong Ing, dan sekarang telah berusia dua puluh tahun.

Sukar dikatakan siapa di antara dua orang dara ini yang lebih berhasil mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Sin-kouw. Kim In kelihatan lihai sekali dengan ilmu pedangnya dan terutama sekali senjata rahasia hui-to (pisau terbang) yang membuat dara ini sukar dicari tandingannya. Sedangkan Hong Ing telah mewarisi ilmu cambuk dari gurunya yang dapat dia mainkan hanya dengan sehelai saputangan sutera! Di samping ini, juga dalam hal ilmu meringankan tubuh (gin-kang), si sumoi ini agaknya jauh melampaui sucinya.

Ketika Kim In berusia delapan belas tahun, oleh gurunya yang terkenal galak dan berhati baja itu ditunangkan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi, ketika pada suatu hari pemuda tunangannya ini oleh Go-bi Sin-kouw disuruh berkunjung kepada seorang sahabatnya di kaki Pegunungan Go-bi-san, terjadilah hal yang amat hebat. Sahabat dari Go-bi Sin-kouw itu adalah seorang tokoh yang amat sakti, terkenal sekali namun seperti juga Go-bi Sin-kouw, tidak pernah turun gunung. Julukannya adalah Thian-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Langit) dan sudah lama menjadi sahabat baik Go-bi Sin-kouw karena memang masih ada pertalian perguruan di antara mereka. Ketika pemuda tunangan Kim In itu tiba di tempat pertapaan Thian-ong Lo-mo dia diterima baik, suratnya dari Go-bi Sin-kouw juga diterima dan karena hari sudah malam, pemuda itu disuruh bermalam di pondok si kakek pertapa. Dan di malam hari itulah terjadinya malapetaka. Kakek Thian-ong Lo-mo di samping kesaktiannya juga terkenal sebagai seorang kakek yang tak pernah hidup sendiri, selalu tentu ditemani seorang isteri yang cantik dan muda dan yang hampir setiap tahun berganti orang!

Isteri atau selir cantiknya pada waktu itu, yang biasanya hanya tidur dan dipeluk seorang kakek yang usianya sudah hampir seratus tahun, tentu saja menjadi terpesona dan tergila-gila kepada pemuda tampan yang menjadi tamu suaminya. Hal yang lumrah pun terjadilah. Si pemuda tidak kuat menahan bujuk rayu si cantik jelita dan terjadilah perjinaan diantara mereka. Dan celakanya, mereka tertangkap basah oleh Thian-ong Lo-mo sendiri! Kedua orang kekasih itu dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo dan kepala mereka dikirimnya kepada Go-bi Sin-kouw yang dapat mengerti apa yang telah terjadi, maka karena kesalahan berada di pihak calon mantunya itu, Go-bi Sin-kouw juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali minta maaf.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Lauw Kim In melihat peristiwa ini. Bukan hanya hancur karena ia urung menikah, namun terutama sekali hancur karena sakit hati mendengar betapa tunangannya itu berjina dengan isteri Kakek Thian-ong Lo-mo. Dengan demikian baginya dianggap bahwa dia dihina dan diremehkan oleh tunangannya, dan mulai saat itu tumbuhlah bibit kebencian yang amat mendalam di hatinya terhadap kaum pria! Semenjak itu, dia bersumpah di depan gurunya untuk tidak menikah dan gurunya pun tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum apa yang diderita oleh murid pertama ini. Kim In dan sumoinya yang ketika itu baru berusia lima belas tahun, makin giat berlatih silat sampai dua tahun lamanya.

“Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kurang lebih tiga bulan yang lalu, malapetaka menimpa diriku...” kata Hong Ing menyambung ceritanya yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong. Cerita tentang suci dara ini memang menarik namun dia tidak begitu mempedulikan, akan tetapi kini setelah Hong Ing mulai menceritakan riwayatnya sendiri, dia benar-benar menaruh perhatian sehingga pandang matanya seakan-akan tergantung kepada bibir yang merah kecil mungil itu.

Hong Ing melanjutkan ceritanya. Pada pagi hari itu, dia seorang diri seperti biasa berjalan-jalan di dalam hutan di lereng puncak Go-bi-san. Semenjak kecilnya, tidak seperti sucinya, dara ini memang suka sekali akan keindahan alam, suka menyendiri di dalam hutan-hutan besar, apalagi di waktu pagi hari ketika matahari baru saja muncul menyinarkan cahaya keemasan den burung-burung berkicau menyambut datangnya sinar surya yang cemerlang indah itu, butir-butiran embun menghias setiap ujung daun dan membuat rumput dan kembang berseri-seri pepuh kesegaran. Kalau sudah berjalan seorang diri di dalam hutan seperti itu, Hong Ing merasa hidup di dunia lain, dunia yang tidak ada lagi kesunyian baginya karena semua di sekelilingnya seperti telah menjadi satu dengan dirinya, membuat dia tidak lagi kehilangan orang tuanya yang telah tiada.

Ketika pagi hari itu dia dengan wajahnya yang cantik segar kemerahan berseri-seri, seperti peri jelita penjaga hutan itu sendiri, berlari-larian kecil mengejutkan burung-burung dan kelinci-kelinci, membuatnya tertawa terkekeh karena tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara auman keras dan suara jerit orang minta tolong.

Cepat laksana seekor kijang meloncat, Hong Ing melarikan diri menuju ke arah suara itu dan apa yang dilihatnya membuat dia terkejut sekali. Seekor harimau yang sebesar anak kerbau telah merobohkan seekor kuda dan penunggang kuda itu, seorang laki-laki berpakaian indah, ikut pula roboh dengan sebelah kaki tertindih tubuh kudanya. Kini harimau itu siap untuk menerkam orang laki-laki itu yang tadi menjerit minta tolong.

Dengan tiga loncatan saja Hong Ing telah tiba di tempat itu, berdiri di antara laki-laki dengan harimau. Binatang ini menggereng, memperlihatkan taringnya, dan matanya seolah-olah hendak menyihir Hong Ing. Di dalam hatinya, dara itu merasa gentar juga karena selamanya belum pernah dia melawan harimau. Akan tetapi karena maklum bahwa kalau dia tidak turun tangan tentu laki-laki itu akan menjadi korban harimau, dia sudah siap dan meloloskan saputangan yang biasanya diselipkan diantara kancing bajunya. Dengan gerakan hati-hati Hong Ing memutar-mutar saputangannya sehingga ujungnya menjadi sebuah cambuk, matanya tak pernah berkedip menentang pandang mata harimau itu. Adapun laki-laki yang masih rebah itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, bahkan dia kini berhasil menarik kakinya dari tubuh kudanya yang sekarat, lalu bekata, “Awas Nona.... harap lekas menyingkir...!”

Ucapan ini memperkuat keputusan Hong Ing untuk menolong laki-laki itu. Seorang yang terancam bahaya maut seperti laki-laki itu akan tetapi masih ingat untuk mengkhawatirkan keselamatan orang lain, tentulah seorang yang baik budi dan patut ditolong.

Akan tetapi ucapan laki-laki itu seolah-olah menjadi aba-aba bagi sang harimau yang sudah menggereng keras dan meloncat tinggi menubruk ke arah Hong Ing dengan mulut terbuka lebar dan kedua kaki depan siap mencakar dan merobek-robek kulit daging lunak halus dari dara itu!

“Celaka...!” Laki-laki itu berseru dan kini dia sudah mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja melangkah setindak, dia hampir jatuh karena ternyata kakinya yang terhimpit kuda tadi terkilir. Akan tetapi, laki-laki itu terbelalak dan memandang dengan mata penuh kagum melihat betapa dengan ringan dan cepat dara itu sudah meloncat ke kiri dan ketika tubuh harimau besar itu lewat, dia melihat dara itu mengebutkan sehelai saputangan sutera putih yang mengeluarkan bunyi meledak nyaring dan harimau itu terjungkal dan menggereng-gereng, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kiri saja karena mata kanannya sudah hancur dan bercucuran darah! Karena nyeri dan marah, harimau itu mengaum dan sekali lagi meloncat dengan dahsyat sekali menubruk si dara muda dan sekarang laki-laki itu lebih bengong lagi melihat betapa dara itu pun meloncat menyambut terkaman si harimau, saputangannya kembali meledak, kakinya di udara menendang dan tubuh harimau itu terlempar sampai tiga meter, jatuh terbanting dan mata kirinya juga sudah hancur. Harimau itu menggereng-gereng, lalu seperti gila menubruk sana-sini, lari sana-sini akhirnya kepalanya menumbuk sebuah batu karang besar, pecah dan roboh berkelojotan, kemudian tak bergerak lagi!

Laki-laki itu sejenak tak dapat berkata-kata, memandang ke arah bangkai harimau, kemudian menghampiri Hong Ing yang menyeka keringatnya dengan seputangannya. Betapapun juga, tadi dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya untuk mengalahkan binatang yang kuat dan galak itu.

Laki-laki itu seperti merasa berada dalam mimpi. Hampir dia tidak dapat percaya, apalagi setelah kini berhadapan dekat dengan dara itu. Seorang dara yang usianya baru belasan tahun, tujuh belas tahun, dapat membunuh harimau dengan cara demikian aneh dan mudah, hanya bersenjata sehelai saputangan yang kini dipakai menghapus keringat yang membasahi leher! Bukan main!

“Nona...” Laki-laki itu menjura. “Nona telah menolong nyawaku dan aku tidak mungkin diam saja. Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Pangeran Han Wi Ong dari kota raja. Aku sedang berburu, akan tetapi tersesat dan terpisah dari para pengawal sampai di tempat ini. Ketika tadi harimau muncul, kudaku terpeleset dan diterkam, kemudian... ah, aku tentu telah menjadi makanan harimau kalau Nona tidak datang menolong.”

Diam-diam Hong Ing terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang ditolongnya adalah seorang pangeran dari kota raja! Putera Kaisar! Akan tetapi karena dia selamanya tinggal di gunung dan tidak mengenal tata susila cara bangsawan, dia hanya membalas penghormatan dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu menjawab, “Harap Pangeran tidak bersikap berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk saling menolong apabila melihat orang terancam bahaya. Nah, bahaya sudah lewat, saya mohon diri, Pangeran.”

Hong Ing sudah membalikkan tubuhnya, akan tetapi laki-laki yang gagah tampan, dan usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian indah sekali itu berseru, “Tahan dulu, Nona. Setidaknya harap Nona sudi memperkenalkan nama dan di mana tempat tinggal Nona. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa menyesal dan merasa berdosa tidak mengenal nama penolongku yang telah menyelamatkan nyawaku.”

Karena sikap pangeran itu sopan dan tutur sapanya halus, Hong Ing menjawab terus terang, “Namaku Pek Hong Ing, dan aku tinggal bersama guruku, Go-bi Sin-kouw, dan suciku di puncak sana itu.” Setelah berkata demikian, dara itu berkelebat dan lenyap dari depan Pangeran Han Wi Ong. Pangeran itu makin kagum, sejenak dia terpesona dan kemudian dia menarik napas panjang dan berkata seorang diri, “Dialah yang patut mendampingi aku selama hidupku. Cantik jelita, muda, jujur, dan memiliki ilmu kepandaian yang dapat menjadi pelindungku selamanya! Go-bi Sin-kouw...? Hemm, harus kupinang dia!”

Demikianlah, pada keesokan harinya, Pengeran itu telah bersama dengan rombongan pasukan pengawalnya mendatangi pondok Go-bi Sin-kouw dan dengan jujur dan langsung karena dia pun terkenal jujur dan terang-terangan, mengajukan pinangan kepada Hong Ing untuk dijadikan isterinya!

“Hendaknya Sin-kouw yakin bahwa saya ingin mengambil Nona Pek Hong Ing sebagai isteri sah, bukan sebagai selir dan pernikahan antara kami akan dirayakan besar-besaran di istanaku. Andaikata kelak saya mempunyai keberuntungan menjadi kaisar, dia pasti menjadi permaisuriku!”

Tentu saja hati nenek itu menjadi bangga bukan main. Serta-merta dia menerima pinangan itu, karena bukankah dia yang berhak penuh atas diri murid-muridnya? Hong Ing sudah yatim piatu dan sejak kecil dididiknya, maka dengan berani dia menerima pinangan, bahkan menerima tanda ikatan jodoh berupa pedang bergagang mutiara dan emas dan menerima ketentuan bahwa sebulan lagi Sang Pangeran akan mengirim pasukan menjemput isterinya!

“Demikianlah, Kun Liong,” kata Hong Ing melanjutkan ceritanya dan suaranya kini tergetar penuh kedukaan hati yang ditahan-tahan, “kau dapat membayangkan betapa hancurnya hatiku. Aku oleh Subo dianggap seperti seekor binatang saja, begitu mudah dijodohkan, atau sebuah benda yang mudah saja dihadiahkan kepada seorang pria. Memang harus kuakui bahwa Pangeran Han Wi Ong seorang laki-laki yang gagah, baik dan juga berkedudukan tinggi. Akan tetapi usianya sudah empat puluhan tahun, sepantasnya menjadi ayahku, mana aku dapat suka menjadi isterinya? Aku menangis dan menolak, akan tetapi Subo adalah seorang yang berkemauan baja dan dia lebih baik melihat aku mati di depan kakinya daripada melihat aku menolak dan dia harus membatalkan perjanjiannya dengan seorang pangeran. Apalagi karena sudah belasan kali aku menolak pinangan orang, maka Subo menjadi marah dan memaksa aku dengen ancaman mati. Aku sudah putus harapan dan malam itu aku sudah menggantung diri, hendak membunuh diri...”

“Hong Ing...!” Kun Liong terkejut sekali dan tak terasa lagi dia memegang lengan dara itu, mukanya menjadi pucat.

Hong Ing tersenyum pahit menyaksikan sikap pemuda gundul itu. “Agaknya baru sekaranglah aku bertemu dengan orang sebaik engkau, Kun Liong, yang begitu memperhatikan nasib diriku. Aku ditolong oleh Suci yang menurunkan aku dari gantungan, menangisi aku dan menghiburku. Dia mengingatkan aku bahwa kami telah berhutang budi kepada Subo dan sudah sepatutnyalah kalau aku membalas budi Subo dengan mentaati perintahnya. Pula, demikian kata Suci, bukankah aku menjadi istri seorang pangeran dan bahkan besar kemungkinan menjadi permaisuri? Kalau aku membunuh diri, berarti aku menghina Subo dan Subo tentu akan tercemar terhadap keluarga kaisar, mungkin akan dianggap sebagai pemberontak.”

“Hemm, nasibmu sungguh buruk, Hong Ing. Lalu bagaimana engkau sampai menjadi nikouw?”

“Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melarikan diri dari puncak Go-bi-san. Aku lari pada malam hari dan terus melarikan diri sampai akhirnya aku tiba di Kuil Kwan-im-bio itu, di mana tinggal belasan orang nikouw dikepalai oleh seorang nikouw tua yang saleh. Aku menghadap kepada Biauw Kwi Nikouw, ketua kuil itu, dan minta supaya diterima menjadi nikouw. Kupikir bahwa ke mana pun aku pergi, tentu Subo dan Suci akan dapat mencari dan memaksaku. Akan tetapi setelah aku menjadi nikouw, kiranya mereka takkan berani mengganggu seorang yang sudah memilih hidup suci. Untuk membebaskan diri dari pernikahan yang tidak kusuka itu, aku rela mengorbankan hidupku menjadi nikouw, biarpun di dalam hatiku sungguh mati aku tidak berniat menjadi seorang pendeta.”

Kun Liong mengangguk-angguk dan hanya di dalam hatinya dia berkata bahwa memang amat tidak patut dan terlalu amat sayang sekali seorang dara berusia tujuh belas secantik Hong Ing ini harus menjadi nikouw gundul yang selama hidup tidak berurusan denen dunia!

“Mula-mula Biauw Kwi Nikouw menolak dan aku sudah hampir putus harapan...”

“Aih, mengapa menolak orang hendak menjadi nikouw dengan suka rela?” tanya Kun Liong terheran.

lanjut ke Jilid 056-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar