Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 51

Petualang Asmara Jilid 051

<--kembali

“Jangan berduka, Yuanita. Betapapun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik yang siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu.”

Mendengar ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak pendekar, membual hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas dada Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus rambutnya. Sampai lama mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya lagi, detak jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah.

Tak tama kemudian, Kun Liong berkata, “Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biarpun aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan seperti ini amatlah berbahaa bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu. Engkau adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang melihatnya, tentu namamu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang baik.”

Yuanita menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bangkit berdiri dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wajah pemuda itu lalu berkata, “Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah kulupakan, Kun Liong. Apa pun yang terjadi dengan diriku, di lubuk hati setalu tersimpan cinta kasih murni untukmu.”

“Ahhh, engkau memang seorang dara yang baik sekali.” Kun Liong merangkul dan mencium dahi dara itu. Ciuman yang mesra dan lembut seperti ciuman seorang kakak kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati Yuanita. Dara itu terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan diri kembali ke kamarnya.

Kun Liong berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang dara sebaik Yuanita dengan menolak cintanya.

Belum juga Kun Liong pulas, tiba-tiba dia mendengar suara orang-orang di atas dek, terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan pukulan itu, Kun Liong meloncat turun dan lari keluar dari kamarnya.

Di atas dek itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu dengan suara kaku membentak, “Hayo kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!”

Orang pribumi yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat orang daerah Pantai Pohai, “Ampunkan saya, Tuan... ampun.... saya sungguh mati tidak melakukan pembunuhan itu.”

“Bukkkk...!” Sebuah pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-guling. Penyiksa itu kembali membentak, “Hayo, mengaku atau tidak? Tuan muda Hendrik sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir? Hayo mengaku!”

Dengan tubuh matang biru dan mulutnya mengeluarkan darah karena giginya rontok, orang itu berkata lemah, “Tidak... tidak... saya tidak membunuhnya...”

Raksasa itu melotot dan melangkah maju. “Kalau begitu kau ingin mati!” Diayunnya lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Tentu akan pecah atau setidaknya gegar otak kepala itu kalau terkena hantaman dahsyat itu.

“Dukkkk!” Raksasa itu berteriak kesaktian dan terhuyung ke belakang memegangi lengan kanannya yang tertangkis oleh Kun Liong.

“Adouuww... kau... kau mau membela bangsamu?” Raksasa itu membentak ketika mengenal pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda asing gundul ini diaku sahabat oleh Tuan Muda Yuan bahkan Nona Yuanita kelihatannya begitu akrab dengan pemuda ini!

“Menyaksikan orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa apa. Yang sudah jelas, baik penyiksanya maupun yang disiksa adalah manusia. Tuan mengapa kau menyiksa orang ini?” Kun Liong melirik dan kini dia mengenal orang kurus itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja di kapal itu sebagai pelayan.

“Dia telah membunuh seorang di antara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang bemama Ketty. Dia memperkosa dan mencekiknya. Apakah kau hendak bilang bahwa orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?” Raksasa itu menghardik.

Kun Liong memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya dan biarpun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan. Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata, “Demi Tuhan, saya tidah membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk membunuhnya? Menyusahkannya saja saya tidak tega... Nona Kitty begitu baik...” Dan laki-laki itu menangis!

“Dia, bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut kalau Nona Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya,” raksasa itu berkata. “Saya hanya seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya agar dia mengakui perbuatannya yang biadab!”

KUN LIONG merasa curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona itu. Ia mengingat-ingat. Lima orang pelayan wanita itu memang itu memang cantik dan genit-genit. Agaknya seorang laki-laki muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang tampan, tidak perlu harus menggunakan paksaan untuk bermain-main dengan seorang di antara mereka.

“Soal pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab, tidak kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Seorang penegak hukum adalah seorang yang menentang dan memberantas perbuatan jahat, akan tetapi apa jadinya dunia ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih jahat daripada si penjahat sendiri? Seperti semua bangsamu, engkau tentu seorang berTuhan, dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan, juga kau sebagai seorang manusia, dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar perikemanusiaan. Tak perlu lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang manusia. Dia boleh jadi bersalah, akan tetapi pe-meriksaan harus dilakukan dengan teliti dan hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Untuk itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau menggunakan hukum rimba?”

Ribut-ribut itu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama, Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina dan Legaspi Selado sendiri. Yuan de Gama heran melihat Kun Liong bertengkar dengan seorang anak buah yang terkenal sebagai tukang pukulnya Hendrik Selado.

“Kun Liong, apa yang terjadi?” dia bertanya.

“Yuan aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan pembunuhan. Pembunuhan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membongkar rahasia itu. Akan tetapi kulihat sekarang, usaha penyelidikan diserahkan kepada segala macam tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat.”

Dimaki seperti itu di depan banyak orang, apalagi di situ terdapat Hendrik yang menjadi majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah menerjang Kun Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya menghantam lurus ke arah dada Kun Liong sedangkan kepalan kirinya dari bawah melakukan uppercut, yaitu pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah menyambar ke atas mengarah dagu lawan.

Dua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan hanya berselisih dua detik saja.

Kun Liong bersikap tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu ke arah mana dua kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kedua tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan terbuka.

“Krekk! Krekk! Oouuuwww...!” Raksasa itu terpelanting, mengaduh-aduh menggerak-gerakkan kedua tangannya yang sudah patah tulang lengan dekat pergelangan dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk jantung.

“Kau berani melukai orangku...?” Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap tenang dan sama sekali tidak mempedulikan pemuda ini, karenanya Kun Liong mencurahkan sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya orang yang paling berbahaya.

“Tahan!” Yuan melompat maju menghalangi Hendrik. “Hendrik, kau tidak boleh menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!”

“Tapi dia melukai orangku, Yuan!”

“Hemmm, semua mata melihat bahwa orangmu yang memukul, Kun Liong hanya menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini, akulah yang bertanggung jawab akan segala urusan. Siapapun juga, bahkan ayahku sendiri, kalau berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai kapten kapal. Aku yang bertanggung jawab dan membela kapal ini dengan keamanannya, kupertaruhkan nyawa sebagai seorang kapten. Urusan ini, aku yang berhak untuk menyelidiki.”

Hendrik terpaksa mundur dan Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan menundukkan mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya nyeri semua akibat penyiksaan raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi semuanya untuk mengobati kedua lengannya.

“Hayo katakan terus terang, apa yang kauketahui tentang pembunuhan itu!” kata Yuan kepada orang tersiksa tadi.

Sedangkan Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa seorang di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang.

Orang itu mengangkat muka memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah Hendrik dan menunduk lagi, menangis! Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh permohonan dan pertolongan, kemudian lirikannya kepada Hendrik penuh ketakutan melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut!

Melihat semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu, “Kawan, kau dituduh membunuh, kalau kau tidak mengaku, mungkin kau akan dihukum mati, dan sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Kalau kau bercerita terus terang, andaikata kau mati pun, kau mati sebagai seorang terhormat dan gagah. Pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut bicara?”

Mendengar ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan, “Tuan Muda Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita terus terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty, sudah lama ada hubungan cinta di antara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan antara kami diketahui orang. Saya melarikan diri dan mendengar Nona Kitty menjerit akan tetapi saya tidak berani keluar, kemudian saya diseret dan disiksa di sini.”

Yuan de Gama mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya, “Siapa orang yang melihat pertemuan kalian itu?”

“Dia... dia adalah... darrr!”

Tubuh orang itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalannya ditembus sebutir peluru. Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya.

“Hendrik, mengapa kau membunuh dia?” Yuan bertanya dengan nada menegur.

“Hemm, manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang dia bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku tidak sabar lagi mendengar omongannya.”

“Ha-ha-ha, Yuan! Urusan seekor anjing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan? Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!” Legaspi Selado berkata sambil tertawa akan tetapi matanya melirik ke arah Kun Liong. Pemuda ini makin merah mukanya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan sehingga terjadi pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan keluarganya. Apalagi, orang itu sudah mati, dan betapapun juga dia telah mencari penyakit sendiri dengan bercintaan dengan Kitty. Di samping itu, tugas ke Pulau Ular lebih penting lagi. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi memasuki kamarnya dan tidur. Di atas pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Orang yang menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty, kalau tidak mana mungkin seorang pelayan berani main gila dengan seorang nona asing? Dan agaknya Kitty itu merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya bermain cinta, Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada orang itu. Hemm... cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi, apakah itu patut dinamakan cinta?

Wajahnya yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Namun sepasang matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat perlawanan, sungguhpun keadaannya amat mengkhawatirkan. Dengan sikap gagah dan sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa yang dibelenggu tubuhnya pada sebuah tihang di ruangan batu itu memandang kepada pemuda yang berdiri di depannya. Ouwyang Bouw hampir kehilangan kesabaran menghadapi tawanan wanita yang dicintanya ini. Terhadap Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan, tidak mau menggunakan kekerasan untuk menggagahinya. Dia benar-benar jatuh hati kepada dara ini dan mengharapkan Li Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela. Namun, setelah berhari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa tidak mengacuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan menantang minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, pesaaran, juga duka sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah marah-marah.

“Li Hwa, mengapa engkau begini keras kepala? Biarpun engkau murid Panglima Besar The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dahulu juga pernah menjabat kedudukan tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat jika menjadi isteriku dan aku bersumpah bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan penurut, sayangku!”

“Phuih! Laki-laki rendah budi tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan memperkosaku, kemudian aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang selalu akan mengejar dan menganggumu sampai kau mampus!”

Wajah tampan yang tadinya menyeringai itu kini berubah beringas. Matanya yang memang liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya, tangannya sudah gemetar hendak membunuh saja dara yang membuatnya sengsara ini. “Kalau begitu, engkau akan kubunuh!”

“Terima kasih, memang aku suka mati daripada melihat mukamu lebih lama lagi!”

“Keparat, engkau tidak akan mati begitu enak!” Dia mengeluarkan sebatang suling, suling biasa tidak seperti terompetnya, kemudian dia meniup suling itu dengan suara meliuk-liuk yang sifatnya liar. Li Hwa dapat menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu sedang mememanggil ular. Di dalam hatinya, tentu saja sebagai wanita dia jijik dan takut melihat ular, akan tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dia sanggup menghadapi siksaan apa saja dan lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri secara sukar rela.

Tepat dugaan Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan muncullah seekor ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan matanya melihat ular itu besar sekali, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa. Dia tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya.

Ular itu mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap kepala ular itu seperti orang mengelus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan sulingnya dihentikan dan dia tertawa melibat Li Hwa memejamkan mata.

“Nah, kau melihatnya, bukan? Li Hwa, jangan kau memaksa aku menyuruh dia membelit-belit tubuhmu yang indah itu, kemudian mengganyang dagingnya sedikit demi sedikit.”

Biarpun tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang Bouw semua rasa takut lenyap seketika terganti rasa marah dan kebencian hebat. Dia membuka mata, tidak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang Ouwyang Bouw sambil membentak, “Mau bunuh, bunuhlah dengan jalan apa pun terserah, aku tidak takut!”

Habislah kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau dan mencengkeram.

“Bret-brett-brettt!” Pakaian yang melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian besar tubuh dara itu telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air ludah itu dapat dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw yang lihai dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya.

Ular besar yang berwarna hitam berbelang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak tinggi, matanya bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang panjang dan berwarna itu menjilat-jilat keluar, kemudian dengan lambat karena tubuhnya yang besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap menghampiri Li Hwa!

Li Hwa mencoba untuk bersikap tabah membuka mata lebar-lebar memandang binatang itu, menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan agaknya terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu. Biarpun dia berusaha bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh kakinya, naik ke betis dan pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang dingin menggeliat-geliat, dia tidak kuat menahan dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berusaha melakukan samadhi mematikan rasa. Namun hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik terus, menjilati seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memaksanya bermain cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouw-yang Bouw, “Li Hwa, katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu.”

Biarpun kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian dan kejijikannya Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit bagian tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu dan belum menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dulu sampai puas dengan calon bangsa yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu.

Kegelian dan kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka-mata dan melihat kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti hendak menelan kepalanya sqkaligus! Tak dapat dia menaham kengerian itu dan dia memejamkan mata, tubuhnya lemas dan dia pingsan!

Ular itu sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan tetapi tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh ke arah majikannya, lehernya bergoyang-goyang seperti dalam keadaan ragu-ragu, akan tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular yang sudah terlatih ini, lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun dan meninggalkan ruangan itu.

Dengan mata merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li Hwa mengeluh dan membuka mata. Dara itu, terheran akan tetapi jelas merasa lega karena dia menarik napas panjang ketika melihat dia masib terbelenggu dan ular mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi? Mimpi menyeramkan dan sekarang baru bangun dari tidur? Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di depannya.

“Li Hwa, aku tidak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tidak mau membunuhmu. Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, kalau aku tidak boleh memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!”

“Cih, laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!” Li Hwa mendesak.

Ouwyang Bouw tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan, kedua tangannya menyambar empat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang membuat kedua lengan dan kedua kakinya lumpuh! Pemuda itu lalu membuka belenggu kaki tangan, memondong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamamya sendiri. Dia sudah melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka bajunya sendiri ketika tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar. Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu melainkan banyak sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main!

Dia mengancingkan lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa. “Kautunggu sebentar, manis, aku hendak melihat apa yang terjadi di luar.” Dia lalu meloncat ke luar, maklum bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai beberapa jam lamanya.

Li Hwa tak dapat bergerak, atau lebih tepat tidak dapat menggerakkan kedua kaki tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang, pakaiannya setengah telanjang, robek-robek tidak karuan dan dia mendengar suara di luar dengan teliti dan penuh harapan. Apakah pertolongan datang? Gurunya? Pasukan gurunya? Atau panglima Tio Hok Gwan? Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Akan tetapi terdengar suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang menggunakan senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan! Jantungnya berdebar-debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi harapan berjumpa dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget sekali bahwa dia mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik turun di atas pipinya.

Akan tetapi dia khawatir lagi melihat yang berkelebat masuk adalah Ouw-yang Bouw. Muka pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kembali membelenggu kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas dinding kamarnya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang amat berbahaya, dan meloncat keluar dari kamar itu setelah menutup dan mengunci pintu kamar itu dari luar.

Li Hwa menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa kira pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya. Kalau tidak terbelenggu, mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat bebas, akan tetapi sekarang, andaikata totokannya buyar sekalipun, dia tetap saja masib terbelenggu dan tidak dapat bebas! Nemun dia masih penuh harapan dan di hatinya bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi di luar?

Setiap pagi, permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang indah sekali. Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali!

Kun Liong bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, sempat menikmati munculnya matahari yang merupakan sebuah bola api merah yang muncul dari permukaan laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong seperti terbenam dalam semua keindahan itu. Matahari seperti bola api besar kemerahan yang mulai menyinarkan cahayanya, seperti membakar seluruh permukaan laut dengan warna kemerahan. Laut merah ini tampak berkeriput kecil, seperti tidak pernah bergerak. Tidak ada suara terdengar kecuali percikan air di tubuh kapal. Langit biru kemerahan mulai ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana-sini tampak burung-burung camar laut beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak tampak menggerakkan sayap, hanya meluncur dengan halusnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Pada saat seperti itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang ada hanyalah kesadaran akan keindahan itu. Tidak lagi akunya yang menikmati keindahan, yang ada hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti air laut, seperti burung camar, dia merupakan sebagian dari dalam dan keindahan itu yang tak terpisahkan.

Semua ini akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan aku-nya. Kalau ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan yang lalu, atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin melihat keindahan ini lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya. Kalau sudah begitu, kalau si aku sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar, menjadi gambaran yang melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan keinginan melihat lagi, menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tidak suka. Demikian pula dengan segala keindahan di dunia ini. Selama si aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu terjadi pertentangan. Dia lebih kaya dari aku dan timbullah iri hati. Dia lebih miskin dari aku dan timbullah kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya. Semua timbul dari perbandingan, perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran. Kalau kita menghadapi keadaan kita dan yang kita hadapi sewajarnya, menghadapi hanya memandang penuh kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka tidak akan timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih, kasih suci murni tanpa pamrih tanpa tujuan tanpa keinginan tanpa DISADARI bahwa perbuatannya itu baik!

Namun, hanya beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh rahasia keindahan itu karena perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tak salah lagi, cocok dengan gambaran yang diberikan oleh supeknya, Cia Keng Hong!

Bukan hanya dia seorang yang melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun dan berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk ketika Yuan menyerukan perintah. Legaspi Selado memberi petunjuk-petunjuk. Perahu besar Ikan Duyung mendekati kapal dan Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado dan empat orang pelayan wanita, mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda Terbang sudah siap untuk menyerbu ke Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung hanya menanti di pantai bersama Richardo de Gama, puterinya dan pelayan-pelayan itu termasuk anak buah perahu.

Sebelum pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong, secara terang-terangan di depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik, “Hati-hatilah kau...”

Tentu saja Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya, akan tetapi dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita juga merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi. Setelah itu Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu Ikan Duyung. Tak sengaja Kun Liong melirik dan melibat Hendrik memandangnya dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian!

Meriam-meriam Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan dan peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun Liong, pemuda ini menolak. “Senjata apimu itu sama saja dengan senjata gelap berupa piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tidak pernah menggunakan am-gi (senjata gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci perkelahian, benci perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk membunuh atau melukai orang? Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua tanganku!”

“Aihh! Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?”

“Akan kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya, sungguhpun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang.”

Yuan memandang sahabatnya itu. “Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu inilah adikku jatuh cinta kepadamu!”

Kun Liong tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali.

“Sayang kau tidak membalas cintanya.”

lanjut ke Jilid 052-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar